Peran Notaris dalam Penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai Modal BUM Desa
on
Vol. 8 No. 03 Desember 2023
e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Peran Notaris dalam Penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai Modal BUM Desa
Ida Bagus Kade Fajar Bukit Purnama1, I Ketut Sudantra2.
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 21 September 2023
Diterima : 8 Desember 2023
Terbit : 8 Desember 2023
Keywords :
Notary Public; Pelaba Pura Land; BUM Desa
Kata kunci:
Notaris; Tanah Pelaba Pura;
BUM Desa
Corresponding Author:
Ida Bagus Kade Fajar Bukit
Purnama, E-mail: [email protected]
DOI :
10.24843/
AC.2023.v08.i03.p7
Abstract
This research seeks to obtain an understanding and analysis regarding the role of notaries in the participation of Pelaba Pura land as capital for BUM Desa. This research was carried out based on the Normative legal research method with a statute approach and a conceptual approach by analyzing the concept of temple land and the legal provisions governing opportunities for its inclusion as BUM Desa capital. This research shows that the Pelaba Pura Land, as land owned by the Pura, has received recognition as a Religious Legal Entity so that it can become the subject of Land Ownership Rights through the Decree of the Minister of Home Affairs/KBPN No. SK.520.1/2252 can be included in BUM Desa capital through the Village community capital inclusion scheme. As an effort to provide certainty and legal protection for Pelaba Pura land, the results of the perarem or deliberation regarding the inclusion of Pelaba Pura Land as BUM Desa capital should be made in the form of an authentic notarial deed. Through this deed, it is hoped that it can clarify the basis for the use of temple land by BUM Desa so that it can reduce the potential for disputes or conflicts regarding the use of temple land in the future.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pepemahaman dan analisis mengenai mengenai Peran Notaris Dalam Penyertaan Tanah Pelaba Pura Sebagai Modal BUM Desa. Riset ini dilakukan berdasarkan metode penelitian hukum Normatif dengan statute approach dan conceptual approach dengan menganalisis konsep tanah pelaba pura dan ketentuan hukum yang mengatur peluang penyertaannya sebagai modal BUM Desa. Penelitian ini menunjukan Tanah Pelaba Pura sebagai tanah milik Pura, telah memperoleh pengakuan selaku Badan Hukum Keagamaan sehingga bisa menjadi subjek Hak Milik Atas Tanah melalui Surat Keputusan Mendagri/KBPN No. SK.520.1/2252 dapat disertakan menjadi modal BUM Desa melalui skema penyertaan Penyertaan modal masyarakat Desa. Sebagai Upaya untuk menghadirkan kepastian dan perlindungan hukum bagi tanah Pelaba Pura, hendaknya hasil perarem atau musyawarah tentang penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai modal BUM Desa dibuat dalam bentuk akta notaris yang bersifat autentik. Melui akta ini diharap dapat memperjelas dasar pemanfaatan tanah pelaba pura tersebut oleh BUM Desa
sehingga dapat menekan potensi sengketa atau konflik terkait peemanfaatan tanah pelaaba pura di masa yang akan dating.
Badan hukum ialah suatu bentuk dari subjek hukum. Selaku subjek hukum, badan hukum mempunyai kewajiban maupan haknya sendiri untuk melalukan perbuatan-perbuatan hukum selayaknya subjek hukum orang. Selain itu, badan hukum juga bisa melakukan gugatan ataupun sebaliknya melalui pengadilan. Dengan demikian Badan hukum dapat memperoleh perlindungan hukum dan melakukan berbagai perbuatan hukum melalui perngkat organisasinya. Subekti mengemukakan, bahwa badan hukum merupakan sebuah perkumpulan maupun badan yang memungkinkan memperoleh hak serta bisa melakukan perbuatan selayaknya manusia, dan didalamnya terdapat kekayaan tersendiri, dapat melakukan gugatan ataupun sebaliknya.1 Ciri khas dari badan hukum adalah adanya kekayaan dari lembaga tersebut yang sepenuhnya dipisahkan dari kekayaan orang yang menyelenggarakan badan hukum tersebut.
Kedudukannya sebagai subjek hukum, membuat badan hukum mempunyai ciri yang khas. Jimly Asshidiqie menjelaskan bahwa unsur-unsur badan hukum wajib memenuhi:2
-
1. Terdapatnya harta kekayaan yang terpisah perusahaan dengan pribadi;
-
2. Memiliki tujuan yang tidak melanggar peraturan yang berlaku;
-
3. Pada lalu lintas hukum memiliki kepentingannya sendiri;
-
4. Memiliki struktur kepengurusan berbentuk organisasi yang sistematis; dan
-
5. Telah terdaftar sebagai sebuah badan hukum yang telah memperoleh pengesahan.
Diantara unsur-unsur tersebut, syarat pertama hingga empat merupakan syarat materiil, sedangkan unsur kelima merupakan syarat formil. Pemenuhan syarat materiil tersebut dilakukan atau disipakan terlebih dahulu oleh orang-orang yang hendak mendirikan badan hukum. Sementara syarat formil adalah berbagai syarat yang wajib untuk dilengkapi agar bisa mendapatkan status badan hukum sehingga mempunyai legitimasi hukum yang diakui pemerintah sebagai subjek hukum.
