Vol. 8 No. 03 Desember 2023

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Kawin Yang Dibuat Saat Perkawinan Terhadap Harta Perkawinan Yang

Diperoleh Sebelumnya

Ida Ayu Dyah Permata Dewi1, Anak Agung Istri Atu Dewi2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: permatagekdyah@gmail.com

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: ari_atudewi@unud.ac.id

Info Artikel

Masuk : 28 Agustus 2023 Diterima : 8 Desember 2023

Terbit : 8 Desember 2023

Keywords :

Marriage; Marriage Agreement; Marital Property.


Kata kunci:

Perkawinan; Perjanjian Kawin;

Harta Perkawinan

Corresponding Author:

Ida Ayu Dyah Permata Dewi, E-mail:

permatagekdyah@gmail.com

DOI :

10.24843/

AC.2023.v08.i03.p10


Abstract

The purpose of this writing is to understand the validity of a deed, particularly in relation to a marriage agreement made by a Notary regarding assets acquired before. In this context, it concerns the separation of assets as stipulated in Article 29 paragraph (1) of the Marriage Law. Normative research is utilized as the analysis method in this study, involving the interpretation and assessment of positive legal norms. The results of the writing lead to the conclusion that the legal force of the marriage agreement deed made by the Notary during the marriage has a fixed legal certainty that must be implemented as stipulated in Article 29 paragraph (1) of the Marriage Law, further reinforced by the Constitutional Court Decision 699/PUU-XIII/2015. Regarding the applicability of the marriage agreement deed to previously acquired assets, determining whether it has retroactive effect or not can be discerned from the content of the marriage agreement made by the Notary, as regulated in Article 29 paragraph (3) of the Marriage Law, and further supported by the Constitutional Court Decision 699/PUU-XIII/2015, which specifies that it shall not be construed as "The agreement takes effect from the time of the marriage, unless otherwise specified in the Marriage Agreement."

Abstrak

Tujuan penulisan adalah memahami bagaiamana kebasahan dari akta yakni berkaitan dengan suatu perjanjian kawin yang dalam hal ini dibuat Notaris terhadap harta yang diperoleh sebelumnya. Dalam hal ini untuk pemisahan harta sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Penelitian normatif digunakan sebagai analaisis dari penelitian ini dengan , menginterpretasi, dan menilai norma hukum positif. Hasil dari penulisan dapat disimpulakan kekuatan hukum akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris pada saat perkawinan berlangsung memiliki kekuatan kepastian hukum yang tetap yang wajib untuk dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan serta diperkuat adanya Putusan MK 699/PUU-XIII/2015. Terkait keberlakuan akta perjanjian kawin terhadap harta yang diperoleh sebelumnya yang menentukan berlaku surut atau tidaknya dapat diliat dari

isi dari perjanjian kawin yang dibuat oleh Notaris, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (3) UU Perkawinan serta diperkuat adanya Putusan MK 699/PUU-XIII/2015 mengatur tentang sepanjang tidak dimaknai sebagai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”.

  • I.    Pendahuluan

Harta yang dimiliki secara bersama-sama atau pencampuran sering disebut dengan kata lain ialah Harta Gono Gini.1 Pencampuran harta tersebut dapat dilakukan pemisahan harta dengan adanya Akta Perjanjian Kawin, dimana akta ini dubuat oleh seorang pejabat umum dalam hal ini merupakan seorang Notaris yang dimana aturannya dimuat pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap Pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut” pihak ketiga dalam hal ini biasanya kreditur tempat pasangan suami istri tersebut memiliki suatu hutang pada kreditur tersebut2 dan/atau pihak ketiga merupakan pihak diluar pasangan suami atau istri.3 Akta Perjanjian Kawin masih amat sangat tabu dalam masyarakat, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bagaimana sistem perjanjian kawin, apa yang menjadi dampak apabila Perjanjian Kawin dibuat dan tidak dibuat pada saat akan melangsungkan perkawinan. Istilah “gono-gini” yaitu suatu sebutan dalam istilah hukum memiliki makna “harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri”. Harta “gono-gini” memiliki kesesuaian dengan pengertian secara baku pada KBBI yaitu “Harga perolehan bersama selama bersuammi istri.” Adapun yang menjadi dasar hukum terhadap penjabaran harta “gono-gini” bisa ditelusuri mengacu pada UU dan peraturan seperti berikut:

