PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA SECARA MANDIRI PADA MAHASISWA KEDOKTERAN DAN NON KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
on
Arc. Com. Health • desember 2016
ISSN: 2527-3620
Vol. 3 No. 2 : 22 - 29
PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA SECARA MANDIRI PADA MAHASISWA
KEDOKTERAN DAN NON KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
I Gusti Ayu Artini*, Agung Wiwiek Indrayani
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
*)email: iga_artini@yahoo.com
ABSTRACT
Self-medication with antibiotics (SMA) is one type of irrational use of antibiotics. In many countries, the proportion of SMA among medical students was higher than non-medical students. Aim of our study was to study the proportion of SMA, as well as the pattern of SMA and factors related to SMA. Our study was conducted in Udayana University Bali, using analytical cross sectional design. Samples were selected using multistage cluster sampling technique. The result was analyzed with chi square test. Result of our study showed that from 120 subjects in each group, 81 subjects (67.5%) medical students have performed SMA whereas in nonmedical students only 23 subjects (19.2%) (p<0.000). It can be concluded that the proportion of SMA among medical students was higher than among non-medical students.
Keywords: antibiotics, self-medication, students, medical
ABSTRAK
Salah satu bentuk irasionalitas penggunaan antibiotika adalah penggunaan antibiotika secara mandiri, tanpa resep dokter.Proporsi penggunaan antibiotika secara mandiri pada mahasiswa kedokteran lebih tinggi dibandingkan mahasiswa non kedokteran di beberapa negara.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji proporsi dan pola penggunaan antibiotika secara mandiri pada mahasiswa serta faktor-faktor yang mempengaruhi.Penelitian ini menggunakan rancangan analitik cross sectional. Pengambilan sampel diambil dengan teknikmultistage cluster sampling.Analisis hasil menggunakan uji chi square. Hasil menunjukkan bahwa sebanyak 81 orang dari 120 mahasiswa kedokteran (67,5%) pernah menggunakan antibiotika secara mandiri (tanpa resep dokter) sedangkan pada mahasiswa non kedokteran sebanyak 23 orang dari 120 mahasiswa (19,2%) (p<0,000).Dapat disimpulkan bahwa proporsi penggunaan antibiotika secara mandiri pada mahasiswa kedokteran lebih tinggi dibandingkan mahasiswa non kedokteran.
Kata kunci: antibiotika, mandiri, mahasiswa, kedokteran
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi saat ini masih menjadi permasalahan kesehatan di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.Hal ini menyebabkan penggunaan antibiotika menjadi semakin luas dan risiko resistensi pun menjadi semakin meningkat.Penggunaan antibiotika secara rasional sangat penting mengingat banyaknya kasus resistensi antibiotika yang diakibatkan oleh penggunaan yang tidak rasional. Kasus resistensi antibiotika dijumpai sebesar 70% pada infeksi yang didapat di rumah sakit di Amerika Serikat (Rack et al., 2005; Brunton et al., 2008). Kasus
resistensi terhadap fluorokuinolon pun saat ini sudah dijumpai di Asia Tenggara yaitu sebesar 58%. Kasus efek samping obat dan toksisitas juga sering menjadi akibat dari penggunaan obat yang tidak rasional. Penggunaan antibiotika secara rasional sangat penting untuk meningkatkan efikasi pengobatan infeksidan meminimalisasiefek yang tidak diinginkan (DeSaussure, 2009).
Hingga saat ini penggunaan antibiotika yang tidak rasional masih sering dijumpai di berbagai tempat pelayanan kesehatan. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional umumnya mencakup pemilihan obat yang tidak tepat, tidak sesuai
dengan indikasi, tidak memperhatikan kontraindikasi pada pasien, tidak tepat dosis, tidak tepat frekwensi pemberian obat, dan tidak tepat lama pemberian obat (Burgess dan Abate, 2005).
Berdasarkan penelitian mengenai pola penggunaan antibiotika di Indonesia yang dilakukan oleh Hadi et al. kurang lebih 84% pasien di beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia mendapat antibiotika (Hadi et al., 2008; Widayati et al., 2011). Sekitar 53% dari jumlah tersebut mendapat antibiotika untuk terapi, 15% untuk profilaksis dan 32% tidak jelas tujuannya. Dilaporkan pula bahwa bila diperhatikan dari aspek rasionalitas pemberian antibiotika, hanya 21% peresepan antibiotika memang tepat (rasional), 15% tidak tepat dalam hal pemilihan jenis antibiotika, tidak tepat dosis atau durasinya dan 42% tidak tepat indikasi (Hadi et al., 2008; Widayati et al., 2011). Hal ini menunjukkan cukup tingginya irasionalitas dalam peresepan antibiotika di Indonesia.
