Vol. 8 No. 03 Desember 2023

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Cerminan Gerechtigheit Dan Rechtssicherheit Terhadap Pembebasan Pajak Penghasilan Dalam Peralihan Hak

Atas Tanah Pada Pembagian Harta Waris

Anak Agung Mira Crysinta Ardiyanti, Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa

Fakultas Hukum Universitas Udayana, Email: [email protected]

Fakultas Hukum Universitas Udayana, Email: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 9 Agustus 2023

Diterima : 8 Desember 2023

Terbit : 8 Desember 2023

Keywords :

Income Tax Exemption, Transition, Inheritance


Kata kunci:

Pembebasan PPh, Peralihan, Waris

Corresponding Author:

Anak Agung Mira Crysinta

Ardiyanti, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/

AC.2023.v08.i03.p4


Abstract

This article aims to examine the principles of legal certainty and justice in regulating income tax transparency for preserving land rights during inheritance distribution from the ius constituendum perspective. There is a lack of clarity in "Article 4, paragraph (3) of the Income Tax Law and Article 6, letter d of PP Number 34 of 2016" regarding which inheritance categories are exempt from income tax. The research employs normative methods, including legislative, conceptual, and case approaches. The findings reveal differences in the assessment and decisionmaking process by the Head of KPP Pratama in approving or rejecting PPh SKB applications. To ensure justice and legal certainty, it is crucial to review and clarify the norms in regulating income tax exemptions for land rights during inheritance distribution, specifically in Article 4, paragraph (3) letter b of the Income Tax Law. This should provide a more detailed explanation regarding the types of inheritance transitions that influence income tax imposition, considering the complexities of the land registration system in Indonesia, which includes joint ownership, division of joint rights, and testamentary grants resulting from guarantees to heirs.

Abstrak

Tujuan penulisan artikel ini mengkaji prinsip kepastian dan keadilan hukum serta bentuk pengaturan pembebasan pajak penghasilan terhadap peralihan hak atas tanah dalam pembagian harta waris perspektif ius constituendum, yang dimana dalam penelitian ini terdapat adanya kekosongan norma pada pasal 4 ayat (3) Undang-Undang PPh dan Pasal 6 huruf d PP Nomor 34 Tahun 2016 dikarenakan penjelasan pada pasal-pasal tersebut tidak memberikan detail yang cukup mengenai kategori peralihan waris mana yang dikecualikan dari kewajiban membayar PPh. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yang didukung dengan adanya pendekatan terhadap perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pengaturan mengenai pembebasan PPh terhadap peralihan hak atas tanah dalam pembagian hak bersama waris menunjukkan ketidakpastian pada Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang PPh dan

Pasal 6 huruf b PP 34/2016. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan dalam penilaian dan keputusan Kepala KPP Pratama dalam menyetujui atau menolak permohonan SKB PPh dari para pemohon. Serta Dalam mewujudkan Gerechtigheit dan Rechtssicherheit perlu dilakukannya konstruksi hukum dengan mengkaji ulang dan memperjelas konstruksi norma dalam pengaturan pembebasan PPh pada peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama dalam warisan. Pada Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang PPh, seharusnya memberikan penjelasan yang lebih terperinci mengenai jenis proses peralihan karena pewarisan yang akan dikecualikan dari pengenaan PPh agar dapat menjamin kepastian dan keadilan hukum. Mengingat sistem pendaftaran tanah di Indonesia melibatkan beberapa jenis peralihan, seperti peralihan kepada ahli waris yang menyebabkan pemilikan bersama, pembagian hak bersama, dan juga hibah wasiat.

  • I.    Pendahuluan

Setiap negara memiliki panduan dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Indonesia menerapkan prinsip negara hukum (rechtstaat) sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan menggunakan prinsip ini, semua peraturan yang berlaku dan akan berlaku harus sesuai dengan ketentuan hukum. Hukum ini mengatur hak dan kewajiban warga negara, termasuk hak untuk memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya, namun juga melibatkan kewajiban untuk membayar sebagian dari penghasilan tersebut sebagai pajak. Hal ini bertujuan untuk membantu negara meningkatkan kesejahteraan umum.1 Pewarisan adalah suatu peristiwa hukum yang terjadi ketika seseorang meninggal dunia. Dalam peristiwa ini, harta kekayaan milik pewaris dialihkan kepada ahli waris melalui hubungan darah, perkawinan, atau wasiat. Ada beberapa faktor yang menentukan proses pewarisan, yaitu adanya individu yang meninggal dunia, keberadaan ahli waris yangakan menerima warisan, serta keberadaan harta warisan yang mencakup seluruh aset dan kewajiban yang dimiliki pewaris. Pewarisan dianggap terbuka setelah pewaris meninggal dunia, sehingga menyebabkan pembagian warisan yang berakibat pada pemilikan bersama harta warisan oleh seluruh ahli waris dengan status pemilikan yang terikat.2

Oleh karena itu, untuk melaksanakan tindakan hukum terhadap objek waris, kolaborasi dari seluruh ahli waris diperlukan. Pemilikan bersama yang terikat seringkali menimbulkan tantangan di antara ahli waris, terutama jika objek waris berupa tanah yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Untuk menghindari kemungkinan sengketa di masa depan, sebaiknya segera melakukan pembagian warisan atas objek tersebut. Dalam proses mentransfer kepemilikan tanah yang merupakan bagian dari warisan, peralihan hak harus didaftarkan di kantor pertanahan agar kepastian hukum atas kepemilikan tanah tersebut terjamin. Pendaftaran peralihan hak atas tanah dalam pembagian warisan sesuai dengan ketentuan Pasal 111 ayat 5 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 (PMNA/KBPN

16/2021) harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh ahli waris berdasarkan APHB yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti kesepakatan seluruh ahli waris mengenai pembagian tanah objek warisan.3 Dalam setiap proses peralihan hak atas tanah, selalu terdapat kewajiban untuk membayar pajak, baik bagi pihak yang melakukan peralihan maupun pihak yang menerima hak atas tanah tersebut. Pihak yang melakukan peralihan hak atas tanah akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh), sementara pihak yang menerima hak atas tanah akan dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan berdasarkan jumlah penghasilan yang diperoleh dari peralihan hak atas tanah tersebut.

