Arc. Com. Health • desember 2016

ISSN: 2527-3620

Vol. 3 No. 2 : 14 - 21

IDENTIFIKASI KELUHAN KESEHATAN

AKIBAT PAPARAN BAHAN PENCEMAR BELERANG

(STUDI KASUS PADA PEKERJA DI KAWASAN PEGUNUNGAN IJEN KABUPATEN BANYUWANGI)

Isa Ma’rufi*, Anita Dewi PS., Ragil Ismi Hartanti, Reny Indrayani

Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember *)email: masrizal_khaidir@yahoo.com

ABSTRACT

Sulfur mining employment activity in the mountainous region traditionally run Ijen, while the occupational safety and health which does not obtain a maximum protection. The purpose of this research was to identify health complaints of sulfur miners in the area of Mount Ijen Banyuwangi Regency. This type of research is descriptive, where researchers carried out observations, interviews and questionnaires as well as performed measurements on several variables studied, that is, the source of danger and health complaints. The samples were 50 respondents, using simple random sampling. Data analysis technique of this research was descriptive analysis. The first result showed that, first, for respiratory complaints, most of the sulfur miners complained of cough with phlegm as many as 37 respondents (74%); second, based on the eye complaints, most of the workers complained of watery eyes while mining, covering 94% of the respondents; third, based on the skin complaints, the biggest complaint the miners felt on the skin was blistered skin as many as 8% of respondents; fourth, based on the teeth complaints, most of the workers complained of tooth ache by 68%. It is suggested that sulfur miners while mining be more disciplined in wearing personal protective equipment (PPE) and that PPE conforms with the standards.

Keywords: health complaints, sulfur, respiratory complaints.

ABSTRAK

Kegiatan pekerjaan penambangan belerang di kawasan pegunungan ijen dijalankan secara tradisional, sedangkan masalah keselamatan dan kesehatan kerja tidak mendapatkan perlindungan secara maksimal. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keluhan kesehatan penambang belerang di kawasan pegunungan ijen di Kabupaten Banyuwangi. Jenis penelitian adalah deskriptif, dimana peneliti malakukan pengamatan, wawancara dan pengisian kuesioner serta melakukan pengukuran pada beberapa variabel yang sedang diteliti, yaitu sumber bahaya dan keluhan kesehatan. Sampel penelitian adalah 50 responden, dengan teknik pengambilan sampel adalah simple random sampling. Teknik analisis data dari penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan pertama, untuk keluhan pernafasan, sebagian besar penambang belerang mengeluh batuk berdahak yaitu sebanyak 37 responden (74%). Kedua, berdasarkan keluhan pada mata, sebagaian besar pekerja mengeluh mata mereka berair ketika menambang, yaitu 94%. Ketiga, berdasarkan keluhan pada kulit, keluhan terbesar yang dirasakan penambang pada kulit adalah kulit melepuh sebanyak 8%. Keempat, berdasarkan keluhan pada gigi, sebagian besar pekerja mengeluh gigi mereka linu yaitu 68%. Disarankan agar penambang belerang ketika menambang lebih disiplin memakai alat pelindung diri (APD) dan APD tersebut harus sesuai dengan standar.

Kata kunci: keluhan kesehatan, belerang, keluhan pernafasan.

PENDAHULUAN

Gunung Ijen merupakan gunung aktif yang berada di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso. Gunung ini mempunyai ketinggian 2.443 m dan telah empat kali meletus (1796, 1817, 1913, dan 1936). Pintu gerbang utama ke Cagar Alam Taman Wisata Kawah Ijen terletak di Paltuding, yang juga merupakan Pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam). Selain menjadi obyek wisata, Gunung Ijen juga memiliki potensi sumber daya alam, yaitu belerang. Sejak tahun 1968, belerang ijen telah digunakan pada berbagai industri, seperti gula, pestisida dan kosmetik. Sampai saat ini, kegiatan penambangan belerang yang dijalankan secara tradisional ini telah menjadi tumpuan hidup warga sekitar ijen.

Masalah utama pada pekerja penambangan belerang ijen adalah masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang tidak mendapatkan perlindungan secara maksimal, baik dari perusahaan maupun dari pemerintah. Dari hasil observasi awal, setidaknya ada 5 (lima) masalah keselamatan dan kesehatan pekerja penambangan belerang. Pertama, para pekerja terpapar langsung dengan bahan kimia yang keluar dari kawa gunung Ijen. Beberapa bahan kimia yang dikeluarkan adalah gas sulfatara (S, SO2, SO3, H2S), uap fumarol (Uap air panas (H2O), gas nitrogen), mofet (gas asam arang, CO), serta bahan kimia lain, seperti hidrogenklorida, hidrogenfluorida mengancam para pekerja setiap saat. Uap belerang yang sehari-hari dihirup oleh pekerja dapat mengakibatkan gangguan pernafasan, kerusakan gigi, nyeri sendi, mata, kulit, bahkan dapat menganggu

fungsi organ dalam seperti ginjal, hati dan jantung.

