FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESIAPSIAGAAN KEBAKARAN PADA PEKERJA DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL I GUSTI NGURAH RAI BALI
on
Arc. Com. Health • April 2023
p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620
Vol. 10 No. 1 : 29 - 44
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KESIAPSIAGAAN KEBAKARAN PADA PEKERJA
DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL I GUSTI NGURAH RAI BALI
Ni Kadek Lilis Erismawati, Kadek Tresna Adhi*
Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jalan P. B. Sudirman, Kec. Denpasar Barat, Kota Denpasar, Bali 80234
ABSTRAK
Bandar udara adalah tempat kerja yang berpotensi kebakaran. Walaupun telah tersedia sarana proteksi, laporan kebakaran masih terjadi. Hal ini karena dipengaruhi oleh kesiapsiagaan pekerja bandar udara. Kesiapsiagaan kebakaran merupakan serangkaian manajemen bencana untuk mengantisipasi kebakaran melalui perorganisasian komunitas yang berisiko dengan cara waspada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kesiapsiagaan kebakaran pada pekerja di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif analitik dengan rancangan cross-sectional study. Sampel dari penelitian ini adalah pekerja PT. Angkasa Pura 1 sebanyak 147 responden yang terpilih menggunakan teknik accidental sampling. Penelitian dilakukan selama bulan Mei sampai dengan Juni tahun 2020. Instrumen penelitian data menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariate, bivariate dan dan multivariate. Hasil penelitian menunjukkan 51,70% responden memiliki kesiapsiagaan baik. Terdapat hubungan bermakna antara seluruh faktor individu dan faktor manajemen terhadap kesiapsiagaan kebakaran (p<0,05). Analisis multivariate menunjukkan bahwa variabel upaya pencegahan kondisi tidak aman merupakan variabel yang memiliki pengaruh kuat dengan kesiapsiagaan kebakaran. Sebagai upaya meningkatkan kesiapsiagaan, diharapkan memberikan mensosialisasikan SOP dan pelatihan dalam menghadapi kebakaran.
Kata kunci: Kesiapsiagaan, Kebakaran, Bandar Udara, Pekerja
ABSTRACT
Airport is a workplace that has a potential to cause fires. Even though, protection facility provided, it has still been reported many fires happened recently,because influenced by preparednes workers. Fire preparedness is disaster management activities to anticipating fires through organizing to help the risky community. This research aims to determine the factors related to the fire preparedness of workers at I Gusti Ngurah Rai International Airport I in Bali. The research design used was quantitative research analytic with cross-sectional study. The samples were 147 workers of PT. Angkasa Pura 1 involved who were selected using accidental sampling technique. It was conducted during May to June on 2020. Data research instrument used was questionnaire which was analyzed in univariate, bivariate and multivariate ways. The results revealed that 51.70% of respondents had good preparedness. There was a significant relationship among all variables of individual factors and management factors on fire preparedness (p<0.05). Multivariate analysis showed that the variable of unsafe condition prevention effort was a variable that had the strongest influence. As an effort to improve preparedness, it is expected to provide socialization of SOP and workers training of facing fires.
Keywords: Preparedness, Fire, Airport, Worker
PENDAHULUAN
Bencana menurut definisi Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 merupakan rangkaian peristiwa yang dapat
mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat yang dapat disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia. Salah satu
bencana yang diakibatkan oleh faktor non alam yaitu kebakaran.
Menurut National Fire Protection Assosiation (NFPA) tahun 2018a, kebakaran merupakan suatu peristiwa oksidasi yang melibatkan tiga unsur yang harus ada, yaitu bahan bakar yang mudah terbakar, oksigen yang ada dalam udara, dan sumber energi atau panas yang berakibat
menimbulkan kerugian harta benda, cidera, dan kematian. Bahaya kebakaran telah tertuang pada Peraturan Menteri Pekerja Umum No.26/PRT/M/2008 Pasal 1 yang menyatakan kebakaran dapat menjadi ancaman potensial apabila terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap, dan gas yang ditimbulkan. Bahaya kebakaran dapat memusnahkan segala harta berta bahkan menimbulkan korban dalam jumlah besar (Iswara, 2011). Berdasarkan teori segitiga api, kebakaran dapat terjadi jika ada unsur bahan bakar, oksigen, dan panas.Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3985-2000 menyatakan kejadian kebakaran merupakan fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai temperatur kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen sebagai contoh yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya, asap, uap air, karbon monoksida, karbon dioksida, atau produk dan efek lainnya. Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengartikan kebakaran adalah situasi saat bangunan pada suatu tempat seperti rumah atau pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain yang dilanda api serta menimbulkan korban jiwa atau kerugian (BNPB, 2018). Kebakaran dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan tidak terduga. Salah satu tempat berpotensi yang padat akan aktivitas salah satunya tempat kerja.