Badan hukum dapat berupa privat ataupun publik. Badan Hukum Publik (publiekrecht) dibentuk biasanya didasarkan pada hukum publik. Seringkali badan hukum publik dibuat oleh negara guna memenuhi kepentingan masyarakatnya. Contoh badan hukum Publik diantaranya adalah Pemda, BI dan OJK. Sementara privaatrecht atau yang dikenal dengan Badan hukum Privat dibentuk biasanya didasarkan pada hukum perdata atau perkumpulan individu yang membuat suatu badan usaha seperti diantaranya adalah PT (Perseroan terbatas), Koperasi serta yayasan.
Pacsa diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang (Selanjutnya disebut UU Cipta Kerja), Badan Usaha Milik Desa atau Badan Usama Milik Desa Bersama (selanjutnya disebut BUM Desa/BUM Desa Bersama) dikategorikan sebagai badan hukum. Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan dan Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama (selanjutnya disebut Permendes 3/2021) BUM Desa merupakan badan hukum yang dibuat desa dan/atau bekerjasama antar desa dalam melakukan pengelolaan usaha, melakukan pemanfaatan asset desa, melakukan pengembangan di bidang investasi dan produktivitas, menjadi penyedia pelayanan jasa, dan/atau menjadi penyedia bentuk kegiatan usaha yang lain dalam mengambil keuntungan semaksimal mungkin bagi kesejahteraan masyarakat pada desa tersebut. Berlakunya UU Cipta Kerja membuat BUM Desa secara khusus memiliki status yang sama dengan Perseroan Terbatas, Koperasi dan Yayasan sebagai suatu subjek hukum. Artinya BUM Desa mempunya kewajibandan hak serta bisa melakukan perbuatan hukum.
BUM Desa dibentuk guna menyelenggarakan kegiatan bisnis pada sektor pelayanan umum maupun ekonomi. Dalam penyelenggaraan pengelolaan, BUM Desa menggunakan prinsip semangat kekeluargaan dan gotongroyong. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan kearifan local yang hidup di berbagai daerah di Indonesia. Modal pada penyelenggaraan BUM Desa diantaranya berupa:
-
a. Penyertaan modal yang berasal dari Desa;
-
b. Penyertaan modal yang bersumber dari Masyarakat Desa; dan
-
c. Bagian yang berasal dari laba usaha yang telah ditetapkan melalui Musyawarah Desa.3
Pemenuhan kebutuhan permodalan dalam penyelenggaraan BUM Desa bisa dilakukan melalui modal yang berdasarkan pada APBD desa maupun partisipasi masyarakat. Pemasukan modal untuk BUM Desa juga haruslah memenuhi berbagai syarat dan ketentuan yang berlaku. Penyertaan modal yang dilakukan hendaknya digolongkan berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan. Hal ini penting untuk diperhatikan agar penyertaan modal yang diakukan memenuhi berbagai ketentuan yang berlaku.
Pembentukan BUM Desa di Provinsi Bali pada prinsipnya tidak dapat sepenuhnya terlepas dari eksistensi Desa Adat. Prinsip-prinsip penyelenggaraan BUM Desa yang dikembangkan di Desa-Desa yang ada di Bali tentunya tetap berpegang pada kearifan lokal dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat setempat. Hal ini membuka peluang bagi penyertaan modal berupa aset-aset masyarakat dalam penyelenggaraan BUM Desa, yang salah satunya adalah Tanah Pelaba Pura. Peluang ini perlu kiranya dimanfaatkan untuk mendorong agar Tanah Pelaba Pura yang kurang produktif pengelolaanya dapat dilakukan secara lebih baiksebagai upaya untuk memberi manfaat bagi kerama yang menyungsung Pura tersebut. Atau setidak-tidaknya dapat mendukung penyelenggaraan upacara yang diselenggarakan pada pura tersebut.