  • a.    UU Perkawinan “Harta Benda yang diperoleh selama masa perkawinan” sebagaimana ternyata dalam pasal 35 ayat 1. Bermakna bahwa “harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, jika diperoleh sebelum perkawinan maka dapat disebut dengan harta bawaan yang tidak memerlukan persetujuan dari pasangan kawinnya.”

  • b.    KUHPerdata disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam

perjanjian perkawinan, sebagaimana ternyata dalam Pasal 119. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”.

  • c.    Kompilasi Hukum Islam Pasal 85, “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. Pasal tersebut telah menyatakan jika keberadaan harta gono gini sudah ada ketika perkawinan. Harta gono gini melingkupi berbagai macam jenis activa dan passiva dalam berumah tangga.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana dalam ikatan tali perkawinan, tiap orang secara bebas untuk menentukan dan melakukan pemilihan pada pasangan hidup untuk bisa dijadikan pasangan suami dan istri guna menata sebuah relasi keluarga, baik itu hubungan kawin yang terjadi antara kelompok, suku, dan juga golongan, termasuk antar wilayah. Ditambah juga perkawinan yang terjadi berbeda kewarganegaraan atau bisa diistilahkan dengan perkawinan campuran.4 Sebagaimana yang menjadi definisi Perkawinan Campuran dalam Pasal 57 UU Perkawinan mengatur tentang “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”, dengan demikian dapat dikatakan sebagai pasangan suami istri yang hidup bersama akan tetapi mempunyai kewarganegaraan yang berbeda, ditambah taat pada hukum yang juga berbeda.5 Adapun yang sering terjadi adanya perkawinan campuran antara seorang yang berasal dari Warga Negara Indonesia dan lawan kawinnya berasal dari Warga Negara Asing, selama perkawinan berlangsung tidak mempunyai Perjanjian Kawin. Padahal jika terjadi perkawinan campuran sangat diperlukan dibuatnya suatu akta perjanjian kawin untuk pemisahan harta dalam perkawinan campuran sebelum membeli suatu asset tanah di Indonesia. Mengapa demikian, telah kita ketahui dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA. Jadi dalam perkawinan campuran seharusnya Warga Negara Asing tersebut tidak punya hubungan sepenuhnya dengan tanah yang di miliki oleh pasangan yang berstatus Warga Negara Indonesia, oleh karenanya pada situasi seperti ini dibuatkan Perjanjian Kawin untuk memisahkan harta antara suami dan istrinya sehingga harta tersebut menjadi tanggung jawab pihaknya masing masing. Sering kali yang terjadi pada saat akan melakukan penjualan sebidang tanah menjadi terhambat dikarenakan tidak adanya pemisahan harta, sehingga baru dibuatkannya Perjanjian Kawin agar harta pasangan suami istri tersebut terjadi pemisahan harta.

Maka dari itu penulisan yang akan dilaksanakan ini begitu penting guna melakukan kajian secara lebih mendalam pembuatan perjanjian kawin yang dibuat saat

perkawinan sedang berlangsung terhadap harta perkawinan yang telah diperoleh sebelum perjanjian kawin, sehingga terdapat dua permasalah yang akan dikaji didalam tulisan ini yaitu : 1. Bagaimana Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Kawin Yang Dibuat Oleh Notaris Saat Berlangsungnya Perkawinan? 2. Bagaimana Keberlakuan Akta Perjanjian Kawin Yang Dibuat Oleh Notaris Saat Berlangsungnya Perkawinan Terhadap Harta Yang Diperoleh Sebelum Perjanjian Tersebut Dibuat?

