Arc. Com. Health • April 2022

p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620

Vol. 9 No. 1 : 13 - 32

ANALISIS IMPLEMENTASI BUDAYA ADAPTIF PUSKESMAS TEGALLALANG II KABUPATEN GIANYAR DALAM PROGRAM PENGENTASAN STUNTING

PADA MASA PANDEMI COVID-19

Ni Kadek Esilia Septigar Pranati, Pande Putu Januraga*

Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Jalan P.B Sudirman Denpasar, Bali, 80232

ABSTRAK

Program pengentasan stunting merupakan prioritas nasional yang digencarkan ditengah pandemi COVID-19. Pengentasan stunting yang semakin sulit di masa pandemi COVID-19 mendorong puskesmas untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui implementasi budaya adaptif Puskesmas Tegallalang II Kabupaten Gianyar dalam program pengentasan stunting pada masa pandemi COVID-19 melalui dimensi creating change, customer focus, dan organizational learning. Desain penelitian ini ialah deskriptif dengan metode kualitatif. Informan penelitian berjumlah 16 orang yang berasal dari tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II yang dipilih melalui teknik purposive sampling. Instrumen pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan Puskesmas Tegallalang II memiliki beberapa kualitas utama dari budaya adaptif. Secara khusus, hasil menyoroti budaya yang berpusat pada pelanggan. Perubahan sangat bergantung pada dukungan organisasi serta inisiasi individu sendiri. Ketidaksiapan SDM kesehatan menjadi faktor utama banyaknya hambatan dalam melakukan perubahan. Kurangnya kegiatan berbagi wawasan, pelatihan, dan pengembangan menyebabkan aspek pembelajaran tingkat organisasi menjadi kurang aktif. Diperlukan dukungan baik dari pihak internal dan eksternal puskesmas untuk meningkatkan kuantitas SDM dan memaksimalkan pertemuan untuk meningkatkan pembelajaran organisasi.

Kata kunci: Budaya Adaptif, Puskesmas, Program Pengentasan Stunting, Pandemi COVID-19

ABSTRACT

The stunting alleviation program is a national priority during the COVID-19 pandemic, thus encouraging primary health center to adapt. It is necessary to conduct research to determine the implementation of the adaptive culture of the Tegallalang II Primary Health Center in Gianyar Regency in the stunting alleviation program during the COVID-19 pandemic through the dimensions of creating change, customer focus, and organizational learning. The design of this research is descriptive with qualitative methods. The research informants were 16 people from health workers in the working area of the Tegallalang II Primary Health Center who were selected through purposive sampling technique. The data collection instrument used in-depth interview guidelines. The results showed that the Tegallalang II Primary Health Center had the main quality of customer-centered cultural adaptive culture. Change depends on the organization and the individual. The unpreparedness of health human resources is a major factor in the barriers to change. The lack of knowledge sharing activities causes the organizational level learning aspect to be less active. Internal and external support from health center is needed to increase the quantity of human resources and improve organizational learning.

Key words: Adaptive Culture, Primary Health Center, Stunting Alleviation Program, COVID-19 Pandemic

PENDAHULUAN

Stunting merupakan suatu keadaan kekurangan gizi kronis akibat kekurangan asupan gizi dalam waktu cukup lama sebagai dampak dari pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Menurut Riset Kesehatan Dasar RI tahun 2018, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8% (Kementerian Kesehatan RI, 2018c). Proporsi stunting di Provinsi

Bali pada tahun 2018 mencapai 21,8% dan pada tahun 2019 mencapai angka sebesar 14,4% (Kementerian Kesehatan RI, 2020c). Kemudian, pada tahun 2018 Kabupaten Gianyar telah ditetapkan sebagai wilayah lokus pengentasan stunting. Dari sepuluh desa lokus stunting, Kecamatan Tegallalang mendominasi dengan 3 desa lokus. Dua diantaranya terletak di wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, 2020b).

Menurut profil Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, pada tahun 2018 angka kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II mencapai 23,1% dan mengalami peningkatan pada tahun 2019 menjadi 27,1%. Sistem e-PPGBM per September tahun 2020 menunjukkan angka stunting menjadi 18,5% (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, 2020c). Hal ini juga menunjukkan angka stunting di Puskesmas Tegallalang II cenderung masih ada dan berfluktuatif dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan Keputusan Bupati Gianyar Nomor 1006/F-01/HK/2020, wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II telah ditetapkan sebagai prioritas intervensi stunting 2021 (Pemerintah Kabupaten Gianyar, 2020).

Upaya dalam pengentasan stunting semakin sulit saat dunia dilanda wabah pandemi COVID-19 sejak tahun 2020. Secara umum PSBB tidak dilaksanakan di Kabupaten Gianyar. Namun, aktivitas oleh masyarakat juga sangat dibatasi. Data dari cakupan program gizi di Kabupaten Gianyar juga menunjukkan telah terjadi penurunan partisipasi masyarakat ke posyandu dari tahun 2019 (89,3%) menjadi 81,3% pada bulan September tahun 2020 (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, 2020a). Pada konferensi Evaluasi Proyek Strategi Nasional, Presiden Joko Widodo menyampaikan agar program penurunan stunting ditengah pandemi COVID-19 harus terus dilanjutkan sebagai prioritas nasional (Joko Widodo, 2020). Mengingat pelayanan kesehatan ibu hamil dan balita tidak bisa dikesampingkan, maka program pengentasan stunting di desa Puskesmas Tegallalang II tetap dilaksanakan sehingga mendorong Puskesmas Tegallalang II untuk memiliki budaya adaptif.

Budaya adaptif merupakan proses menerima perubahan melalui perbaikan internal, ditandai dengan situasi yang tidak stabil serta mengarahkan orang-orang dalam organisasi agar dapat mendukung kapasitas organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya (Wandrial, 2012). Pelaksanaan program harus disesuaikan dengan situasi pandemi COVID-19 agar target penurunan stunting dapat tercapai. Oleh karena itu, puskesmas dituntut untuk memiliki kinerja yang tinggi. Demi memperoleh kinerja tinggi tersebut, organisasi perlu menyesuaikan diri dengan perubahan terus-menerus.

Dalam karyanya, Denison (2006) telah mengembangkan model budaya organisasi untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas bisnis. Instrumen penelitian Denison telah diuji dengan sampel eksekutif puncak dari 764 organisasi yang memiliki karakteristik budaya yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kriteria efektivitas (Wahyuningsih et al., 2019). Dalam model tersebut, Denison menuangkan dimensi budaya organisasi yang berkenaan dengan kemampuan organisasi dalam merespon perubahan lingkungan eksternalnya dan melakukan perubahan perilaku internal organisasi yang disebut adaptability atau kemampuan adaptasi (Denison, 2006).

Berdasarkan instrumen penilaian adaptability organisasi oleh Denison (2006), adaptasi dari sebuah organisasi juga dapat dinilai dari dimensi creating change, customer focus, dan organizational learning. Creating change, mencerminkan frekuensi perubahan, inovasi, cara/proses terjadinya perubahan tersebut, serta dukungan karyawan terhadap perubahan budaya

adaptasi ini. Customer focus mencerminkan tingkat pertimbangan organisasi terhadap kebutuhan pelanggannya dalam proses pengambilan keputusan. Organizational learning berhubungan dengan kemampuan organisasi untuk belajar dan berbagi pembelajaran tersebut kepada individu dalam organisasi (Denison et al., 2014).

Merujuk pada uraian diatas maka, diperlukan penelitian untuk mengetahui implementasi budaya adaptif Puskesmas Tegallalang II Kabupaten Gianyar dalam program pengentasan stunting pada masa pandemi COVID-19 melalui 3 komponen penilaian budaya adaptasi organisasi yaitu dimensi creating change, customer focus, dan organizational learning.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II Kabupaten Gianyar yakni pada bulan April sampai dengan Juni 2021. Penelitian ini menggunakan 16 orang informan yang berasal dari tenaga kesehatan Puskesmas Tegallalang II serta tenaga kesehatan di puskesmas pembantu dan pos kesehatan desa wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II. Pemilihan informan dilakukan secara purposive yaitu informan yang dianggap sesuai, cukup, serta mengetahui tujuan penelitian secara luas dan mendalam.

Adapun data yang digunakan ialah data primer yang dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam (indepth interview) serta data-data sekunder yang meliputi laporan capaian partisipasi balita ke posyandu (D/S), capaian keberhasilan program (N/D), cakupan ASI eksklusif, PMT, dan cakupan pemberian vitamin A.

Analisis data menggunakan metode analisis isi (content analysis). Penelitian ini dilaksanakan sesuai prosedur standar wawancara mendalam, yakni dengan membaca informasi penelitian. Lalu, menandatangani lembar informed consent. Adapun waktu wawancara untuk setiap informan ialah 30-60 menit. Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian FK Unud atau RSUP Sanglah dengan nomor 1542/UN14.2.2.VII.14/LT/2021.

