Arc. Com. Health • desember 2016

ISSN: 2527-3620

Vol. 3 No. 2 : 30 - 38

PENGARUH PERSONAL HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP

INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN GIANYAR

I Made Subrata , Ni Made Nuryanti*

Program Studi Ilmu Kesehatan Mayarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

*)email: nuryanti503@gmail.com

ABSTRACT

Soil Transmitted Helminths (STH) is still a public health problem in developing countries. The prevalence of STH in Indonesia in 2002-2006 in certain areas with poor sanitation reached 80% and 60% of them infecting children of school age. STH infections may cause harm to the State. In Bali the prevalence of STH for elementary school students in 2004 reached 58.3% -96.8%. The main cause of the spread of STH is environmental sanitation and poor personal hygiene. This study aims to look at the influence of personal hygiene and environmental sanitation on STH infections in elementary school students in Gianyar.

This study used cross sectional design period of January to May 2016. The samples included 100 students who were determined using cluster random sampling technique. Data analysis applied univariate, bivariate with Chi Square test, and multivariate with Multiple Logistic Regression. Examination of a specimen using the Kato-Katz method.

The prevalence of STH infections reached 16% with the highest prevalence in the type Trichiuris trichiura (13%). Factors affecting STH infections in elementary school students is a habit of not washing hands with soap (OR = 12.17; 95% CI = 12.17; p = 0.002), fingernails dirty (OR = 11.87; 95% CI = 2.18 to 64.53; p = 0.004), and do not have latrines (OR = 7.94; 95% CI = 1.73 to 36.25; p = 0.007). Increased personal hygiene practices and the provision of supporting facilities, hand washing needs to be improved in the school environment.

Keywords: Personal Hygiene, Environmental Sanitation, STH

ABSTRAK

Soil Transmitted Helminths (STH) masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang. Prevalensi STH di Indonesia tahun 2002-2006 pada wilayah-wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk mencapai 80% dan 60% diantaranya menginfeksi anak usia sekolah. Infeksi STH dapat menimbulkan kerugian bagi Negara. Di Bali prevalensi STH pada anak SD tahun 2004 mencapai 58,3%-96,8%. Penyebab utama penyebaran STH adalah sanitasi lingkungan dan personal higiene yang buruk. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh personal higiene dan sanitasi lingkungan terhadap infeksi STH pada anak SD di kabupaten Gianyar.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional periode januari-Mei 2016. Sampel penelitian berjumlah 100 siswa yang ditentukan menggunakan teknik Cluster Random Sampling. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji Chi Square, dan multivariat dengan Multiple Logistic Regression. Pemeriksaan spesimen menggunakan metode Kato-katz.

Prevalensi infeksi STH mencapai 16% dengan prevalensi tertinggi pada jenis Trichiuris trichiura (13%). Faktor yang mempengaruhi infeksi STH pada anak SD yaitu kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun (OR=12,17; 95%CI=12,17; p=0,002), kuku tangan yang kotor (OR=11,87; 95%CI=2,18-64,53; p=0,004), dan tidak memiliki jamban (OR=7,94; 95%CI=1,73-36,25; p=0,007). Peningkatan praktik personal higiene dan penyedian fasilitas penunjang cuci tangan perlu di tingkatkan di lingkungan sekolah.

Kata kunci: Personal Higienie, Sanitasi Lingkungan, STH

PENDAHULUAN

Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan jenis infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah. Infeksi ini masih menjadi masalah utama di dunia terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih

dari 1,5 milyar (24%) penduduk di dunia terinfeksi STH. Angka tertinggi ditemukan pada anak usia sekolah yaitu mencapai 600 juta anak dan 270 juta ditemukan pada anak usia prasekolah (WHO: Soil Transmitted Helminths Infection, 2015). Spesies utama

STH yang menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Bethony et al, 2006).

Menurut Kemenkes No.424/MENKES/VI/2006, infeksi STH di Indonesia berfluktuasi dalam kurun waktu empat tahun yaitu mencapai 33,3% pada tahun 2002, 33,0% pada tahun 2003, kemudian meningkat menjadi 46,8% pada tahun 2004, dan terakhir tahun 2006 turun menjadi 32,6%. Pada wilayah-wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk mencapai 80% dan 60% diantaranya menginfeksi anak usia sekolah. Hal ini diindikasi karena iklim Indonesia yang tropik dan berada pada posisi geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai untuk tempat perkembangbiakkan cacing.