Penulisan ini dikaji dengan tujuan untuk menuangkan pemikiran-pemikiran untuk memajukan dunia Pendidikan khususnya dalam dunia kenotariatan dalam hal mengkaji kekuatan hukum serta keberlakuan Akta Perjanjian Kawin yang dibuat oleh Notaris saat perkawinan berlangsung terhadap harta perkawinan yang telah diperoleh sebelumnya, jikalau ditemukan tulisan yang memiliki kemiripan yang serupa dengan tulisan artikel lainnya, akan tetapi tulisan ini memiliki unsur-unsur pembaharuan yang belum pernah dibahas lebih lanjut dalam artikel sebelumnya. Tulisan ini memakai 2 (dua) tulisan yang menjadi perbandingan dari tulisan sebelumnya, yaitu:

  • 1)    Jurnal yang ditulis oleh Mohammad Zamroni, Andika Persada Putra diterbitkan oleh Program Studi Megister Hukum Fakultas Hukum, Universitas Hang Tuah. Judul “Kedudukan Hukum Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dilangsungkan”. Permasalahan yang diangkat yaitu “kedudukan hukum perjanjian kawin yang dibuat oleh pasangan suami istri setelah perkawinan dilangsungkan”.6

  • 2)    Jurnal yang ditulis oleh Sonny Dewi Judiasih, Deviana Yuanitasari, Revi Inayatillah, diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Judul “Model Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung Pasca Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”.

Permasalahan yang diangkat yaitu : “Pengaturan mengenai perjanjian kawin setelah berlakunya putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015” dan “Model perjanjian kawin yang dibuat setelah berlakunya putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015”.7

Berdasarkan perbandingan diatas, tulisan ini tidak terdapat upaya untuk mengikuti tulisan terdahulu yang sudah pernah dikaji, akan tetapi tulisan ini tetap memiliki unsur-unsur kerbaruan tersendiri. Sehingga tulisan ini memiliki judul “Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Kawin Yang Dibuat Saat Perkawinan Terhadap Harta Perkawinan Yang Diperoleh Sebelumnya”. Permasalahan yang diangkat didalamnya yaitu mengenai kekuatan hukum akta perjanjian kawin saat berlangsungnya perkawinan dan keberlakuan perjanjian kawin yang dibuat oleh notaris setelah berlangsung perkawinan terhadap harta yang diperoleh sebelum perjanjian tersebut dibuat .

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif dipakai dalam penulisan ini untuk memaparkan, melakukan analisis secara sistematis, interpretasikan data, dan melakukan penilaian norma hukum secara positif.8 Penggunaan metode penelitian hukum normatif secara spesifik digunakan dalam hal norma yang mengalami permasalahan seperti ketiadaan norma atau dapat disebut juga sebagai norma kosong, pertentangan norma satu sama lainnya yang dapat disebut juga sebagai norma konflik, dan norma yang rumusannya tidak jelas sehingga menimbulkan multitafsir sebagai norma kabur. 9 Bahan hukum primer yang dipakai untuk penulisan ini berupa peraturan hukum terkait, Putusan-putusan Pengadilan, dan Peraturan eksekutif/ administratif.10 Selain itu juga menggunakan bahan hukum sekunder yaitu menggunakan buku-buku hukum dengan muatan dan doktrin serta artikel-artikel tentang pembahasan hukum terkait.11 Jenis pendekatan yang diambil untuk penulisan ini diantaranya pendekatan Perundang-undangan, Konseptual dan Fakta.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1 . Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Kawin Yang Dibuat Oleh Notaris Saat Berlangsungnya Perkawinan