Melalui bergesernya konsep berpikir masyarakat terkait pemanfaatan lahan Pelaba Pura, membuka peluang bagi pemanfaatan tanah Pelaba Pura untuk kegiatan yang bersifat komersial. Pemanfaatan tanah pelaba pura untuk kegiatan ekonomi biasanya dilakuakn secara mandiri oleh prajuru dengan membuat took-toko yang disewakan ataupun dengan melibatkan investor. Seperti halnya tanah pelaba pura pada Desa Adat Panjer saat di bawah 1980-an diberdayakan untuk tanah bertani maupun peruntukan sejenis pada bidang pertanian. Namun saat ini pemanfaatan tanah pelaba pura dikawasan tersebut kini telah dimanfaatkan diantaranya dengan disewakan menjadi toko, ruko, kontrakan, terdapat juga lahan yang disewakan berbentuk distro hingga perumahan. Selain itu tanah pelaba pura diberdayakan untuk fasilitas publik dalam bentuk TK, Sekolah Dasar, Pasar dan sisanya diberdayakan menjadi tempat tinggal pemuka agama.4 Pergeseran konsep berpikir di kalangan masyarakat tentang pemanfaatan tanah Pelaba Pura serta BUM Desa yang kini telah berkedudukan sebagai Badan Hukum, tentunya membuka peluang bagi pemanfaatan tanah Pelaba Pura yang selama ini cenderung tidak produktif melalui penyertaan modal BUM Desa.
Berdasarkan ketentuan pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Badan Usaha Milik Desa (selanjutnya disebut pp 11/2021), penyertaan modal pada BUM Desa dilakukan berdasarkan keputusan musyawarah Desa dan kemudian cukuplah dicatatkan dalam laporan keuangan BUM Desa. Lain halnya dengan Perseroan Terbatas (PT), kepemilikan saham haruslah dicantumkan dalam Anggaran dasar yangdibuat dalam bentuk akta notaris serta disahkan oleh kementerian hukum dan HAM. Sehingga mempunyai kekuatan pembuktian dengan sifat mengikat dan juga sempurna. Maka dari itu dapat membantu mengurangi peluang terjadinya manipulasi pencatatan kepemilikan saham dan/atau sengketa dalam badan hukum tersebut di masa yang akan datang.
Tanah Pelaba Pura, sebagai tanah milik bersama dari pengempon pura yang bersifat turun-temurun, adalah hak atas tanah rawan akan konflik.5 Sering kali, pihak-pihak tertentu diberikan kesempatan untuk mengolah tanah pelaba pura baik sebagai lahan pertanian ataupun untuk peruntukan komersil lainnya. Bahkan saat ini, kehadiran BUM Desa telah membuka peluang untuk melakukan pemanfaatan tanah pelaba pura secara lebih produktif. Namun, tidak adanya silsilah yang jelas mengenai tanah pelaba pura tersebut dapat menjadi pemicu timbulnya sengketa di masa depan. Maka dari itu perlulah dilakukan analisis lebih lanjut mengenai Peran Notaris Dalam Penyertaan Tanah Pelaba Pura Sebagai Modal BUM Desa.
Sebelumnya terdapat bebebrapa artikel ilmiah yang telah membahas mengenai tanah pelaba pura. Seperti artikel ilmiah yang berjudul Pengelolaan Tanah Laba Pura Luhur Pakendungan Untuk Pembangunan Akomodasi Di Bidang Kepariwisataan Di Kabupaten Tabanan oleh I Gusti Bagus Agung Kusuma Atmaja berfokus untuk membahas tentang pengelolaan tanah pelaba pura yang secara khusus dimanfaatkan untuk membangun akomodiasi pariwisata yang dilakukan oleh investor. Penelitian ini
menunjukkan bahwa, selama ini tanah pelaba pura cenderung dilepas ke investor untuk dikelola. Pengelolaan yang dilakukan cenderung profit oriented yang menekankan pada eksistensi Perusahaan. Sehingga manfaat ekonomi tidak dapat dirasakan secara maksial oleh masyarakat.6 Larangan Menjual Hak Atas Tanah Laba Pura Studi Kasus Pada Masyarakat Hukum Adat Bali hasil kolaborasi dari Cokorda Gede Ramaputra, I Made Suwitra dan Luh Putu Sudini berfokus untuk mengkasi latar belakang dan akibat dari penjualan tanah pelaba pura yang ada di Bali, sehingga diperoleh bahwa penting kiranya agar penjualan tanah pelaba pura hendaknya dilarang.7 Penjualan tanah pelaba pura hakikatnya hanya meberi keuntungan sesaat, namun generasi berikutnya tidak lagi memliki sanan untuk menyungsung pura tersebut. Kajian Hukum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Milik Pura Kahyangan Badung (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar) (No.565/PDT.G/2018/PN.DPS) yang dibuat oleh Ni Kadek Lila Arsa Sari Asih dan I Wayan Eka Artajaya membahas tentang persoalan gugat-menggugat antara salah seorang penggarap tanah pelaba pura dengan pengempon pura akibat penggarap ingin mengajukan penerbitan sertipikat hak milik terhadap tanah pelaba pura yang digarapnya.8 Penerbitan sertipikat atas nama penggarap tanah pelaba pura ini merupakan akibat terjadinya distorsi informasi yang diturunkan kepada generasi berikutnya. Sehingga penggarap yang awalnya memperoleh hak untuk mengelola tanah pelaba pura, keturunannya bisa saja menganggap tanah itu sebagai miliknya karena merasa telah mengelolanya secara turun temurun. Sedangkan artikel ilmiah ini lebih menekankan pentingnya Peran Notaris dalam Penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai Modal BUM Desa agar dapat menekan peluang terjadinya perselisihan di masa depan.