Infeksi STH dapat menimbulkan kerugian bagi Negara. Kerugian diukur secara kumulatif dengan melihat besarnya zat gizi (kalori dan protein) yang hilang akibat infeksi cacing gelang, serta seberapa liter darah yang hilang akibat infeksi cacing cambuk dan tambang. Perhitungan dilakukan dengan perkiraan anak usia sekolah tingkat dasar sebesar 21% dari jumlah penduduk sebanyak 220 juta. Diperkirakan kerugian negara mencapai 32 miliar akibat kehilangan karbohidrat dan 335 miliar akibat kehilangan protein akibat infeksi cacing gelang. Kemudian akibat cacing cambuk kerugian mencapai 3 juta liter darah per tahun dan mencapai 16 juta liter darah per tahun untuk infeksi cacing tambang (Kemenkes, 2006).

STH biasanya disebabkan karena adanya

kontaminasi feses yang mengandung larva cacing pada tanah yang kemudian secara tidak sengaja tertelan dan menetas didalam usus. Kontaminasi dapat terjadi secara langsung melalui tangan yang kotor, kuku panjang dan kotor yang menyebabkan telur cacing terselip, serta ditambah dengan kurangnya perilaku mencuci tangan dengan sabun sebelum makan. Penyebab utama penyebaran STH adalah sanitasi lingkungan dan personal higiene yang buruk.

Menurut Samosir et al (2015), tingginya infeksi STH pada anak usia sekolah diakibatkan pada usia ini yang paling rentan terinfeksi penyakit berbasis lingkungan termasuk STH. Di Bali menurut penelitian Kapti, prevalensi STH pada tahun 2004 mencapai 58,3%-96,8% pada anak SD. Penelitian ini dilakukan pada 13 SD yang berada di kawasan Badung, Denpasar dan Gianyar (Kapti, et al, 2004).

Berdasarkan data kabupaten Gianyar tahun 2014 dalam anngka, kepemilikan jamban menunjukkan hanya sebanyak 67,76% masyarakat telah memiliki jamban secara pribadi dan sisanya merupakan milik bersama atau tidak memiliki sama sekali. Sehingga sangat besar kemungkinan akan masih ada perilaku BABS (BAB sembarangan). Melihat uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh personal higiene dan sanitasi lingkungan terhadap infeksi STH pada anak SD di kabupaten Gianyar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional. Penelitian dilaksanakan pada

SDN di Desa Taro dan Ketewel dalam kurun waktu lima bulan yaitu dari bulan Januari sampai bulan Mei 2016. Sampel penelitian ini berjumlah 100 siswa yang ditentukan dengan teknik Cluster Random Sampling, serta memenuhi kriteria penelitian. Kriteria inklusinya yaitu siswa yang bersedia berpartisipasi dan tidak minum obat antihelminth selama 3 bulan terakhir, sedangkan kriteria eksklusinya siswa yang sakit dan tidak hadir saat penelitian berlangsung.

Cara pengumpulan data dengan melakukan pemeriksaan tinja dan pengisian kuesioner. Siswa yang terpilih akan di berikan pot beserta stik untuk pengambilan tinja yang sebelumnya telah diberikan penjelasan cara pengambilan tinja. Siswa yang telah mengumpulkan tinja akan diberikan kuesioner yang kemudian akan dipandu oleh peneliti untuk mengisinya. Pertanyaan kuesioner terdiri dari perilaku personal higiene dan kondisi lingkungan rumah dan yaitu kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan bermian di tanah, kebersihan kuku, kepemilikan jamban, kondisi lantai rumah, dan ketersediaan air bersih. Pengumpulan tinja dilakukan selama 3 hari berturut-turut kemudian setelah terkumpul tinja akan diberikan suntikan formalin 10%. Pemeriksaan tinja dilakukan di laboratorium Parasitologi FK Unud menggunakan metode Kato-Katz.

Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji Chi Square untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, dan multivariat dengan Multiple Logistic Regression untuk melihat faktor dominan yang mepengaruhi.

HASIL

Penelitian ini menggunakan 100 reponden yang terdiri dari siswa SD kelas 3,4,&5 yang berada di Desa Taro dan Ketewel. Dilihat dari karakteristik jenis kelamin, sebanyak 56% reponden berjenis kelamin laki-laki dan 44% berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar responden pada jenjang kelas V (35%), dan terendah pada jenjang kelas III (32%).