Salah satu bentuk irasionalitas penggunaan antibiotika adalah selfmedication with antibiotics (SMA) atau penggunaan antibiotika secara mandiri, tanpa resep dokter.Sebesar 58% pasien di Yogyakarta Indonesia mengaku menggunakan antibiotika tanpa resep dokter (Widayati et al., 2011).Proporsi serupa dijumpai di Negara lain, yaitu di Yunani dan Yordania yaitu sebesar 44,6% dan 40,7% (Sawair et al., 2009; Skliros et al., 2010). Beberapa studi menunjukkan bahwa latar belakang pengetahuan mengenai antibiotika yang dimiliki responden mempengaruhi praktik SMA. Mahasiswa kedokteran
dikatakan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menggunakan obat tanpa resep dokter (Badiger et al., 2012; Donkor et al., 2012; Pan et al., 2012). Hal ini diduga berkaitan dengan latar belakang pendidikan kedokteran yang dimiliki dan pengetahuan mengenai obat yang dipelajari pada perkuliahan. Studi yang dilakukan pada mahasiswa di India Selatan menunjukkan bahwa proporsi self-medication with antibiotics pada mahasiswa kedokteran lebih tinggi dibandingkan mahasiswa non kedokteran (92% vs. 59%) (Badiger et al., 2012).
Hingga saat ini belum terdapat studi yang mengkaji proporsi dan pola selfmedication with antibiotics(SMA) pada mahasiswa di Denpasar serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pola SMA pada mahasiswa kedokteran dan non kedokteran di Denpasar serta faktor-faktor yang mempengaruhi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan analitik crosssectional. Besar sampel minimal sebesar 120 orang per kelompok. Pengambilan sampel diambil dengan metode multistage cluster sampling. Sampel penelitian diambil dari mahasiswa kedokteran dan non kedokteran Universitas Udayana. Yang dimasukkan dalam kelompok mahasiswa kedokteran adalah mahasiswa dari Fakultas atau Program Studi di lingkungan Universitas Udayana yang pernah mendapatkan kuliah mengenai antibiotika, yaitu mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD), Ilmu Keperawatan (PSIK), Pendidikan
Dokter Gigi (PSPDG), dan Farmasi MIPA. Penelitian dilakukan antara bulan Oktober 2014 sampai April 2015 di Universitas Udayana.
Variabel yang diamati adalah karakteristik responden, pola self-medication with antibiotics dan pengetahuan. Karakteristik responden meliputi jenis kelamin dan semester. Pola self-medication with antibiotics meliputi jenis antibiotika, alasan, sumber mendapatkan antibiotika, sumber informasi, penyimpanan antibiotika dan efek samping. Pengetahuan mengenai antibiotika dinilai menggunakan kuesioner.
HASIL
Subyek penelitian berjumlah 240 orang, yaitu 120 orang mahasiswa kedokteran (mahasiswa yang memiliki latar belakang pengetahuan formal mengenai antibiotika) dan 120 orang mahasiswa non kedokteran (yang tidak pernah memiliki latar belakang pengetahuan formal mengenai antibiotika). Responden untuk kelompok mahasiswa kedokteran diambil dari mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan dan Fakultas MIPA Jurusan Farmasi, sedangkan kelompok mahasiswa non kedokteran diambil dari mahasiswa Program Studi Psikologi dan Program Studi Fisioterapi.
Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian
Karakteristik |
Kedokteran n (%) |
Non Kedokteran n (%) |
Jenis Kelamin : | ||
Laki-laki |
41 (34,2) |
45 (37,5) |
Perempuan |
79 (65,8) |
75 (62,5) |
Semester : | ||
Tiga |
30 (50) |
30 (50) |
Lima |
30 (50) |
30 (50) |
Pola penggunaan antibiotika secara mandiri pada mahasiswa Universitas Udayana dapat dilihat pada Tabel 2. Sebanyak 81 orang (67,5%) mahasiswa kedokteran pernah menggunakan antibiotika secara mandiri (tanpa resep dokter) sedangkan pada mahasiswa non kedokteran sebanyak 23 orang (19,2%) (p<0,000). Pengetahuan mengenai antibiotika pada kelompok mahasiswa kedokteran dan non kedokteran Universitas Udayana dapat dilihat pada Tabel 3.