Bandar udara merupakan salah satu tempat kerja yang berpotensi mengalami kebakaran. Kebakaran di bandar udara disebabkan karena dalam proses hasilnya berupa jasa, bandar udara menggunakan jenis bahan dan tenaga yang berpotensi
kebakaran seperti penggunaan tenaga listrik. Padatnya aktivitas penumpang, tenaga kerja, serta alat yang digunakan dapat berisiko tidak lepas dari potensi bahaya kebakaran. Terdapat beberapa kasus kebakaran bandar udara yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir yaitu pada tanggal 28 September 2019 di Bandar Udara Internasional Kertajati, kebakaran di Area Terminal Tiga Bandar Udara Soekarno Hatta pada tanggal 14 Juli 2018, dan Kebakaran Atap Bandar Udara Hasanuddin pada tanggal 24 September 2018. Tidak hanya itu saja, beberapa kejadian kebakaran telah terjadi pada Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya pada bulan Desember 2007. Kebakaran lain juga terjadi pada Bandar Udara Wamena Papua tanggal 26 September 2011. Pada tanggal 1 November 2007 terjadi kebakaran di Bandar Udara Polonia Medan di ruang keberangkatan domestik. Selain itu, kejadian kebakaran pernah terjadi pada Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta pada tanggal 6 Oktober 2011 yang disebabkan oleh terbakarnya salah satu Unit Chiller AC Terminal 2 (Nurila, 2012). Pada bandar udara yang sama, kebakaran terjadi pada tanggal 14 Agustus 2014 pukul 02.40 WIB yang bersumber dari restoran cepat saji di Terminal 2 keberangkatan dan pada tanggal 5 Juli 2015 kebakaran kembali terjadi pada terminal Bandar Udara Soekarno-Hatta di Terminal 2E yang diakibatkan karena hubungan arus pendek pada kabel (Fitriyana & Kurniawan, 2016) Selain itu, masih terdapat beberapa kasus kebakaran bandar udara lainnya di
Indonesia salah satunya di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali.
Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai Bali adalah satu – satunya fasilitas transportasi udara utama di Provinsi Bali yang telah berstandar Internasional. Bertambahnya jumlah penerbangan dan jumlah penumpang dari tahun ke tahun menuntut keselamatan dan keamanan gedung bandar udara harus diperhatikan sesuai dengan standar yang telah diatur pada Undang Undang No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Salah satu persyaratan keselamatan gedung yaitu untuk mencegah dan menanggulangi bahaya petir dan bahaya kebakaran.
PT. Angkasa Pura I (Persero) adalah sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan pengelola dan memberikan pelayanan lalu lintas udara dan bisnis bandar udara di Indonesia yang menitikberatkan pelayanan pada kawasan Indonesia bagian tengah dan kawasan Indonesia bagian timur. Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai Bali merupakan salah satu dari empat belas anggota dari PT. Angkasa Pura I (Persero). Pengelolaan Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai ini berfokus pada kenyamanan dan keselamatan penumpang baik kegiatan pengaturan pelayanan di landside area maupun airside area.
Saat ini data per bulan Desember PT. Angkasa Pura 1 memiliki 569 pekerja yang tersebar pada dua wilayah kerja bandara. Seluruh pekerja memiliki peran penting dalam keadaaan kegawatdaruratan saat terjadi kebakaran. Berdasarkan data yang diperoleh satu tahun terakhir kasus kebakaran juga terjadi
pada Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai Bali tepatnya di Terminal Domestik pada tanggal 19 April 2019, terbakarnya bus di Area Ground Support Equipment (GSE) bandara pada tanggal 6 September 2019, dan kebakaran Apron Passangers Bus (APB). Dilihat dari beberapa kejadian terjadi satu periode pada tahun 2019, kejadian kebakaran di bandar udara masih terjadi, dapat diartikan kesiapsiagaan pekerja bandar udara dalam menghadapi kebakaran masih kurang. Bangunan bandar udara merupakan bangunan yang besar, luas dan rentan ditambah dengan jumlah penumpang yang bepergian setiap hari dibandara menempatkan bangunan bandar udara dalam kategori beban api yang tinggi (Wambugu F, 2016). Kebakaran di bandara udara dapat berdampak terhadap terganggunya proses kerja, merugikan material, menurunkan produktivitas kerja, kehilangan nilai aset, peluang kerja, dampak psikologis, korban luka bahkan mengancam kematian (Ramli, 2010).
Upaya yang harus dilakukan untuk menghindari kerugian akibat kebakaran perlu dilakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di tempat kerja. Upaya tersebut meliputi penyediaan peralatan proteksi dan pengendalian kebakaran yang memadai, petugas penanggulangan khusus, dan pelaksanaan prosedur penanggulangan keadaan darurat. Perusahaan wajib mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran dengan cara memberikan latihan penanggulangan kebakaran di tempat kerja. Hal ini telah diatur pada Peraturan Pemerintah terkait penanggulangan
kebakaran di tempat kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: Kep. 186/MEN/1999 tentang unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja. Khusus terkait bandar udara, dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan pada ayat 1 dinyatakan bahwa setiap badan usaha atau unit penyelenggaraan bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan salah satunya mengantisipasi dan mengatasi kebakaran (Susetyadi, 2012).
Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai telah memiliki sarana proteksi kebakaran terkait dengan pengelolaan kenyamanan dan keamanan bandar udara.. Selain pentingnya dukungan dari faktor manajemen dalam menghadapi kebakaran, kemampuan seluruh pekerja dalam menggunakan sarana tersebut juga penting, dengan melakukan pelatihan dan perencanaan kesiapsiagaan kepada seluruh pekerja yang beraktivitas di area tersebut ketika terjadi kebakaran. Dari penelitian yang pernah dilakukan Fitriyana, 2016 pada Aviation Security di bandar udara menyatakan kesiapsiagaan tanggap darurat kebakaran juga dipengaruhi oleh faktor individu yang meliputi umur, masa kerja, dan pengetahuan. Namun hasilnya menyatakan tidak terdapat hubungan antara umur dan masa kerja dengan kesiapsiagaan tanggap darurat dalam menghadapi kebakaran. Tidak hanya itu saja, faktor individu yang mempengaruhi kesiapsiagaan kebakaran pada penelitian
di bandar udara Kenya yaitu jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan masa kerja. Hasil studi penelitian ini didapatkan umur dan jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan sedangkan, tingkat pendidikan dan pengetahuan memiliki hubungan yang mempengaruhi pekerja bandar udara saat terjadi kebakaran (Wambugu F, 2016).
Mengingat pentingnya mengetahui hubungan kesiapsiagaan pekerja bandar udara dalam menghadapi kebakaran, maka peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapsiagaan kebakaran pada pekerja di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan kuantitatif. Rancangan penelitian menggunakan metode cross-sectional untuk menganalisis Faktor yang berhubungan dengan kesiapsiapsiagaan kebakaran pada pekerja di Bandar Udara Internasional Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh pekerja berasal dari PT. Angkasa Pura I (Persero). Jumlah sampel pada penelitian ini 147 responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik accidental sampling. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner modifikasi Hidayati, 2017 untuk menilai faktor individu yaitu umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan yang termasuk ke dalam karakteristik demografi serta masa kerja dan pengetahuan. Faktor manajemen terhadap kesiapsiagaan pekerja bandar
udara yaitu perpesi pekerja, pelatihan kebakaran, dan upaya pencegahan kondisi tidak aman.
Pengambilan data diawali dengan mengajukan formulir persetujuan kepada Komite Etik Penelitian Litbang Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Tahap selanjutnya dimulai dari persiapan dengan meminta izin kepada pihak manajemen Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali dengan menjelaskan mengenai maksud dan tujuan kegiatan selama penelitian, setelah mendapat persetujuan dari pihak General Manager, penelitian dimulai.
Lembar kuesioner disebarkan kepada responden ke setiap departement sesuai proporsi sampling, lalu didahului dengan pengisian informed consent. Analisis kuantitatif menggunakan tiga analisis yaitu deskriptif, bivariabel dengan uji chi-square dan multivariabel dengan uji multiple logistic regression. Penelitian ini telah diperiksa sesuai ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Litbang FK Unud/RSUP Sanglah dengan nomor 2020.01.1.0325 tertanggal 30 April 2020.
HASIL
Berdasarkan Tabel 1, ditemukan bahwa bahwa umur responden pada penelitian ini paling banyak berada pada umur 20-29 tahun (30,61%). Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (74,15%). Ditinjau dari pendidikan, responden yang bekerja mayoritas menempuh pendidikan terakhir SMA/Sederajat 57,14%. Masa kerja
respomden telah bekerja ≥10 tahun dengan proporsi 55,10% dan ditinjau dari pengetahuan, responden memiliki pengetahuan yang baik 54,42%.
Tabel 1. Gambaran Faktor Individu
Faktor Individu |
Frekuensi |
Proporsi (%) |
Umur | ||
20-29 Tahun |
45 |
30,61 |
30-39 Tahun |
44 |
29,93 |
40-49 Tahun |
38 |
25,85 |
≥50 Tahun |
20 |
13,61 |
Jenis Kelamin | ||
Perempuan |
38 |
25,85 |
Laki-laki |
109 |
74,15 |
Pendidikan | ||
SMA/Sederajat |
84 |
57,14 |
D3 |
5 |
3,40 |
D4/S1 |
58 |
39,46 |
Masa Kerja | ||
< 10 tahun |
66 |
44,90% |
≥10 tahun |
81 |
55,10% |
Pengetahuan | ||
Kurang Baik |
67 |
45,58% |
Baik |
80 |
54,42% |
Faktor manajemen pada penelitian ini diukur menggunakan kuesioner panduan mengukur tingkat kesiapsiagaan kebakaran yang dimodifikasi dari Hidayati, 2017. Faktor manajemen yang dibagi menjadi tiga yaitu (1) persepsi pekerja terhadap sistem proteksi kebakaran, dengan empat belas item pertanyaan (2) pelatihan kebakaran, dengan tujuh item pertanyaan (3) upaya pencegahan kondisi tidak aman, dengan sepuluh item pertanyaan menggunakan skala Likert: sangat setuju dengan nilai empat, setuju dengan nilai tiga, tidak setuju dengan nilai dua,sangat tidak setuju
dengan nilai satu. Setiap variabel dikategorikan pada sikap kurang baik jika skor< median dan baik jika ≥median. karena berdasarkan analisis data tidak berdistribusi normal (p<0,05). Variabel persepsi pekerja memiliki median 56, pelatihan kebakaran yaitu 28 dan upaya pencegahan yaitu 38.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden dengan proporsi 61,22% memiliki persepsi baik. Pelatihan kebakaran yang baik dimiliki oleh 77 responden (52,38%). Sementara itu, diketahui bahwa sebagian responden memiliki upaya pencegahan kondisi tidak aman yang baik terdapat 75 orang (51,02%).