Tabel 1. Prevalensi Infeksi STH Pada Anak SD di Kabupaten Gianyar

Jenis STH

N (100)

%

STH

Positif

16

16,0

Negatif

84

84,0

Ascaris lumbricoides

5

5,0

Positif

95

95,0

Negatif Trichuris trichiura

13

13,0

Positif

87

87,0

Negatif Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus

0

0

Positif

100

100

Negatif Gabungan (Ascaris+ Trichuris)

2

2,0

Positif

88

88,0

Negatif

STH

Positif

16

16,0

Negatif

84

84,0

Arc. Com. Health • ISSN: 2527-3620

Desember 2016                                                     Vol. 3 No. 2 : 30-38

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa dan jenis cacing tambang (Ancylostoma dan infeksi STH di Kabupaten Gianyar mencapai Necator) tidak ditemukan ada menginfeksi 16%. Jenis STH yang paling banyak siswa. Sedangkan dilihat dari jenis menginfeksi siswa yaitu trichuris (cacing campuran kombinasi antara ascaris dan cambuk) yaitu mencapai 13%, kemudian trichuris, angka infeksi di Gianyar mencapai untuk jenis Ascaris (cacing gelang) hanya 5%, 2%.

Tabel 2. Analisis Bivariat Pengaruh Personal Higiene dan Lingkungan Terhadap Infeksi STH

Faktor Risiko

Infeksi STH         Total     OR    95 % CI   p-value

Positif      Negatif                          OR

n   %   n   %   n   %

Personal higiene

Kebiasaan Mencuci

Tangan

Tidak

Ya

Kebersihan Kuku

Kotor

Bersih

13   35,14   24   64,86   37   100    10,83    3,35-35,02   0,0001

3    4,76    60   95,24   63   100

13   25,00   39   75,00   52   100    5        1,44-17,29   0,0106

3    6,25    45   93,75   48   100

Kebiasaan Bermain di

Tanah

Ya Tidak

11   20,75   42   79,25   53   100    2,2      0,71-6,79    0,168

5    10,64   42   89,36   47   100

Kondisi Lingkungan

Kondisi Lantai Rumah

Tanah

Semen/Keramik

3    37,50   5    62,50   8    100    3,64     0,83-15,91   0,083

13   14,13   79   85,87   92   100

Kepemilikan Jamban

Tidak

Ya

Ketersediaan Air

Bersih

Tidak

Ya

9    50,00   9    50,00   18   100    10,71    3,65-31,39   <0,000

7    8,54    75   91,46   82   100

9    21,95   32   78,05   41   100    2,08     0,71-6,10    0,176

7    11,86   52   88,14   59   100

Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa dari tiga hasil berpengaruh terhadap infeksi STH. variabel personal higiene, hanya variabel Kebiasaan mencuci tangan menunjukkan kebiasaan bermain yang tidak berpengaruh nilai OR=10,83 yang berarti, siswa yang terhadap infeksi STH (p=0,168; CI=0,71-6,79), tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan sedangkan kebiasaan mencuci tangan lebih berisiko 10,83 kali terinfeksi STH (p=0,0001; CI=3,35-35,02) dan kebersihan dibandingkan siswa yang memiliki kuku (p=0,0106; CI=1,44-17,29) menunjukkan kebiasaan mencuci tangan. Sedangkan

33

kebersihan kuku dengan nilai OR=5, berarti siswa yang kuku tangannya kotor lebih berisiko 5 kali terinfeksi STH dibandingkan siswa dengan kuku tangan yang bersih.

Kondisi lingkungan menunjukkan kepemilikan jamban berpengaruh terhadap infeksi STH pada siswa di Kabupaten Gianyar (p=<0,000; CI=3,65-31,39) dengan Tabel 3. Analisis Multivariat Pengaruh Personal Higiene dan Sanitasi Lingkungan Terhadap Infeksi STH

Faktor Risiko

OR

95%

CI

OR

p-value

R2

Kebiasaan

Mencuci

Ref

2,54-

0,002

Tangan

12

58,2

Ya

Tidak

Kebersihan

Kuku

Ref

2,18-

0,004

0,39

Bersih

12

64,5

Kotor

Kepemilikan

Jamban

Ref

1,73-

0,007

Ya

8

36,2

Tidak

Setelah dilakukan analisis multivariat dengan mengontrol variabel perancu, diperoleh hasil variabel dominan yang mempengaruhi infeksi STH di Kabupaten Gianyar adalah kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, dan kepemilikan jamban. Selain itu diperoleh nilai R2=0,3935 yang berarti 39,35% infeksi STH dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut dan sisanya dipengaruhi variabel lain (tabel 4.).