HASIL

Informan dalam penelitian ini didominasi oleh tenaga kesehatan berjenis kelamin perempuan sebanyak 75% dan diikuti petugas berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25%. Sebagian besar informan penelitian memiliki pendidikan terkahir D3 yaitu 69%, sisanya 31% berpendidikan S1 dengan masa kerja dominan pada ≤ 5 – 10 tahun. Masa kerja petugas yang singkat mencerminkan berkurangnya SDM dan berkontribusi pada kelebihan pekerjaan yang harus dipikul petugas yang masih menetap. Mayoritas informan berada pada rentang usia 31 – 40 tahun dan memiliki peran besar dalam merevolusi budaya adaptif ketika terjadi perubahan.

  • 1.   Dimensi creating change

  • a.   Pelayanan Fleksibel & Sulit Diubah

Sebagian besar informan memiliki persepsi yang baik mengenai fleksibilitas ketika melaksanakan program pengentasan stunting di masa pandemi COVID-19. Hal tersebut ditunjukkan dengan program pengentasan stunting yang disesuaikan dengan situasi lingkungan pandemi. “Kalau dalam pelaksanaanya ya tentu selalu kita liat situasi dan kondisi. Sebelum pandemi

pun kita harus selalu fleksibel. Jadwal itu harus kerja sama dengan sasaran.” (I2)

Beberapa informan menganggap perubahan tidak mudah untuk dilakukan. Sulitnya perubahan tersebut sangat dirasakan pada diri tenaga kesehatan yang harus rutin memakai APD, hand sanitzer, dan disinfektan. Kemudian juga kesulitan mengatur waktu dan jumlah balita di posyandu serta kegiatan pemicuan. “Sekarang lebih ruet ya ngambil pasien, karena selalu pakek APD, hand sanitizer, baju yang berbeda, sama disinfektan.” (I6)

“Kalau mudah enggak ya karena masa pandemi ini, terutama posyandu. Kita sangat susah mengatur balita.” (I5)

“Saya sebagai tenaga lapangan susah sekali. Harus dateng satu-satu sekian rumah.” (I10)

  • b.    Respon Baik Puskesmas terhadap

    Perubahan Lingkungan

Sebagian besar informan menilai puskesmas telah memberikan respon baik terhadap perubahan yang ditunjukkan dengan penerapan protokol kesehatan ketika memberikan pelayanan pengentasan stunting, seperti berpakaian, pemakaian APD, menjaga jarak, penggunaan hand sanitizer, dan pemisahan antrean untuk pasien yang berkunjung ke unit KIA. “Sekarang kita harus pakai masker, pakai APD lengkap tu. Isi cuci tangan lagi. Habis ini, ambil satu hand sanitizer gitu.” (I14)

Respon juga ditunjukkan melalui adanya perubahan berkomunikasi dengan memaksimalkan alat elektronik sebagai pemantauan langsung kepada sasaran. Selain itu, terdapat pula inisiatif dalam penyuluhan keliling serta pelaksanaan kunjungan rumah yang diprioritaskan untuk balita di desa yang berzona merah.

“Tunggu perkembangan itu apa nambah. Kalau gak, jalan posyandunya tapi di akhir.” (I14) “Kalau penyuluhan kelompok gak gak boleh, itu kita siasati dengan keliling di desa. Kita melakukan penyuluhan keliling.” (I8)

  • c.    Adopsi Cara-Cara Baru dalam

    Pengentasan Stunting

Puskesmas Tegallalang II telah mengadopsi cara-cara baru agar tetap dapat memberikan pelayanan pengentasan stunting di masa pandemi COVID-19. Beberapa cara-cara baru tersebut mulai ditunjukan dengan eksekusi program pengentasan stunting yang dilaksanakan secara daring-kombinasi seperti posyandu serta pemantauan ibu hamil dan balita. “Kadang mereka kan ndak dateng, si kadernya karena lebih canggih disana, ditanyain. Rata-rata sudah punya timbangan di rumah. Kecuali kalau di daerah yang agak atasan, kayak di gunungan, langsung cari ke rumahnya.” (I4)

Dalam bentuk lainnya, cara yang diadopsi ialah kegiatan penyuluhan keliling. Kemudian, perubahan juga mulai terjadi dengan membagi jumlah balita yang hadir berdasarkan wilayah dan waktu kehadiran anak balita menurut jam untuk menghindari adanya kerumunan. Selain itu, terdapat pula perubahan terkait waktu PMT kepada ibu hamil yang KEK.

“Sekarang sudah dilaksanakan dengan aturan, datengnya misalnya per 10 orang.” (I11) “Kita tiap bulan ada kunjungan rumah ngasik PMT. Sekarang langsung ngasinya tiga bulan biar ndak terlalu sering tatap muka.” (I5)

  • d.    Hambatan Puskesmas dalam

    Menciptakan Perubahan

Selama menciptakan perubahan, Puskesmas Tegallalang II banyak dihadapi

beberapa hambatan yang menyebabkan kegiatan menjadi dikesampingkan dan tidak terlaksana sesuai dengan jadwal, seperti vaksinasi dan rapat insidental.

“Karena tidak ada jadwal rutin, besok tiba-tiba ada rapat, harus vaksinasi. Misal 9 orang harus ikut. Jadi ada jadwal yang terbengkalai.” (I1)

Kunjungan ke rumah juga menjadi kurang maksimal karena lebih menguras waktu serta tenaga petugas kesehatan maupun kader desa. Hal ini disebabkan oleh banyaknya perlengkapan yang harus dibawa kader ke setiap rumah sasaran. “Banyak kader mengeluh sering kunjungan rumah tu. Susah dia bawa tripod, dacin, bawa mikrotoa. Gak maksimal programnya.” (I5)

Kekurangan SDM mengharuskan petugas kesehatan mengerjakan tugas tambahan. Lalu, pelayanan di pustu dan poskesdes juga tidak maksimal karena petugas menghadiri posyandu & ditambah masa kerja tenaga kesehatan yang singkat. “Semua merangkap, sementara kegiatan banyak sekali di puskesmas.” (I9)

“Kalau posyandu, tutup. Besoknya dia dateng. Kalau ndak sakit yang bisa ditahan.” (I13) “Waktu ini pindah 5 orang, 3-4 tahun pindah lagi. Sekarang pindah, ditarik-tarik lah.” (I14)

  • e.    Berbagai Unit Saling Bekerja Sama

    Menciptakan Perubahan

Petugas kesehatan yang memiliki kontribusi dalam pelaksanaan program pengentasan stunting saling bekerja sama menciptakan perubahan yang terlihat dari koordinasi oleh petugas UKM, pustu, poskesdes, dan kader terkait penyuluhan keliling, dana, dan ibu hamil yang KEK.

“Penyuluhan keliling program gizi, kesling, promkes. Biasanya pas posyandu diadain.” (I7)

“Kalau disini sama anak, gizi. Ibuk hamil yang KEK, kita koordinasi dengan petugas gizi.” (I6) “Desa juga ada, dana desa. Kita koordinasi juga dengan petugas gizi di puskesmas.” (I11)

  • 2.   Dimensi Customer Focus

  • a.   Komentar dan Rekomendasi Kerap

Menimbulkan Perubahan

Komentar dan rekomendasi dari masyarakat menimbulkan perubahan pada pelayanan kesehatan pengentasan stunting di tengah pandemi COVID-19, seperti beberapa posyandu telah membuat PMT yang bervariasi. Puskesmas juga melihat situasi desa sebelum membuka posyandu. “Dulu PMT tu tetep, cuman telur dan bubur kacang hijau. Sekarang bervariasi. Waktu ini bubur ayam, puding, kadang buah.” (I15) “Ribet sih bongkar pasang. Aa capek, trus abis tu sekarang disini kan rumahnya gak deket-deket. Akhirnya dikasik bukak posyandu.” (I4)

Disisi lain, terdapat pula komentar yang tidak dapat dipenuhi petugas karena kekurangan SDM dan fasilitas seperti penyesuaian kembali jadwal penyuluhan keliling, pemicuan, dan pelayanan pustu. “Mobil hanya ada satu. Dalam satu bulan itu mungkin kita cover satu desa aja.” (I8) “Itu ada yang ngusul kenapa gak disuruh buat septic tank. Nah kita cuman pembina.” (I10) “Kalau ibu keluar gak ada yang gantiin.” (I13)

  • b.    Berbagai Masukan Mempengaruhi

    Keputusan Puskesmas

Masukan oleh masyarakat wilayah kerja mempengaruhi keputusan Puskesmas Tegallalang II dalam hal pemberian pelayanan. Hal ini dilihat dari beberapa posyandu telah menyediakan PMT yang lebih bervariasi. Posyandu juga telah dibuka di desa yang berzona hijau.