Distribusi proporsi faktor manajemen responden dapat dilihat pada tabel 2.
persepsi pekerja terhadap sistem proteksi kebakaran sebesar 61,22%. Sedangkan, faktor manajemen yang kurang baik memiliki proporsi paling tinggi adalah yaitu upaya pencegahan kondisi tidak aman dengan proporsi 48,98%.
Selanjutnya, kesiapsigaan kebakaran dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kurang baik < 39 dan baik > 39. Berdasarkan median karena data menunjukkan tidak berdistribusi normal (p<0,05). Pada gambar 1 menunjukkan gambaran kesiapsiagaan kebakaran yang memiliki perbedaan hasil yang tidak terlalu signifikan dimana angka hampir menunjukkan hasil yang sama. Dapat dilihat proporsi responden sebagian besar dengan kesiapsiagaan baik yaitu 51,70%.
Tabel 2. Gambaran Faktor Manajemen | ||
Faktor Manajemen |
Frekuensi |
Proporsi (%) |
Persepsi pekerja | ||
Kurang baik Baik |
57 |
38,78 |
Pelatihan Kebakaran |
90 |
61,22 |
Kurang baik |
70 |
47,62 |
Baik Upaya Pencegahan |
77 |
52,38 |
Kurang baik |
72 |
48,98 |
Baik |
75 |
51,02 |
Berdasarkan Tabel 2, dari keseluruhan faktor manajemen seluruhnya memiliki proporsi baik lebih tinggi daripada proporsi kurang baik, walaupun dapat dilihat angka menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Faktor manajemen dengan proporsi baik paling tinggi yaitu
Gambar 1. Gambaran Kesiapsiagaan Kebakaran
Berdasarkan analisis bivariate pada Tabel 4, faktor individu berdasarkan umur memiliki p-value sebesar 0,0093 < 0,05 yang berarti responden dengan umur 40-49 tahun mempunyai kesiapsiagaan yang lebih baik secara bermakna.
Berdasarkan variabel jenis kelamin didapatkan hasil uji statistik bahwa p-value sebesar 0,0166 < 0,05. Hal ini dapat disimpulkan bahwa variabel jenis kelamin
memiliki hubungan bermakna terhadap kesiapsiagaan kebakaran responden.
Berdasarkan analisis bivariate pada Tabel 4, faktor individu berdasarkan pendidikan tinggi memiliki kesiapsiagaan baik sebesar 61,90% dengan p-value sebesar 0,0320 < 0,05 yang berarti
pendidikan memiliki nilai yang bermakna secara statistik.
Kemudian berdasarkan variabel masa kerja, hasil uji korelasi menggunakan Chi-square menunjukan bahwa p-value sebesar 0,0008 < 0,05, yaitu variabel masa kerja bagi pekerja lama yang telah bekerja ≥10 tahun dengan proporsi 64,20% memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapsiagaan kebakaran .
Berdasarkan hasil uji korelasi pada variabel pengetahuan responden
menggunakan Chi-square pada Tabel 4, dapat diliihat bahwa p-value sebesar 0,0278 < 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pengetahuan memiliki berhubungan dengan kesiapsiagaan kebakaran.
Sementara itu, pada faktor manajemen pada variabel persepsi pekerja berdasarkan uji chi-square pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa p-value sebesar 0,0000 < 0,05. Sehingga dapat dapat dilihat
variabel persepsi pekerja terhadap sistem proteksi memiliki hubungan bermakna terhadap kesiapsiagaan kebakaran. Hal yang sama juga didapatkan pada variabel pelatihan kebakaran dan upaya
pencegahan kondisi tidak aman dengan memiliki p-value yang sama sehingga dapat disimpulkan kedua hal tersebut memiliki hubungan bermakna.