Berdasarkan hasil uji goodness of fit, diperoleh nilai p = 0,3 (nilai p>0,05) yang berarti model kebiasaan mencuci tangan,

nilai OR=10,71 yang berarti, siswa yang tidak memiliki jamban lebih berisiko 10,71 kali dibandingkan siswa yang memiliki jamban. Kondisi lantai rumah dan ketersediaan air bersih menunjukkan hasil tidak berpengaruh terhadap infeksi STH dengan nilai p>0,05 dan nilai CI mencakup angka 1.

kebersihan kuku, dan kepemilikan jamban merupakan faktor dominan yang mempengaruhi infeksi STH fit dengan uji regresi logistik.

PEMBAHASAN

Infeksi STH adalah ditemukannya salah satu atau lebih telur atau larva jenis Ascaris, Trichuris, Necator dan Acylostoma pada feces siswa melalui uji laboratorium. Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi STH di Gianyar, yaitu mencapai 16%. Prevalensi ini lebih rendah dari target Nasional dalam penularan infeksi kecacingan pada tahun 2015 yaitu prevalensi infeksi STH < 20%. Apabila disuatu daerah prevalensi kecacingan lebih dari 20%, maka perlu dilakukan pengobatan masal, dan apabila kurang dari 20% dilakukan pengobatan individual. Berdasarkan hasil penelitian ini yang berada dibawah 20%, maka di Kabupaten Gianyar tidak perlu dilakukan pengobatan masal, melainkan pengobatan secara individual (Kemenkes, 2013 dan Evaluasi Program PP dan PL 20102013).

Dilihat dari jenis cacing yang menginfeksi, jenis yang paling banyak menginfeksi siswa adalah jenis Trichuris

trichura (13%), kemudian diikuti oleh jenis Ascaris sebesar 5%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Fitri, et al., (2012) di Kecamatan Angkola Timur menemukan prevalensi infeksi Trichuris (32,0%) lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi jenis cacing tularan melalui tanah lainnya yaitu Ascaris lumbricoides sebesar 19,0% dan cacing tambang hanya 9%. Tingginya infeksi Trichuris dapat diindikasi karena kondisi lingkungan di Gianyar yang sesuai yaitu dari segi stektur tanah yang padat, suhu (harian 220-300C), dan kelembaban udara yang tinggi (pada Desa Taro mencapai 80%). Tanah yang sesuai untuk parasit ini adalah tanah yang lembab dan teduh dengan suhu optimum 300C. Hal ini tentunya perlu diperhatikan sebab infeksi Trichuris jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan jenis Ascaris karena bersifat menghisap darah (0,005ml/hr). Selain itu, apabila infeksi berat akan dapat menyebabkan disentri, anemia, dan peradangan usus buntu (apenditis) (Zulkoni, 2010). Sedangkan untuk jenis campuran (Ascaris dan Trichuris) hanya mencapai 2% yang menunjukkan prevalensi infeksi campuran di Gianyar rendah dan hasil ini sejalan dengan penelitian Aryanti (2015) di Pekanbaru yang memperolah hasil yang rendah terhadap infeksi campuran (Ascaris dengan Trichuris) yaitu hanya 1,63%.

Perilaku personal higiene menunjukkan siswa yang tidak mencuci tangan dengan sabun (sebelum makan, setelah BAB, setelah bermain dan menyentuh hewan peliharaan) berpengaruh terhadap infeksi STH pada anak SD. Dimana siswa yang tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan meningkatkan peluang

untuk terinfeksi STH 12,17 kali dibandingkan siswa yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik (OR=12,17; 95%CI=12,17; p=0,002). Hal ini sejalan dengan penelitian Junaidi (2014) di wilayah kerja puskesmas Tapalang, Kabupaten Mamuju yang memperoleh bahwa ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan dengan kejadian kecacingan pada anak usia sekolah dasar (p=0,000). Adanya pengaruh tersebut menunjukkan bahwa tidak mencuci tangan dengan sabun merupakan faktor risiko terjadinya infeksi STH pada anak SD. Hal ini diindikasi karena salah satu cara masuknya telur cacing kedalam tubuh adalah melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing pada tangan yang kotor. Sebab pada tangan yang tidak di cuci terlebih dahulu terdapat ratusan telur cacing yang mampu menetas di dalam usus. Selain itu, menurut Permatasari (2012) mencuci tangan dengan sabun lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan hanya menggunakan air. Kandungan zat-zat dalam sabun yang bersifat bakterisid dan bakteriostatik, serta dengan derajad keasaman (pH) yang tinggi dapat membuat sabun berperan dalam menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri (Fazlisia et al, 2014). Oleh sebab itu, kondisi tangan yang bersih dapat meminimalkan infeksi bakteri atau parasit cacing. Selain menggunakan sabun, hendaknya mencuci tangan dilakukan dengan air yang mengalir.