“Tetep koordinasi dengan satgas desa, kepala desa, sama petugas surveilans. Jadi ada kasus, gak bukak. Saya bukak di zona aman.” (I4)

  • c.    Pemahamam Puskesmas terkait

    Kebutuhan Masyarakat

Tenaga kesehatan di puskesmas memiliki pemahamam yang mendalam mengenai kebutuhan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dari rapat dengan seluruh petugas puskesmas terkait. Lalu, terdapat pemahamam untuk mengetahui masalah masyarakat & penyuluhan keliling sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi di masa pandemi COVID-19. “Semua masukan dari masyarakat baik itu kader, tokoh masyarakat, tetep kita proses dulu disini. Rembug bareng program terkait.” (I2) “Kita melihat juga mereka membutuhkan informasi pandemi dan terkait posyandu.” (I1)

  • d.    Mengikutsertakan Kepentingan dari

    Masyarakat dalam Keputusan

Kepentingan masyarakat senantiasa turut serta dalam pengambilan keputusan oleh puskesmas, seperti kunjungan rumah dalam rangka pemantauan ibu hamil dan anak balita yang bermasalah untuk desa dengan kasus COVID-19 dan rapat antar program terkait setelah evaluasi.

“Stunting, pendek, dan gizi kurang dipantau tiap bulan, kunjungan rumah. Normal-normal cuman dikasi PMT aja depan rumah.” (I13) “Kalau evaluasi biasanya per bulan itu apa aja masalah yang ditemui. Kalau rapat dengan desa kayak lintas sektor 3 bulan sekali.” (I8)

  • e.    Budaya Organisasi Mendorong

    untuk Memberikan Pelayanan

Budaya puskesmas telah mendorong untuk senantiasa memberikan pelayanan pengentasan stunting di masa pandemi

COVID-19. Hal ini dilihat dari kegiatan refreshing kader. Terdapat pula dorongan mempertahankan semangat melaksanakan program pengentasan stunting, dengan

menciptakan hubungan kerja yang baik serta saling menghargai antar rekan kerja. “Setiap tahunnya kita ada pertemuan kayak refreshing kader gitu. Nanti dari program gizi kita berikan materi PMBA untuk balita.” (I5) “Salah satu strategi kita menjaga hubungan baik, menghargai, berbagi. Itu sebenarnya.” (I2)

  • 3.   Dimensi Organizational Learning

  • a.   Puskesmas Memandang Kegagalan

sebagai Pembelajaran

Puskesmas memandang kegagalan sebagai kesempatan untuk dapat belajar, perbaikan, dan berkembang. Hal ini juga dapat digambarkan dari adanya penolakan petugas saat melakukan kunjungan rumah dan melakukan sosialisasi kembali dengan pendekatan kepada tokoh masyarakat. Puskesmas juga melakukan analisis untuk menemukan strategi dan cara-cara baru. “Kalau ditolak yang risikonya tanggung. Kita pendekatan kepada tokoh masyarakat. Nanti gampang, biar atasannya yang berbicara.” (I2)

  • b.    Inovasi dan Pengambilan Risiko

    Belum Sepenuhnya Didorong

Inovasi dan pengambilan risiko cukup dapat didorong dan dihargai dalam puskesmas, seperti adanya pembentukan posyandu tanpa asap rokok. Terdapat pula cara pemaksimalan program pengentasan stunting baik yang telah ada sebelumnya maupun kegiatan baru dari puskesmas. “Untuk masalah rokok kita membuat suatu kayak SK, suratnya kepala desa.” (I4) “Lebih ke prokes dan tidak ada kelas ibu hamil, jadi kunjungan rumah lebih intensif.” (I6)

Namun, kader-kader desa tidak bisa menjangkau semua sasaran dalam waktu singkat dibandingkan saat melakukan pemantauan balita di posyandu sehingga cakupan kunjungan balita ke posyandu (D/S) di puskesmas menjadi rendah.

“Ada bimtek dari dinas provinsi dan ternyata cakupan D/Snya kecil disini. Karena gak bukak posyandu, makanya kecil cakupannya.” (I4)

  • c.    Melewati Perubahan Penting Tanpa

    Mengambil Pelajarannya

Petugas kesehatan telah melalui hal-hal penting, memandang pandemi COVID-19 sebagai perubahan lingkungan yang mengajarkan lebih kreatif untuk membuat APD sendiri, perubahan PHBS, dan kerja sama dengan lintas sektor lebih intens. “Kita buat sekat, face shield sendiri, diawal. Jadi situasi itu mengajarkan lebih kreatif.” (I2) “Bekerja sama dengan instansi lain ya, TNI, Polri. Kita ada hubungan lebih intens lah.” (I1) “Dulu jarang masyarakat cuci tangan. Diare berkurang, paling ada satu laporan.” (I14)

Pandangan lain, pandemi COVID-19 menyebabkan perubahan lingkungan yang lebih mengarah pada sulitnya pelayanan stunting dan dampak merugikan lainnya seperti sulitnya berkomunikasi, program tidak berjalan maksimal, kebiasaan baru menangani pasien, dan tugas tambahan. “Dampak positif gak ada. Pasti negatif. Kayak program kita gak jalan. Abistu kita harus banyak kunjungan rumah.” (I5)

“Nambah kerjaan jadinya sih. Harus isi gini, isi gini. Ditakutin juga kadang.” (I16)

  • d.    Kurangnya Implementasi terhadap

    Pembelajaran Organisasi

Puskesmas Tegallalang II memiliki pandangan yang baik terkait pembelajaran

merupakan tujuan penting sebagai tenaga kesehatan. Hal ini ditunjukkan dari adanya rapat program per bulan dan lokakarya mini setiap 3 bulan sebagai wadah untuk pemantauan atau mengevaluasi berbagai program maupun kegiatan pengentasan stunting melalui pertemuan.

“Biasa menyampaikan hasil capaian program per bulan. Analisa masalah program, diskusi sekaligus kita evaluasi. Kemudian, hasil rapat ini kita bawa ke rapat besar, rapat lokmin.”(I2)

Namun, pandangan baik terhadap tujuan penting pembelajaran tersebut tidak diimbangi dengan praktik nyata, seperti kurangnya pengembangan petugas dan jarangnya berbagai wawasan organisasi. “Semua merangkap karena kita keterbatasan tenaga. Ya jadi gak ada juga pelatihan khusus, langsung aja itu bisa dikerjakan.” (I9) “Biasanya ada tapi sekarang karena pandemi jarang kita melakukan pertemuan lagi seperti dulu untuk bahas gituan.” (I12)

  • e.    Seluruh Unit Saling Mengetahui

    Tugas Unit Lainnya

Dalam melaksanakan pekerjaannya, Puskesmas Tegallalang II memastikan bahwa seluruh unit bisa saling mengetahui tugas yang dilakukan unit lainnya dalam pencegahan stunting melalui job description. “Rata-rata bertanggung jawab sama tugasnya. Tapi kita sudah punya tupoksi, ada kayak job desc, kita tau dia ngapain aja tugasnya.” (I6)

DISKUSI

  • 1.   Dimensi Creating Change

  • a.   Pelayanan Fleksibel & Sulit Diubah

Penelitian mendapati Puskesmas Tegallalang II fleksibel melaksanakan program pengentasan stunting di masa pandemi COVID-19. Fleksibilitas tersebut

ditunjukkan dengan penyesuaian faktor pendukung program pengentasan stunting dari jadwal kegiatan sampai situasi di desa sasaran tersebut. Organisasi yang fleksibel merupakan wujud pemenuhan kebutuhan pelanggan dan bentuk respon terhadap perubahan (Handayani & Bastian, 2017).

Fleksibilitas Puskesmas Tegallalang II juga telah memenuhi aspek perubahan organisasi yakni pada struktur, teknologi, penataan fisik, dan individu (Robbins & Judge, 2006). Perubahan struktur yakni aturan dan prosedur untuk meningkatkan standarisasi puskesmas di masa pandemi COVID-19. Lalu, perubahan teknologi ialah modifikasi metode serta peralatan seperti pemantauan daring. Perubahan penataan fisik mencakup pembatasan antar petugas dan pasien dan pengaturan tempat duduk tunggu pasien sesuai protokol kesehatan. Lalu, perubahan individu yaitu koordinasi secara daring, pemecahan masalah, serta eksekusi program pengentasan stunting.