Dapat dilihat pada Tabel 6, hasil model akhir pada analisis multivariate menunjukkan bahwa nilai p <0,05 yang terdapat hubungan bersama-sama yaitu faktor individu pada jenis kelamin,masa kerja serta faktor manajemen meliputi persepsi pekerja terhadap sistem proteksi, pelatihan kebakaran dan upaya pencegahan kondisi tidak aman terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi kebakaran. Variabel upaya pencegahan kondisi tidak aman merupakan variabel yang memiliki pengaruh paling besar dapat meningkatkan kesiapsiagaan kebakaran.
DISKUSI
Ditinjau dari karakteristik umur, rata-rata umur responden berumur 36 tahun dengan umur termuda adalah 19 tahun dan tertua berumur 56 tahun. Proporsi umur terbanyak berada pada rentang 20-29 tahun yaitu 30,61%. Umur responden pada penelitian ini seluruhnya dapat dikategorikan pekerja masuk ke dalam usia kerja produktif. Umur reproduktif responden yang berada pada umur 15-64 tahun Hal ini juga sesuai dengan keputusan WHO serta Undang Undang No. 13 tahun 2003 pasal 1 Ayat 2 tentang Ketenagakerjaan.
Tabel 4. Distribusi Faktor Individu terhadap Kesiapsiagaan Kebakaran | ||||||
Faktor Individu |
Kesiapsiagaan responden (n=147) | |||||
Kurang baik n(%) |
Baik n(%) |
Total(%) |
PR |
95% CI |
P | |
Umur 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun ≥50 Tahun |
29(64,44%) 18 (40,91%) 12 (31,58%) 12 (60,00%) |
16 (35,56%) 26 (59,09%) 26(68,42%) 8 (40,00%) |
45(100%) 44(100%) 38(100%) 20(100%) |
1,33 |
1,06-1,67 |
0,0093 |
Jenis Kelamin Perempuan |
12 (31,58%) |
26 (68,42%) |
38(100%) |
0,79 |
0,65-0,96 |
0,0166 |
Laki-laki |
59 (54,13%) |
50 (45,87%) |
109(100%) | |||
Pendidikan Rendah |
47 (55,95%) |
37(44,05%) |
84(100%) |
1,5 |
1,02-2,24 |
0,0320 |
Tinggi Masa Kerja |
24 (38,10%) |
39 (61,90%) |
63(100%) | |||
<10tahun |
42 (63,64%) |
24(36,36%) |
66(100%) |
3,13 |
1,51-6,5 |
0,0008 |
≥10tahun |
29(35,80%) |
52(64,20%) |
81(100%) | |||
Pengetahuan Kurang baik |
39(58,21%) |
28(41,79%) |
67(100%) |
1,4 |
1,028-1,90 |
0,0278 |
Baik |
32(40,00%) |
48(60,00%) |
80(100%) |
Tabel 5. Hubungan antara Faktor Manajemen terhadap Kesiapsiagaan Responden
Faktor Manajemen |
Kesiapsiagaan responden (n=147) | |||||
Kurang baik n(%) |
Baik n(%) |
Total (%) |
PR |
95% CI |
P | |
Persepsi Pekerja |
49(85,96%) |
8 (14,04%) |
57(100%) |
2,88 |
2,02-4,12 |
0,00 |
Kurang Baik Baik |
22(24,44%) |
68 (75,56%) |
90(100%) | |||
Pelatihan Kebakaran |
58(82,86%) |
12 (17,14%) |
70(100%) |
4,5 |
2,78-7,58 |
0,00 |
Kurang Baik Baik |
13(16,88%) |
64 (83,12%) |
77(100%) | |||
Upaya Pencegahan |
61(84,72%) |
11(15,28%) |
72(100%) |
6,07 |
3,39-10,8 |
0,00 |
Kurang baik Baik |
10(13,33%) |
65 (86,67%) |
75(100%) |
Tabel 6. Analisis Multivarite Faktor yang berhubungan Kesiapsiagaan Responden
Model Akhir
Variabel |
Adjusted 95% CI for OR OR Lower Upper |
Umur 20-29 Tahun 30-39 Tahun 40-49 Tahun ≥50 Tahun Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi Masa kerja Lama Baru Pengetahuan Kurang baik Baik Persepsi Pekerja Kurang baik Baik Pelatihan Kebakaran Kurang baik Baik Upaya Pencegahan Kurang baik Baik |
0,38 Reff 0,14 1,02 0,06 0,15 0,03 0,69 0,015 Reff 0,63 0,18 2,18 0,472 Reff 7,10 1,05 47,86 0,044 Reff 0,27 0,06 1,16 0,079 Reff 6,69 1,56 28,70 0,011 Reff 9,37 2,27 38,73 0,002 reff 15,6 4,1 58,04 0,000 Reff |
Sedangkan menurut jenis kelamin, . hasil didominasikan oleh laki-laki sebanyak 74,15%, sedangkan sisanya responden perempuan sebanyak 25,85%. Banyaknya proporsi laki-laki dibandingkan pekerja perempuan didasari pada umumnya laki-laki pencari nafkah. Hasil yang sama didapat pada penelitian Amboka, 2013 dimana distribusi laki-laki lebih besar 57% dibandingkan perempuan pada pekerja Moi International Airport.