Perjanjian kawin adalah pemisahan harta dalam perkawinan yang dibuat dalam sebuah perjanjian akta autentik dihadapan notaris yang telah disahkan oleh pihak yang terlibat yaitu pasangan pengantin suami dan istri yang telah saling mufakat dan setuju untuk memisahkan harta benda kekayaan yang mereka miliki dengan perjanjian pra nikah.12 Salah satu faktor terpenting pada suatu jalinan perkawinan yang bisa memicu sebuah kehidupan pada perkawinan yaitu Harta Kekayaan.13 Sebuah perkawinan tidak akan bisa lepas dari harta kekayaan yang mana itu didapat dari buah kerja yang dihasilkan baik itu dari suami dan istri serta bisa dikatakan menjadi harta bersama.14 Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 mengatur mengenai “Perjanjian Kawin dapat dibuat sebelum perkawinan, saat dilangsungkan perkawinan dan dapat dibuat sepanjang dalam perkawinan”.15

Unsur yang wajib diberi perhatian dalam merancang perjanjian perkawinan yang dilaksanakan sesudah terjadinya perkawinan adalah perjanjian perkawinan yang

disusun saat dilaksanakannya perkawinan, 16 oleh karenanya perjanjian kawin wajib disahkan di depan notaris serta disahkan berdasarkan ketetapan pengadilan dan tercatat sebagai catatan pinggir dalam akta perkawinan oleh Kepala Dinas Catatan Sipil.17 Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan “Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan” pada aspek ini ditegaskan terkait waktu diberlakukannya perjanjian perkawinan yang mana semenjak perkawinan secara resmi berlangsung.18

Terdapat perbedaan antara KUH Perdata (BW) dengan UU Perkawinan terkait waktu pembuatan. KUH Perdata (BW) sebatas memberi waktu sebelum dilangsungkannya perkawinan, sementara pada UU Perkawinan mengatur mengenai “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belas pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian kawin” sebagaimana sesuai dengan bunyi Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan.19

Perjanjian kawin yang dibuat saat perkawinan berlangsung akan menyebabkan adanya hubungan sebab akibat terhadap harta perkawinan yang telah diperoleh sebelumnya. Dalam hal ini menjadikan dasar perjanjian kawin yang dirancang memiliki fungsi lain yaitu guna menjadi pemisah dari harta kekayaan yang dimiliki oleh pasangan suami istri agar harta kekayaan itu tidak menjadi harta yang dimiliki bersama, sehingga memiliki pertanggungjawaban masing-masing pihak. Seperti misalnya dari segi pengalihan hak atas tanah terhadap harta kekayaan tidak memerlukan persetujuan dari kawan kawinnya, begitu juga ketika pengajuan fasilitas kredit tidak memerlukan persetujuan dari pasangan kawinnya ketika ingin menjadikan harta kekayaan menjadi jaminan.20

Pasal 147 KUH Perdata (BW) mengatur tentang “Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian, Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat perkawinan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu”. Dapat dilihat jika perjanjian kawin itu disahkan semenjak perkawianan dilaksanakan jika perjanjian kawin itu dirancang sebelumnya atau ketika waktu perkawinan atau perjanjian yang diputuskan jika dibuatnya saat dalam ikatan perkawinan. Keberadaan Putusan MK Nomor 69 Tahun 2015 memberi efek positif unutuk para pihak yang telah memiliki ikatan perkawinan, tapi ketika perkawinan dilangsungkan tidak membuat janji kawin serta selanjutnya baru sadar akan pentingnya membuat perjanjian kawin ketika perkawinan dilaksanakan.

Kekuatan hukum dari ikatan perkawinan yang sah dirancang ketika dilangsungkannya perkawinan menghasilkan ikatan pada kedua pihak yang terlibat. Perancangan janji perkawinan pasca perkawinan yaitu kesepakatan dan penerimaan dari pasangan suami dan istri guna merancang sebuah perjanjian ketika perkawinan

sedang berlangsung. Ketentuan ini selaras dengan bunyi Pasal 1338 KUH Perdata (BW) “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Akta perjanjian kawin yang dibuat ketika perkawinan dilaksanakan dikarenakan ada sepemahaman serta kesepakatan dari kedua pihak yang terlibat. Yang mana pihak di sini yaitu suami dan istri yang bertindak selaku pemohon, sehingga secara otomatis terjadi ikatan secara yuridis pada kedua belah pihak pada perjanjian perkawinan sesaat ketika adanya kata sepakat mengenai perjanjian itu guna melengkapi kesepakatan yang ada pada perjanjian kawin tersebut.21

Sehingga Kekuatan hukum dibuatnya oleh Notaris dari perjanjian perkawinan pada saat perkawinan berlangsung memiliki kekuatan kepastian hukum yang tetap yang wajib untuk dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (1) UU Perkawinan serta diperkuat adanya Putusan MK 699 Tahun 2015. Sehingga berlaku sah serta mengikat untuk kedua belah pihak.

