Batasan Larangan Pekerjaan Lain Notaris Ditinjau Dari Pasal 17 Ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris
on

Vol. 8 No. 03 Desember 2023
e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Batasan Larangan Pekerjaan Lain Notaris Ditinjau Dari Pasal 17 Ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris
I Gusti Agung Ketut Darmawan 1, I Dewa Ayu Dwi Mayasari 2
1Koperasi Jasa Angkutan Taxi Ngurah Rai Bali, E-mail: ajoenkdarmawan888@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: dwi_mayasari@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk : 7 Juli 2023
Diterima : 8 Desember 2023
Terbit : 8 Desember 2023
Keywords :
Prohibition; Another Job;
Notary
Kata kunci:
Larangan; Pekerjaan Lain;
Notaris
Corresponding Author:
I Gusti Agung Ketut Darmawan, E-mail: ajoenkdarmawan888@gmail.co m
DOI :
10.24843/
Abstract
The purpose of writing this research is to provide an understanding of the views of the legal interpretation of other jobs regarding the prohibition of Article 17 paragraph (1) letter I of the Notary Office Law and the position of an authentic deed made by a Notary by having another prohibited job. The research method used by the author is normative law moving towards the blurring of norms. Review of the author's research based on the blurring of norms resulting from the ambiguity of other job sentences on the prohibition of the position of Notary as regulated in Article 17 paragraph (1) letter I of the Law on Notary Position Refer to primary legal sources that analyze the Notary Office and refer to legal sources secondary studies on scientific work and literature. Referring to writing techniques, namely by studying documents and then analyzing legal issues through deductive reasoning. The results show that the legal interpretation of other work is an act other than the skills of a person to become a Notary in order to be able to generate honorarium carried out according to a planned design with other parties, the work can lead to conflicts of interest and conflicts with his position. The position of an authentic deed made by a Notary by having another prohibited job is that it loses its authenticity until it is degraded into an underhanded deed because someone who made it has violated the prohibition in his position.
Abstrak
Penulisan penelitian ini ditujukan guna memberikan pemahaman terhadap penafsiran hukum pekerjaan lain terhadap larangan Pasal 17 ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris serta kedudukan akta otentik yang dibuat Notaris dengan memiliki pekerjaan lain yang terlarang. Metode penelitian yang digunakan penulis yakni hukum normatif beranjak pada kekaburan norma. Tinjauan penelitian penulis yang berdasar pada kekaburan norma diakibatkan adanya ketidakjelasan terhadap kalimat pekerjaan lain pada larangan jabatan Notaris yang telah diatur pada Pasal 17 ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris Merujuk sumber hukum primer yang menganalisis pada Jabatan Notaris serta merujuk pada sumber hukum sekunder meleaah pada karya ilmiah
AC.2023.v08.i03.p9
maupun literatur. Mengacu pada teknik penulisan yakni dengan studi dokumen kemudian menganalisis persoalan hukum melalui penalaran deduktif. Hasil menunjukkan bahwa penafsiran hukum terhadap pekerjaan lain adalah perbuatan lain diluar keterampilan seorang menjadi Notaris guna mampu menghasilkan honorarium dilaksanakan dengan rancangan terencana dengan pihak lain, pekerjaan itu dapat menimbulkan pertentangan konflik kepentingan dan bertentangan dengan jabatannya. Kedudukan akta otentik yang dibuat Notaris dengan memiliki pekerjaan lain yang terlarang yakni kehilangan otensitasnya hingga terdegradasi menjadi akta bawah tangan karena seseorang yang membuatnya telah melanggar larangan dalam jabatannya.