Tingkat pendidikan dilihat dari hasil penelitian dapat didistribusikan frekuensi terbanyak dengan pendidikan terakhir
SMA/Sederajat 57,14%. Hasil ini sesuai dengan kualifikasi seleksi pekerja bandar udara yaitu persyaratan pendaftaran minimal SMA/Sederajat. Hal yang sama juga didapat pada penelitian Fitriana, 2017 mengungkapkan tingkat pendidikan SMA sebesar 85,4%paling dominan pada pekerja PT. Sandang Asia Maju Abadi.
Lama kerja adalah waktu kerja pekerja dimulai saat mulai bekerja (Faiz,2014). Hasil didapat responden bekerja lama rata-rata 13 tahun dengan proporsi 66,67%.. Semakin lama masa kerja diharapkan pengalaman pekerja akan
semakin tinggi sehingga memiliki penyesuaian, pengetahuan dan kemampuan kesiapsiagaan. Hal yang sama membahas terkait pekerja yang memiliki masa kerja ≥ 3 tahun memiliki kesiapsiagaan yang baik dibandingkan sebaliknya (Fitriana,2017). Namun Fitriyana (2016) dalam kesiapsiagaan tanggap darurat Aviation Secutiry, masa kerja lama akan menurunkan kewaspadaan dan perhatian di tempat kerja dalam menghadapi kebakaran dalam bekerja.
Hasil yang didapat pada penelitian ini adalah 54,42% responden memiliki pengetahuan yang baik terkait kesiapsiagaan. Gambaran responden dengan pengetahuan pekerja bandar udara yang tergolong baik juga diperoleh pada penelitian Fitriyana, 2016 sebanyak 72,2%.
Gambaran faktor manajemen yang pertama yakni persepsi pekerja dimana hasil bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi baik yaitu 61,22%. Hasil ini telah sesuai dengan kondisi di bandar udara dimana telah terlihat sistem proteksi di area lingkungan seperti arah keluar, lokasi penempatan APAR dan hidran tidak terhalang benda, fire detector dan spinkler di setiap atap telah tersedia.
Dari tabel diatas pelatihan kebakaran responden yang baik yaitu sebanyak 52,38%. Angka ini tidak begitu jauh dengan yang memiliki pelatihan kebakaran kurang baik. Rata-rata pekerja telah mengikuti pelatihan kebakaran khususnya bagian Airport Operation and Services. Tetapi dari data tersebut dapat diketahui terdapat pekerja yang belum sama sekali pernah mengikuti pelatihan
kebakaran selama bekerja. Hal ini dapat terjadi karena setiap responden memiliki fokus tugas kerja yang berbeda. Hasil yang sama yaitu pelatihan kebakaran pada pekerja Aviation Security 63% tergolong pelatihan baik (Fitriyana, 2016).
Faktor manajemen terakhir yaitu upaya pencegahan kondisi tidak aman, hasil diperoleh sebagian besar memiliki upaya pencegahan yang baik yaitu sebanyak 51,02%. Proses kerja bandar udara memiliki aktivitas yang padat sehingga diperlukan pencegahan kondisi tidak aman meliputi identifikasi dan evaluasi sumber-sumber penyebab, memprediksi gejala yang timbul dan mencegah kontak/objek kerja (Verawati, 2012).
Kesiapsiagaan responden dibagi menjadi dua kategori yaitu kesiapsiapsiagaan baik 51,07%. Kartikawati (2017) dalam penelitiannya 77,6% memiliki sikap positif terhadap kesiapsiagaan. Namun hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan kepada Aviation Security di Terminal Bandara X yang menyatakan 75,9% menunjukkan kesiapsiagaan yang cukup baik dengan menggunakan 117 responden dari 995 total populasi. Perbedaan ini dapat saja terjadi karena perbedaan jumlah, karakteristik maupun kondisi lingkungan.
Berdasarkan hasil analisis bivariate, proporsi umur yang memiliki kesiapsiagaan baik terdapat pada rentangan umur 40-49 dengan proporsi sebesar 68,42%. Dilihat dari hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai PR sebesar 1,33 dengan nilai P= 0,0093 (95% CI 1,06- 1,67). Hal ini menunjukkan bahwa
variabel umur dan kesiapasiagaan secara memiliki hubungan bermakna. Selain itu, dapat diartikan setiap penambahan umur dengan rentang 10 tahun memiliki kesiapsiagaan baik 1,33 kali dari pada yang kurang baik. Pernyataan ini di dukung pada penelitian yang dilakukan oleh (Kiongo, 2015) didapatkan hasil terdapat hubungan umur pekerja memiliki berpengaruh pada kesiapsiagaan dalam menghadapi kebakaran di Kenyatta National Hospital yang menyatakan pekerja yang berumur lebih tua tahun memiliki kesiapsiagan baik. Namun penelitian Fitriana, 2017 menyatakan tidak ada hubungan antara umur dalam menghadapi kebakaran.