Alih-alih fleksibel, perubahan tidak mudah untuk dapat dilaksanakan oleh Puskesmas Tegallang II seperti dalam pemakaian APD, hand sanitzer, disinfektan, pengaturan kunjungan balita ke posyandu, dan kunjungan ke setiap rumah sasaran. Sejalan dengan penerangan Sugandi (2013), bahwa hampir setiap perubahan yang terjadi baik struktur organisasi, teknologi, penataan fisik, dan SDM dapat berpotensi mengganggu interaksi individu yang sudah menjadi kebiasaan.

Perubahan juga dirasa semakin sulit karena kurangnya kesadaran beberapa masyarakat untuk rutin memakai masker. Sebagaimana dengan hasil penelitian oleh Hasibuan (2021) bahwa petugas kesehatan akan mengalami kondisi kejiwaan lebih

parah, pemisahan dari keluarga, ketakutan akan penularan COVID-19, fasilitas teknis yang tidak memadai, dan situasi abnormal. Diperlukan peningkatan intervensi dan pendekatan yang memotivasi perasaan petugas kesehatan terkait kelebihan beban kerja, ketidaknyamanan dalam pemakaian APD, dan stigma sosial sebagai bentuk dukungan kepada tenaga kesehatan.

  • b.    Respon Baik Puskesmas terhadap

    Perubahan Lingkungan

Berbagai adaptasi dan perubahan yang telah diupayakan mencerminkan bahwa Puskesmas Tegallalang II telah merespon perubahan lingkungannya agar program pengentasan stunting tetap dapat dilaksanakan meski di tengah pandemi COVID-19. Berbagai perubahan tersebut telah sesuai dengan pedoman pelayanan kesehatan puskesmas di masa pandemi COVID-19 dari Kementerian Kesehatan RI, dimana berbagai kegiatan pelaksanaan dilakukan dengan memperhatikan kaidah untuk pencegahan penularan saat pandemi COVID-19 seperti pemanfaatan teknologi informasi (daring) dan physical distancing (Kementerian Kesehatan RI, 2020c).

Sejalan dengan teori behaviorisme bahwa selalu terdapat hubungan antara stimulus dengan respon pada perubahan perilaku individu (Indriyanti, 2020). Dalam hal ini stimulus merupakan perubahan lingkungan eksternal yang telah diterima tenaga kesehatan yang dapat memprediksi respon individu sebagai wujud kesadaran diri melakukan perubahan. Dukungan dari penelitian Gunawan (2019) menerangkan, terdapat pengaruh yang signifikan dari komitmen dan perilaku ataupun respon individu terhadap perubahan organisasi.

  • c.    Adopsi Cara-Cara Baru dalam

    Pengentasan Stunting

Berdasarkan hasil penelitian terdapat cara-cara baru yang diadopsi Puskesmas Tegallalang II dalam program pengentasan stunting di tengah pandemi COVID-19, seperti eksekusi program posyandu serta pemantauan yang dilaksanakan secara daring-kombinasi, yaitu posyandu dibuka pada desa berzona hijau dengan protokol kesehatan serta dikombinasikan dengan pemantauan melalui WhatsApp. Hal ini sejalan dengan temuan Lybaws & Renyoet (2020) bahwa pemantauan pertumbuhan balita di posyandu tetap bisa dilaksanakan dengan kaidah protokol kesehatan yang dikombinasikan secara daring.

Pelaksanaan posyandu juga berbeda dari sebelum pandemi COVID-19 karena terdapat pengaturan waktu dan jumlah kehadiran balita yang dibatasi menurut batas wilayah. Cara-cara baru tersebut juga disesuaikan dengan Panduan Pelayanan Kesehatan Balita pada Masa Tanggap Darurat COVID-19 bagi Tenaga Kesehatan bahwa pelayanan rutin pada balita di luar gedung tersebut mengikuti kebijakan dari pemerintah daerah setempat di wilayah kerja puskesmas dan transmisi lokal virus corona (Kementerian Kesehatan RI, 2020b).

Data cakupan keberhasilan program (N/D) di Puskesmas Tegallalang II sebesar 54,34% pada tahun 2019 dan menunjukkan adanya peningkatan capaian di tahun 2020 menjadi 73,1% (Puskesmas Tegallalang II, 2020). Dalam bentuk lain, terdapat kegiatan penyuluhan keliling oleh puskesmas dan perubahan jadwal PMT kepada ibu hamil KEK yang awalnya dilakukan setiap bulan menjadi 3 bulan sekali. Menurut kaidah pada panduan pelayanan kesehatan balita,

distribusi makanan tambahan dapat terus dilakukan sesuai dengan kebutuhan gizi melalui petugas kesehatan dibantu oleh kader untuk mempertahankan kecukupan gizi (Kementerian Kesehatan RI, 2020a).

  • d.    Hambatan Puskesmas dalam

    Menciptakan Perubahan

Masa sulit ditandai dengan adanya berbagai hambatan yang menghampiri individu selama proses adaptasi. Kegiatan tambahan semenjak pandemi COVID-19 seperti halnya tracing, rapat, dan kegiatan vaksinasi membuat petugas kesehatan sulit menyesuaikan pengentasan stunting karena harus mengatur kembali jadwal kegiatan yang berbenturan. Lalu, sebagian besar informan juga mengaku sangat kewalahan dan terkadang merasa tertekan untuk memenuhi tanggung jawab yang dipikul. Penelitian oleh Narundana & Sari (2021) mendapati stres berpengaruh terhadap kualitas kerja karyawan di puskesmas. Beban kerja yang diselesaikan petugas merupakan variabel yang paling dapat menimbulkan stres. Septyaningsih (2017) menegaskan bahwa kelebihan beban kerja berpengaruh signifikan terhadap kelelahan emosional yang mempengaruhi kinerja.

Masa kerja tenaga kesehatan yang cenderung singkat berpengaruh dalam keterbatasan SDM karena pemindahan petugas sehingga terjadi perubahan dalam struktur organisasi agar posisi-posisi yang ditinggal terisi. Temuan Rahadian (2013) menerangkan bahwa adanya pengurangan personil/SDM disuatu unit memberikan pengaruh yang signifikan. Banyak pegawai organisasi keteteran karena pengalihan pekerjaan dan berujung pada rendahnya kualitas kerja. Kunjungan ke setiap rumah

sasaran juga sangat menguras waktu dan tenaga kader. Hal ini dikarenakan jarak rumah setiap sasaran yang cukup jauh. Para kader juga harus membawa alat pemantauan yang tidak sedikit. Kegiatan secara daring pun tidak dapat berjalan maksimal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lybaws & Renyoet (2020) bahwa pelayanan kesehatan daring kurang efektif karena tidak semua sasaran paham akan penggunaan media sosial seperti yang terjadi di daerah-daerah pedesaan tertentu.

Berbagai kendala SDM diatas juga bertentangan dengan satu persyaratan puskesmas menurut Permenkes RI No. 75 Tahun 2014, yaitu jenis dan jumlah SDM puskesmas dihitung berdasarkan analisis beban kerja yang dipertimbangkan dengan jumlah pelayanan, jumlah penduduk, ketersediaan fasilitas pelayanan, sifat dan luas wilayah kerja (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pada Permenkes tersebut juga mengatur tentang jumlah tenaga minimal di pustu yang terdiri dari 1 orang tenaga perawat dan 1 orang bidan. Namun, dalam praktiknya saat ini masing-masing pustu dan poskesdes di wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II hanya terdiri dari 1 orang tenaga kesehatan, sehingga satu standar tersebut belum bisa terpenuhi. Adaptasi juga semakin sulit ketika sarana Puskesmas Tegallalang II kurang mendukung, yaitu terbatasnya pemakaian ambulans untuk penyuluhan keliling. Hal ini juga semakin mencerminkan bahwasanya Puskesmas Tegallalang II menghadapi ketidaksiapan dalam perubahan tidak terencana. Pemicu perubahan yang besar dapat mendorong puskesmas untuk melahirkan ide-ide baru meski faktor pendukungnya tidak selalu ada/siap (Anderson & Anderson, 2001).

Masa-masa kritis yang penuh dengan hambatan tersebut memakan waktu untuk beradaptasi. Hal ini juga bertolak belakang dengan salah satu sasaran perubahan yaitu mengupayakan transformasi berlangsung dalam waktu yang relatif singkat dengan hambatan yang dapat seminimal mungkin (Winardi, 2006). Puskesmas Tegallalang II perlu mengatasi permasalahan utama penyebab hambatan dalam perubahan dengan melakukan analisis perencanaan kebutuhan jumlah dan jenis SDM.