-
I. Pendahuluan
Pemerintah Negara Indonesia selalu berpedoman pada Pancasila yang melambangkan sebagai asas Negara. Hal tersebut bermaksud guna dapat menjamin ketertiban, perlindungan serta kepastian hukum ke setiap warga negara Indonesia. Dengan memberikan perlindungan tersebut kepada setiap warga maka diperlukan pembuktian tertulis yang miliki sifat otentik mengenai peristiwa hukum terkait dengan segala perbuatan, maupun perjanjian serta pernyataan yang nantinya akan dilalukan dihadapan pejabat memiliki kewenangan dalam hal itu. Pejabat yang mempunyai wewenang melakukan pembuatan akta otentik yaitu Notaris. Adanya Notaris di Indonesia selain memiliki fungsi untuk pembuatan akta otentik juga dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang tercatat terkait hubungan ketetapan hukum perorangan dengan perorangan lainnya sehingga alat bukti yang tercatat ini mampu mengamankan serta melindungi hak individu dalam hubungan interaksi dengan yang lain.1
Pengaturan yang mengatur mengenai Notaris dapat diketahui pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 Jabatan Notaris atau dapat disingkat UU JNP. Merujuk Pasal 1 angka 1 UU JNP memutuskan bahwa “Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik dan kewenangan lain yang diatur dalam Undang-Undang ini maupun Undang-Undang lainnya”. Selain Pasal tersebut mendefinisikan mengenai akta otentik juga dikemukakan pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau disingkat KUH Per memutuskan bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau ddihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat”. Dari uraian tersebut jelas bahwa pada akta otentik memiliki kekuatan pembktian terkuat yang tidak dapat dibantah serta sangat terlindungi pengakuannya.2
Ketika Notaris menjalankan kewajiban serta kewenangannya tak cukup dengan pengetahuan saja namun harus juga tumpuan respobilitas dan tanggung jawab terhadap jabatannya. Kontribusi Notaris sangatlah penting di mata masyarakat dengan demikian Notaris harus mampu mempraktekkan profesinya secara kompeten serta mengangkat tinggi harkat martabat dalam menegakkan kaidah etika Notaris.3 Selain dalam melaksanakan kewajiban Notaris juga mempunyai larangan dalam Jabatannya. Larangan Notaris haruslah dipahami secara menyeluruh hal apa saja yang harus benar-benar tidak dilakukan pada saat menjalankan jabatannya karena hal ini sangatlah akan berpengaruh dengan akta yang akta dibuatnya. Jika merujuk secara Normatif mengenai pengaturannya telah dijelaskan pada Pasal 17 UU JNP yang memutuskan bahwa :
-
(1) “Notaris dilarang
-
a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
-
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
-
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
-
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
-
e. Merangkap jabatan advokad;
-
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
-
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
-
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
-
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat Jabatan Notaris”.
Aturan tersebut diatas merupakan larangan-larangan Notaris, setiap Notaris pasti akan terbalut serta tunduk dengan aturan-aturan terutama pada UU JNP, Kode Etik Notaris, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Aturan inilah yang nantinya menjadi pegangan serta pedoman penuh terhadap profesi Notaris, agar dapat dipahami hal-hal apa saja yang dapat dijalankan dan atau hal-hal yang tidak dapat dilakukan terkait dengan aturan yang telah resmi tercatat.4
Melihat larangan Notaris pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf I memiliki penafsiran terhadap kalimat “melakukan pekerjaan lain”. Berdasarkan pasal ini dapat dipahami bahwa Notaris tidak boleh melakukan pekerjaan lain hingga bertentangan terhadap kepatutan. Akan tetapi batasan terhadap pekerjaan lain ini memiliki pemikiran serta pandangan yang berbeda-beda sampai batasan tersebut ada terukur atau memiliki kriteria seperti apa yang menjadi batasan larangan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya kekaburan norma sehingga menyebabkan multitafsir, ini sudah pasti dikarenakan mengenai perbedaan pemaknaannya karena sama sekali dalam UU JNP tidak memberikan pembatasan yang detail dan signifikan tentang kalimat tersebut.
Ketidakjelasan terhadap kalimat tersebut memunculkan ketidakpastian hukum, tidak mungkin dalam kalimat tersebut tidak ada maksut tertentu namun ketidakjelasan ini terkandung potensial untuk terjadinya permasalahan hukum akibat tidak adanya kepastian yang akan tersangkut oleh profesi Notaris. Sehingga setiap adanya peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk mempunyai asas serta hakikat karena asas ini yang akan mendasari perundang-undangan dengan tujuan tersebut menjadi jelas dan pasti.5
Beranjak dari penjabaran tersebut diatas sehingga muncul persoalan yang dapat diangkat yakni bagaimana penafsiran hukum terhadap pekerjaan lain terhadap larangan Pasal 17 ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris serta bagaimana kedudukan akta otentik yang dibuat Notaris dengan memiliki pekerjaan lain yang terlarang. Dari persoalan penulisan penelitian ini guna ditujukan dapat memberikan pemahaman pandangan dari penafsiran hukum terhadap pekerjaan lain terhadap larangan Pasal 17 ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris serta kedudukan akta otentik yang dibuat Notaris dengan memiliki pekerjaan lain yang terlarang.