DISKUSI
Self-medication with antibiotics(SMA) didefinisikan sebagai penggunaan obat untuk mengobati gangguan atau gejala yang didiagnosis sendiri, atau penggunaan secara intermiten atau kontinyu obat yang diresepkan untuk mengatasi gejala atau penyakit yang kronis atau rekuren. SMA merupakan salah satu bentuk utama penggunaan obat secara irasional dan dapat menyebabkan efek samping yang bermakna seperti kegagalan terapi, resistensi bakteri, toksisitas, biaya pengobatan yang tinggi, masa rawat yang lama, dan peningkatan morbiditas (Donkor et al., 2012).
Sebesar 58% pasien di Yogyakarta Indonesia mengaku menggunakan antibiotika tanpa resep dokter (Widayati et al., 2011). Proporsi serupa dijumpai di Negara lain, yaitu di Yunani dan Yordania yaitu sebesar 44,6% dan 40,7% (Sawair et al., 2009; Sliros et al., 2010).Beberapa studi menunjukkan bahwa latar belakang pengetahuan mengenai antibiotika yang dimiliki responden mempengaruhi praktik SMA.
Tabel 2. Pola Penggunaan Antibiotika Secara Mandiri pada Mahasiswa Universitas Udayana
Variabel |
Kedokteran n (%) |
Non Kedokteran n (%) |
Jenis antibiotika | ||
Amoksisilin |
66 (81,5) |
17 (73,9) |
Siprofloksasin |
9 (11,1) |
0 (0,0) |
Eritromisin |
2 (2,5) |
1 (4,3) |
Tetrasiklin |
3 (3,7) |
2 (8,7) |
Sulfonamid |
2 (2,5) |
1 (4,3) |
Sefalosporin |
1 (1,2) |
1 (4,3) |
Kloramfenikol |
0 (0,0) |
1 (4,3) |
Tujuan menggunakan | ||
Menurunkan demam |
38 (46,9) |
15 (65,2) |
Menghilangkan infeksi |
43 (53,1) |
8 (34,8) |
Alasan menggunakan | ||
Lebih praktis |
67 (82,7) |
14 (60,9) |
Jauh dari dokter |
4 (4,9) |
5 (21,7) |
Lebih murah |
10 (12,3) |
4 (17,4) |
Sumber informasi | ||
Pengalaman |
27 (21,0) |
11 (34,8) |
Keluarga/ kerabat |
31 (28,4) |
7 (21,7) |
Apotek |
23 (16,0) |
5 (13,0) |
Sumber memperoleh | ||
Apotek |
73 (90,1) |
21 (91,3) |
Toko obat/warung |
8 (4,9) |
2 (8,7) |
Menyimpan antibiotika di rumah | ||
Ya |
65 (80,2) |
10 (43,5) |
Tidak |
16 (19,8) |
13 (56,5) |
Mengalami efek samping | ||
Ya |
24 (29,6) |
5 (21,7) |
Tidak |
57 (70,4) |
18 (78,3) |
Studi yang kami lakukan memperoleh proporsi SMA pada mahasiswa kedokteran sebesar 67,5%. Hasil ini lebih rendah rendah dari hasil studi yang dilakukan Pan et al. (2012) di Cina Selatan (74,1%). Hasil serupa dijumpai oleh Buke et al. yang melakukan studi pada mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi dan farmasi di sebuah Universitas di Turki (Buke et al., 2005).
Self-medication with antibiotics umumnya berkaitan dengan beberapa faktor, antara lain jenis kelamin, status
perkawinan, keikutsertaan dalam asuransi kesehatan, usia, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan dan latar belakang pengetahuan mengenai obat. Jenis kelamin laki-laki, status sudah menikah, usia lebih tua, tanpa asuransi kesehatan, tingkat ekonomi lebih baik, tingkat pendidikan lebih tinggi dan memiliki pengetahuan mengenai obat dikatakan memiliki hubungan yang signifikan dengan SMA(Widayati et al., 2011; Sawair et al., 2009; Badiger et al., 2012; Donkor et al., 2012; Pan et al., 2012).