Permasalahan kedua yang dihadapi para penambang belerang adalah kondisi geografis lingkungan kerja yang sangat tidak mendukung. Pekerja setiap harinya berjalan kaki ke tempat pertambangan dari Paltuding dengan jarak sekitar 3 km. Lintasan awal sejauh 1,5 km cukup berat karena menanjak. Sebagian besar jalur dengan kemiringan 2535 derajat. Kondisi jalan yang menanjak ini diperberat dengan struktur tanah berpasir sehingga membuat langkah kaki pekerja semakin berat karena harus menahan berat badan agar tidak merosot ke belakang. Sesampainya di Pos Bunder, jalur selanjutnya relatif agak landai, meskipun begitu untuk turun menuju ke kawah harus melintasi medan berbatu-batu sejauh 250 meter dengan kondisi yang terjal.

Ketiga, masalah beratnya beban kerja. Setiap harinya pekerja harus mengangkut belerang dua kali dari atas ke bawah dengan beban 40-50 kg . Pekerja ini mengangkut belerang di keranjang bambu dan pikulan dengan jalan yang menurun serta jalan tanjakan berbatu. Bahaya yang bisa muncul antara lain masalah ergonomi, terpeleset, jatuh, bahkan bisa pula tertimpa belerang yang mereka angkut.

Keempat, tidak lengkap dan tidak standarnya alat pelindung diri (APD) yang dipakai. Tanpa perlengkapan dan pelindung yang seharusnya melindungi mereka, pekerja tambang selalu menghirup dan bernafas dalam udara yang mengandung gas beracun setiap hari. Sebut saja masker, mereka hanya menggunakan kain untuk menutup hidung. Sedangkan pelindung mata, hanya digunakan oleh beberapa orang

saja sehingga lebih banyak pekerja yang mengeluhkan mata merah dan berair. Kelengkapan seperti baju dan sepatu yang digunakan hanya sekadarnya dan kondisinya terkadang kurang layak. Masalah yang kelima adalah perihal jaminan sosial tenaga kerja yang buruk. Masalah kesehatan yang diderita penambang umumnya adalah tulang keropos, batuk, sakit gigi, nyeri persendian, dan sesak napas. Para pekerja tambang belerang ini ketika sakit tidak kunjung mendapatkan pengobatan, dan kalaupun berobat, maksimal hanya sampai puskesmas, dan itupun harus dengan biaya sendiri.

Dari beberapa masalah yang ditemukan peneliti dari hasil observasi awal tersebut, maka penelitian mengenai identifikasi sumber bahaya dan keluhan kesehatan pekerja penambangan belerang di kawasan pegunungan Ijen Kabupaten Banyuwangi ini perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keluhan kesehatan yang dirasa pekerja penambangan belerang di kawasan pegunungan Ijen Kabupaten Banyuwangi, baik keluhan pernafasan, mata, kulit, gigi, dan keluhan psikologi kerja.

METODE PENELITIAN

Bila ditinjau dari jenis penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, dimana peneliti malakukan pengamatan, wawancara dan pengisian kuesioner serta melakukan pengukuran pada beberapa variabel yang sedang diteliti namun tidak melakukan analisis statistik.

Lokasi penelitian adalah di kawasan gunung Ijen, yaitu di kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi. Waktu penelitian yaitu bulan Oktober 2011-Desember 2011,

yang diawali dengan penyusunan proposal, seminar, pengumpulan data primer dan sekunder melalui pengukuran dan kuesioner, wawancara dan observasi, serta penulisan laporan. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja penambangan belerang kawasan Gunung Ijen, yaitu 478 pekerja dengan jumlah sampel 50 pekerja.