Adapun perihal state of art mengenai refrensi penelitian penulis dengan persoalan masalah yang sejenis. Widya Lestari lewat judul “Akibat Hukum Notaris Merangkap Jabatan Sebagai Arbiter Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris”, penulisan penelitian tersebut mengkaji terkait Notaris Merangkap Sebagai Arbiter.6 Kemudian Nabila Mazaya Putri lewat judul “Pelanggaran Jabatan dan Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Notaris Dalam Menjalankan Kewenangannya”, penulisan penelitian tersebut mengkaji terkait pelanggaran melawan hukum jabatan Notaris. 7 Refrensi-refrensi dari penulis terdahulu ini dipahami bahwa harus ada batas rangkap Jabatan seorang Notaris dalam menjalankan agar dalam Jabatan Notaris tidak semena-mena dapat melangsukan rakap jabatan.
Melalui beberapa uraian penjabaran penelitian yang sudah diterangkan dari pendahuluan serta melalui state of art, sehingga terdapat pembeda persoalan masalah pada pembahasan penulisan penelitian. Permasalahan dari penulisan penelitian ini diharapkan mampu memperoleh suatu gagasan pandangan pembaharuan mengenai keterkaitan terhadap larangan pada Jabatan Notaris serta interpretasi mengenai asas-asas guna dapat memberikan kepastian serta perlindungan hukum sehingga untuk kedepannya Notaris dapat menjalankan jabatannya tanpa kendala maupun persoalan masalah mengenai penafsiran terakit definisi cara pandang terhadap larangan pekerjaan lain yang dilakukan oleh Notaris.
-
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis yakni hukum normatif beranjak pada kekaburan norma.8 Tinjauan penelitan penulis yang berdasar pada kekaburan norma diakibatkan adanya ketidakjelasan terhadap kalimat “pekerjaan lain” pada larangan jabatan Notaris yang telah diatur pada Pasal 17 ayat (1) huruf I UU JNP sehingga persoalan tersebut menimbulkan beberapa multitafsiran yang nantinya mengakibatkan pandangan yang berbeda. Penulis memakai pendekatan perundang-undangan & analisis konsep hukum. Merujuk pada sumber penelitian termuat pada sumber hukum primer yang menganalisis pada UU JNP serta merujuk pada sumber hukum sekunder menelaah pada karya ilmiah maupun literatur. Mengacu pada teknik penulisan yakni dengan studi dokumen kemudian menganalisis persoalan hukum melalui penalaran deduktif.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Kedudukan Notaris selaku pejabat umum yang disahkan dan diresmikan Negara dengan Pemerintah yang tersendiri dilaksanakan Menteri Hukum dan HAM, sebab Notaris melaksanaan tanggung jawab Negara yakni akta yang dibuatnya merupakan dokumen negara yang dapat difungsikan sebagai alat bukti terkuat. UU JNP telah memberikan pengaturan mulai dari tata cara pembuatan akta, hingga dengan mengemban jabatan Notaris. Hal ini agar Notaris mampu mematuhi seluruh kaidah serta norma guna dapat memberikan jasanya kepada masyarakat publik dengan mencermikan sikap profesional.9
Ada beberapa dasar penting Notaris membangun formalitas guna dapat menjalankan jabatannya yakni pertama Negara telah memberikan peraturan UU JNP kepada Notaris guna dapat membuat perbuatan hukum mutlak dengan akta otentik, kedua bahwa dalam melaksanakan perbuatan hukum para pihak tak semua mempunyai keseimbangan posisi terkait hal inilah Notaris sangat diperlukan masyarakat agar dapat memberikan percerahan ilmu hukum sebab pembimbing serta pengarah kepentingan antara para pihak harus konsisten dengan kaidah hukum, ketiga adanya kekuatan pembuktian formil dan materil akta otentik, pada pembuktian materil meliputi perbuatan hukum para pihak, pokok akta serta kepastian yang di terangkan pada akta itu karena para pihak menyatakan kepada Notaris dan dalam pembuktian formil nantinya Notaris mengkonstatir ke akta bahwa hal tersebut benar adanya guna dapat dijadikan sebagai bukti kebenaran.10