Pajak merupakan proses pemindahan kekayaan dari warga negara kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin negara. Jika ada kelebihan, dana tersebut digunakan sebagai simpanan publik yang menjadi sumber utama dalam pembiayaan investasi publik. Dalam konteks ini, pajak dapat dianggap sebagai kontribusi yang dibayarkan oleh warga negara kepada kas negara berdasarkan kejadian atau tindakan tertentu, sesuai dengan ketentuan undang-undang, tanpa ada imbalan langsung, dan bukan sebagai bentuk hukuman. Pungutan pajak tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara. Peran pajak memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan negara, terutama dalam pelaksanaan pembangunan. Pajak berfungsi sebagai sumber utama pendapatan negara untuk membiayai berbagai pengeluaran, termasuk pembangunan. Dalam proses pemungutan pajak, penting untuk mengikuti norma-norma hukum dan memastikan bahwa pajak yang dikumpulkan akan digunakan untuk membiayai pembangunan nasional demi mencapai kesejahteraan umum. Selain itu, pajak juga harus memberikan kepastian dan manfaat agar aspek keadilan bagi subjek pajak dapat terpenuhi. Peran penting pajak sebagai sumber pendapatan negara mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan potensi pajak yang dapat diterima dari masyarakat. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat dalam proses pemungutan pajak.4 Namun, hal ini tidak selalu tercermin dalam penerapan pajak penghasilan (PPh) terhadap peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama waris.5

Seperti yang telah diketahui, setiap kali terjadi peralihan hak atas tanah, akan dikenakan pajak, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) bagi penerima penghasilan dari peralihan tersebut, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi penerima hak atas tanah. Akan tetapi, dalam Pasal 6 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah beserta perubahannya (PP No. 34 Tahun 2016), dijelaskan bahwa peralihan hak atas tanah karena pewarisan dikecualikan dari kewajiban membayar PPh. Pengaturan ini merupakan implementasi dari Pasal 4 ayat (3) Bagian Pajak Penghasilan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Undang-Undang PPh), yang menyatakan bahwa perolehan harta warisan oleh ahli waris tidak dikenakan PPh. Walaupun penerimaan harta waris tersebut merupakan tambahan aset yang diperoleh

oleh ahli waris, untuk memperoleh pembebasan PPh tersebut harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Bebas PPh (SKB PPh).6 SKB PPh adalah produk yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama (disingkat KPP Pratama) berdasarkan permohonan penerbitan SKB PPh yang diajukan oleh ahli waris, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (disingkat PDJP 30/PJ/2009).7

KPP Pratama memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak permohonan penerbitan SKB PPh. Jika permohonan penerbitan SKB PPh ditolak oleh KPP Pratama, maka ahli waris akan diwajibkan membayar PPh atas pengalihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama. Tujuannya adalah untuk memperoleh Surat Setoran Pajak PPh (disingkat SSP PPh) yang kemudian akan divalidasi oleh KPP Pratama sebagai persyaratan perpajakan dalam pendaftaran pengalihan hak atas tanah. Akibatnya, ahli waris harus membayar dua pajak secara bersamaan (pajak ganda) dalam peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama, yang dapat memberatkan ahli waris, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial yang baik.8 Permasalahan hukum ini muncul karena terdapat ketidakpastian dalam mengatur pembebasan PPh (Pajak Penghasilan) pada proses pewarisan, khususnya yang terkait dengan tanah. Ketidakjelasan norma terdapat pada “Pasal 4 ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Pasal 6 huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016. Penjelasan pada pasal-pasal tersebut tidak memberikan rincian yang memadai mengenai kategori peralihan waris yang dikecualikan dari kewajiban membayar PPh, karena istilah ‘’waris” masih bersifat umum dan dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Selain itu, terkait dengan penerimaan atau penolakan Surat Keterangan Bebas PPh (SKB PPh) yang diajukan oleh ahli waris, pelaksanaan undang-undang tidak memiliki standar baku untuk menerima atau menolak permohonan SKB PPh. Hal ini menyebabkan keputusan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di setiap daerah dapat berbeda dalam kasus yang sama. Akibatnya, selain ketidakjelasan norma terkait penggunaan istilah "pewarisan", juga terdapat kekosongan norma dalam mengatur standarisasi penerimaan atau penolakan SKB PPh.

Jika ketidakjelasan dalam norma yang mengatur Pajak Penghasilan (PPh) terhadap peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama tidak segera diatasi oleh pembentuk undang-undang, maka hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi ahli waris. Kondisi ini disebabkan oleh kemungkinan Kepala KPP Pratama sebagai pelaksana aturan dapat membuat keputusan yang berbeda-beda terkait dengan jenis peralihan yang sama di berbagai wilayah dan waktu, karena ketidakjelasan dalam norma tersebut. Dampaknya, berbagai interpretasi mengenai isi aturan tersebut dapat muncul, dan hal ini berpotensi menyebabkan ketidaksesuaian dalam implementasi yang

meresahkan masyarakat. Adanya persepsi negatif dari masyarakat dapat berdampak pada menurunnya tingkat kepatuhan wajib pajak dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, karena ada ketidakpastian hukum. Tentu saja, situasi ini bertentangan dengan tujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat sebagai subjek pajak dalam mematuhi kewajiban perpajakannya secara patuh.

Dengan menganalisis permasalahan hukum yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis bertujuan untuk menemukan solusi hukum yang sesuai untuk mengatasi masalah tersebut, dengan tujuan memastikan kepastian dan keadilan dalam sistem hukum nasional terkait perpajakan. Kepastian dan keadilan hukum ini berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat sebagai subjek pajak terhadap proses pemungutan pajak. Oleh karena itu, penulis berniat untuk mengkaji dan menganalisis dua hal utama. Pertama, apakah pengaturan mengenai pembebasan pajak penghasilan terhadap peralihan hak atas tanah dalam pembagian hak bersama waris telah memenuhi aspek kepastian hukum dan keadilan hukum. Kedua, bagaimana pembebasan pajak penghasilan terhadap peralihan hak atas tanah dalam pembagian harta waris dipandang dari perspektif ius constituendum untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum.

Penelitian ini merupakan pembaharuan isu hukum yang ditulis oleh “Bayu Indra Permana, Dominikus Rato, Dyah Octhorina Susanti tentang Kedudukan Pembagian Hak Bersama Waris Sebagai Peralihan Harta Yang Dibebaskan Pajak Penghasilan, yang meneliti ratio legis peralihan hak atas tanah secara pembagian hak bersama waris yang dikenakan pajak, serta pembebasan pajak penghasilan terhadap peralihan hak atas tanah secara pembagian hak bersama waris.9 Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Reza Fairuzabadi, dan Akhmad Khisni dengan judul Peran PPAT Dalam Proses Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pembagian Hak Bersama Setelah Terjadinya Penetapan Pembagian Waris Di Pengadilan Agama Kabupaten Garut, yang meneliti Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Proses Peralihan Hak Atas Tanah Waris dan Pembagian Hak Bersama, dan Akibat Hukum Penetapan Waris dan pembagian hak bersama yang tidak dilengkapi dengan penetapan perwalian, serta Kendala yang dihadapi Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembagian Hak bersama”.10 Berdasarkan penelitian terdahulu adapun persamaannya yaitu terkait dengan pembagian hak atas tanah dalam peralihan harta yang dibebaskan pajak penghasilan. Namun memiliki perbedaan yaitu pembebasan pajak penghasilan dalam peralihan hak atas tanah pada pembagian harta waris yang ditinjau dari perspektif asas gerechtigheit dan rechtssicherheit.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini diberi judul ‘’Cerminan Gerechtigheit Dan Rechtssicherheit Terhadap Pembebasan Pajak Penghasilan Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Pada Pembagian Harta Wari’’, dengan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Prinsip Kepastian Dan Keadilan Hukum Pembebasan Pajak Penghasilan Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Pembagian Harta Waris? Dan Bagaimana Bentuk Pengaturan Pembebasan Pajak Penghasilan Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Pembagian Harta Waris Perspektif Ius Constituendum Dalam Menjamin Kepastian dan Keadilan Hukum?