Tabel 3. Pengetahuan Mengenai Antibiotika pada Mahasiswa Kedokteran dan Non Kedokteran
Pernyataan |
Mahasiswa Kedokteran |
Mahasiswa Non Kedokteran | ||||||
Setuju |
Tidak Setuju |
Setuju |
Tidak Setuju | |||||
n |
% |
n |
% |
n |
% |
n |
% | |
Antibiotika menurunkan demam Antibiotika mengobati semua |
39 |
32,5 |
81 |
67,5 |
59 |
49,2 |
61 |
50,8 |
12 |
10,0 |
108 |
90,0 |
9 |
7,5 |
111 |
92,5 | |
penyakit | ||||||||
Antibiotika mengobati semua infeksi |
40 |
33,3 |
80 |
66,7 |
30 |
25,0 |
90 |
75,0 |
Antibiotika mengobati infeksi virus |
43 |
35,8 |
77 |
64,2 |
61 |
50,8 |
59 |
49,2 |
Antibiotika mengobati infeksi bakteri |
109 |
90,8 |
11 |
9,2 |
92 |
76,7 |
28 |
23,3 |
Antibiotika injeksi lebih baik |
55 |
45,8 |
65 |
54,2 |
71 |
59,2 |
49 |
40,8 |
Antibiotika memiliki efek samping Antibiotika dosis rendah dapat |
87 |
72,5 |
33 |
27,5 |
77 |
64,2 |
43 |
35,8 |
40 |
33,3 |
80 |
66,7 |
53 |
44,2 |
67 |
55,8 | |
mengurangi efek samping | ||||||||
Antibiotika dapat menyebabkan alergi |
112 |
93,3 |
8 |
6,7 |
111 |
92,5 |
9 |
7,5 |
Antibiotika dapat menyebabkan resistensi |
110 |
91,7 |
10 |
8,3 |
101 |
84,2 |
19 |
15,8 |
Hasil studi kami menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan mengenai antibiotika sangat mempengaruhi kecenderungan SMA pada mahasiswa. Proporsi SMA dijumpai lebih tinggi pada mahasiswa yang pernah mendapatkan kuliah mengenai antibiotika dibandingkan yang tidak pernah mendapatkan kuliah mengenai antibiotika (67,5% vs. 19,2%). Studi yang dilakukan pada mahasiswa di India Selatan juga menunjukkan proporsi selfmedication pada mahasiswa kedokteran yang lebih tinggi (92%).Bila dibandingkan dengan mahasiswa non kedokteran, hasil studi kami memperoleh proporsi SMA lebih rendah dibandingkan proporsi yang diperoleh pada studi yang dilakukan oleh Badiger et al. (2012) yaitu sebesar 59%.
Penggunaan antibiotika secara mandiri dapat didorong oleh berbagai alasan yaitu
pengalaman sebelumnya, kemudahan mendapatkan antibiotika sebagai OTC drugs, biaya pengobatan di RS/dokter yang cukup tinggi, terbatasnya akses pelayanan kesehatan, memiliki latar belakang pengetahuan mengenai obat, kurangnya regulasi, fasilitas klinik yang padat, waktu tunggu yang lama, serta waktu konsultasi yang singkat. Perilaku SMA di Indonesia, Yordania dan Latin paling banyak didorong oleh adanya pengalaman sebelumnya; di Yunani paling banyak didorong oleh kemudahan mendapatkan antibiotika sebagai obat bebas; sedangkan di Ghana dan China paling banyak didorong oleh murahnya biaya bila menggunakan obat secara mandiri tanpa konsultasi ke dokter terlebih dahulu (Sawair et al., 2009; Widayati et al., 2011; Skliros et al., 2010; Donkor et al., 2012; Pan et al., 2012; Mainous et al., 2008;
Grigoryan et al., 2008).Pada studi yang kami lakukan alasan praktik SMA terbanyak adalah karena lebih praktis.