Artikel ilmiah ini memiliki fokus kajian yang berbeda dari penelitan-penelitian terdahulu dengan membahas rumusan masalah diantaranya:
-
1. Apa Tanah Pelaba Pura dapat menjadi Objek Penyertaan Modal BUM Desa?
-
2. Bagaimanakah Peran Notaris dalam Penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai Modal
BUM Desa?
-
2. Metode Penelitian
Riset ini dilakukan berdasarkan metode penelitian normative. Sistem ini didasari atas peraturan perundang-undangan yang ada, kaidah-kaidah, doktrin, putusan hakim hingga asas-asas yang ada.9 Pendekatan yang dipakai penelitian ini diantaranya menggunakan Statue Approach dan Conceptual Approach. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Badan Usaha Milik Desa (Selanjutnya disebut PP 11/2021). Bahan
hukum sekunder didapat melalui berbagai literatur berhubungan dengan persoalan hukum terkait. Bahan hukum yang diperoleh pada artikel ini kemudian dianalisis dengan metode preskriptif analitis, yakni dengan melakukan analisis data dalam ruang lingkup permasalahan yang berpijak pada teori hukum yang masih bersifat umum untuk diterapkan dalam upaya mengelaborasi tentang seperangkat data untuk menunjukkan komparasi bahan yang berhubungan dengan sekumpulan data lainnya.
Desa Adat adalah satu dari sekian hal yang unik serta merupakan ciri khas dari Pulau Bali. Desa adat bahkan memiliki struktur kepengurusan tersendiri yang dikepalai oleh seorang Bendesa Adat yang tugas utamanya berkaitan dengan pengorganisasian kegiatan-kegiatan adat yang diselenggarakan oleh Masyarakat adat setempat. Eksistensi dari Desa adat di Bali, bisa ditakar melalui masih adanya tanah yang disebut sebagai Tanah Druwe yang penguasaannya terletak di bawah desa adat. Tanah adat yang ada di Bali bisa dikelompokan sesuai dengan status serta fungsinya menjadi:
-
1. Tanah pekarangan desa (PKD), penguasaan tanahnya berada pada kuasa warga setempat dengan peruntukan sebagai tempat tinggal.
-
2. Tanah ayahan desa, pemberdayaannya diselenggarakan pihak desa dan biasanya berbentuk lahan untuk bertani serta bisa memberikan hasil yang dieroleh dari lahan tersebut untuk dibagikan pada masyarakat setempat.
-
3. Tanah laba pura, ialah tanah yang memiliki ikatan dengan satu ataupun beberapa pura dan memiliki nilai hasil berupa tanah perkebunan maupun pertanian yang bisa digunakan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat
-
4. Tanah druwe desa, merupakan tanah kepunyaan desa dan pemberdayaannya diperuntukan guna menyelenggarakan kegiatan yang berhubungan dengan desa. Contohnya digunakan sebagai kuburan, lapangan desa maupun pasar desa dan lain-lain.10
Pura merupakan satu dari beberapa badan keagamaan yang bisa mempunyai hak milik atas tanah. Seperti ditetpkan pada Pasal 21 ayat 2 UUPA hanya badan hukum tertentu saja yang bisa menjadi subjek pemegang Hak Milik. Jenis badan hukum yang bisa , mendapat Hak Milik atas tanah hanyalah badan hukum ditetapkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (Selanjutnya disebut PP 38/1963). Suatu entitas hanya bisa mendapatkan suatu hak milik atas tanah jika berstatus badan hukum. Pura sebagai entitas yang pada realitasnya merupakan entitas keagamaan dalam bentuk tempat ibadah, tentulah berdiri di atas sebidang tanah. Selain itu, Pura juga memiliki tanah sebagai pelaba pura yang menunjang penyelenggaraan kegiatan upacara agama.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Kementerian Dalam Negeri melalui SK Mendagri No. SK/556/DJA/86 tertanggal 24 September 1986 menetapkan Pura menjadi badan
keagamaan yang secara sah bisa memperoleh status subjek bagi hak milik atas tanah. Kedudukan pura selaku subjek hak milik kemudian diperkuat dengan SK Mendagri/KBPN No. SK.520.1/2252 tentang Penunjukan Pura sebagai Badan hukum Keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di seluruh Indonesia. Maka dari itu, Pura sudahlah sah untuk menjadi subjek pemegang sertipikat hak milik. Keberadaan sertipikat hak milik yang dipegang oleh Pura, akan memberikan legitimasi hukum bagi pengempon pura tersebut untuk melakukan perbuatan hukum terhadap tanah pelaba pura yang ada. Keberadaan sertipikat hak milik atas nama pura juga akan mengurangi potensi konflik yang bisa terjadi akibat distorsi informasi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Mengingat Pura merupakan entitas keagamaan yang cenderung masih bersifat tradisional, banyak kesepakatan yang hanya dilakukan secara lisan pada forum-forum musyawarah. Sehingga kepastian hanya diperoleh melalui adanya saksi.