Pada variabel jenis kelamin, proporsi kesiapsiagaan baik pada laki-laki sebanyak 49,87%. Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai PR sebesar 0,79 dengan nilai P= 0,0166 (95% CI 0,65- 0,69). Hal ini mengartikan bahwa jenis kelamin laki-laki dapat menurunkan risiko kesiapsiagaan 0,79 kali dibandingkan perempuan dan nilai p menunjukkan bahwa variabel jenis memiliki hubungan secara bermakna secara statistik. Hasil ini didukung oleh pendapat Ngondi, 2017 mengkonfirmasi bahwa jenis kelamin telah menyebabkan perbedaan kesiapsiagaan kebakaran. Selain itu, hal yang sama juga diungkapkan bahwa perempuan kurang siap ketika menghadapi keadaan darurat, namun hal ini dibantah oleh Austin (2010).
Berdasarkan penelitian ini, kesiapsiagaan baik didapatkan oleh pekerja yang memiliki pendidikan tinggi dengan kesiapsiagaan baik dengan proporsi sebesar 61,90%. Hasil uji statistik
chi-square didapatkan nilai PR sebesar 1,5 dengan nilai P= 0,0320 (95% CI 1,02- 2,24) dapat diartikan variabel tingkat pendidikan memiliki hubungan secara statistik. Apabila dilihat dari nilai PR : pendidikan tinggi akan meningkatkan kesiapsigaan sebesar 1,5 kali dibandingkan pendidikan rendah. Hal ini juga sejalan dengan teori Wambugu , 2016 menyatakan terdapat hubungan antara tingkat pendidikan tinggi mempermudah pekerja dalam praktik kesiapsiagaan.
Masa kerja merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk perilaku kerja. Uji statistik chi-square didapatkan nilai PR= 3,1 yang artinya dengan nilai P= 0,0008 (95% CI 1,51-6,53) yang artinya kelompok pekerja dengan masa kerja lebih dari dari 10 tahun memiliki hubungan yang statistik dengan kesiapsiagaan dan berpengaruh 3,1 kali lebih baik daripada kelompok pekerja dengan masa kerja kurang dari 10 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh (Fitriana, 2017) yang membahas pekerja memiliki masa kerja lebih dari tiga tahun memiliki kesiapsiagaan yang baik dibanding dengan yang kurang sehingga masa kerja akan memberikan pengaruh positif terhadap tenaga kerja.
Pada variabel pengetahuan, proporsi kesiapsiagaan kebakaran mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik yaitu proporsi sebesar 60%. Dari hasil uji chi-square didapatkan nilai PR= 1,4 dengan nilai p= 0,0278 (95%CI 1,02-1,90). Kelompok pengetahuan baik memiliki kesiapsigaan 1,4 lebih siap dari pengetahuan kurang baik dan nilai p
menunjukkan memiliki nilai bermakna secara statistik. Hal yang sama juga dilakukan pada penlitian lainnya oleh Ngondi (2017), serta Wambugu (2016) pada penelitianya di Jomo Kenyatta Internasional Airport didapatkan hasil didapatkan korelasi positif yang signifikan terhadap tingkat pengetahuan pekerja.
Faktor manajemen pada analisis bivariate di variabel persepsi pekerja dibagi menjadi dua kategori yakni kurang baik dan baik. Berdasarkan hasil uji chisquare didapatkan hasil nilai PR= 2,8 dengan nilai P= 0,0000 (95% CI 2,02-4,12), dapat diartikan responden dengan kelompok persepsi baik memiliki kesiapsiagaan 2,8 kali lebih baik daripada kelompok persepsi kurang baik dan berdasarkan nilai statistik dapat ditemukan hubungan yang bermakna. Hubungan kedua hal ini didukung pada penelitian Wambugu, 2016 yang menyatakan hubungan antara persepsi pekerja dalam penggunaan sistem proteksi seperti pintu keluar, jalan keluar, penggunaan APAR, hidran dan alat detektor akan mengurangi kerugian diderita selama kejadian kebakaran.
Adanya pelatihan kebakaran merupakan hal utama saat terjadi kebakaran, pelatihan ini bertujuan agar pekerja dapat mengggunakan alat pemadam api dengan baik dan benar sehingga siapapun yang berada di area terjangkau dapat memadamkan api lebih awal sehingga kerugian dapat mengurangi api yang menjalar. Proporsi kesiapsiagaan pelatih baik sebesar 83,12% dengan nilai P= 0,0000 (95% CI 2,78-7,5). Dapat diartikan pekerja dengan pelatihan baik memiliki
kesiapsiagaan menghadapi kebakaran yang lebih baik 4,5 kali lebih baik daripada kelompok pekerja dengan pelatihan kurang baik. Pendapat ini di dukung oleh Amboka, 2013 mengenai pentingnya pelatihan personil terhadap kesiapsiagaan pada manajemen terhadap bencana di bandar udara. Sementara itu, perbedaan pendapat dari Wambugu, 2016 menyatakan tidak terdapat hubungan pelatihan kebakaran terhadap pekerja yang belum dilatih dan sudah dilatih tentang cara penggunaan alat pemadam kebakaran.