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam penyusunan artikel ilmiah ini, digunakan pendekatan penelitian hukum normatif atau dikenal juga sebagai doctrinal research. Pendekatan ini merupakan sebuah proses eksplorasi aturan hukum, prinsip-prinsip, dan doktrin hukum. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menemukan argumentasi, teori, atau ide-ide baru yang dapat menjadi solusi atau dasar dalam mengatasi suatu permasalahan. Dalam pendekatan penelitian ini, fokus utamanya tertuju pada analisis teks-teks hukum dan berbagai dokumen terkait guna mengidentifikasi serta menganalisis hukum yang berlaku, prinsip-prinsip hukum yang relevan, dan pandangan para ahli dalam bidang hukum.11 Karakteristik utama dari pendekatan penelitian hukum normatif adalah penekanan pada norma hukum tertentu. Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini karena kekurangan atau kekosongan dalam norma-norma hukum yang ada dalam “Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang PPh dan Pasal 6 huruf d PP Nomor 34 Tahun 2016”. Penjelasan pada pasal-pasal tersebut tidak memberikan detail yang cukup mengenai kategori peralihan waris mana yang dikecualikan dari kewajiban membayar PPh, karena istilah "waris" masih bersifat umum dan dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Dalam penelitian ini, terdapat tiga jenis sumber bahan hukum yang digunakan, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Untuk mengumpulkan bahan hukum tersebut, digunakan teknik sistem kartu (card system). Sedangkan untuk menganalisis bahan hukum tersebut, digunakan berbagai teknik seperti deskriptif, interpretasi, evaluasi, dan argumentasi.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Prinsip Kepastian Dan Keadilan Hukum Pembebasan Pajak Penghasilan Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Pembagian Harta Waris

Pengaturan mengenai “pajak didasarkan pada dasar konstitusional yang jelas, tercantum dalam Pasal 23 UUD 1945’’, yang menyatakan bahwa segala bentuk pajak untuk kepentingan negara harus diatur melalui undang-undang. Peraturan perundang-undangan ini berisi norma-norma yang bersifat umum dan berfungsi sebagai panduan bagi masyarakat dalam perilaku mereka, baik dalam hubungan antar individu maupun antara individu dengan pemerintah, di mana subjek pajak berhubungan dengan pemerintah sebagai pemungut pajak. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk menciptakan kepastian hukum dalam sistem perpajakan.

Kepastian hukum yang diinginkan dari sebuah undang-undang tidak hanya bergantung pada adanya aturan tersebut, tetapi terutama tergantung pada bagaimana norma-norma dalam undang-undang diterapkan secara jelas dan konsisten. Penerapan yang jelas berarti norma-norma dalam undang-undang harus dijelaskan dengan tegas dan tidak boleh menimbulkan keraguan atau berbagai interpretasi bagi pihak yang mengikutinya. Penerapan yang konsisten berarti undang-undang harus memiliki stabilitas dan tidak mudah berubah, sehingga masyarakat dapat mempercayai norma-norma yang diatur di dalamnya. Penerapan yang konsekuen berarti norma-norma harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum dalam undang-undang, dan tidak boleh diterapkan dengan cara yang bertentangan atau berbeda dari apa yang

telah diatur. Semua hal ini merupakan indikator keberhasilan dalam mencapai kepastian hukum dalam penerapan suatu undang-undang.12

Kepastian hukum terhadap pengaturan suatu norma dalam undang-undang memiliki peran penting dalam memastikan bahwa hukum dapat berfungsi dan dihormati oleh masyarakat.13 Kepastian hukum yang konsisten dan patuh terhadapnya merupakan hal yang sangat penting, terutama karena Indonesia menganut prinsip negara hukum yang tertuang dalam konstitusi, yang mengamanatkan bahwa seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum. Seperti yang diungkapkan oleh Gustav Radbruch, ada tiga elemen yang harus seimbang dalam cita-cita hukum, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (zweckmasigkeit). Untuk menerapkan teori penegakan hukum dengan baik, ketiga prinsip ini harus terpenuhi. Oleh karena itu, selain kepastian hukum, aspek kemanfaatan dan keadilan juga menjadi nilai-nilai penting yang harus dijamin oleh undang-undang.14 Oleh karena itu, kepastian hukum yang berkaitan dengan pengaturan norma dalam undang-undang adalah dasar yang memastikan hukum dapat diimplementasikan secara efektif dan dihormati oleh seluruh masyarakat, sejalan dengan prinsip negara hukum yang sangat dihargai oleh Indonesia.

Aspek kemanfaatan yang diatur dalam undang-undang tidak hanya terfokus pada isinya saja, melainkan juga memperhitungkan pelaksanaannya. Pandangan ini sejalan dengan pendapat dari Satjipto Rahardjo, yang menegaskan pentingnya memperhatikan manfaat hukum. Dalam pelaksanaan suatu undang-undang, perbandingan antara manfaat yang akan diterima oleh masyarakat dan pengorbanan yang harus dilakukan haruslah seimbang dan proporsional.15 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu tujuan dari hukum adalah memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Ketika kepastian hukum dan kemanfaatan hukum terpenuhi, maka keadilan akan terwujud dan dinikmati oleh seluruh masyarakat. Hal ini membuat undang-undang menjadi sumber hukum yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat, sehingga memberikan manfaat dan keadilan yang adil bagi semua.

Pembebasan pajak penghasilan terhadap peralihan hak atas tanah dalam pembagian harta waris melibatkan beberapa pertimbangan dan konstruksi hukum. Berikut ini adalah penjelasan tentang keadilan hukum dalam konteks ini:

  • 1.    Pertimbangan Kesederhanaan dalam Pemungutan Pajak: Pembebasan pajak penghasilan pada peralihan hak atas tanah dalam pembagian harta waris didasarkan pada pertimbangan kesederhanaan dalam pemungutan pajak. Tujuan dari pembebasan ini adalah untuk memudahkan proses pemungutan pajak dan menghindari kompleksitas dalam perhitungan pajak yang terkait dengan peralihan hak atas tanah.

  • 2.    Keadilan dan Pemerataan dalam Pengenaan Pajak: Pembebasan pajak juga dilandasi oleh pertimbangan keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak. Dalam konteks ini, pembebasan pajak penghasilan atas peralihan hak atas tanah dalam pembagian harta waris bertujuan untuk memastikan bahwa beban pajak yang dikenakan adil dan merata, serta mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter.