Teknik pengambilan sampel penelitian yaitu dengan teknik simple random sampling, dimana peneliti mengacak secara sederhana. Teknik analisis data dari penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif, yaitu untuk mengetahui frekuensi karakteristik pekerja dan frekuensi keluhan kesehatan kemudian dianalisis dengan kajian teori dan peraturan perundangan yang berlaku.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden dapat dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, area kerja dan masa kerja. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan dengan bantuan kuesioner, dari 50 responden diperoleh sebanyak 4 responden (8%) berusia antara <25 tahun, 19 responden (38%) berusia 26-40 tahun, dan 27 responden (54%) berusia > 40 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, semua responden berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan area kerja responden yaitu sebanyak 26 responden (52%) dengan area kerja sebagai penambang, 1 responden (2%) dengan area kerja sebagai pengawas, dan 23 responden (46%) dengan area kerja sebagai proses. Berdasarkan masa kerja responden yaitu sebanyak 20 responden (40%) dengan masa kerja 0-5 tahun, 6 responden (12%) dengan masa kerja 6-10 tahun, dan 24 responden (48%) dengan masa kerja >10.

Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Umur

< 25 tahun

4

8

26-40 tahun

19

38

> 40 tahun

27

54

Jenis Kelamin

Laki-laki

50

100

Perempuan

0

0

Area Kerja

Penambang

26

52

Pengawas

1

2

Proses

23

46

Masa Kerja

0-5 tahun

20

40

6-10 tahun

6

12

>10 tahun

24

48

Gangguan Faal Paru

Berdasarkan pemeriksaan gangguan faal paru, diketahui bahwa sebagian besar penambang yaitu sebanyak 25 responden (50%) mengalami restriksi ringan, sedangkan kelainan berupa restriksi berat dan obtruksi berat tidak ditemukan pada responden penelitian.

Tabel 2. Gangguan Faal Paru

Gangguan Faal Paru

Frekuensi (n)

Persentase

(%)

Normal

5

10

Restriksi

Ringan

25

50

Sedang

8

16

Berat

0

0

Obtruksi

Ringan

7

14

Sedang

5

10

Berat

0

0

Keluhan pada Pernapasan

Keluhan pernapasan merupakan keluhan pernafasan responden yang pernah di alami pekerja tambang belerang. Keluhan pernafasan respoden dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian responden yaitu sebanyak 37 responden (74%) mengeluh batuk berdahak, kemudian 34 responden (68%) pernah mengalami keluhan pernapasan bersin, disusul 25 responden (50%) pernah mengalami keluhan pernapasan keluar ingus yang banyak, 12 responden (24%) pernah mengalami keluhan pernapasan iritasi saluran pernafasan, 37 responden (74%)   pernah   mengalami   keluhan

pernapasan batuk berdahak, 14 responden (28%)   pernah   mengalami   keluhan

pernapasan  dahak berlebih, 14 responden

pernah mengalami keluhan pernapasan sesak nafas, 12 responden (24%) pernah

mengalami  keluhan pernapasan  batuk

persisten,    4 responden (8%)  pernah

mengalami  keluhan pernapasan  batuk

darah, dan 1 responden (2%) pernah mengalami keluhan pernapasan bronchitis. Tabel 3. Jenis Keluhan Pernapasan

Jenis Keluhan Pernapasan

Frekuensi (n)

Persentase

(%)

Iritasi Saluran Pernafasan

12

24

Bersin

34

68

Batuk Berdahak

37

74

Keluar Ingus

25

50

Batuk Persisten

12

24

Dahak Berlebih

14

28

Sesak Nafas

14

28

Hidung Berdarah

0

0

Batuk Darah

4

8

Bronchitis

1

2

Pneumonia

0

0

Keluhan pada Mata

Berdasarkan tabel 4 tersebut, dapat dilihat bahwa keluhan pada mata yang dialami sebagaian besar pekerja yaitu 47 responden (94%) adalah berupa mata berair ketika menambang, disusul kemudian keluhan mata perih ketika menambang sebanyak 46 responden (92%), mengeluh mata kemerahan 42 responden (84%), mengeluh mata gatal 34 responden (68%), mengeluh hiperlakrimasi 32 responden (64%), dan terakhir keluhan pekerja adalah gangguan penglihatan ketika menambang sebanyak 25 responden (50%).

Tabel 4. Jenis Keluhan pada Mata

Jenis Keluhan Mata

Frekuensi (n)

Persentase

(%)

Gatal

34

68

Perih

46

92

Hiperlakrimasi

32

64

Kemerahan

42

84

Berair

47

94

Gangguan

25

50

penglihatan

Keluhan pada Gigi

Berdasarkan keluhan pada  gigi,

sebagian besar pekerja mengeluh gigi mereka linu yaitu sebanyak 34 responden (68%), kemudian mengeluh ulkus pada mulut sebanyak 31 responden (62%), mengeluh radang gusi 25 responden (50%), dan keluhan caries dentis sebanyak 22 responden (44%).