Ditetapkannya Pura menjadi Badan Hukum Keagamaan sehingga bisa memperoleh hak milik atas tanah, merupakan wujud perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap eksistensi tanah pelaba pura. Pada prinsipnya tanah pelaba pura adalah bagian dari lahan milik desa dan diberdayakan guna mendukung penyelenggaraan upacara agama yang berlangsung di pura tersebut. Tanah pelaba pura diberdayakan untuk memperoleh pendapatan dalam upaya memenuhi kebutuhan pura ketiak dilakukannya upacara pada pura yang memiliki tanah tersebut. Dulunya tanah pelaba pura diberdayakan untuk lahan perkebunan dan pertanian yang hasilnya digunakan untuk membantu biaya operasional pura.11 Sejalan dengan waktu, pemanfaatan tanah pelaba pura saat ini tidak lagi hanya terbatas untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Namun telah bergeser ke arah yang disebut dengan komodifikasi, meskipun hasilnya tetap dimanfaatkan untuk kegiatan pura tersebut. Tanah pelaba pura saat ini digunakan sebagai sebuah komdoditas guna meraih pendapatan ekonomi, diantaranya diberdayakan sebagai pasar maupun toko bahkan kegiatan parwisata. Contohnya terdapat pada tanah pelaba pura milik Pura Dalem yang berada di Desa Pakraman Denpasar. Lahan tersebut diberdayakan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan perekonomian, bahkan tanah Pelaba Pura Puseh dan Desa yang terdapat disekitar daerah Gelogor Carik Denpasar yang dikontrakan sebagai pertokoan.12
Upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi desa dengan menghadirkan BUM Desa sebagai badan hukum, membuka kesempatan bagi pihak desa adat untuk melakukan pemanfaatan terhadap tanah pelaba pura agar lebih produktif melalui pengembangan BUM Desa. Ketentuan pasal 41 ayat 2 PP 11/2021 membatasi penyertaan modal desa hanya dapat dilakukan dalam bentuk uang maupun barang selain berupa tanah ataupun bangunan. Dengan demikian penyertaan tanah Pelaba Pura sebagai modal BUM Desa tidaklah dapat dilakukan melalui penyertaan modal desa. Kendati demikian, tanah pelaba pura sebagai aset pura masih memiliki peluang untuk dikembagkan melalui BUM Desa. Skema yang tersedia adalah pemasukan tanah pelaba pura sebagai modal BUM Des melalui kelompok masyarakat. Bentuk ini dapat merujuk pada pengempon pura selaku kelompok masyarakat.
Pemasukan modal dalam bentuk barang berupa tanah berikut bangunannya hanya bisa dilakukan dengan pemasukan modal masyarakat Desa. Menurut Pasal 40 ayat 4 PP 11/2021 Pemasukan modal oleh masyarakat Desa bisa bersumber dari lembaga baik yang telah berbadan hukum maupun tidak, perseorangan, kelompok orang dari desa maupun beberapa desa. Dengan demikian, Tanah Pelaba Pura sebagai tanah milik Pura, yang memperoleh pengakuan selaku Badan Hukum Keagamaan sehingga bisa menjadi subjek Hak Milik Atas Tanah melalui SK Mendagri/KBPN No. SK.520.1/2252 dapat disertakan menjadi modal BUM Desa melalui skema penyertaan modal masyarakat Desa.