  • 3.    Kekosongan Norma dalam Pengenaan Pajak: Terdapat kekosongankek norma dalam pengenaan pajak terhadap peralihan hak atas tanah dalam pembagian harta waris. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pembebasan pajak penghasilan. Oleh karena itu, diperlukan konstruksi hukum yang jelas dan spesifik untuk mengatur pembebasan pajak dalam konteks ini.16

Dengan mempertimbangkan aspek kesederhanaan, keadilan, dan ketegasan dalam konstruksi hukum, diharapkan pembebasan pajak pada peralihan hak atas tanah dalam pembagian harta waris dapat berjalan dengan lebih efektif dan adil bagi semua pihak yang terlibat.

Pada dasarnya, undang-undang perpajakan, terutama Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi masyarakat. Dalam proses pembentukannya, undang-undang perpajakan harus memenuhi indikator-indikator tersebut. Diharapkan, dengan terpenuhinya aspek kepastian dan manfaat ini, dapat menciptakan keadilan dalam pemungutan pajak. Pandangan Adam Smith tentang empat asas yang harus dipenuhi dalam pemungutan pajak, yaitu asas persamaan (equality), asas kepastian (certainty), asas kenyamanan pembayaran (convenience of payment), dan asas efisiensi (low cost of collection), mendukung prinsip tersebut. Keempat asas ini menunjukkan bahwa dalam pemungutan pajak, tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam asas-asas tersebut.17 Dijelaskan bahwa setiap pemungutan pajak oleh penguasa harus didasari oleh undang-undang yang mengatur dengan jelas dan tidak menimbulkan keraguan, guna menjamin kepastian bagi wajib pajak. Setelah terdapat landasan hukum tersebut, pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing wajib pajak dan tidak boleh melebihi jumlah yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Selain itu, pemungutan pajak tidak boleh menyebabkan adanya diskriminasi di antara wajib pajak. Oleh karena itu, dalam pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), harus diatur dengan jelas dalam undang-undang, di mana pemungutannya tidak boleh memberatkan wajib pajak dan juga tidak boleh menyebabkan ada perlakuan yang tidak adil atau diskriminasi di antara wajib pajak.

Namun, situasi ini tidak mencerminkan dalam pengaturan Pajak Penghasilan (PPh) pada peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama karena pewarisan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama karena warisan, jika permohonan penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (SKB PPh) ditolak oleh KPP Pratama, maka peralihan hak tersebut akan dikenai PPh. Hal ini tentu saja memberatkan bagi ahli waris, karena pada dasarnya mereka sudah dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB), tetapi dengan tidak diterbitkannya SKB PPh, ahli waris juga harus membayar PPh atas peralihan hak tersebut.

Pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) pada peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama masih belum sepenuhnya memenuhi aspek kepastian hukum, karena masih terdapat frasa yang dapat memiliki multitafsir. Dalam Undang-Undang PPh, tidak diatur secara tegas mengenai peralihan hak atas tanah yang disebabkan oleh pembagian hak bersama. Hanya dijelaskan bahwa peralihan harta karena pewarisan dibebaskan dari PPh, sebagaimana tertera pada Pasal 4 ayat (3) huruf b. Namun, pada bagian penjelasan pasal tersebut hanya disebutkan cukup jelas, tetapi tidak dijelaskan secara rinci mengenai peralihan hak waris yang akan diberikan pembebasan PPh seperti apa saja. Selanjutnya, pengaturan mengenai pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) karena pewarisan yang melibatkan objek waris berupa tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016. Pada Pasal 6 huruf d PP tersebut dijelaskan bahwa peralihan hak atas tanah karena pewarisan dibebaskan dari PPh. Lebih lanjut, dalam bagian penjelasan pasal, dijelaskan bahwa rasio pembebasan PPh pada peralihan ini terletak pada fakta bahwa kewajiban subjektif pewaris, sebagai pihak yang mengalihkan hak atas tanah, telah berakhir sejak meninggal dunia, sehingga tidak ada pajak yang dapat dipungut.18 Namun, penjelasan pasal tersebut tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai peralihan hak atas tanah karena pewarisan apa saja yang mendapatkan pembebasan PPh. Sebagai informasi tambahan, PMNA/KBPN 16/2021 kemudian mengatur bahwa peralihan hak atas tanah yang terkait dengan pewarisan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, diantaranya :

  • 1.    Peralihan kepada ahli waris, baik secara individu ataupun bersama-sama (Pasal 111 ayat (4));

  • 2.    Pembagian hak bersama (Pasal 111 ayat (5)); serta

  • 3.    Hibah wasiat (Pasal 112).

Berdasarkan 3 (tiga) jenis peralihan tersebut, “peralihan hak atas tanah yang terjadi melalui pewarisan dan telah diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) beserta peraturan turunannya, hanya mencantumkan istilah peralihan karena waris”. Frasa “peralihan karena waris” ini tergolong sangat umum dan dapat ditafsirkan dengan beragam cara. Sayangnya, dalam bagian penjelasannya, tidak diberikan penjelasan lebih lanjut, hanya disebutkan bahwa hal tersebut cukup jelas. Akibatnya, hal ini menyebabkan ketidakjelasan dalam norma yang tercantum pada pasal tersebut. Selain ketidakjelasan norma, dalam pelaksanaan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) atas peralihan hak atas tanah ini, harus disertai dengan Surat Keterangan Bebas PPh (SKB PPh) yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009. SKB PPh ini merupakan dokumen penting yang digunakan sebagai dasar dalam mendaftarkan peralihan hak atas tanah pada kantor pertanahan, untuk membuktikan bahwa peralihan tersebut telah dibebaskan dari PPh. Pengaturan teknis mengenai penerbitan

SKB PPh ini akan menjadi panduan bagi petugas KPP Pratama dalam menerbitkan SKB PPh19.

Dalam Pasal 4 PDJP 30/PJ/2009 dijelaskan bahwa ahli waris, selaku pihak yang mengalihkan hak atas tanah, harus mengajukan permohonan secara tertulis ke KPP Pratama tempat tinggal pewaris. Selanjutnya, pada ayat (3) pasal yang sama, dijelaskan mengenai persyaratan formal yang harus dilampirkan oleh ahli waris dalam permohonan tersebut. Persyaratan formal tersebut berupa dokumen-dokumen tertentu yang harus disertakan sebagai bukti pemenuhan syarat untuk memperoleh SKB PPh. Yang dilampirkan berupa :

  • 1.    Surat keterangan waris atau Surat pembagian waris;

  • 2.    Fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemohon;

  • 3.    Fotokopi Kartu Keluarga; dan

  • 4.    Fotokopi SPPT-PBB objek yang bersangkutan.