  • 3.2    Keberlakuan Akta Perjanjian Kawin Yang Dibuat Oleh Notaris Saat Berlangsungnya Perkawinan Terhadap Harta Yang Diperoleh Sebelum Perjanjian Tersebut Dibuat

KUH Perdata (BW) Pasal 120 memuat aturan mengenai kesatuan harta yang secara mutlak pada harta kekayaan pasangan suami serta istri semenjak penikahan itu dilaksanakan yang meliputi harta bergerak maupun harta yang tidak bergerak, tanpa terkecuali seluruh keuntungan, kerugian maupun utang yang ada atau pun yang akan ada. Jika sepasang kekasih dalam melangsungkan perkawinannya tidak memiliki perjanjian kawin, dampaknya secara hukum harta yang telah diperoleh dalam perkawinan baik itu yang merupakan kekayaan suami serta istri itu akan dijadikan harta punya bersama. Penyatuan harta kekayaan dapat berakibat hukum yaitu semua tindakan hukum pada harta kekayaan itu, wajib dilaksanakan bersama oleh kedua pasangan suami dan istri dimana pasangan lawan kawinnya harus memberikan persetujuan untuk mengambil sebuah tindakan hukum terhadap harta yang akan dijadikan objek dalam melakukan perbuatan hukum.22 Sedangkan dalam perkawinan campuran, pasangan yang menganut kewarganegaraan asing tidak berhak untuk memilik hak atas tanah yang berada di wilayah Indonesia, sehingga tidak berkewajiban juga untuk memberikan persetujuan untuk lawan pasangan untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum. Akan tetapi selama perjanjian kawin tidak dimiliki oleh pasangan perkawinan campuran, maka tetap terjadinya pencampuran harta.23

Selaras pada muatan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur tentang “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Dalam kasus ini yaitu seluruh harta dan benda baik yang didapat selama kurun waktu perkawinan tersebut berlangsung tetap akan menjadi harta bersama, baik itu berupa “benda yang bergerak maupun tidak bergerak, benda berwujud maupun tidak berwujud yang

diperoleh selama perkawinan”, hingga perkawinan itu selesai karena adanya kematian salah satu pihak atau cerai.24

Dalam hal ini terjadi suatu permasalahan yaitu apabila perkawinan campuran yang belum membuat perjanjian kawin sehingga harta mereka masih tergolong sebagai harta bersama yang suatu ketika harta tersebut semestinya dijual sehingga memerlukan persetujuan dari pasangan lawan kawinnya yang berkewenegaraan Asing. Dalam permasalahan ini perlu dibuatkan perjanjian kawin untuk memisahkan harta pada pasangan perkawinan campuran dan memberlakukan perjanjian kawin tersebut berlaku surut, Putusan MK memutuskan bahwa “Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. Akibatnya para pihak bisa leluasa mengatur isi dari akta perjanjian perkawinan itu sehingga membutuhkan perhatian jika akta perjanjian perkawinan dirancang selama perkawinan, karena sudah terdapat pencampuran harta sebelumnya.25 Pada kondisi demikian akan menimbulkan kesulitan dalam proses pembagian harta perkawinan tersebut.