Peluang penempatan tanah pelaba pura sebagai modal penyelenggaraan BUM Desa dapat mendorong masyarakat desa untuk lebih kreatif dalam mengelola asetnya daripada hanya menyerahkannya kepada investor luar untuk mengelolanya. Pengelolaan aset desa melalui BUM Desa tentunya akan lebih memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal. Disisi lain, hasil yang diperoleh juga dapat dirasakan oleh masyarakat secara lebih merata sebagaimana semangat pembentukan BUM Desa yang diamanatkan oleh UU Cipta kerja dan peratruan turunannya.
-
3.2 Peran Notaris dalam Penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai Modal BUMDesa
Hadirnya BUM Desa sebagai badan hukum yang bertujuan untuk meningkatan pertumbuhan ekonomi di tingkat Desa, satu sisi dapat dilihat sebagai peluang bagi pemanfaatan Tanah Pelaba Pura agar lebih produktif. Penyertaan Tanah Pelaba Pura untuk dikelola oleh BUM Desa dapat menjadi alternatif yang lebih tepat, daripada melepas pengelolaannya kepada Investor yang berasal dari luar desa adat. Pemanfaatan tanah yang dilakukan oleh investor yang berasal dari luar desa umumnya dilakukan dengan skema kontrak dan cenderung bersifat komersial semata. Tidak jarang, nilai-nilai kearifan lokal pun cenderung dikesampingkan. Pengelolaan tanah Pelaba Pura yang dilakukan oleh masyarakat setempat melalui BUM Desa tentulah lebih mengedepankan semangat kekeluargaan yang berpegang pada prinsip-prinsip kearifan lokal. Dengan demikian, hasil dari pengusahaan tanah Pelaba Pura melalui BUM Desa dapat menjadi sumber dana untuk membiayai kegiatan kegamaan yang berlangsung di pura tersebut. Hal ini akan meringankan para pengempon pura dan kerama maksan, karena tidak akan lagi dibebani untuk membayar iuran (peturunan) untuk penyelenggaraan upacara agama di pura tersebut.
Tanah Pelaba Pura sebagai milik bersama yang dikuasai secara turun temurun, merupakan hak atas tanah yang rentan menimbulkan konflik di tengah masyarakat.13 Pemicu terjadinya konflik terkait tanah Pelaba Pura diantaranya adalah tidakadanya legalitas dan pencatatan yang jelas terkait penguasaan dan pemanfaatan tanah tersebut. Pergantian kepengurusan (prajuru) yang tidak disertai dengan serah terima yang tertib administrasi mendorong lahirnya distorsi informasi yang dapat memicu konlik akan penguasaan dan pemanfaatan tanah Pelaba Pura tersebut. Masyarakat pengempon pura cenderung melakukan pengelolaan aset-aset pura termasuk tanah pelaba pura dengan prinsip-prinsip tradisonal yang hanya bergantung pada kesepakatan atau pararem yang tidak tertulis. Pemanfaatan tanah Pelaba Pura yang diberikan pada kalangan masyarakat
tertentu yang hanya didasari oleh kesepakatan pengempon pura (kerama desa) yang telah berlangsung dalam jangka waktu lama, terlebih lagi sampai turun temurun rentan diakui sebagai milik pribadi. Sebagaimana kasus yang terjadi di Pura Kahyangan Badung yang hendak diajukan penerbitan sertipikat hak miliknya oleh perorangan yang selama ini diberikan kewenangan untuk menggarap lahan pelaba pura tersebut. Kesepakatan yang dilakukan secara lisan pada musyawarah (sangkep), pada jangka panjang akan mengalami kesulitan pada proses pembuktiannya. Mengingat tidak adanya bukti autentik yang bersifat tertulis, menyebabkan pembuktian bergantung pada keterangan saksi-saksi yang ada. Hal ini akan menjadi persoalan tersendiri, proses pembuktian kemudian akan menjadi sulit ketika prajuru atau saksi-saksi yang ada pada saat pengambilan keputusan itu sudah meninggal saat terjadinya sengketa.
Prinsip-prinsip tradisional tersebut hingga saat ini masih dipertahankan dalam Upaya penyertaan modal BUM Desa, termasuk Penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai modal BUM Desa. Pasal 41 ayat 4 PP 11/2021 Pemasukan modal oleh Desa dan pemasukan modal masyarakat Desa didiskusikan serta ditetapkan melalui Musyawarah Desa. Upaya penyaluran secara langsung terkait pemasukan modal pada BUM Desa berupa barang setelah disepakati pada musyawarah desa, kemudian dicatat dalam laporan keuangan BUM Desa. Tidak disebutkan secara lebih terperinci mengani adanya suatu dokumen autentik yang dapat menjadi rujukan bagi pihak yang menyertakan modal dalam bentuk tanah maupun bangunan (termasuk pengempon pura) sebagai modal BUM Desa.