Dilihat dari kebersihan kuku, analisis multivariat menunjukan bahwa kuku tangan yang kotor berpengaruh terhadap infeksi STH pada anak SD (OR=11,87; 95%CI=2,18-64,53; p=0,004). Dimana siswa yang memiliki

kuku tangan yang kotor berpeluang untuk terinfeksi STH 11,87 kali dibandingkan siswa yang memiliki kuku tangan yang bersih. Adanya pengaruh ini disebabkan karena masih rendahnya peran orang tua dalam mengingatkan anaknya untuk memotong kuku tangannya seminggu sekali yaitu hanya mencapai 48%, sehingga kuku tangan anak menjadi panjang dan terselit kotoran. Hasil ini sejalan dengan penelitian Fitri et al (2012) di Kecamatan Angkola Timur yang memperoleh kebersihan kuku memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Menurut Junaidi (2014) kuku yang panjang dapat menjadi tempat mengendap kotoran yang mengandung telur atau larva cacing, sehingga ketika makan dengan menggunakan tangan langsung dapat membuat larva atau telur cacing ikut tertelan bersama makanan. Ditambah lagi adanya perilaku anak yang tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, maka risiko kontaminasi dari tangan ke mulut akan semakin besar. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari kontaminasi telur cacing dari tangan ke mulut. Oleh sebab itu, perlu adanya pemantauan dari orang tua atau guru disekolah khususnya wali kelas untuk tetap menantau kebersihan kuku anak-anak karena dengan kuku yang pendek dan bersih dapat mengurangi risiko terinfeksi STH, karena telur atau larva cacing tidak tertinggal didalam sela-sela kuku.

Berkaitan dengan sanitasi lingkungan, kepemilikan jamban menunjukkan berpengaruh terhadap infeksi STH pada anak SD. Dimana siswa yang tidak memiliki jamban meningkatkan peluang untuk terinfeksi STH 7,94 kali dibandingkan siswa yang memiliki jamban (OR=7,94;

95%CI=1,73-36,25; p=0,007). Adanya pengaruh antara kepemilikan jamban dengan infeksi STH diindikasi karena tinja memiliki peranan yang sangat besar dalam penyebaran penyakit berbasis lingkungan seperti infeksi STH. Pembuangan tinja yang tidak saniter dari tinja manusia dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap sumber air dan tanah yang merupakan media utama untuk perkembanganbiakkan STH (Entjang, 2001). Berdasarkan data dari kuesioner dan hasil wawancara, anak-anak tidak memiliki jamban (18%) biasanya memanfaatkan kebun atau area pekarangan di belakang rumah serta sungai untuk BAB. Sedangkan alasan mereka yang memiliki jamban namun tidak memanfaatkannya dengan baik yaitu 36% siswa karena kurang merasa nyaman dan terbiasa BAB pada ruangan tertutup dan lebih praktis apabila BAB di sungai. Hasil ini sejalan dengan penelitian Yulianto (2007) di Kota Semarang menunjukkan kepemilikan jamban dengan kejadian penyakit cacingan memiliki hubungan bermaksa secara statistik dilihat dari nilai p=0,042. Oleh sebab itu perlu adanya re-implementasi STBM khususnya di Desa Taro yang kepemilikan jambannya masih sangat rendah. Re-implementasi STBM ini akan memotivasi kembali perubahan perilaku masyakat kearah yang lebih higiene dan saniter. Terlebih lagi STBM melibatkan masyarakat langsung sebagai fasilitator dan pengadaan jamban juga tidak harus jamban jenis permanen namun bisa hanya jenis darurat (jamban cemplung). Tersedianya jamban yang memenuhi syarat kesehatan maka risiko penularan penyakit khususnya penyakit infeksi saluran pencernaan seperti kecacingan akan dapat diminimalisir.