Pada beberapa studi dilaporkan sumber mendapatkan antibiotika tanpa resep dokter bervariasi, terbanyak diperoleh dari farmasi (apotek), diikuti oleh mendapat dari sisa pengobatan sebelumnya dan dari teman/kerabat (Grigoryan et al., 2008; Sawair et al., 2009; Widayati et al., 2011; Skliros et al., 2010). Sumber informasi terbanyak juga diperoleh dari pihak farmasi (apotek), diikuti oleh informasi dari teman/kerabat.Khusus untuk mahasiswa kedokteran, sumber informasi diperoleh dari textbook dan informasi dari senior/teman (Badiger et al., 2012).Hasil studi kami dijumpai bahwa antibiotika yang digunakan untuk pengobatan mandiri terbanyak diperoleh dari apotek, sisanya diperoleh dari toko obat atau warung.Hal ini menjadi dilema karena antibiotika termasuk golongan obat yang hanya bisa diperoleh di apotek dengan resep dokter.Namun kenyataannya responden bisa mendapatkan antibiotika di apotek tanpa resep dokter atau mendapatkan antibiotika dengan mudahnya di toko obat yang seharusnya tidak diperkenankan menyediakan antibiotika.Pada studi kami diperoleh data bahwa sebagian besar responden mahasiswa kedokteran biasa menyimpan antibiotika di rumah sebagai persiapan.Sumber informasi mengenai antibiotika pada studi kami terbanyak diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan informasi dari keluarga/kerabat.
Jenis antibiotika yang paling sering digunakan tanpa resep dokter pada beberapa studi adalah amoksisilin, yaitu sebesar 15-78%. Jenis antibiotika lain yang
juga digunakan tanpa resep dokter berdasarkan studi di beberapa Negara adalah siprofloksasin, gentamisin, sefalosporin, amoksiklav, eritromisin dan levofloksasin (Pan et al., 2012; Donkor et al., 20112; Sawair et al., 2009; Widayati et al., 2011; Skliros et al., 2010).Hasil studi kami memperoleh proporsi antibiotika yang paling banyak digunakan adalah amoksisilin. Namun demikian, hasil yang cukup mengejutkan tampak dari hasil studi yang menjumpai pula penggunaan siprofloksasin secara mandiri.Hal ini tentu saja cukup mengkhawatirkan mengingat kenyataan bahwa siprofloksasin bukanlah antibiotika lini pertama, selain itu perlu diwaspadai pula adanya risiko resistensi dari penggunaan antibiotika secara mandiri tersebut.
Pada beberapa studi disebutkan bahwa antibiotika yang digunakan umumnya digunakan untuk indikasi demam, common cold, nyeri tenggorokan, dan infeksi gigi (Sawair et al., 2009; Skliros et al., 2010).Hasil studi kami menunjukkan bahwa antibiotika masih banyak digunakan untuk menurunkan demam, selain untuk menghilangkan infeksi.Hal ini perlu mendapat perhatian dan dilakukan upaya untuk mengubah perilaku masyarakat dalam menggunakan antibiotika untuk menghindari risiko resistensi.Sebesar 37-46% pasien yang menggunakan antibiotika tanpa resep dokter, tidak mengikuti aturan pakai ataupun lama terapi yang dianjurkan (Donkor et al., 2012; Sawair et al., 2009). Kejadian resistensi terhadap antibiotika dilaporkan secara umum sebesar 73-82%, sedangkan kejadian efek samping akibat penggunaan antibiotika tanpa resep dokter sebesar 16,3% (Pan et al., 2012).Kegagalan
terapi pada praktik SMA dilaporkan cukup tinggi pada beberapa studi yaitu sebesar 35%(Donkor et al., 2012).Pada studi yang kami lakukan, kejadian efek samping antibiotika akibat praktik SMA pada mahasiswa kedokteran dan non kedokteran sebesar 29,6% vs 21,7%.
Pengetahuan pasien mengenai antibiotika dikatakan merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan perilaku SMA.Hasil studi kami menunjukkan bahwa masih banyak responden mahasiswa kedokteran dan non kedokteran yang memiliki pengetahuan yang salah mengenai antibiotika antara lain menganggap bahwa antibiotika dapat menurunkan demam, antibiotika mengobati semua infeksi, antibiotika mengobati infeksi virus, antibiotika injeksi lebih baik daripada oral, antibiotika dapat menimbulkan efek samping dan antibiotika dosis rendah dapat mengurangi efek samping.