Sesudah terlaksananya perjanjian kawin selanjutnya secara otomatis harta-harta dan benda tiap pihak yaitu suami serta istri akan jadi makin kuat dari aspek hukum. Tiap individu taat dan patuh dengan seluruh muatan perjanjian kawin yang disetujui, karena dengan adanya perjanjian kawin secara langsung harta sudah dipisahkan sehingga terkait juga dengan harta lain yang akan muncul dikemudian hari, sesudah dari waktu perjanjian itu akan tetap dipisahkan satu sama lain sehingga dalam kasus ini tidak terdapat lagi harta benda dengan status harta bersama. Sebagaimana yang dimuat pada Pasal 164 KUH Perdata (BW) mengatur mengenai “Perjanjian, bahwa antara suami isteri hanya akan ada gabungan penghasilan dan pendapatan saja, mengandung arti secara diam-diam bahwa tiada gabungan harta bersama secara menyeluruh menurut undang-undang dan tiada pula gabungan keuntungan dan kerugian”. Begitu pula dalam kaitannya dengan terdapat utang piutang yang muncul sebagai dampak dari akibat hukum pasangan hidup yang dilaksanakan pasca perjanjian perkawinan maka akan dibebankan pertanggungjawaban pada tiap pasangan hidup masing-masing. Sehingga dengan adanya perjanjian kawin dalam hal ini bisa memberi perlindungan baik dari segi hukum harta benda berikut kekayaan yang menjadi hak tiap pihak baik suami maupun istri.

Berlakunya perjanjian kawin sangat berpengaruh sehingga berakibat hukum pada pihak ketiga yang memiliki kaitan dengan yang bersangkutan, sementara perjanjian kawin baru diberlakukan pada pihak ketiga mulai dari didaftarkan di Kantor Catatan

Sipil setempat sesuai dengan domisili tempat tinggal. Perancangan akta perjanjian perkawinan yang berkaitan dengan pihak ketiga akan diberlakukan mulai dari waktu didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil terkait. Akibatnya pihak ketiga dalam kaitan ini tidak merasakan kerugian bila suatu saat ada permasalahan hukum karena telah ada kata sepakat terhadap dipisahnya harta sebelumnya. Tapi apabila pihak ketiganya yaitu kreditur bisa memberi bukti jika yang menjadi agunan hutang atau yang dijanjikan menjadi agunan pada bentuk apa pun didapat sebelum disahkannya pendaftaran ke kantor catatan sipil, selanjutnya pihak ketiga bisa melakukan penuntutan pelunasan pada harta bersama suami dan istri. Sementara itu utang yang diambil oleh pihak salah satu dari suami dan istri sesudah dicatatatkan di Kantor Catatan Sipil selanjutnya pihak ketiga hanya bisa menagih pelunasan kepada kedua pihak suami istri yang memiliki utang.26

Dari penjabaran diatas, dapat diliat jika dampak dari adanya perjanjian perkawinan yang disahkan sesudah perkawinan atau ketika terjadi ikatan perkawinan memiliki dampak yang amat kuat pada harta benda yang masuk pada kekayaan tiap pihak suami serta istri. Akibatnya bisa merubah status hukum dari harta benda kekayaan itu yang didapat selama perkawinan, yang pada awalnya sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan, harta benda yang dimaksud memiliki status harta yang dimiliki bersama selama perkawinan, akan tetapi melalui terbitnya perjanjian kawin mengakibatkan adanya perubahan yang menjadi harta milik pribadi tiap pihak. Akibatnya yaitu muncul dampak rugi pada pihak ketiga yang terikat. Pada kasus ini guna memberi perlindungan pada kepentingan pihak ketiga, sudah sepantasnya ada tata laksana yang wajib dijalani supaya pihak ketiga itu tidak mengalami kerugian.

Seperti yang sudah ditetapkan pada putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 bahwasannya “perjanjian kawin yang dirancang wajib tercatat di Kantor Catatan Sipil.” Tujuannya yaitu supaya pihak ketiga dapat informasi tentang perjanjian kawin yang sah terkait dengannya. Tetapi bisa dimengerti jika perjanjian kawin yang disahkan sesudah perkawinan itu tidak memiliki hubungan dengan pihak ketiga, oleh karena itu perjanjian kawin itu berlaku sejak terhitung ketika perkawinan dilaksanakan jika tidak diatur dalam aturan lain. Kemudian terkait dengan hal ini kaitannya bersama dengan pihak ketiga perjanjian kawin itu diberlakukan semenjak didaftarkan ke kantor catatan Sipil.