Tabel 5. Jenis Keluhan pada Gigi

Jenis Keluhan Gigi

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Caries Dentis

22

44

Ulkus pada Mulut

31

62

Radang Gusi

25

50

Linu

34

68

Keluhan pada Kulit

Keluhan kulit yang dialami para penambang belerang relatif kecil. Keluhan terbesar yang dirasakan penambang pada kulitnya adalah kulit melepuh sebanyak 6 responden (8%), kulit pecah-pecah sebanyak 3 responden (6%), keluhan gatal pada kulit sebanyak 2 responden (2%), dan keluhan kemerahan pada kulit serta kulit bernanah masing-masing sebanyak 1 responden (2%) seperti yang tercantum pada tabel 5.

Tabel 6. Keluhan pada Kulit

Jenis   Keluhan

Kulit

Frekuensi

Persentase

Gatal

2

4

Kemerahan

'l

pada kelit

1

2

Perih

0

0

Bentol-bentol

0

0

Bernanah

1

2

Bersisik

0

0

Pecah-Pecah

3

6

Melepuh

4

8

PEMBAHASAN

Belerang adalah senyawa multivalensi non-logam dan banyak terdapat di alam, terutama daerah sekitar gunung merapi. Bentuk asli belerang adalah kristal padat berwarna kuning, namun keberadaannya di alam dapat berupa elemen murni atau sebagai sulfida dan mineral sulfat. Dalam bentuk elemen murninya belerang tidak bersifat toksik, tetapi yang bersifat toksik adalah senyawa gas turunan dari belerang seperti hidrogen sulfida (H2S) dan SOx. Sifat H2S adalah asam, tidak berwarna, mudah terbakar dan merupakan bentuk belerang paling umum di alam (Komala, 2006).

Gas belerang oksida atau sering ditulis dengan SOx terdiri atas gas SO2 dan gas SO3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda.

Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif. Gas SO3 mudah bereaksi dengan uap air yang ada diudara untuk membentuk asam sulfat atau H2SO4. Asam sulfat ini sangat reaktif, mudah bereaksi (memakan) benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses perkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya (Amin et al., 2001).

Inhalasi uap belerang dapat menyebabkan iritasi pada mukosa hidung dan paru-paru. Pada kasus yang berat dapat terjadi udem pulmo (ATSDR, 2007). Uap belerang mudah diserap oleh selaput lendir saluran pernafasan bagian atas, dan pada kadar rendah dapat menimbulkan spasme tergores otot-otot polos pada bronchioli, spasme ini dapat menjadi hebat pada keadaan dingin dan pada konsentrasi yang lebih besar terjadi produksi lendir di saluran pernafasan bagian atas, dan apabila kadarnya bertambah besar maka akan terjadi reaksi peradangan yang hebat pada selaput lendir disertai dengan paralycis cilia, dan apabila pemaparan ini terjadi berulang kali, maka iritasi yang berulang-ulang dapat menyebabkan terjadi hyper plasia dan meta plasia sel-sel epitel dan dicurigai dapat menjadi kanker (Fardiaz, 1992; Sumirat, 2002).

Kulit pekerja sangat rentan terpapar oleh belerang, baik uap belerang maupun belerang kering. Ketika pekerja mengambil atau mendongkel belerang, mengumpulkan belerang, sampai memikul belerang, para pekerja akan terpapar langsung dengan belerang. Kontak dengan sulfur kering bisa mengakibatkan iritasi sedangkan kontak

sulfur cair bisa mengakibatkan kulit terasa panas dan terbakar (Siswanto, 2002).

Uap belerang yang keluar dari Gunung Ijen akan mudah terpapar oleh mata pekerja, hal ini terjadi karena cukup banyak pekerja yang tidak memakai pelindung mata ketika bekerja yaitu sebesar 42%. Uap belerang ketika terpapar dengan mata akan mengakibatkan iritasi pada mata. Kombinasi dari panas dan sulfur padat atau sulfur kering bisa mengakibatkan terbentuknya gas SO2. Gas ini bisa mengakibatkan iritasi pada mata dan sesak nafas pada pekerja (Siswanto, 2002).

Uap dan kabut asam sulfit ataupun asam sulfat bersifat korosif dan pada kontak jangka panjang pada pekerja penambangan belerang gunung ijen, dan dapat menyebabkan kerusakan gigi. Apalagi, uap belerang yang dihirup pekerja sebagian besar melalui mulut dan mereka bekerja setiap hari dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu lebih dari 5 tahun, dan ini dapat menyebabkan melunaknya enamel dan selanjutnya gigi akan mengalami erosi.