Petugas dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama akan melakukan penilaian formal terhadap kelengkapan dan kesesuaian berkas yang telah dilampirkan dalam permohonan SKB PPh. Selanjutnya, dalam Pasal 5 PDJP 30/PJ/2009 diatur bahwa Kepala KPP Pratama harus memberikan keputusan atas penilaian formal tersebut, dalam waktu paling lambat 3 hari sejak permohonan diajukan secara lengkap. Jika permohonan diterima, Kepala KPP Pratama wajib menerbitkan SKB PPh sesuai dengan ketentuan. Namun, jika permohonan ditolak,Kepala KPP Pratama harus memberikan surat keterangan penolakan penerbitan SKB PPh kepada ahli waris. Namun, jika dalam jangka waktu tersebut Kepala KPP Pratama tidak memberikan keputusan, maka permohonan penerbitan SKB PPh dianggap telah diterima, dan selanjutnya SKB PPh harus diterbitkan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh ahli waris.

Aturan yang tercantum pada “Pasal 5 PDJP 30/PJ/2009 hanya mengatur tentang jangka waktu pemberian keputusan atas permohonan penerbitan SKB PPh dan konsekuensi hukum dari penerimaan atau penolakan SKB PPh”. Namun, kurangnya penjelasan mengenai kriteria yang harus dipenuhi agar permohonan diterima atau ditolak menyebabkan kekurangan standarisasi dalam penerbitan SKB PPh di berbagai KPP Pratama di kota-kota yang berbeda. Kekosongan ini menunjukkan adanya tantangan selain dari ketidakjelasan norma Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) terkait pembebasan PPh, juga dalam aspek aturan teknis mengenai penerbitan SKB PPh.

Akibat dari ketidakjelasan dan kekosongan norma dalam pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) pada peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama adalah terganggunya aspek kepastian hukum. Hal ini menyebabkan pelaksanaan pembebasan PPh tidak konsisten dan dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama sebagai pelaksana aturan. Akibatnya, penerbitan SKB PPh dapat bervariasi antara ahli waris di berbagai wilayah,

menimbulkan ketidakpastian dalam keputusan terkait pembebasan PPh atas peralihan hak atas tanah. Ketika permohonan penerbitan SKB PPh diterima oleh KPP Pratama, ahli waris akan mendapatkan manfaat dari pembebasan PPh yang sesuai dengan undang-undang. Namun, jika permohonan ditolak, ahli waris tidak mendapatkan manfaat tersebut dan harus membayar PPh atas peralihan hak atas tanah tersebut. Dengan begitu, ketidakjelasan norma berdampak pada ketidakpastian pelaksanaan pembebasan PPh dan dapat memberikan hasil yang berbeda bagi para ahli waris, tergantung pada keputusan KPP Pratama yang berlaku di wilayah mereka.

Ketidakterpenuhannya aspek kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam pengaturan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) pada peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama berpotensi menyebabkan diskriminasi dalam pembebasan PPh yang dimohonkan oleh ahli waris. Untuk memberikan contoh yang lebih jelas, misalkan dua ahli waris, A dan B, mengajukan permohonan penerbitan SKB PPh atas peralihan hak atas tanah secara pembagian hak bersama waris kepada dua KPP Pratama yang berbeda di dua kota yang berbeda, kota A dan kota B. Pada permohonan ahli waris A di kota A, permohonan tersebut diterima oleh KPP Pratama karena semua persyaratan administrasinya telah dipenuhi. Kepala KPP Pratama di kota A menafsirkan bahwa pengecualian PPh pada Pasal 4 ayat (3) huruf b juga mencakup pembagian hak bersama. Namun, pada permohonan ahli waris B di kota B, meskipun semua persyaratan administrasi telah terpenuhi, permohonan tersebut ditolak oleh Kepala KPP Pratama kota B dengan alasan menafsirkan bahwa pengecualian PPh pada Pasal 4 ayat (3) huruf b hanya berlaku untuk peralihan karena waris, tidak mencakup pembagian hak bersama. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya diskriminasi dalam pembebasan PPh yang diberlakukan oleh KPP Pratama di kota A dan kota B, karena interpretasi yang berbeda terhadap norma yang sama. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan dalam pengaturan pembebasan PPh atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama.

Dari gambaran tersebut dapat disarikan bahwa ketidakpenuhan aspek kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama berpotensi mengakibatkan diskriminasi terhadap ahli waris dalam permohonan penerbitan SKB PPh, yang jelas tidak mencerminkan keadilan bagi mereka. Meskipun negara dapat mendapatkan manfaat yang besar dari penerimaan pajak yang dibayarkan oleh ahli waris dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah tersebut, namun hal ini tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh Undang-Undang PPh, yaitu menciptakan kesejahteraan umum20.Dengan demikian, keberadaan ketidakjelasan dan potensi diskriminasi dalam pengaturan pembebasan PPh atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama dapat menyebabkan ketidakadilan bagi ahli waris dan tidak sejalan dengan tujuan penciptaan kesejahteraan umum yang diinginkan oleh Undang-Undang PPh.

Dalam pelaksanaan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama, cita-cita hukum yang diungkapkan oleh “Gustav Radbruch’’, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, juga tidak tercapai. Akibatnya, masyarakat, terutama ahli waris yang terlibat dalam peralihan hak atas tanah, merasa cemas dan ragu terhadap prosesnya. Oleh karena itu, pengaturan

mengenai pembebasan PPh atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama saat ini memerlukan pembaruan, baik dari segi aspek formal maupun teknis. Dengan demikian, dapat diamati bahwa pelaksanaan pembebasan PPh atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama saat ini tidak mencerminkan cita-cita hukum yang diharapkan, dan diperlukan perubahan dalam bentuk regulasi formal maupun aturan teknis yang berlaku.

Pada dasarnya, pembagian hak bersama merujuk pada kondisi di mana dua orang atau lebih mengakhiri keadaan kepemilikan bersama atas suatu benda.21 Tujuan dari pemisahan atau pembagian hak bersama adalah untuk mengakhiri situasi kepemilikan bersama yang sebelumnya belum terbagi dengan jelas.22 Akibat dari pembagian hak bersama ini adalah bahwa setiap individu yang menerima hak atas benda tersebut akan memiliki otoritas penuh untuk melakukan tindakan hukum terkait benda tersebut, baik dalam hal pengurusan maupun kepemilikan. Pasal 573 BW “menyatakan bahwa pembagian hak kepemilikan bersama atas suatu benda yang dimiliki oleh lebih dari satu orang harus mengikuti aturan-aturan yang mengatur pembagian harta peninggalan”. Dalam konteks pewarisan, Pasal 1652 BW “mengatur bahwa cara pembagian warisan dan hak serta kewajiban yang timbul ditentukan oleh para ahli waris yang mewaris. Oleh karena itu, untuk melaksanakan pembagian hak kepemilikan bersama, semua pihak yang terlibat harus memiliki niat dan persetujuan untuk mengakhiri kepemilikan bersama tersebut”. Proses pengakhiran kepemilikan bersama memerlukan kesepakatan dari seluruh ahli waris jika terkait dengan pewarisan.