Jika akta perjanjian kawin yang disahkan setelah adanya pengikatan bersama pihak ketiga, maka wajib juga untuk memahami hak yang ada pada pihak ketiga. Jika pihak ketiga atau bisa disebut juga sebagai kreditur mengalami kerugian dengan timbulnya perjanjian kawin yang dibuat pasca perkawinan, maka kreditur bisa menggugatnya dengan dasar asas Actio Pauliana. Walaupun perjanjian perkawainan itu disahkan dan mengikat pihak yang terlibat, tapi mengenai kreditur yang merasa mengalami kerugian dari adanya perjanjian kawin ketika perkawinan sedang berlangsung. Actio Pauliana sebagaimana yang dimuat pada Pasal 1341 KUH Perdata (BW) yaitu sebuah usaha hukum yang bisa dijalankan bagi mereka yang mengalami kerugian akibat adanya suatu perbuatan hukum yang dirancang oleh pihak lain dan bisa menggugat

ke pengadilan guna mengupayakan perjanjian tersebut batal. Pasal tersebut mengatur mengenai “Meskipun demikian, kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala Tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga yang merugikan kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa Tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi obyek dan tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak”. Jika Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga, maka selanjutnya perjanjian kawin pihak yang terkait disebut batal.27 Melalui muatan peraturan itu berdampak pada pembatasan tindakan hukum yang bisa dilakukan debitur. Walaupun seorang debitur dibebaskan untuk melaksanakan perbuatan apapun atas dasar hak kepemilikan dari benda miliknya, tapi melalui KUH Perdata ini juga memberi batasan pada tindakan debitur jika tindakannya itu menimbulkan kerugian pada kreditur.

Hal ini wajib diberi perhatian dalam rangka penyusunan perjanjian kawin yang dilaksanakan pasca dilangsungkannya perkawinan yaitu jika perjanjian kawin yang disetujui selama dilangsungkannya perkawinan terbatas pada harta yang didapat sesudah perjanjian itu disetujui dan tidak menyangkut terhadap harta sebelumnya sehingga memakai rentang waktu perkawinan berjalan mulai diberlakukan perjanjian tersebut, maka terhadap harta benda yang telah diperoleh sebelumnya tidak diberlakukan secara surut.28 Apabila dalam penyusunan perjanjian kawin tidak ditentukan lain terkait keberlakuannya, maka keberlakuan perjanjian kawin terhadap harta yang diperoleh sebelumnya tetap berlaku surut sebagaimana yang tercantum dalam putusan MK 699 Tahun 2015 selama tidak artikan sebagai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”.

  • 4.    Kesimpulan

Kekuatan hukum dari perjanjian yang dibuat Notaris yakni perjanjian perkawinan pada saat perkawinan berlangsung memiliki kekuatan kepastian hukum yang tetap yang wajib untuk dilaksanakan. Sehingga berlaku sah serta mengikat untuk kedua belah pihak. Dalam hal pemberlakuan perjanjian kawin terhadap harta yang diperoleh sebelumnya perjnajian dimulai sejak berlakunya suatu perkawinan. Dalam hal ini yang dapat menentukan perjanjian kawin tersebut berlaku surut atau tidak dapat diliat dari isi dari perjanjian kawin yang dibuat oleh Notaris. Apabila terbatas pada harta yang didapat sesudah perjanjian itu disetujui dan memakai rentang waktu perkawinan berjalan mulai diberlakukan perjanjian kawin, maka pemisahan harta hanya diberlakukan terhadap harta yang akan diperoleh dikemudian hari setelah

dibuatkannya perjanjian. Begitu juga sebaliknya apabila dalam perjanjian tidak ditentukan terkait rentang waktu, maka keberlakuan perjanjian terhadap harta yang diperoleh sebelumnya tetap berlaku surut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Isnaeni, M. (2016). Pijak Pendar Hukum Perdata. Surabaya: Revka Petra Media.