Pekerja sehari-harinya tidak memakai APD sehingga memungkinkan uap belerang masuk lewat mulut pekerja, disamping itu dalam keadaan diam secara fisiologis mulut sedikit terbuka atau sewaktu bercakap-cakap secara tidak terduga akan menghirup uap asam sulfat melalui mulut yang selanjutnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang mengakibatkan uap asam sulfat tersebut dapat menempel ke permukaan labial/bibir dan buka/pipi sehingga permukaan gigi menjadi asam yang dapat menyebabkan erosi gigi.

Senyawa yang berperan pada erosi gigi adalah H2S yang dapat menyebabkan

penurunan pH di dalam rongga mulut. Senyawa tersebut mempunyai gugus tiol (-SH) reaktif yang akan berikatan secara kovalen dengan komponen-komponen epitel dan bereaksi secara kimiawi dengan protein di dalam sedimen saliva (Mustaqimah, 2002). Ketika H2S kontak dengan gigi, maka lapisan enamel akan menjadi lebih lunak untuk jangka waktu yang tidak lama sebab pada pH kurang dari 5,5 kristal hidroksiapatit di dalam enamel akan larut dan gigi akan kehilangan bahan-bahan mineral yang terkandung didalamnya. Pada lesi di sekeliling erosi tidak terdapat cukup kalsium dan fosfat untuk remineralisasi dan yang penting adalah bahwa enamel yang lunak karena asam akan lebih peka terhadap keausan dibandingkan dengan enamel yang tidak lunak (Rafiah, 1992; Komala, 2006).

SIMPULAN DAN SARAN

Adapun keluhan kesehatan yang dialami sebagian besar penambang belerang yaitu mengeluh batuk berdahak yaitu sebanyak 37 responden (74%), mengeluh matanya berair ketika menambang, yaitu 47 responden (94%), kulit melepuh sebanyak 6 responden (8%), dan mengeluh giginya linu yaitu sebanyak 34 responden (68%).

Disarankan agar penambang belerang ketika menambang lebih disiplin memakai alat pelindung diri (APD) dan harus sesuai dengan standar untuk meminimalisir uap belerang yang terhirup pada saat bekerja. Selain itu, perlu penyediaan APD yang gratis dan penyuluhan tentang keselamatan dan kesehatan oleh pemerintah, serta perlunya peningkatan jaminan sosial tenaga kerja bagi penambang. Bagi penelitian selanjutnya agar dilakukan penelitian secara mendalam terkait riwayat penyakit, dengan

menggunakan pemeriksaan faal paru, darah, serta histopatologi pada penambang belerang ijen.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember yang telah memberikan ijin dan pembiayaan penelitian ini melalui progran DIPA Fakultas.

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Toxic Substances and Disease Registry    (ATSDR).         (2007).

Toxicologicalprofile for sulphur trioxide and sulphuric acid [Online]. June [cited 2007 Dec 15]; Available from URL: http://www.atsdr.cdc.gov

Amin WM, Al-Omoush SA, Hattab FN. (2001). Oral health status of worker exposed to acid fumes in phosphate and battery industries in Jordan. J Int Dent; 51(3):169-74.

Anderson, JW. (1975). The Function of Sulphur. Sydney: Sydney University Press.

Andrew R, Autry JW, Fitzgerald, and Penny RC. (1989). Sulfur fractions and retention mechanisms in forest soils. Department of Microbiology and Institute of Ecology, University of Georgia, Athens, GA 30602, U.S.A.

Glass Packaging Industry. Kiat : penanganan bahan kimia berbahaya [Online]. (2002) [cited 2008 Feb 1]; Available from:URL: http://members.bumn.go.id/iglas/index .html.

Komala, A. (2006). Paparan Uap Belerang sebagai Faktor Risiko terjadinya Erosi Gigi. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Semarang:   Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro.

Lussi, A. (1991). Dental erosion in a population of Swiss adults. Com. Dent. Oral Epidemiol, 191-8.

Mustaqimah, DN. (2002). Zat kimia berbentuk uap yang dapat mengawali pengrusakan jaringan periodonsium. JKGUI;9 (2):38-41

Rafiah, A. (1992). Patologi gigi-geligi kelainan-kelainan jaringan keras gigi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Siswanto A. (2002). Toksikologi industri. Balai Hyperkes Departemen Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur.

Soemirat J. (2002). Epidemiologi lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

21