Pada studi terdahulu dilaporkan sebesar 49% mahasiswa memiliki pengetahuan yang rendah mengenai antibiotika(Donkor et al., 2012). Studi yang dilakukan oleh Pan et al. (2012) di Cina menjumpai 89,6% responden memiliki pengetahuan yang salah mengenai antibiotika. Hasil serupa dijumpai pada studi yang dilakukan pada populasi di Yogyakarta. Pada studi tersebut diperoleh beberapa persepsi yang salah mengenai antibiotika pada masyarakat Yogyakarta antara lain bahwa antibiotika dapat menyembuhkan infeksi virus, dapat mencegah semua penyakit, dapat menyembuhkan penyakit apa pun, menganggap bahwa antibiotika tidak memiliki efek samping, dan menganggap
bahwa antibiotika dapat menyembuhkan luka lebih cepat bila diaplikasikan secara langsung pada luka (Widayati et al., 2012).Hasil serupa juga didapatkan pada studi yang dilakukan di Swedia.Pada studi tersebut dinyatakan bahwa sebagian responden menganggap bahwa antibiotika dapat menyembuhkan common cold lebih cepat, antibiotika dapat menyembuhkan infeksi virus, antibiotika dapat dihentikan penggunaannya bila gejala sudah membaik.Sebagian responden juga setuju bahwa antibiotika dapat dibeli tanpa resep dokter dan perlu untuk menyimpan antibiotika di rumah (Kim et al., 2011; Andre et al., 2010; Mainous et al., 2008).
Pada studi yang dilakukan Grigoryan et al. (2008) dijumpai proporsi responden yang tidak mengetahui mengenai risiko resistensi lebih tinggi pada responden yang melakukan SMAdibandingkan yang tidak melakukan SMA.Sebesar 94% mahasiswa kedokteran di Amerika Serikat setuju mengobati sendiri penyakitnya bila bersifat ringan (Montgomery et al., 2011).Pada responden mahasiswa di Cina, masih terdapat miskonsepsi pengetahuan mengenai antibiotika, yaitu bahwa antibiotika dapat menyembuhkan infeksi virus dan common cold, mengganti antibiotika dapat meningkatkan efektivitas, dan penggunaan antibiotika secara intravena lebih efektif daripada oral (Pan et al., 2012). Sebesar 34% dan 51% masyarakat di India Selatan dan Ghana masih belum mengetahui mengenai efek samping antibiotika (Badiger et al., 2012; Donkor et al., 2012). Sebesar 57,2% responden di Korea Selatan tidak mengetahui bahwa penggunaan antibiotika dapat membunuh flora normal dan dapat
menyebabkan resistensi. Sebesar 30% responden selalu meminta antibiotika untuk mengobati flu dan 46,9% menggunakan antibiotika sesuai resep terdahulu tanpa konsultasi dokter (Kim et al., 2011). Sebesar 19,7% responden menyatakan bahwa mereka akan berkonsultasi dengan dokter lain bila tidak mendapat antibiotika (Sawair et al., 2009). Faktor usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, dan pendapatan mempengaruhi tingkat pengetahuan responden mengenai antibiotika(Kim et al., 2011).
Namun demikian pada studi kami didapatkan bahwa mahasiswa sudah memiliki beberapa pengetahuan yang benar mengenai antibiotika antara lain bahwa antibiotika dapat mengobati infeksi bakteri, antibiotika tidak dapat mengobati semua penyakit, serta antibiotika dapat menimbulkan alergi dan resistensi.Pada beberapa studi sebelumnya didapatkan bahwa sebagian besar responden telah mempunyai pengetahuan yang benar mengenai antibiotika antara lain bahwa penggunaan antibiotika secara tidak rasional dapat menyebabkan resistensi, mengetahui bahwa antibiotika dapat digunakan untuk mengobati infeksi bakteri, dan antibiotika bisa menyebabkan alergi (Panagakou et al., 2011; Panagakou et al., 2012; Andre et al., 2010; Widayati et al., 2012).
SIMPULAN DAN SARAN
Penggunaan antibiotika secara mandiri pada mahasiswa dengan latar belakang pengetahuan formal mengenai antibiotika lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan formal mengenai antibiotika.
DAFTAR PUSTAKA
Andre M, Vernby A, Berg J, Lundborg CS. (2010). A survey of public knowledge and awareness related to antibiotic use and resistance in Sweden. J Antimicrob Chemother.1292-1297.
Badiger S, Kundapur R, Jain A, Kumar A, Pattanshetty S, Thakolkaran N, Bhat N, Ullal N. (2012). Self-medication patterns among medical students in South India. AMJ. 5(4): 217-220.
Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I (Eds.). (2008). Goodman and Gilman’s
Manual of Pharmacology and Therapeutics. The McGraw-Hill
Companies, New York.