Profesi Notaris dipilih Negara untuk dapat melakukan sumpah, menjelaskan isi akta, melangsungkan pengesahan keaslian tanda tangan penghadap. Walaupun jabatan Notaris ditunjuk oleh Negara untuk menjalankan Jabatannya, Notaris tidak ada pengaruh terhadap badan-badan yudikatif, eksekutif dan legislatif hal ini karena Notaris harus bertindak objektif, netral serta independent.11
Kriteria untuk dapat disahkan menjadi Notaris dijelaskan pada Pasal 3 UU JNP memutuskan bahwa :
-
a. Asli menjadi warga Indonesia
-
b. Tunduk beragama pada Tuhan
-
c. Memiliki usia paling rendah 27 tahun
-
d. Sehat secara fisik dan batin
-
e. Memiliki kebenaran tanda lulus sarjana hukum serta tingkatan strata kenotariatan
-
f. Sedia melakukan magang dikantor Notaris selama 2 tahun secara tidak terputus
-
g. Tidak memiliki kedudukan sebagai pegawai pemerintahan atau
menjalankan jabatan terlarang
-
h. Tidak pernah terjeblos pidana penjara sewaktu 5 tahun
Menunjuk Pasal 17 UU JNP telah mengatur mengenai terkait larangan-larangan Notaris yang patut ditaati. Ada beberapa pekerjaan tidak dapat dilangsungkan oleh Notaris, akan tetapi tidak semua pekerjaan dijabarkan dengan terperinci yang telah diatur pada 17 UU JNP. Secara spesifik Notaris tidak diperbolehkan menjadi pegawai pemerintahan, aparat, abdi negara maupun advokad. Setiap pekerjaan baik itu menjadi Notaris maupun pekerjaan menjadi pejabat negara yang terpenting adalah memiliki akhlak, kesusilaan serta kejujuran karena dengan hal tersebut dapat menjadi dasar arahan utama dalam menjalankan jabatannya.
Pasal 17 ayat (1) telah menjelaskan bahwa Notaris dilarang memiliki pekerjaan lain diluar jabatan Notaris. Sanksi-sanksi administratif akan diberikan kepada Notaris yang melakukan pelanggaran ini dijelaskan pada Pasal 17 ayat (2) UU JNP menentukan :
-
a. “Peringatan tertulis;
-
b. Pemberhentian sementara;
-
c. Pemberhentian dengan hormat;
-
d. Pemberhetian dengan tidak hormat.”
Selain dijelaskan dalam UU JNP tersebut diatas, ada juga sanksi lain terhadap larangan pekerjaan lain Notaris diatur dalam Pasal 38 huruf E “Permen HAM Nomor 4 tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah” menjabarkan lebih detail terkait Notaris dapat diberhentikan dengan hormat dalam jabatannya jika melakukan pelanggaran terhadap larangan pekerjaan lain yang telah ditentukan UU JNP. Notaris merupakan jabatan yang terhormat dikarenakan Notaris selaku Pejabat Umum dengan kepercayaan harkat dan martabat dan berkeyakinan oleh masyarakat pada pembuatan akta otentik yang
mempunyai fungsi sebagai bukti terkuat. Saat melangsungkan jabatannya Notaris perlu mempunyai :
-
a. Budi pekerti yang baik
-
b. Menjunjung tingg martabat jabatan Notaris
-
c. Berperan kredibel, sportif dan amanah
-
d. Memajukan pengetahuan terutama pada ilmu hukum serta kenotariatan e. Mengedepankan dedikasi pengabdian kepada masyarakat
Berkenaan terhadap larangan jabatan Notaris ini guna berfungsi mengindari kejadian kepentingan pribadi agar setiap Notaris mampu bersikap objektif. Demikian makna pekerjaan lain sesuai Pasal 17 ayat (1) huruf I UU JNP adalah perbuatan lain diluar keterampilan seorang menjadi Notaris guna mampu menghasilkan honorarium dilaksanakan dengan rancangan terencana dengan pihak lain, pekerjaan itu dapat menimbulkan pertentangan konflik kepentingan dan bertentangan dengan jabatannya.