Penyertaan modal berupa benda yang tidak bergerak dalam bentuk tanah maupun bangunan, terlebih lagi yang merupakan milik komunal seperti tanah pelaba pura yang dilakukan melalui mekanisme sederhana sebagaimana diatur pada PP 11/2021, di satu sisi memang memudahkan proses penyertaan modal BUM Desa. Namun disisi lain hal ini berpotensi menimbulkan konflik atau sengketa di masa depan. Kepenguruan Pura yang terus berganti dalam periode tertentu, dan prosedur serah terima yang masih sederhana. Sering kali menyebabkan terjadinya distorsi informasi tentang pengelolaan aset desa yang diterima oleh generasi berikutnya. Dalam rangka untuk menghadirkan kepastian serta perlindungan hukum bagi tanah Pelaba Pura, hendaknya hasil perarem atau musyawarah tentang penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai modal BUM Desa tidak hanya disepakati secara lisan pada forum tersebut. Tetapi perlu dibuat dalam bentuk akta notaris yang bersifat autentik. Hadirnya akta notaris ini bisa dibuat dalam bentuk berita acara rapat (musyawarah desa) yang berkepastian hukum ataupun perjanjian penyertaan tanah pelaba pura menjadi modal BUM Desa. Keberadan dokumen berupa akta notaris yang bersifat autentik akan memudahkan keutuhan keberlanjutan informasi pada pengurus pura yang berikutnya. Selain itu keberadaan akta autentik ini juga akan mempermudah penyelesaian sengkta, karena dengan adanya akta autentik ini proses pembuktian akan menjadi lebih mudah.
Notaris yang juga dikenal dengan pejabat umum, memiliki wewenang secara khusus untuk merumuskan dan menerbitkan sebuah akta yang bersifat autentik. Notaris diangkat secara langsung oleh negara guna melakukan sebagian kewenangan dari suatu kekuasaan negara. Kewenangan ini khusus guna menerbitkan sebuah alat bukti berbentuk tertulis dengan sifatnya yang autentik didalam lingkup hukum keperdataan. Kewenangan ini merupakan wewenang atribusi yang didelegasikan oleh negara melalui
Undang-undang Jabatan Notaris.14 Soegono Notodisoerjo, memberikan pemahaman bahwa sebagai pejabat umum, notaris ialah orang yang dilantik (diangkat) serta hanya pemerintahlah yang berwenang untuk memberhentikannya. Notaris diberi kewajiban serta kewenangan sehingga notaris bertugas melayani masyarakat (publik) terkait hal-hal tertentu karena turut serta menjalankan kekuasaan yang bersumber dari kewibawaan pemerintah. Hal ini menyebabkan dalam jabatan notaris tersimpul suatu ciri dan sifat yang khas yang membuatnya berbeda dari jabatan-jabatan lain yang ada di masyarakat.15
Akta notaris (autentik) yang merupakan mempunyai kekuatan pembuktian dengan sifat sempurna mengenai segala susuatu yang tertuang pada akta tersbut bagi para pihaknya.16 Sehingga jika terjadi perselisihan atau sengketa terkait pemanfaatan tanah pelaba pura yang dikelola oleh BUM Desa, maka untuk memperoleh solusinya dapatlah merujuk kembali kepada kesepakatan yang dimuat oleh perjanjian dalam bentuk akta autentik yang telah dibuat. Dengan adanya akta autentik pula, hakim tidak lagi perlu menguji kebenarannya karena akta yang bersifat autentik mempunyai kekuatan pembuktian dengan sifat sempurna dalam cara lahiriah pada aspek formil maupun materiil.17 Akta ini dapat menjadi pegangan bagi pengempon pura (kerama desa) terkait eksistensi tanah pelaba pura serta hak untuk memperoleh bagi hasil dari pengelolaan tanah tersebut. Selain itu, tanah pelaba pura sebagai kawasan suci tentunya memiliki ketentuan atau batasan-batassan tentang apa yang boleh dan tidak boleh diusahakan di kawasan tersebut. Ketentuan ini dapat pula dicantumkan dalam akta, sehingga jelaslah dasar dan peruntukan pemanfaatan tanah pelaba pura tersebut oleh BUM Desa. Hadirnya kepastian dan perlindungan hukum melalui akta notaris ini diharapkan dapat menekan potensi sengketa atau konflik terkait pemanfaatan tanah pelaaba pura di masa yang akan datang.