SIMPULAN DAN SARAN

Prevalensi infeksi STH pada anak SD di Kabupaten Gianyar sebesar 16% dengan prevalensi tertinggi pada jenis Trichiuris trichiura (13%). Faktor yang mempengaruhi infeksi STH pada anak SD yaitu kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun (sebelum makan, setelah BAB, bermain dan setelah menyentuh hewa peliharaan) (OR=12,17;  95%CI=12,17;  p=0,002), kuku

tangan yang panjang dan kotor (OR=11,87; 95%CI=2,18-64,53;  p=0,004), serta tidak

memiliki jamban (OR=7,94;  95%CI=1,73-

36,25;  p=0,007). Sehingga perlu adanya

pemeriksaan kuku dan praktik personal higiene khususnya mencuci tangan pakai sabun pada air yang mengalir secara rutin dengan melibatkan peran guru/wali kelas di sekolah. Selain itu sekolah juga harus menyediakan dan memastikan fasilitas penunjang cuci tangan berfungsi dengan baik seperti tersedianya sabun cuci tangan dan kran atau wastafel. Re-implementasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) juga perlu gerakkan lagi untuk memotivasi kembali perubahan perilaku masyakat kearah yang lebih higiene dan saniter dan mendorong pengadaan jamban.

DAFTAR PUSTAKA

Aryanti, S., et al. (2015). Infestasi Soil Tranmitted Helminths dan Perilaku Higiene pada Murid Kelas I Sekolah Dasar di Pesisir Sungai Siak Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru. Jurnal Jom FK, 2 (1):1-13.

Bethony, J., et al. (2006). Soil-transmitted Helminth Infections:    Ascariasis,

Trichuriasis, and Hookworm. Lancet . 367:1521-1532.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar. (2014). Gianyar dalam Angka. Gianyar.

Fazlisia, A., et al. (2014). Uji Daya Hambat Sabun Cair Cuci Tangan pada Restoran Waralaba di Kota Padang Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus Secara In Vi. Jurnal Kesehatan Andalas. 3 (3) : 348-353

Fitri, et al. (2012). Analisis Faktor-Faktor

Risiko Infeksi Kecacingan Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012. Jurnal Ilmu lingkungan. 6(2): 146-161.

Entjang, I. (2001). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Junaidi. (2014). Hubungan Personal Hygiene Terhadap Kejadian Kecacingan Pada Murid SD di Wilayah Kerja Puskesmas Tapalang Kabupaten Mamuju. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis. 5 (1): 108114.

Kapti,I.N., et al. (2004). Pengobatan penyakit cacing usus pada anak-anak SD 1 Belok Sidan, Kecamatan Petang, Badung. Jurnal Udayana Mengabdi. 3(2).

Kementrian Kesehatan R.I. (2006). Keputusan Menteri     Kesehatan     RI     No.

424/MENKES/SK/VI/2006      Tentang

Pedoman Pengendalian Kecacingan. Jakarta.

Kementrian Kesehatan Repuplik Indonesia. (2013). Kemenkes Berkomitmen Eleminasi Filariasis dan Kecacingan.

Permatasari, Y. (2012). Perbandingan Efektivitas Antiseptik Chlorexidine Glukonat dengan Phenoxylethanol Terhadap Penurunan Angka Kuman pada Telapak Tangan. Skripsi.

Surakarta:                 Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2012.

(2013).       Direktorat       Jendral

Pengendalian     Penyakit     dan

Penyeharan Lingkungan. Jakarta.

Samosir, P. & Ratnawati. (2015). Pengaruh Derajat Infeksi Cacing terhadap Tingkat Kecerdasan Anak (Studi Kasus terhadap Siswa SD N 067775 Kotamadya Medan). Jurnlal IPTEK, 01 (01): 7-12.

Sutanto, et al.  (Eds). (2008). Parasitologi

Kedokteran Edisi Keempat. Badan Penerbit    Fakultas     Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta: 6-25.

World Health Organization (WHO). (Mei 2015), “Soil-Transmitted           Helminth

Infections”, (Media Centre), Available: http://www.who.int/mediacentre/facts heets/fs366/en/ (Akses: 07 Januari 2016).

Yulianto, I.  (2007). Hubungan Higiene

Sanitasi dengan Kejadian Penyakit Cacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri  Rowosari 01 Kecamatan

Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Skripsi. Semarang: Universitas negeri Semarang.

Zulkoni,     A.     (2010).     Parasitologi.

Yogyakarta: Nuha Medika.

38