Pembagian hak kepemilikan bersama harus didokumentasikan dalam akta notaris yang menjelaskan kesepakatan mengenai pemisahan dan pembagian seluruh benda yang dimiliki bersama. Jika benda yang dibagikan adalah tanah, proses pembagian harus mengikuti akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan ketentuan “Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa (1) Pembagian hak bersama atas tanah atau milik atas satuan rumah susun menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftar berdasarkan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang hak bersama mengenai pembagian hak bersama tersebut. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 berlaku juga untuk pembuatan akta PPAT yang dimaksud pada ayat(1).”

Akta tersebut bertujuan untuk mengesahkan kesepakatan para pemegang hak bersama mengenai pembagian hak kepemilikan bersama atas tanah. Pungutan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perpindahan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama waris terjadi saat permintaan penerbitan Surat Keterangan Bebas PPh (SKB PPh) tidak disetujui. Sebagai akibatnya, waris terpaksa menunaikan PPh untuk mengurus transfer hak atas tanah di kantor pertanahan dan mendapatkan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh yang sudah diverifikasi sebagai bukti pelaksanaan kewajiban perpajakan. Keadaan ini menghasilkan situasi di mana terjadi dua kali pembayaran pajak yang harus dikeluarkan oleh waris untuk transfer hak atas tanah melalui pembagian hak bersama waris.

Sesuai dengan Pasal 136 ayat (1) huruf b PMNA/KBPN 16/2021, transfer hak atas tanah melalui pembagian hak bersama dilakukan dengan menggunakan akta sebagai dasar. Pendaftaran perpindahan hak atas tanah ini harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menggunakan formulir Akta Pembagian Hak Bersama (APHB). APHB berperan sebagai dokumen yang mencatat kesepakatan di antara semua waris yang memiliki hak bersama atas tanah tersebut. Lewat APHB, para waris menyatakan persetujuan untuk memberikan atau menyerahkan hak kepemilikan atas tanah tersebut kepada waris tertentu yang ditunjuk untuk menerima hak atas tanah tersebut. Keberadaan persetujuan dari semua anggota waris dalam Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) merupakan unsur krusial yang mengindikasikan adanya suatu perjanjian dalam proses eksekusi perpindahan hak atas tanah tersebut. Dengan demikian, implementasi peralihan hak atas tanah melalui APHB dianggap sebagai suatu tindakan hukum. Menurut pandangan dari Soeroso, tindakan hukum ialah langkah yang ditempuh oleh subjek hukum yang berdampak pada hak dan tanggung jawab bagi mereka, dan efeknya diatur oleh peraturan hukum. Singkatnya, persetujuan keseluruhan pihak waris dalam APHB menandakan bahwa secara hukum mereka telah menyetujui dan menetapkan hak serta tanggung jawab dalam kerangka transfer hak atas tanah. Oleh karena itu, tindakan ini diakui oleh hukum dan mempengaruhi status serta hak-hak yang berkaitan dengan kepemilikan tanah tersebut.23

Pembagian hak bersama waris dianggap sebagai perbuatan hukum karena harus berdasarkan pada persetujuan semua ahli waris yang merupakan pemegang hak bersama. Perbuatan ini menghasilkan hak dan kewajiban bagi mereka yang terlibat. Meskipun pembagian hak bersama waris dianggap sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh ahli waris, namun peralihan ini tetap merupakan bagian dari serangkaian peristiwa hukum dalam proses pewarisan. Sesuai dengan Pasal 1083 BW, ahli waris yang menerima pembagian warisan dianggap mewarisi secara langsung dari pewaris. Sehingga peralihan hak kepemilikan mereka terjadi secara hukum pada saat warisan tersebut terbuka, yaitu saat pewaris meninggal dunia. Dengan demikian, walaupun ada pembagian hak bersama waris, hak kepemilikan atas tanah tetap dianggap dialihkan dari pewaris kepada ahli waris saat pewaris meninggal dunia. Menurut Surat Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 600-1561 Tanggal 21 April 1999, disampaikan bahwa pelaksanaan pembagian hak bersama waris harus mengacu pada Akta Pembagian Hak Bersama (APHB). Namun, penting untuk diingat bahwa APHB tersebut tidak menyebabkan peralihan hak kepemilikan tanah, tetapi hanya mengkonfirmasi kesepakatan para pihak mengenai pembagian warisan. Peralihan hak kepemilikan tanah dari pewaris kepada ahli waris tetap terjadi saat warisan tersebut terbuka, yaitu saat pewaris meninggal dunia. Dengan demikian, hal ini menegaskan bahwa pembagian hak bersama waris merupakan bagian dari serangkaian peristiwa dalam proses pewarisan.

Peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama waris seharusnya dianggap sebagai peralihan hak atas tanah karena pewarisan, meskipun tidak secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Oleh karena itu, setiap peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama waris harus dibebaskan dari PPh sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang PPh berdasarkan Pasal 6 huruf d PP 34/2016. Permohonan penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak

Pertambahan Nilai (SKB PPh) atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama waris harus diterima dan disetujui oleh Kepala KPP Pratama, asalkan permohonan dan lampirannya telah lengkap dan sesuai. KPP Pratama akan mengeluarkan SKB PPh sebagai bukti pembebasan PPh atas peralihan hak atas tanah ketika ahli waris mendaftarkannya di kantor pertanahan. Pada Pasal 19 UUPA, diatur bahwa setiap peralihan hak atas tanah wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat. Terhadap tanah yang telah dialihkan karena pewarisan, pelaksanaan peralihan hak atas tanah tidak memerlukan suatu akta PPAT, cukup menyerahkan sertipikat asli, beserta surat keterangan kewarisan. Namun, jika peralihan hak atas tanah karena pewarisan belum didaftarkan, wajib diserahkan dokumen-dokumen yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b.

3.2 Bentuk Pengaturan Pembebasan Pajak Penghasilan Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Pembagian Harta Waris Perspektif Ius Constituendum Dalam Menjamin Kepastian dan Keadilan Hukum

Permasalahan yang timbul akibat ketidakpastian hukum dalam pengaturan pembebasan PPh terkait peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama harus diatasi. Seperti diketahui, pajak merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada negara tanpa mendapatkan imbalan langsung. Oleh karena itu, pengaturan perpajakan di Indonesia seharusnya mencerminkan prinsip hukum yang mengedepankan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Selain itu, dalam proses pemungutan pajak, harus mematuhi empat asas yang berlaku, yaitu asas persamaan, asas kepastian, asas kenyamanan pembayaran, dan asas efisiensi dalam pengumpulan dana. Asas-asas tersebut harus menjadi panduan bagi para pembuat undang-undang dalam merumuskan sistem perpajakan yang ideal.24