-
4. Kesimpulan
Penyertaan modal dalam bentuk barang berupa tanah maupun bangunan hanya bisa dilakukan dengan pemasukan modal masyarakat Desa. Menurut Pasal 40 ayat 4 PP 11/2021 Pemasukan modal oleh masyarakat Desa bisa bersumber dari lembaga yang telah berbadan hukum ataupun tidak, perseorangan, kelompok orang dari desa maupun beberapa desa. Dengan demikian, Tanah Pelaba Pura sebagai tanah milik Pura, yang memperoleh pengakuan selaku Badan Hukum Keagamaan sehingga bisa menjadi subjek Hak Milik Atas Tanah melalui SK Mendagri/KBPN No. SK.520.1/2252 dapat disertakan menjadi modal BUM Desa melalui skema penyertaan modal masyarakat Desa. Sebagai Upaya untuk menghadirkan kepastian dan perlindungan hukum bagi tanah Pelaba Pura, hendaknya hasil perarem atau musyawarah tentang penyertaan Tanah Pelaba Pura sebagai modal BUM Desa dibuat dalam bentuk akta notaris yang bersifat
autentik. Melui akta ini diharap dapat memperjelas dasar pemanfaatan tanah pelaba pura tersebut oleh BUM Desa. Dengan adanya dokumen berupa akta autentik, maka distorsi informasi saat serah terima administrasi antara pengempon pura yang lama dan pengempon pura yang baru dapat dihindari. Kepastian hukum yang dihadirkan melalui akta autentik ini juga dapat menekan potensi sengketa atau konflik terkait pemanfaatan tanah pelaba pura di masa depan.
Daftar Pustaka
Buku
Asshiddiqie, Jimly., (2006), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI
Muhaimin, (2020), Metode Penelitian Hukum, Mataram: Mataram University Press
Notodisoerjo, R. Soegondo., (2000), “Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan”, Jakarta: Raja Grafindo
Jurnal
Andika, I. B. N. T., Astara, I. W. W., & Seputra, I. P. G. (2021). Kedudukan Hukum Tanah Adat Pelaba Pura sebagai Tanah Ulayat di Desa Tampaksiring Kabupaten Gianyar. Jurnal Konstruksi Hukum, 2(1), 133-137.
Asih, N. K. L. A. S., & Artajaya, I. W. E. (2021). Kajian Hukum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Milik Pura Kahyangan Badung (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar) (No. 565/PDT. G/2018/PN. DPS). Jurnal Hukum Mahasiswa, 1(1), 226-240, DOI:
https://doi.org/10.36733/jhm.v1i1.2589
Atmaja, I. G. B. A. K. (2019). Pengelolaan Tanah Laba Pura Luhur Pakendungan Untuk Pembangunan Akomodasi Di Bidang Kepariwisataan Di Kabupaten Tabanan. Jurnal AKSES, 11(1), 84-99.
Dana, P. D. S., Sudiatmaka, K., & Dantes, K. F. (2021). Kepastian Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah Pelaba Pura Di Bali (Inkonsistensi Norma Dalam Pasal 3 UUPA Dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963).
Jurnal Komunitas Yustisia, 4(2), 427-437. DOI:
https://doi.org/10.23887/jatayu.v4i2.38105
Maheswara, I. B. Y., & Artawan, I. N. (2021). Model Pluralisme Hukum dalam Pemanfaatan Tanah Pelaba Pura di Kota Denpasar. Vidya Wertta: Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia, 4(2), 36-48.
Marwa, M. H. M. (2020). Analisis Status Badan Hukum Dana Pensiun. Jurnal Yustika: Media Hukum Dan Keadilan, 23(01), 1-12. DOI:
https://doi.org/10.24123/yustika.v23i01.2403
Pramono, D. (2015). Kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh notaris selaku pejabat umum menurut hukum acara perdata di Indonesia. Lex Jurnalica, 12(3), 248-258.
Ramaputra, C. G., Suwitra, I. M., & Sudini, L. P. (2019). Larangan Menjual Hak Atas Tanah Laba Pura Studi Kasus Pada Masyarakat Hukum Adat Bali. Wicaksana: Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 3(1), 16-24.
Wisnawa, K. (2015). Perubahan Pemanfaatan Lahan Pelaba Pura Di Desa Pekraman Panjer, Kota Denpasar. Space, 2(1), 103-120 DOI:
https://doi.org/10.24843/JRS.2015.v02.i01.p07
Yoga, I. G. K. P. M., Kusumadara, A., & Kawuryan, E. S. (2018). Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris Untuk Warga Negara Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 3(2), 132-143. DOI: http://dx.doi.org/10.17977/um019v3i2p132-143
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad Nomor 23 Tahun 184
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara 2043
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Lembaran Negara Nomor 41 Tahun 2023, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6856
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, Lembaran Negara Nomor 61 Tahun 1963, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2555
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Badan Usaha Milik Desa Lembaran Negara Nomor 21 Tahun 2021, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6623
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Badan Usaha Milik Desa Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan dan Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama, Berita Negara Nomor 252 Tahun 2021
499
Discussion and feedback