Pasek, D., (2018). Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Grup.

JURNAL:

Dwisana, I. M. A., & Resen, M. G. S. K. (2021). Pembuktian Harta Bersama Dalam Perceraian Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin Di Indonesia. Acta Comitas:       Jurnal       Hukum       Kenotariatan,       6(3).       DOI:

https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i03.p8.

Iliyin, I. N., Bayuaji, R., & Yaqin, K. (2023). Kedudukan Hukum Perjanjian Kawin Pada Masa Perkawinan Yang Dibuat Dihadapan Notaris. Jurnal Ilmu Hukum Wijaya Putra, 1(2).

Istrianty, A., & Priambada, E. (2016). Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung. Privat Law, 3(2), 164410.

Judiasih, S. D., Yuanitasari, D., & Inayatillah, R. (2018). Model Perjanjian Kawin Ynag Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung Pasca Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Masalah-Masalah Hukum, 47(3). DOI: 10.14710/mmh.47.3.2018.252-267.

Masri, E., & Wahyuni, S. (2021). Implementasi Perjanjian Perkawinan Sebelum, Saat Dan Sesudah Perkawinan. Jurnal Kajian   Ilmiah,   21(1). DOI:

https://doi.org/10.31599/jki.v21i1.310.

Novany, N., & Putra, M. F. M. (2023). Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang dibuat Pasca Perkawinan yang tidak diumumkan, yang Berakibat Terhadap Kerugian Pihak Ketiga. Recital Review, 5(1), 20-39.

Pratama, A. (2018). Implementasi Percampuran Harta Bersama Dan Harta Bawaan Dalam Perkawinan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor: 0189/Pdt.g/2017/Pa.smg), Jurnal Ius Constituendum, 3(1). DOI: http://dx.doi.org/10.26623/jic.v3i1.861.

Pratiwi, W. D., Nawi, S., & Khalid, H. (2021). Kewenangan Notaris Dalam Pengesahan Perjanjian Kawin. Journal of Lex Theory (JLT),   2(1). DOI:

https://doi.org/10.33096/jlt.v2i1.430.

Royani, A. (2017). Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan Terhadap Pihak Ketiga (Pasca Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Jurnal Independent, 5(2). DOI: https://doi.org/10.30736/ji.v5i2.67.”

Sriono, S. (2016). Perjanjian Kawin sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Jurnal Ilmiah Advokat, 4(2). DOI: https://doi.org/10.36987/jiad.v4i2.336.

Suryati, S., Awaludin, A., & Waluyo, B. (2023). Perlindungan Hukum Atas harta Perkawinan Melalui Akta Perjanjian Kawin. Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah fakultas Hukum Universitas wijayakususma, 25(1). DOI: https://doi.org/10.51921/chk.v25i1.225.

Utami, P. D. Y. (2021). Implikasi Yuridis Perkawinan Campuran Terhadap Pewarisan Tanah    Bagi    Anak,     Kertha    Wicaksana,    15(1).    DOI:

https://doi.org/10.22225/kw.15.1.1843.80-8.

Witariyani, P. T., Sujana, I. N., & Ujianti, N. M. P. (2021). Akibat Hukum Perjanjian Kawin terhadap Pihak Ketiga dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Jurnal Interpretasi Hukum, 2(1), 207-211.DOI:

https://doi.org/10.22225/juinhum.2.1.3105.207-211.

Zamroni, M., & Putra, A. P. (2020). Kedudukan Hukum Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dilangsungkan. Al-Adl: Jurnal Hukum, 11(2). DOI: http://dx.doi.org/10.31602/al-adl.v11i2.1438.

  • C.    ONLINE/WORLD WIDE WEB:

Judiasih, S. D. (2017). Quo Vadis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Tentang Perjanjian Kawin. In Lokakarya Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

  • D.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Kitab Undang-undang Hukum perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoneisa Nomor 3019

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran-Negara Nomor 104 Tahun 1960.

535