Dasar negara dalam pemungutan pajak, sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi, mengharuskan adanya landasan undang-undang karena undang-undang merupakan peraturan tertulis yang bersifat umum dan menjadi sumber peraturan perundang-undanganyang lebih rinci. Oleh karena itu, dalam pembentukan aturan teknis terkait perpajakan, harus selaras dengan isi undang-undang terkait, agar pengaturan dalam undang-undang mencerminkan kepastian hukum. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kepastian hukum dalam undang-undang dapat diidentifikasi melalui tiga indikator, yaitu penerapan aturan dengan jelas, konsisten, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, ketika mengesahkan suatu peraturan ke dalam undang-undang, harus diformulasikan dengan tegas dan jelas agar tidak menimbulkan keraguan dalam interpretasi norma tersebut.25

Penyusunan norma dalam undang-undang yang jelas dan tidak dapat ditafsirkan secara beragam akan memberikan dasar yang kokoh bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rinci untuk mengatur teknis isi dari undang-undang tersebut. Selain itu, dalam pelaksanaannya, para pelaksana undang-undang dapat mengaplikasikan norma-norma tersebut dengan konsisten karena makna yang telah dirumuskan dalam isi undang-undang sudah dijelaskan secara tegas dan tidak dapat

diartikan dengan cara lain. Namun, dalam pengaturan pembebasan PPh terkait peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama dalam warisan, hal ini tidak terwujud karena masih terdapat ketidakjelasan dan kekosongan norma yang menyebabkan kebingungan dalam interpretasi dan penerapan aturan tersebut. Ketidakpastian hukum dalam pembebasan PPh disebabkan oleh ambigu dalam norma yang terdapat pada Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), terutama pada “Pasal 4 ayat (3). Pasal ini mengatur tentang beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan dari pemungutan pajak, dan dalam huruf b, disebutkan bahwa salah satu jenis penghasilan yang dikecualikan adalah penerimaan penghasilan karena pewarisan. Namun, dalam penjelasan pasal tersebut hanya dijelaskan secara memadai. Penggunaan frasa waris dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf b terkesan masih umum dan dapat diartikan dengan beberapa makna”. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, peralihan karena waris memiliki beberapa jenis peralihan, namun dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan apakah seluruh jenis peralihan tersebut termasuk dalam peralihan yang dibebaskan dari PPh atau hanya peralihan tertentu saja yang mendapatkan pembebasan PPh.

Akibat dari kekosongan norma tersebut adalah adanya perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh para pelaksana undang-undang terkait dengan penerbitan SKB PPh. Hal ini menyebabkan KPP Pratama dapat memberikan keputusan yang berbeda atas jenis peralihan hak yang sama, karena terjadi perbedaan dalam penafsiran makna dari Pasal 4 ayat (3) huruf b. Dampaknya, ahli waris yang mengajukan permohonan dapat menghadapi penolakan dan dibebani pemungutan PPh atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama dalam warisan. Keadaan ini tentu saja dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi terkait penerbitan SKB PPh, yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakcapaian nilai keadilan yang menjadi tujuan utama dalam pemungutan pajak. Dalam pembagian harta waris, pengaturan pembebasan pajak penghasilan terhadap peralihan hak atas tanah dapat dilakukan dengan menambahkan aturan pelaksana pada undang-undang yang berlaku. Pengaturan ini merupakan aturan pelaksana dari pasal 4 ayat (3) Bagian Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan. Prinsip kepastian hukum sangat penting dalam perpajakan karena pajak merupakan bentuk pengalihan secara paksa. Oleh karena itu, pembebasan pajak dalam pewarisan terkait peralihan hak atas tanah secara ius constituendum bisa dilakukan dengan menambahkan pada aturan pelaksana dari pasal 4 ayat (3) Bagian Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan. Jaminan kepastian hukum mengenai penguasaan atau peralihan hak atas tanah oleh seseorang yang diperoleh dari warisan juga merupakan hal yang penting dalam hukum agraria. Dalam perspektif hukum agraria, jaminan kepastian hukum mengenai penguasaan atau peralihan hak atas tanah oleh seseorang yang diperoleh dari warisan merupakan hal yang penting.26

Untuk memastikan kepastian dan keadilan hukum dalam pengaturan pembebasan pajak penghasilan terhadap peralihan hak atas tanah dalam pembagian harta waris, pemerintah perlu melakukan konstruksi hukum terhadap kekosongan norma dalam Pasal 4 ayat (3) UUPPH. Kekosongan norma tersebut dapat diatasi dengan mengklarifikasi ketentuan Pasal 4 ayat (3) UUPPH melalui peraturan atau surat

edaran, serta memberikan panduan kepada wajib pajak dan petugas pajak mengenai interpretasi dan implementasi hukum. Tindakan tersebut dapat memastikan bahwa hukum jelas dan dapat diprediksi, serta beban pajak didistribusikan secara adil, sesuai dengan prinsip kepastian dan keadilan hukum. Selain itu, pengaturan hak atas tanah merupakan kewajiban negara untuk mengaturnya demi terwujudnya kepastian hukum serta terjaganya hak-hak masing-masing pihak. Aturan hukum yang ada dalam negara ini juga memberikan perlindungan hukum bagi pengakuan hak-hak warga negaranya.27

Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah mengatur bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, dan tanah negara. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya.28

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, konstruksi yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji ulang dan memperjelas konstruksi norma dalam pengaturan pembebasan PPh pada peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama dalam warisan. “Pada Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang PPh, seharusnya memberikan penjelasan yang lebih terperinci mengenai jenis proses peralihan karena pewarisan yang akan dikecualikan dari pengenaan PPh agar dapat menjamin kepastian dan keadilan hukum. Mengingat sistem pendaftaran tanah di Indonesia melibatkan beberapa jenis peralihan, seperti peralihan kepada ahli waris yang menyebabkan pemilikan bersama, pembagian hak bersama, dan juga hibah wasiat”. Oleh karena itu, norma dalam pasal tersebut harus diperjelas agar di masa depan tidak menimbulkan tafsiran yang beragam dan ambigu.

Diharapkan bahwa konstruksi norma ini dapat menciptakan pengaturan hukum yang memprioritaskan kepastian, manfaat, dan keadilan. Dengan memiliki pengaturan yang jelas dan spesifik, tidak akan memberi kesempatan bagi pelaksana undang-undang untuk menafsirkan norma yang berbeda dari maksud pembentuk undang-undang. Sehingga, aspek kepastian hukum dalam pengaturan pembebasan PPh pada peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama dalam warisan dapat terpenuhi, dan manfaatnya akan dirasakan langsung oleh ahli waris. Permohonan penerbitan SKB PPh akan diterima oleh petugas KPP Pratama selama persyaratan administrasi dan lampirannya lengkap yang diajukan oleh ahli waris. Selain itu, dengan adanya penjelasan yang lebih jelas mengenai frasa pewarisan serta standarisasi kriteria penerimaan atau penolakan SKB PPh, dan jika pelaksanaannya dilakukan dengan baik oleh petugas KPP Pratama, maka tidak akan ada diskriminasi terhadap permohonan penerbitan SKB PPh. Dengan demikian, ahli waris akan memperoleh keadilan dalam pelaksanaan pembebasan PPh.