Buke C, Hosgor-Limoncu M, Ermertcan S, Ciceklioglu M, Tuncel M, Köse T, Eren S. (2005). Irrational use of antibiotics among university students. J Infect. 51(2): 135-139.
Burgess DS dan Abate BJ. (2005). Antimicrobial regimen selection. In: DiPiro JT, Tabbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM (Eds.): Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach. The McGraw-Hill
Companies, New York.
DeSaussure PPH. (2009). Management of the returning traveler withdiarrhea. Ther Adv Gastroenterol. 2(6): 367-375.
Donkor ES, Tetteh-Quarcoo PB, Nartey P, Agyeman IO. (2012). Self-medication practices with antibiotics among tertiary level students in Accra, Ghana: a cross-sectional study. Int J Environ Res Public Health. 9: 3519-3529.
Grigoryan L, Burgerhof JGM, Degener JE, Deschepper R, Lundborg CS, Monnet DL, Scicluna EA, Birkin J, Haaijer-Ruskamp FM. (2008). Determinants of self-medication with antibiotics in Europe: the impact of beliefs, country wealth and the healthcare system. J Antimicrob Chemother. 61: 1172-1179.
Hadi U, Duerink DO, Lestari ES, Nagelkerke NJ, Keuter M, Suwandojo E, Rahardjo
E, van den Broek P, Gyssens IC. (2008). Audit of antibiotic prescribing in two governmental teaching hospitals in Indonesia. Clin Microbiol Infect. 14(7): 698-707.
Kim SS, Moon S, Kim EJ. (2011). Public knowledge and attitudes regarding antibiotic use in South Korea. J Korean Acad Nurs. 41(6): 742-749.
Mainous AG, Diaz VA, Carnemolla M. (2008). Factors affecting latino adults use of antibiotics for self-medication. J Am Board Fam Med. 21(2): 128-134.
Montgomery AJ, Bradley C, Rochfort A, Panagopoulou E. (2011). A review of self-medication in physicians and medical students. Occup Med. 61: 490497.
Pan H, Cui B, Zhang D, Farrar J, Law F, BaThein W. (2012). Prior knowledge, older age, and higher allowance are risk factors for self-medication with antibiotics among university students in southern china. PLoS One. 7(7):
e41314.
Panagakou S, Spyridis N, Papaevangelou V, Theodoridou KM, Goutziana GP, Theodoridou MN, Syrogiannopoulos GA, Hadjichristodoulou CS. (2011). Antibiotic use for upper respiratory tract infections in children: a crosssectional survey of knowledge, attitudes, and practices (kap) of parents in Greece. BMC Pediatrics. 11(60).
Panagakou SG, Papaevangelou V, Chadjipanayis A, Syrogiannopoulos GA, Theodoridou M,
Hadjichristodoulou CS. (2012). Risk factors of antibiotic misuse for upper respiratory tract infections in children: results from a cross-sectional knowledge-attitude-practice study in Greece. ISRN Pediatrics. 2012:1-8.
Rack J, Wichmann O, Kamara B, Günther M, Cramer J, Schönfeld C, Henning T, Schwarz U, Mühlen M, Weitzel T, Friedrich-Jänicke B, Foroutan B, Jelinek T. (2005). Risk and spectrum of diseases in travelers topopular tourist destinations. J Travel Med. 12:248–253.
Sawair FA, Baqain ZH, Karaky AA, Eid RA. (2009). Assessment of self-medication with antibiotics of antibiotics in a Jordanian population. Med Princ Pract. 18: 21-25.
Skliros E, Merkouris P, Papaafiropoulou A, Gikas A, Matzouranis G, Papafragos C, Tsakanikas I, Zarbala I, Vasibosis A, Stamataki P, Sotiropoulos A. (2010). Self-medication with antibiotics in rural population in Greece: a cross sectional multicenter study. BMC Fam Practice. 11(58): 1-3.
Widayati A, Suryawati S, deCrespigny C, Hiller JE. (2012). Knowledge and beliefs about antibiotics among people in Yogyakarta city Indonesia: a cross sectional population-based survey. Antimicr Resist Infect Contr. 1(38).
Widayati A, Suryawati S, deCrespigny C, Hiller JE. (2011). Self-medication with antibiotics with antibiotics in Yogyakarta city Indonesia: a cross sectional population based survey. BMC research notes. 4(491).
29
Discussion and feedback