  • e.    Berbagai Unit Saling Bekerja Sama

    Menciptakan Perubahan

Proses kerja sama yang berlangsung dalam organisasi dapat menjadi penyebab lahirnya perubahan tersebut (Cahyati, 2019). Kerja sama Puskesmas Tegallalang II ditunjukkan melalui penyuluhan keliling oleh unit UKM esensial. Kerja sama juga ditunjukkan pada koordinasi oleh petugas UKM esensial, pustu, poskesdes, dan kader desa seperti dalam PMT, posyandu, dan kunjungan rumah. Selaras dengan hasil temuan Kadullah (2015) bahwa terdapat pengaruh kinerja kader posyandu terhadap kepatuhan ibu balita untuk menimbang di posyandu desa. Koordinasi juga dilakukan dalam pemanfaatan dana untuk program pengentasan stunting seperti, pembelian vitamin dan sirup untuk balita dan dana pembuatan MP-ASI yang tidak lepas dari koordinasi dari puskesmas dan pihak desa. Lalu, hasil dari penelitian Susyanto (2019) mengungkapkan bahwa keterlibatan kerja sama karyawan mempengaruhi kesiapan organisasi untuk perubahan. Puskesmas Tegallalang II juga perlu mengembangkan organisasi untuk meningkatkan kesiapan dalam mengikuti perubahan.

  • 2.    Dimensi Customer Focus

  • a.    Komentar dan Rekomendasi Kerap Menimbulkan Perubahan

Puskesmas Tegallang II kerap menerima komentar dan rekomendasi dari masyarakat terkait pengentasan stunting. Reaksi itu ditunjukkan dengan pengaruh masukan yang membawa pada perubahan pelayanan pengentasan stunting, seperti halnya pengalihan pemantauan anak balita kembali ke posyandu. Hasil penelitian ini didukung dengan temuan Siahaan & Zen (2012) bahwa perubahan yang mengacu pada masukan pelanggan terjadi sebagai respon organisasi yang beradaptasi pada perubahan lingkungan. Lalu, senada pula dengan Sugandi (2013), organisasi harus tetap berusaha menciptakan lingkungan pelayanan dimana perubahan dapat diakui sebagai sesuatu yang penting bagi sasaran.

Terdapat juga komentar terkait jenis makanan tambahan di posyandu yang sama sejak dahulu, yaitu kacang hijau dan telur rebus. Lalu, makanan tambahan telah dibuat menjadi lebih bervariasi seperti bubur ayam dan puding. Perubahan ini juga berdampak positif terhadap capaian program pemberian MP-ASI pada tahun 2019 dan 2020 yang mencapai target 100% (Puskesmas Tegallalang II, 2020). Hal ini mencerminkan bahwa budaya Puskesmas Tegallalang II yang berfokus eksternal akan mencari umpan balik dan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi.

Namun, dalam menyikapi masukan tersebut masih terdapat aspek yang belum optimal yaitu penyuluhan keliling setiap minggu dan penyediaan tangki septik. Keterbatasan peran, sarana, serta jumlah SDM kembali menjadi faktor penghambat. Temuan Karno et al., (2018) membuktikan,

faktor organisasi dan faktor individual turut berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan kesehatan puskesmas. Dengan demikian, dapat pula dinyatakan bahwa baik faktor individu dan faktor organisasi sangat dapat menentukan kualitas pelayanan kesehatan puskesmas.

Komentar juga ditujukan kepada petugas di pustu dan poskesdes yang tidak berada di tempat, yaitu saat masyarakat membutuhkan pelayanan karena petugas harus menghadiri posyandu di wilayah kerjanya, kunjungan rumah, atau tracing COVID-19. Alih-alih memenuhi kewajiban sebagai tenaga kesehatan di pustu, disisi lain hal tersebut menyebabkan kewajiban lainnya tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal. Masyarakat harus datang untuk berobat di hari lain atau terpaksa memakan waktu lebih lama mendatangi Puskesmas Tegallalang II. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan serta peran pustu dan poskesdes untuk meningkatkan akses, jangkuan, dan mutu pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di sekitar wilayah kerjanya sebagaimana yang diundangkan dalam Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 belum sepenuhnya dapat terlaksana (Kementerian Kesehatan RI, 2014b).

  • b.    Berbagai Masukan Mempengaruhi

    Keputusan Puskesmas

Berbagai tindak lanjut masukan yang diterima petugas kesehatan secara tidak langsung menunjukkan adanya pengaruh terhadap keputusan puskesmas dalam pengentasan stunting di masa pandemi COVID-19. Senada dengan Tampubolon (2020) bahwa dengan menjadi berfokus pada pelanggan, organisasi publik dapat membangun budaya kepedulian yang bisa

membawanya kembali pada kepercayaan pelanggan. Keputusan ditunjukkan dengan terealisasikannya masukan masyarakat seperti PMT yang bervariasi di beberapa posyandu. Sejalan juga dengan penerangan Siahaan & Zen (2012), jika pelanggan tidak menerima sesuatu yang bernilai, maka organisasi sulit memiliki kesan yang baik.

Petugas Puskesmas Tegallalang II juga mendiskusikan kesulitan kader ketika kunjungan rumah. Puskesmas Tegallalang II kemudian mengalihkan pemantauan balita ke posyandu kembali di desa dengan zona hijau. Dukungan dari hasil temuan Purhantara (2010) juga mengungkapkan perubahan organisasi dapat identik dengan perkembangan suatu organisasi melalui SDM. Apabila organisasi itu tidak dapat mengayomi/menyelesaikan masalah yang dihadapi karyawannya, maka organisasi tersebut sulit untuk berkembang dalam mencapai perubahan (Tampubolon, 2020).

Berbagai data, fakta, dan informasi yang didapat secara luas, memungkinkan Puskesmas Tegallalang II menghasilkan keputusan terkait pemenuhan kebutuhan masyarakat. Hasil ini juga selaras dengan tinjauan Schein (2010) bahwa data dan fakta terkini akan membantu individu dalam organisasi untuk menyelaraskan perilaku mereka dengan tujuan organisasi. McShane & Von Glinow (2010) juga turut menerangkan, pengambilan keputusan pada organsasi yang sehat terletak pada sumber-sumber infomasi, dibandingkan pada peran atau hierarki tertentu.

  • c.    Pemahamam Puskesmas terkait

    Kebutuhan Masyarakat

Cara petugas Puskesmas Tegallalang II menyikapi komentar dan rekomendasi

yang kerap diterima dari masyarakat telah menunjukkan pemahamam mendalam terhadap kebutuhan masyarakat dalam pelayanan pengentasan stunting di masa pandemi COVID-19. Hal ini dicerminkan juga dari petugas di UKM esensial yang memilih untuk selalu menganalisa terlebih dahulu masukan yang telah diterimanya dengan petugas kesehatan di programprogram terkait agar dapat menentukan tindakan selanjutnya dengan tepat.

Evaluasi dari program Puskesmas Tegallalang II mengilustrasikan usaha peningkatan sentralitas pelanggan dan tuntutan eksternal lain untuk memenuhi kepuasan masyarakat. Temuan ini serasi dengan temuan Astar et al., (2018) bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan dari implementasi, pengkajian, intervensi, diagnosa, dan evaluasi secara simultan terhadap kepuasan pasien rawat inap di Puskesmas Takalala. Pemahamam juga ditunjukkan dari pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi terkait COVID-19 dan juga program pengentasan stunting dalam bentuk penyuluhan keliling. Hal ini juga selaras dengan hasil temuan Denison & Neale (2017) bahwa berinteraksi dengan pelanggan lebih banyak akan menambah wawasan untuk memahami kebutuhan pelanggan. Selain itu, organisasi cenderung bisa menciptakan kinerja lebih baik melalui perilaku pelanggannya (Kotter, 2018).

  • d.    Mengikutsertakan Kepentingan dari

    Masyarakat dalam Keputusan

Puskesmas Tegallalang II juga senantiasa mengikutsertakan kepentingan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait pelayanan pengentasan stunting di tengah pandemi COVID-19. Hal

ini ditunjukkan dengan adanya larangan dari pihak desa untuk membuka posyandu saat terdapat kasus COVID-19. Disisi lain, pemantauan balita di zona merah tidak bisa dikesampingkan, terutama untuk ibu hamil dan balita yang bermasalah. Lalu, Puskesmas Tegallalang II melaksanakan kunjungan rumah bersama kader dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Sebagai wilayah dengan prioritas penanganan stunting, kepentingan juga ditunjukkan dari pemberian vitamin A dan obat cacing sebagai kegiatan wajib pada bulan Februari dan Agustus. Hal ini juga telah mengacu pada Keputusan Bupati Gianyar Nomor 1006/F-01/HK/2020 yaitu tentang Penetapan Desa Lokasi Prioritas Intervensi Stunting Tahun 2021. Data dari capaian program pengentasan stunting pada tahun 2019 dan tahun 2020 juga menunjukkan cakupan kapsul vitamin A merah dan biru pada bulan Februari dan bulan Agustus telah mencapai target 100% (Puskesmas Tegallalang II, 2020).