Pasal 17 ayat (1) huruf I pada frasa pekerjaan lain tidak mempunyai formulasi normatif yang spesifik, sehingga menyebakan adanya multitafsir atau pandangan yang berbeda-beda. Ketidaktepatan yang menyebabkan kontradiksi terhadap norma. Norma yang tidak konstan ini tidak mempunyai kepastian atau kejelasan hukum. Dengan demikian terhadap Pasal 17 ayat (1) ayat huruf I benar-benar tidak mempunyai kepastian hukum yang pasti pemahamannya. Pemasalahan ini sangat dapat terjadi karena tak ada penjelasan mengenai batasan larangan pekerjaan lain sehingga subyek hukum ini akan berdampak menjadi pelanggaran hukum positif.
Notaris melalui jabatannya dalam pengikatan akta otentik yang telah dikhususkan dalam perundang-undangan guna dapat memberikan perlindungan, keamanan serta ketaatan atas kaidah-kaidah hukum.12 Para pihak juga akan merasa aman, terlindungi terhadap hak serta kewajibannya dengan menggunakan jasa seorang Notaris untuk dapat melaksanakan kepentingannya yang nantinya pengikatan akta otentik tersebut secara langsung dilakukan dimuka Notaris sebab pertanggung jawaban yang paling utama atas kewenangannya adalah menegnai keabsahan, pembutian serta validasi akta otentik secara formil.13
Teori kewenangan mempunyai arti memiliki wewenang serta kekuasaan untuk berbuat sesuatu, kewenangan ini juga memiliki hak serta tanggung jawab. Suatu kewenangan memperoleh sebuah atributif, mandat serta delegasi. Melihat kewenangan yang didapatkan oleh seorang Notaris dari Negara tergolong kewenangan atribusi sebab hal ini diperoleh dengan atribusi bersifat asli yang berdasar pada peraturan perundang-undangan, demikian pemeritah mendapatkan kewenangan secara spontan melalui redaksi pasal yang tertentu pada peraturan perundang-undangan yakni UU JNP. Teori kewenangan terhadap kewenangan Jabatan seorang Notaris sangat terikat hal itu
dikarenakan Jabatan Notaris harus melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan UU JNP.
Selain berdasar terhadap peraturan UU JNP, Notaris juga harus berpedoman dan berpegang teguh terhadap Kode Etik Notaris. Pertanggung jawaban seorang Notaris memiliki beberapa interpretasi yakni :
-
1. Pada pengikatan akta otentik harus dengan amanah dan benar, hal ini dapat diartikan bahwa akta otentik harus memenuhi syarat-syarat hukum.
-
2. Pada pengikatan akta otentik harus memperoleh akta yang berkualitas, hal ini dapat diartikan bahwa dengan dipenuhinya syarat-syarat hukum tersebut, para pihak yang mempunyai kepentingan juga harus menyatakan dengan sejujur-jujurnya dalam akta tersebut, serta Notaris akan mengkonstatir ke akta otentik terhadap peristiwa hukum yang didapat dari para pihak dengan tetap merujuk pada prosedur pembuatan akta.
-
3. Pada pengikatan akta otentik harus afirmatif dan konklusif hal ini dapat diartikah bahwa pada saat akan mengikatan akta otentik berarti akta tersebut akan mempunyai kekuatan pembutian kuat serta sempurna yang mana pembuktian tersebut tidak dapat dibantah dengan apapun.14
Saat menjalankan jabatannya Notaris harus adil, netral serta tidak ada benturan kepentingan terhadap apapun juga, apabila Notaris melakukan kepentingan lain hingga menimbulkan adanya pekerjaan lain dalam jabatannya maka hal tersebut akan menjadi pelanggaran sebab UU JNP telah memberikan terkait larangan Notaris pada Pasal 17 ayat (1) huruf I UU JNP memutuskan bahwa “melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris”. Demikian melihat dari isi Pasal teersebut bahwa Notaris memang tidak diperkenankan untuk melakukan pekerjaan lain agar tidak adanya kepentingan lain dan atau kedepannya dapat memihak pada klien. Tak hanya berpacu terhadap larangan, seorang Notaris juga harus memenuhi kewajibannya. Pasal 16 ayat (1) UU JNP telah mengharuskan Notaris untuk tak perpihak terhadap penghadapnya.