4. Kesimpulan

Pengaturan pembebasan PPh atas peralihan hak atas tanah dalam pembagian hak bersama waris menunjukkan ketidakpastian hukum karena norma yang kabur dan kekosongan dalam aturan. Kekosongan norma terlihat pada Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang PPh dan Pasal 6 huruf b PP 34/2016 dikarenakan dalam frasa waris yang terlalu umum, menyebabkan banyak penafsiran bagi pelaksana undang-undang sehingga tidak terdapat aturan mengenai penjelasan ahli waris yang dimaksud.Di sisi lain, kekosongan norma terkait standarisasi penerimaan dan penolakan permohonan SKB PPh menyebabkan perbedaan dalam penilaian dan keputusan Kepala KPP Pratama dalam menyetujui atau menolak permohonan SKB PPh dari para pemohon. Untuk mengatasi ketidakpastian hukum dalam pengaturan pembebasan PPh atas peralihan hak atas tanah melalui pembagian hak bersama waris, dapat dilakukan kajian ulang dan perbaikan konstruksi norma yang lebih jelas. Dalam upaya mencari konstruksi hukum yang ideal, beberapa opsi pengaturan ke depan dapat diusulkan. Salah satunya adalah menambahkan penjelasan yang lebih rinci mengenai jenis-jenis proses peralihan karena pewarisan yang dikecualikan dari pemungutan PPh pada Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang PPh.

Daftar Pustaka

Buku/Literatur:

Abdul Rahmat Budiono. (2015). “Pengantar Ilmu Hukum. Bayumedia Publishing:

Malang. 22

Bohari. H. (2019). Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Rajawali. 21.

Diantha, I Made Pasek, Ni Ketut Supasti Dharmawan, & I Gede Artha. (2018). Metode Penelitian Hukum & Penulisan Disertasi. Swasta Nulus: Denpasar, 65”.

Herlien “Budiono. (2008). Kumpulan Tulisan Perdata Di Bidang Kenotariatan Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti: Jakarta”, 336

R. Soeroso. (2011). Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika: Jakarta. 291.

Rochmat Soemitro. (1998). Asas Dan Dasar Perpajakan, Refika Aditama: Bandung. 5

Syahril Sofyan. (2011). Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan). Medan: Pustaka Bangga. 5.

Jurnal/Karya Ilmiah:

Basrial Zuhri. (2019). Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pembentukan Undang-Undang Menurut Undang-Undang Dasar Negara Ri Tahun 1945 Setelah Amandemen, JURNAL ENSIKLOPEDIA, 3(5), 75. https: //doi.org/ 10.33559/ eoj.v4i3.793

Bayu Indra Permana. (2023). Kedudukan Pembagian Hak Bersama Waris Sebagai Peralihan Harta Yang Dibebaskan Pajak Penghasilan. JURNAL MIMBAR YUSTITIA, 7(1), 50. https ://doi.org/10.19184/jik.v3i1.34912

Betrix Benni, Kurniawarman, & Annisa Rahman. (2019). Pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama Dalam Pengalihan Tanah Karena Pewarisan Di Kota Bukittinggi. JURNAL CENDIKIA HUKUM, 5(1), 66. https ://doi.org/10.33760/jch.v5i1.175

Edgar Hartanto. (2019). Pengenaan Pajak Penghasilan Bagi Ahli Waris Atas Tambahan Penghasilan Yang Diperoleh Dari Warisan, JURNAL MAGISTER HUKUM ARGUMENTUM, 6(1), 1077. https ://doi.org/10.24123/argu.v6i1.1858

Fairuzabadi, “R., & Khisni, A. (2018). Peran Ppat Dalam Proses Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pembagian Hak Bersama Setelah Terjadinya Penetapan Pembagian Waris Di Pengadilan Agama Kabupaten Garut. JURNAL AKTA, 5(1), 197-202. https ://doi.org/10.30659/akta.v5i1.2548

Fence M Wantu, (2016). Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, JURNAL BERKALA MIMBAR HUKUM. 19(3). 308”.

Hadi, M. I. S., & Permana, B. I. (2022). Kontruksi Hukum Pembebasan Pajak

Penghasilan Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Pembagian Hak Bersama    Waris. JURNAL    ILMU    KENOTARIATAN, 3(1),    1-13.

https://doi.org/10.19184/jik. v3i1. 34912

Hendarto, Edgar. (2019). “Pengenaan Pajak Penghasilan Bagi Ahli Waris Atas Tambahan Penghasilan Yang Diperoleh Dari Warisan.” JURNAL MAGISTER HUKUM ARGUMENTUM 6(1). 1062-1081. https://doi.org/10.24123/argu .v6i1. 1858

Khoulud Beby Bestiani. (2021). Implementasi Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Atas Warisan Ditinjau Dari Asas Kemudahan Administrasi, JURNAL EQUITABLE, 6(1), 29. https://doi.org/10.37859/jeq. v6i1. 2607

Kristiani, Aprilia Jessyca; Lukman, Fx. Arsin. (2023). Pembebasan Pajak Dalam Pewarisan Terkait Peralihan Hak Atas Tanah. KERTHA SEMAYA: JOURNAL ILMU HUKUM, 11(8), 1824-1834. https://doi.org/10.24843/KS.2023. v11.i08. p07

Lika Trisnawati. (2015). Keabsahan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Sebagai Syarat Permohonan Balik Nama Sertipikat Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. JURNAL SPIRIT PRO PATRIA, 1(2), 57. https: //doi.org/ 10.29138/ spirit.v1i2.78

Niru Anita Sinaga. (2016). Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya Di Indonesia, JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA, 7(1), 143. https://doi.org/ 10.35968/ jh.v7i1.128

Permana, Bayu Indra Et Al. (2023). Kedudukan Pembagian Hak Bersama Waris Sebagai Peralihan Harta Yang Dibebaskan Pajak Penghasilan. MIMBAR YUSTITIA. 7(1), 44 – 62. https://doi.org/10.52166/mimbar.v7i1.4193

Prawira, I Gusti Bagus Yoga. (2016). “Tanggung Jawab Ppat Terhadap Akta Jual Beli Tanah”. JURNAL  IUS,  4(1),  65. https://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/

jurnalIUS/ article/ download/290/248

Wagiman, Nilai, Asas, Norma, Dan Fakta Hukum. (2016). Upaya Menjelaskan Dan Menjernihkan Pemahamannya, JURNAL FILSAFAT HUKUM,  1(1),  44.

https://doi.org/10.54629/jli.v20i2.993

Disertasi:

Kurniawan, J. A., & Sh, K. (2014). Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) Atas Peralihan Hak Karena Warisan Di Kota Semarang (Doctoral Dissertation, Undip).

Peraturan Perundang – Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/Pj/2009 Tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan

Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya

Surat Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 600-1561 Tanggal 21 April 1999 Tentang Pemisahan Dan Pembagian Harta Warisan Tidak Dipersyaratkan Adanya Ssp-Pph Dan Ssb-Bphtb.

460