Pemaparan diatas mencerminkan keterlibatan kepentingan masyarakat yang tinggi dalam hal pengambilan keputusan Puskesmas Tegallalang II. Senada dengan temuan Furneaux et al., (2010), kontribusi pelanggan membantu organisasi untuk menemukan strategi perbaikan pelayanan dan investasi yang lebih besar. Kajian Denison et al., (2014) juga mendukung bahwa organisasi yang berpusat pada adaptasi dan respon cenderung memiliki fokus pada eksternal yang kuat.

  • e.    Budaya Organisasi Mendorong untuk Memberikan Pelayanan

Kemampuan budaya dalam dimensi customers focus ini mencerminkan sejauh

mana organisasi didorong oleh perhatian untuk tetap dapat memuaskan pelanggan mereka (Denison & Neale, 2017). Dorongan budaya organisasi tampak pada refreshing kader oleh Puskesmas Tegallalang II untuk pembekalan materi pengentasan stunting demi mempertahankan kinerja kader di masa pandemi COVID-19.

Budaya Puskesmas Tegallalang II senantiasa mendorong semangat petugas puskesmas dalam memberikan pelayanan pengentasan stunting di masa pandemi COVID-19 yakni, menciptakan hubungan kerja yang baik, saling menghargai, serta membangun rasa kekeluargaan. Hasil ini menunjukkan adanya keserasian dengan kajian Denison et al., (2014) bahwa selalu ada kekuatan yang dapat dikembangkan dalam praktik perubahan budaya adaptif.

  • 3.   Dimensi Organizational Learning

  • a.   Puskesmas Memandang Kegagalan

sebagai Pembelajaran

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Puskesmas Tegallalang II telah memandang suatu kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar, perbaikan, dan berkembang. Hal ini bermula dari adanya penolakan oleh beberapa masyarakat saat kunjungan rumah untuk KIA maupun pemicuan kesehatan lingkungan. Alhasil, petugas puskesmas kembali melakukan kunjungan rumah dengan menerapkan alternatif strategi pendekatan kepada tokoh masyarakat di desa bersangkutan.

Hal diatas telah menunjukkan bahwa terdapat kesadaran petugas kesehatan akan pentingnya melakukan perbaikan dan perkembangan agar dapat menghasilkan strategi/cara baru yang digunakan dalam pengentasan stunting. Temuan ini juga

didukung oleh penelitian Nesbit & Lam (2014) bahwa pengembangan kapabilitas baru dan kapabilitas perubahan sebagai bentuk perbaikan organisasi menunjukkan kesadaran individu yang sangat penting dalam kelangsungan hidup organisasi publik. Kajian oleh Cirella et al., (2012) juga menegaskan bahwa organisasi publik yang berorientasi pada masyarakat, perubahan dan juga pengembangan kemampuan dari kegagalan yang dialami bukan sesuatu pilihan, melainkan suatu keharusan.

Bentuk lain dari pandangan terhadap kegagalan ditunjukkan melalui pandangan Puskesmas Tegallalang II pada pembatalan program yang juga cenderung melakukan analisis melalui rapat antar program dan berusaha melahirkan strategi baru sebagai bentuk perbaikan serta perkembangan program ke arah yang lebih baik. Senada dengan yang diungkapkan Luthans (2011), bahwa dalam hal ini organisasi akan terus mengubah sistem-sistemnya sampai dapat meningkatkan kemampuan agar bisa memberikan nilai tinggi untuk pelanggan.

  • b.    Inovasi dan Pengambilan Risiko

    Belum Sepenuhnya Didorong

Dorongan terhadap inovasi serta pengambilan terhadap risiko di Puskesmas Tegallalang II telah terlihat pada adanya pembentukan aturan posyandu tanpa asap rokok. Inovasi tersebut terlahir dari akar permasalahan masih banyaknya orang tua anak balita yang merokok dan dinilai sebagai faktor yang berkontribusi pada tingginya angka stunting. Keadaan diatas selaras dengan teori perubahan oleh Jones, (2013) bahwa perubahan revolusioner Puskesmas Tegallalang II terjadi dalam peningkatan efektivitas kinerja organisasi

melalui restrukturisasi serta inovasi dan dipadukan dengan perubahan evolusioner yang mengupayakan berbagai cara-cara baru untuk menjadi efektif.

Pemberlakuan aturan pencegahan COVID-19 menciptakan bermacam cara-cara pemberian pelayanan baru seperti perubahan jadwal PMT pada ibu hamil KEK menjadi 3 bulan sekali, penyuluhan keliling, serta kunjungan rumah yang diprioritaskan untuk balita dan ibu hamil yang bermasalah. Temuan ini juga selaras dengan kajian oleh Sugandi (2013) bahwa organisasi senantiasa dapat berinovasi dan memperbaiki produk baik berupa barang dan jasa guna dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang berubah.

Namun, nyatanya kunjungan rumah tidak dapat menjangkau seluruh sasaran dengan efektif dan efisien seperti di posyandu. Alhasil, cakupan kunjungan balita ke posyandu (D/S) di wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II menjadi paling rendah se-Kabupaten Gianyar. Lalu, data dari partisipasi balita ke posyandu (D/S) menunjukkan bahwa terjadi penurunan signifikan kunjungan dari 92,06% pada tahun 2019 menjadi 70,62% pada tahun 2020. Cakupan ASI eksklusif dari tahun 2019 sebesar 82,62% yang juga mengalami penurunan menjadi 80,33% pada tahun 2020 (Puskesmas Tegallalang II, 2020). Ketakutan terhadap risiko menyebabkan puskesmas menerapkan inovasi yang memiliki dampak jangka pendek sehingga berpengaruh pada rendahnya capaian program. Kotter & Heskett (1992) juga menemukan bahwa budaya organisasi yang kuat dapat mengantarkan organisasi pada keberhasilan jangka pendek, tetapi menghambat kinerja organisasi.

  • c.    Melewati Perubahan Penting Tanpa Mengambil Pelajarannya

Beberapa informan mamandang bahwa banyak hal-hal penting yang dapat dipelajari di tengah pandemi COVID-19 ini. Pandemi COVID-19 juga mengajarkan petugas puskesmas untuk bisa lebih kreatif membuat sekat dan face shield. Selain itu, kerja sama dengan lintas sektor seperti TNI, Polri, dinas perhubungan, dan juga puskesmas lainnya lebih intens. Pelajaran penting lainnya yaitu perubahan PHBS baik tenaga kesehatan maupun masyarakat ke arah yang lebih baik, seperti halnya rutin mencuci tangan, menggunakan hand sanitizer, dan juga memakai masker saat bepergian. Temuan oleh Utama (2020) juga menunjukkan terdapat faktor-faktor yang berubah selama masa pandemi COVID-19 yaitu mencuci tangan serta penggunaan masker saat bepergian. Lalu, dampak yang paling terlihat jelas dari peningkatan PHBS masyarakat ialah terjadinya penurunan kasus diare di beberapa desa wilayah kerja Puskesmas Tegallalang II.

Apabila melihat dari kaca mata yang berbeda, tidak sedikit pula informan yang menganggap bahwa perubahan akibat terjadinya pandemi COVID-19 cenderung menimbulkan dampak merugikan, seperti pada terhambatnya pemberian pelayanan program pengentasan stunting antara lain, penyuluhan kelompok, senam ibu hamil, dan posyandu sehingga harus banyak melakukan kunjungan rumah. Dampak negatif lainnya ialah stigma sosial sebagai tenaga kesehatan, kekhawatiran kesehatan, dan juga pekerjaan tambahan yang harus ditunaikan. Hasil penelitian ini juga selaras dengan Winardi (2006) bahwa perubahan organisasi seringkali memiliki dampak

negatif terhadap suatu individu disamping dampak positif. Adanya pandangan negatif terhadap dampak perubahan cenderung berasal dari persoalan kepribadian dan persepsi individu akibat kebiasaan dan kenyamanan yang telah membudaya.

  • d.    Kurangnya Implementasi terhadap

    Pembelajaran Organisasi

Puskesmas Tegallalang II memiliki pandangan tersendiri terhadap tujuan penting pembelajaran seperti adanya rapat antar program per bulan dan lokakarya mini. Rapat tersebut menjadi wadah bagi petugas kesehatan Puskesmas Tegallalang II termasuk tenaga di pustu dan poskesdes untuk evaluasi program dan membahas hal-hal baru. Temuan ini juga didukung oleh Purhantara (2010), yang menerangkan bahwa mengevaluasi keterlibatan anggota organisasi dan pengalaman pelanggan secara berkala merupakan suatu bentuk pembelajaran organisasi.