Akta otentik merupakan kedudukan bukti paling kuat yang tak dapat dibantah serta memiliki peranan sangat bermakna pada hubungan hukum masyarakat. Akta otentik sudah jelas terhadap hak serta kewajibannya guna mampu memberikan jaminan terhadap kepastian hukum dan mampu berupaya menghindari sengketa, mengenai kedudukan akta yang diperoleh dari seorang Notaris melakukan pekerjaan lain memang belum diterangkan pada UU JNP, akan tetapi melihat dari seorang Notaris yang mempunyai pekerjaan lain dan atau rangkap jabat merupakan larangan mutlak yang telah melalukan pelanggaran secara komprehensif hingga menghasilkan akta tersebut tak memupunyai kekuatan hingga menjadi pembuktian bawah tangan.
Kekuatan alat bukti Notaris akan mengalami degradasi jika pada penyusunan akta tidak sesuai dengan prosedur hukum yang sah. Pembuktian formil serta materil harus benar-benar terjamin kepastiannya. Terdapat beberapa hal yang membatasi wewenang seorang Notaris yakni :
-
1. Notaris wajib berwewenang selama pembuatan akta otentik, sebab tak semua pejabat dapat menghasilkan sebuah akta, hanya pejabat umum seperti Notaris yang dapat menghasilkan akta otentik yang berdasar pada UU JNP dan Kode Etik Notaris.
-
2. Notaris wajib berwewenang selama pembuatan akta otentik untuk kepentingan masyarakat akan tetapi Notaris tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembuatan akta otentik ke pribadi, pasangan hidup suami/istri , keluarga sedarah, garis lurus keluarga tanpa batas derajat hingga garis lurus kesamping derajat ketiga dari secara diri sendiri ataupun dengan melalui surat kuasa guna dapat menjadi pihak, ini bertujuan untuk penyalahgunaan jabatan Notaris serta menghindari kepemihakan para penghadap, selain itu hal ini telah diatur secara eksplisit pada Pasal 52 ayat (1) UU JNP.
-
3. Notaris wajib berwewenang selama pengikatan akta otentik dimana tempat tersebut dibuat, hal ini menentukan mengenai wilayah kerja jabatan Notaris telah diatur di wilayah dan atau daerah tertentu meliputi seluruh wilayah provinsi melalui tempat kedudukannya untuk dapat melaksanakan pengikatan akta otentik hal ini diatur secara tegas Pasal 18 UU JNP.
-
4. Notaris wajib berwewenang selama waktu pembuatan akta otentik. Apabila Notaris sedang melaksanakan cuti maka tidak boleh membuat akta otentik, disisi lain sebelum melakukan sumpah jabatan Notaris juga belum boleh membuat akta tersebut, hal ini diatur secara jelas Pasal 4 UU JNP.
Merujuk pada penjelasan tersebut diatas jika salah satu tidak terpenuhinya mengenai pembuatan akta otentik maka akta tersebut hanya memiliki pembuktian bawah tangan.15
Mengenai pembuktian akta Notaris tidak dapat diputuskan secara langsung dengan cara sepihak akan tetapi keputusan tersebut dibawa melalui prosedur gugutan ke pengadilan guna dapat memberikan keputusan yang pasti, apakah akta ini termasuk melakukan pelanggaran pada UU JNP. Sekalipun kekuatan pembuktian bawah tangan juga tidak dapat diperiksa oleh Majelis Pengawas Notaris karena pelanggaran pada UU JNP sudah memasuki ke ranah pengadilan umum.
Jikalau ada pihak menganggap dan atau mengetahui akta tersebut telah melanggar ketentuan UU JNP maka pihak tersebut wajib memberikan pembuktiannya dengan gugutan (peradilan) serta menanggung pergantian biaya, bunga, ganti rugi. Dalam hal ini gugutan yang mampu dan wajib dibuktikan penuntut yakni terkait kerugian, terkait hubungan kausal diantara pelanggaran atau kelalaian Notaris serta
pelanggaran atau kelalaian disebabkan oleh Notaris akan tetapi mampu dipertanggungjawabkan oleh Notaris yang terlibat.