Sementara Puskesmas Tegallalang II menyadari pentingnya pembelajaran, hal tersebut kurang diimbangi dengan praktik yang nyata. Dengan keterbatasan tenaga kesehatan di Puskesmas Tegallalang II dapat dipastikan bahwa sebagian besar petugas merangkap. Fulton et al., (2011) menerangkan bahwa pengalihan tugas (task shifting) merupakan strategi/cara yang cukup menjanjikan dalam meminimalisir kekurangan SDM. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa organisasi harus selalu siap memfasilitasi peningkatan pembelajaran tenaga kerjanya. Sementara itu, pelatihan dan pengembangan khusus bagi tenaga kesehatan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak terkait dengan bidang atau perannya terbilang kurang.

Kegiatan berbagi wawasan dan pembelajaran pada agenda pertemuan yang terbilang jarang terjadi menyebabkan kurang aktifnya aspek pada pembelajaran puskesmas pada tingkat organisasi. Rapat insidental hanya diselenggarakan pada saat terjadi masalah dan temuan hal baru. Pertemuan umumnya juga berjalan seiring waktu dan hanya sekali sebulan pada rapat rutin puskesmas. Hal senada juga telah diungkapkan Nesbit & Lam (2014) dalam temuannya bahwa sharing pembelajaran menjadi kurang aktif pada pertemuan yang diadakan hanya sekali/dua kali sebulan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Denison & Neale (2017) bahwa berbagi wawasan dan pembelajaran merupakan unsur penting untuk kesuksesan organisasi publik. Jones (2013) juga menegaskan para staf harus mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki agar tetap efektif. Jadi, Puskesmas Tegallalang II perlu memaksimalkan agenda pertemuan untuk dapat merefleksikan hal yang telah dipelajari. Dengan menghapus ruang, akan mempermudah tenaga kesehatan dalam mengklarifikasi ide untuk meningkatkan berbagai wawasan yang lebih dalam serta dapat lebih berinovasi secara aktif melalui pembelajaran pada tingkat organisasi.

  • e.    Seluruh Unit Saling Mengetahui

    Tugas Unit Lainnya

Melalui modelnya, Denison (2006) telah mendalilkan bahwa organsasi yang efektif cenderung memiliki budaya yang adaptif. Namun, budaya tersebut sangat konsisten dan dapat diperkirakan dengan dorongan keterlibatan anggota organisasi yang tinggi, sehingga harus dilakukan dalam lingkup misi bersama organisasi.

Oleh karena itu, penting bagi setiap unit di Puskesmas Tegallalang II untuk saling mengetahui pekerjaan yang dilakukan rekan kerja lainnya terkait pelaksanaan program pengentasan stunting.

Melalui job description, petugas Puskesmas Tegallalang II memastikan unit saling mengetahui tugas yang dilakukan dalam pengentasan stunting. Hasil ini juga menunjukkan bahwa keterlibatan petugas kesehatan dari berbagai unit telah saling mengetahui pekerjaan satu sama lainnya khususnya dalam melaksanakan program pengentasan stunting. Dukungan temuan oleh Denison & Neale (2017) menerangkan bahwasanya tingkat dari keterlibatan yang tinggi oleh unit menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap organisasi.

SIMPULAN

Puskesmas Tegallalang II cenderung menerima perubahan yang dicerminkan dari adanya keterlibatan tenaga kesehatan, respon, serta adopsi cara baru agar tetap dapat melaksanakan program pengentasan stunting. Namun, puskesmas memerlukan waktu yang cukup lama dan menghadapi banyaknya hambatan dalam perubahan. Penghambat utama terlihat jelas yaitu pada keterbatasan SDM, sehingga menyebabkan tidak seimbanganya beban kerja, jumlah pelayanan, penduduk, fasilitas pelayanan, dan luas wilayah kerja puskesmas.

Budaya Puskesmas Tegallalang II berpusat pada kebutuhan masyarakat dan seringkali mempertimbangkan manfaat untuk masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pelayanan stunting di tengah pandemi COVID-19. Perubahan pelayanan akibat komentar masyarakat mencerminkan bahwasanya, secara budaya

Puskesmas Tegallalang II berfokus secara eksternal, yakni pada pelanggan dan tren pasar untuk menjalankan cara atau strategi go to market dengan lebih baik.

Puskesmas Tegallalang II memiliki pandangan yang baik terhadap kegagalan untuk belajar dan berkembang. Inovasi petugas pun senantiasa didukung. Namun, keberanian pengambilan risiko kurang terlihat sehingga berdampak terhadap penurunan kinerja seperti capaian program dalam jangka pendek. Lalu, kesempatan pelatihan dan pengembangan terbatas bagi tenaga kesehatan yang mengerjakan tugas tidak sesuai dengan perannya serta kurang efektifnya kemampuan belajar organisasi.

SARAN

Puskesmas diharapkan agar dapat menyeimbangkan SDM yang dimiliki dengan beban kerja seperti melakukan analisis perencanaan kebutuhan jumlah dan jenis SDM untuk mengatasi hambatan perubahan. Puskesmas juga diharapkan dapat memaksimalkan pertemuan sebagai forum khusus bagi para petugas kesehatan untuk saling berbagi pembelajaran tingkat organisasi secara aktif.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada DPM-PTSP Kabupaten Gianyar dan Puskesmas Tegallalang II yang telah memberikan izin melaksanakan dan turut melancarkan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para dosen dan keluarga PSSKM FK Unud lainnya atas bimbingan dan bantuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D., & Anderson, L. S. A. (2001).

Beyond Change Management: Advanced

Strategies for Today’s Transformational Leaders (Rebecca Taff, Ed.). Retrieved fromhttp://www.infopaceindia.com/u pload/Advanced Strategies for

Today’s Transformational Leaders.pdf Astar, F., Tamsah, H., & Kadir, I. (2018).

The influence of nursing care services on patient satisfaction in Takalala community health service center district Soppeng. In Journal of Management (Vol. 1). Retrieved from https://www.journal.stieamkop.ac.id/i ndex.php/yume/article/view/231

Cahyati, C. (2019). Perubahan Organisasi, Pengembangan Organisasi, Hubungan Antar Manusia, Kinerja Karyawan (Universitas Komputer Indonesia.). Retrieved from

https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint /1835/8/12_UNIKOM_CUCU

CAHYATI_BAB 2.pdf

Cirella, S., Guerci, M., & Shani, A. B. (2012). A Process Model of Collaborative Management Research: The Study of Collective Creativity in the Luxury Industry. Systemic Practice and Action Research, 25(3), 281–300.

https://doi.org/10.1007/s11213-011-9220-x

Denison, D. (2006). Diagnosing Organizational Cultures: Validating a Model and Method. International

Institute for Management Development and the University of Michigan Business School.

Denison, D., Levi, N., & Kotrba, L. (2014). Diagnosing organizational cultures: A conceptual and empirical review of culture effectiveness surveys. European Journal of Work and Organizational Psychology, 23(1), 145–161.

https://doi.org/10.1080/1359432X.2012. 713173

Denison, D., & Neale, W. S. (2017). Denison Organizational Culture Survey.

Retrieved from

https://docplayer.net/11003150-

Denison-organizational-culture-survey.html

Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar. (2020a). Analisis Dampak Pandemi COVID-19 pada Program Pencegahan dan Penanggulangan Stunting Stunting di Kabupaten Gianyar. Bali.

Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar. (2020b). Laporan Gizi 2019.

Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar. (2020c). Rekap Status Gizi Berdasarkan Entry EPPGBM Bulan Februari Per September 2020.

Fulton, B. D., Scheffler, R. M., Sparkes, S.

P., Auh, E. Y., Vujicic, M., & Soucat, A. (2011). Health workforce skill mix and task shifting in low income countries: a review of recent evidence. Human Resources for Health, 9(1).

https://doi.org/10.1186/1478-4491-9-1

Furneaux, C., Tywoniak, S., &

Gudmundsson, A. (2010). Selectionadaptation-retention dynamics and variety in organisational routines.

Retrieved from

http://eprints.qut.edu.au/

Gunawan, A. (2019). Pengaruh Komitmen Organisasi dan Sikap Terhadap Perubahan Organisasi. Jurnal Inspirasi Bisnis Dan Manajemen, 3(1), 31–42.

Retrieved from

http://jurnal.unswagati.ac.id/index.ph p/jibmAvailableonlineathttp://jurnal.u nswagati.ac.id/index.php/jibm

Handayani, A., & Bastian, E. (2017). Pengaruh Fleksibilitas Budaya Dan Kerangka Levers of Control.

Hasibuan, A. N. (2021). Faktor yang Berhubungan dengan Stress Petugas Kesehatan dalam Penanganan COVID-19.https://doi.org/10.31219/OSF.IO/B9 RC4

Indriyanti, D. (2020). Implementation of Health Protocols in Puskesmas Offices in Pandemic : Case Study of Puskesmas Cileungsi Bogor District. Inovasi Aparatur, 2(2), 235–246.

Retrieved from https://ejournal-bpsdm.jakarta.go.id/index.php/monas /article/view/52/32

Joko Widodo. (2020). Selain Minta Fokus Proyek Strategis Berdampak ke Rakyat, Ini 4 Arahan Presiden Soal PSN- Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. In Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Retrieved from https://setkab.go.id/selain-minta-fokus-proyek-strategis-berdampak-ke-rakyat-ini-4-arahan-presiden-soal-psn/

Jones, G. R. (2013). Organizational Theory, Design, and Change (seventh ed; S. Yagan, Ed.). Retrieved from https://industri.fatek.unpatti.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/085-Organizational-Theory-Design-and-Change-Gareth-R.-Jones-Edisi-7-2013.pdf

Kadullah, Z. (2015). Pengaruh Kinerja Kader Posyandu Terhadap Kepatuhan Ibu Balita Untuk Menimbang Di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Tamalate Kota Gorontalo Tahun 2015. In Skripsi (Vol. 1). Retrieved from https://repository.ung.ac.id/skripsi/sh ow/841411013/pengaruh-kinerja-kader-posyandu-terhadap-kepatuhan-ibu-balita-untuk-menimbang-di-posyandu-wilayah-kerja-puskesmas-tamalate-kota-gorontalo-tahun-2015.html

Karno, Adi, I. R., & Laksmono, B. S. (2018). Analisis Pengaruh Faktor Organisasi Dan Faktor Individu Terhadap Kualitas Pelayanan Puskesmas Studi Pada Puskesmas Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen -Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 18(1). https://doi.org/10.7454/jurnalkessos.v1 8i1.101

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014. Retrieved from

http://hukor.kemkes.go.id/uploads/pr oduk_hukum/PMK No. 75 ttg Puskesmas.pdf

Kementerian Kesehatan RI. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan, 53(9), 1689–1699.

https://doi.org/10.1017/CBO978110741 5324.004

Kementerian Kesehatan RI. (2020a).

Panduan Pelayanan Kesehatan Balita Pada Masa Tanggap Darurat COVID-19. Retrieved from

https://infeksiemerging.kemkes.go.id/ download/Panduan_Yankes_Balita_P ada_Masa_GapDar_Covid19_Bagi_Na kes.pdf

Kementerian Kesehatan RI. (2020b).

Pelayanan Kesehatan Puskesmas di Masa Pandemi COVID-19. Retrieved May 29, 2021, from Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional website:https://covid19.go.id/edukasi/ tenaga-kesehatan/pelayanan-kesehatan-puskesmas-di-masa-pandemi-covid-19

Kementerian Kesehatan RI. (2020c). Studi Status Gizi Balita Terintegrasi Susenas 2019. Retrieved January 13, 2021, from Balitbangkes Kemenkes RI website: https://www.kemkes.go.id/resources/ download/info-terkini/Rakerkesnas-2020/02-Side-event/SE_08/Studi Status Gizi Balita Terintegrasi SUSENAS 2019 (Kapus Litbang UKM).pdf

Kotter, J. (2018). 8 Steps to Accelerate Change in Your Organization (pp. 1–34). pp. 1– 34. Retrieved from https://www.kotterinc.com/wp-content/uploads/2019/04/8-Steps-eBook-Kotter-2018.pdf

Kotter, J., & Heskett, J. L. (1992). Corporate Culture and Performance. New York: Free Press.

Luthans, F. (2011). Organizational Behavior The Twelfth Edition of Organizational

Behavior: An Evidence (12th ed.; J. Beck, Ed.). Retrieved from

www.mhhe.comwww.mhhe.com/luth ans12e

Lybaws, L., & Renyoet, B. S. (2020).

Analysis of the Role and Effects of Nutrition Services on Wasting Children in Puskesmas and Posyandu during the COVID-19 Pandemic Period. Retrieved fromhttps://www.researchgate.net/pro file/LesdaLybaws/publication/3433617 45_Analisis_Peran_dan_Pengaruh_Pel ayanan_Gizi_pada_Anak_Wasting_di _Puskesmas_dan_Posyandu_di_Masa _Pandemi_COVID19_Analysis_of_the _Role_and_Effects_of_Nutrition_Servi ces_on_Wasting_Child

McShane, S. L., & Von Glinow, M. A. (2010). Organizational behaviour (5th edition) (5th ed.). Retrieved from https://www.academia.edu/8207305/O rganizational_Behavior_5th_Edition

Narundana, V. T., & Sari, N. (2021).

Pengaruh Stres dan Konflik Kerja Terhadap Kualitas Kerja Karyawan di Puskesmas Gedong Tataan.

https://doi.org/10.31219/OSF.IO/EQDX 3

Nesbit, P. L., & Lam, E. (2014). Cultural Adaptability and Organizational Change: A Case Study of a Social Service Organization in Hong Kong. In Contemporary Management Research (Vol. 10).

https://doi.org/doi:10.7903/cmr.12186

Pemerintah Kabupaten Gianyar. Keputusan Bupati Gianyar Nomor 1006/F-01/HK/2020 Tentang Penetapan Desa Lokasi Prioritas Intervensi Stunting Tahun 2021. , Pub. L. No. 1006/F-01/HK/2020 (2020).

Purhantara, W. (2010). Organizational Development Based Change Management. Ekonomi Dan Pendidikan, 6(2), 154–166. Retrieved from http://managementhelp.org

Puskesmas Tegallalang II. (2020). Laporan

Capaian Program Pencegahan dan Penanggulangan Stunting UPTD Kesmas Tegallalang II.

Rahadian, B. R. (2013). Korelasi antara Perubahan Organisasi dengan Stres Kerja di Divisi Munisi PT. Pindad (Persero) Turen Malang (UIN Malang).

Retrieved from http://etheses.uin-malang.ac.id/1844/6/08410037_Bab_2.p df

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2006).

Organizational Behaviour (15th ed.; S.

Yagan, Ed.). Retrieved from

https://www.researchgate.net/profile/ Narendra-Chaudhary-

3/post/Influence-of-leadership-on-trust-organizational-

performance/attachment/59d62af0791 97b8077989550/AS%3A3412252248514 56%401458365841566/download/organ izational-behavior-15e-stephen-p-robbins-timo

Schein, E. (2010). Organizational Culture and Leadership (Summary). Retrieved January 21, 2021, from

https://thehypertextual.com/2013/01/1 7/edgar-schein-organizational-culture-and-leadership/

Septyaningsih, R. (2017). Pengaruh Beban Kerja Berlebih dan Konflik Pekerjaan Keluarga terhadap Kinerja melalui Kelelahan Emosional. Management Analysis Journal, 6(4), 461–472.

https://doi.org/10.15294/maj.v6i4.1834 1

Siahaan, A., & Zen, W. L. (2012). Manajemen Perubahan (1st ed.; T. Rafiida, Ed.). Retrieved from

http://repository.uinsu.ac.id/2982/1/M anajemen perubahan.pdf

Sugandi, L. (2013). Dampak Implementasi Change Management pada Organisasi. Computerized Accounting Department, School of Information Systems, 4(1), 313–323.

Susyanto, H. (2019). Pengaruh Kepemimpinan, Keterlibatan Karyawan dan Kepuasan Kerja Terhadap Kesiapan untuk Berubah Dalam Menghadapi Perubahan Organisasi. Jurnal Ekonomi, Bisnis, Dan Akuntansi, 21(1).

https://doi.org/10.32424/jeba.v21i1.128 7

Tampubolon, M. (2020). Change Management-Manajemen Perubahan; Individu, Tim Kerja, Organisasi (1st ed.). Retrieved from

http://repository.uki.ac.id/2339/2/CHA NGEMANAGEMENT.pdf

Utama, L. J. (2020). Gaya Hidup Mayarakat Nusa Tenggara Timur dalam Menghadapi Pandemi Corona Virus Disease 19 (COVID-19). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1). Retrieved from https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/ANN/article/view /2994

Wahyuningsih, S. H., Sudiro, A., Troena, E. A., & Irawanto, D. W. (2019). “Analysis of organizational culture with denison’s model approach for international business competitiveness.” Problems and Perspectives in ManagemenT, 17(1), 142– 149.https://doi.org/10.21511/ppm.17(1) .2019.13

Wandrial, S. (2012). Budaya Organisasi (Organizational Culture), Salah Satu Sumber Keunggulan Bersaing Perusahaan di Tengah Lingkungan yang Selalu Berubah. Business Review, 3(1), 335–342.

Winardi, J. (2006). Manajemen Perubahan (The Management of Change).

Retrieved May 29, 2021, from Kencana Prada Media Group website:

http://repository.unpar.ac.id/bitstream /handle/123456789/1654/Winardi_1408 69-p.pdf?sequence=1&isAllowed=y

e-mail korespondensi: [email protected]

32