Akta otentik yang dilakukan oleh seorang Notaris yang memiliki kepentingan lain dan atau rangkap jabatan akan terpengaruh ke hasil akta otentiknya yakni menjadi bawah tangan karena seseorang yang membuatnya telah melanggar larangan serta melanggar jabatannya yang mana telah diatur secara jelas pada UU JNP. Walaupun UU JNP belum mengatur mengenai Notaris yang merangkap jabat namun hal ini sah melanggar dan Notaris kehilangan terhadap wewenangnya selaku pejabat otetik yang dapat menghasilkan sebuah akta otentik. Notaris akan diberikan sanksi hukum perdata jika aktanya terdegradasi menjadi pembuktian bawah tangan. Hal ini dapat menjadi alasan para pihak yang mengalami kerugian maka dapat menghendaki penuntutan pergantian biaya, bunga dan ganti rugi ke Notaris. Menyinggung sanksi perdata yang diberikan Notaris tidak menjelaskan kapan akta otentik tergradasi kekutan pembuktian menjadi akta bawah tangan, UU JNP juga tak memberikan mekanisme pemberikan sanksi perdata ke Notaris. Dengan demikian kehilangan wewenangnya selaku pejabat umum maka saat itu akta yang dihasilkannya kehilangan otensitasnya terdegradasi menjadi akta bawah tangan.
-
4. Kesimpulan
UU JNP tidak mengklasifikasikan secara spesifik dengan ketidakjelasan terhadap kalimat “pekerjaan lain” pada larangan jabatan Notaris yang telah diatur pada Pasal 17 ayat (1) huruf I UU JNP sehingga persoalan tersebut menimbulkan beberapa multitafsir yang nantinya mengakibatkan pandangan yang berbeda hingga terjadinya kekaburan norma. Penafsiran hukum terhadap pekerjaan lain terhadap larangan Pasal 17 Ayat (1) Huruf I UU JNP adalah perbuatan lain diluar keterampilan seorang menjadi Notaris guna mampu menghasilkan honorarium dilaksanakan dengan rancangan terencana dengan pihak lain, pekerjaan itu dapat menimbulkan pertentangan konflik kepentingan dan bertentangan dengan jabatannya. Kedudukan akta otentik yang dibuat Notaris dengan memiliki pekerjaan lain yang terlarang yakni akan terpengaruh ke hasil akta otentiknya yakni kehilangan otensitasnya hingga terdegradasi menjadi akta bawah tangan karena seseorang yang membuatnya telah melanggar larangan jabatannya yang mana telah diatur secara jelas pada UU JNP.
Daftar Pustaka
Buku
Efendi, J., Ibrahim, J. Metode Penelitian Hukum: Normatif Dan Empiris. (Jakarta: Prenada Media, 2018).
M Luthfan Hadi Darus. Hukum Notariat Dan Tanngungjawab Jabatan Notaris.
(Yogjakarta: UII Press, 2017).
Salim. Peraturan Jabatan Notaris. (Jakarta: Sinar Grafika,2021).
Jurnal
Abady, A. R. P., & Rahayu, M. I. F. (2023). Penyuluhan Hukum Pembuatan Akta oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Journal on Education, 5(2).
Asauw, C. (2015). “Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Mengikat Suatu Akta Notaris”. Lex Privatum, 3(1).
Afifah, K. (2017). Tanggung jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata terhadap Akta yang dibuatnya. Lex Renaissance, 2(1).
Boty, R. (2017). Kekuatan Akta Notaris Dalam Menjamin Hak Keperdataan. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 3(1).
Prabawa, B. G. A. (2017). Analisis Yuridis Tentang Hak Ingkar Notaris Dalam Hal Pemeriksaan Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Kode Etik Notaris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 2(1).
Pramono, D. (2015). Kekuatan Pembuktian Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Selaku Pejabat Umum Menurut Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Lex Jurnalica, 12(3).
Putri, N. M., & Marlyna, H. (2021). Pelanggaran Jabatan dan Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Notaris Dalam Menjalankan Kewenangannya. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 5(1).
Purnayasa, A. T. (2018). Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang Tidak Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Autentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3).
Rasta, G. N. (2015). Perlindungan Hukum Bagi Notaris untuk Menjaga Kerahasiaan Isi Akta yang diperbuatnya dalam Perkara Pidana (Studi di Pematangsiantar). Premise Law Jurnal, 7.
Rachmadi, I., Sujianto, S., & Yahya, N. (2022). Optimalisasi Notaris Dalam
MemverifikasiKeterangan Dan Data Pendukung Untuk Pembuatan Akta Otentik. Perspektif, 27(1).
Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Nyoman, A. M., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S., Putra, I. P. R. A., & Tribuana, P. A. R. (2016). “Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata”. Acta Comitas, 2.
Widyalestari, P., & Hanim, L. (2017). Akibat Hukum Notaris Merangkap Jabatan Sebagai Arbiter Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Jurnal Akta, 4(4).
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah.
523
Discussion and feedback