Pada penelitian ini didapatkan hasil responden yang memiliki upaya pencegahan kondisi tidak aman yang baik proporsi 86,67%. Hasil penelitian uji statistik didapatkan nilai PR= 6,02 dengan nilai p= 0,000 (95% CI 3,39-10,8). Terdapat hubungan antara upaya pencegahan secara statistik dan meningkatkan 6,02 kali dibandingkan tidak adanya upaya pencegahan. Selain itu, penelitian dilakukan di Kenya oleh Murage, 2012 menyebutkan perlunya adanya upaya pencegahan kondisi tidak aman salah satunya dengan terpeliharanya pintu keluar gedung, adanya peraturan pemerintah, serta adanya alat kebakaran akan mempengaruhi kesiapagan keselamatan kebakaran.
Model akhir dari uji analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 6, hasil didapatkan faktor yang memiliki hubungan statistik yang memenuhi nilai p <0,05 : faktor individu yaitu jenis kelamin, masa kerja serta faktor manajemen meliputi persepsi pekerja terhadap sistem
proteksi, pelatihan kebakaran dan upaya pencegahan kondisi tidak aman.
Fakor individu yang memenuhi nilai p (p=0,015) yaitu jenis kelamin. Hasil menunjukkan (OR= 0,15; 95%CI 0,03 - 0,69) yang artinya responden berjenis kelamin laki-laki dapat menurunkan risiko kesiapsiagaan 0,15 kali dibandingkan perempuan setelah mengontrol variabel lainnya. Pernyataan ini juga diungkapkan pada penelitian Fitriana, 2017 yaitu jenis kelamin bukan menjadi faktor yang dominan dalam mempengaruhi kesiapsiagaan bahaya kebakaran.
Pada faktor individu dapat dilihat dari hasil analisis didapatkan variabel masa kerja memiliki hubungan yang bermakna terhadap kesiapsiagaan (p= 0,044). Hasil OR menyatakan responden yang telah bekerja selama lebih dari sepuluh tahun memiliki 7,1 kali meningkatkan kesiapsiagaan lebih baik dibandingkan dengan responden masa kerja kurang dari 10 tahun (OR=7,1; 95%CI: 1,05-47,8; p=0,044). Pendapat yang sama di dukung pada penelitian Ning & Kang, 2014 dimana hasil penelitian pada model multivariate menunjukkan pengalaman kerja sebelumnya memiliki signifikasi statistik berkaitan dengan kompetensi 0,41 kali (95% CI 0,25-0,66) lebih kesiapsiagaannya.
Adapun faktor manajemen yang masuk ke dalam model yaitu persepsi terhadap sistem proteksi dengan nilai (OR=6,69; 95%CI 1,56-28,7;p= 0,011). Hasil ini menyatakan proteksi dalam pelaksanaan berpotensi 6,69 kali lebih meningkatkan kesiapsiagaan dibandingkan responden yang memiliki persepsi kurang
baik setelah mengontrol variabel lainnya. Pernyataan yang sama juga diungkapkan pada penelitian Xu W, et al, 2015 bahwa paparan kesadaran risiko (OR=1,531) merupakan prediktor signifikan untuk kesiapsiagaan darurat.
Pelatihan kebakaran merupakan salah satu variabel yang memenuhi uji statistik dengan nilai (p=0,002). Angka menunjukkan (OR=9,3; 95% CI 2,27-38,7; p=0,002). Hal ini mengartikan pelatihan kebakaran baik dapat meningkatkan 9,3 kali kesiapsiagaan dari pada responden dengan pelatihan kurang baik. Hasil ini didukung oleh pernyataan Ning &Kang, 2014 memiliki pengalaman pelatihan terkait darurat dengan kaitannya peningkatan kompetensi 2,22 kali lebih besar (95% CI 1,31 hingga 3,74).
Variabel bebas terakhir yang memiliki pengaruh terbesar terhadap sikap kesiapsiagaan adalah upaya pencegahan kondisi tidak aman. Pada analisis multivariate, responden dengan upaya pencegahan kondisi tidak aman yang baik dalam pelaksaaannya berpotensi 15,6 kali meningkatkan kesiapsiagaan kebakaran dibandingkan responden dengan upaya pencegahan kondisi tidak aman yang kurang baik (OR=15,6; 95% CI 4,1-58,0; p= 0,000). Dalam model regresi logistik multivariat yang dilakukan oleh Xu W, et al, 2015 menyatakan upaya pencegahan memiliki sikap positif terhadap kesiapsiagaan darurat memiliki peningkatan kesadaran lebih dengan nilai (OR=2,265). Selain itu, pernyataan ini juga dinyatakan oleh Ning dan Kang (2014) pada analisis multivariate, yaitu pekerja yang memahami pekerjaannya akan lebih
paham akan melakukan pencegahan kemungkinan kondisi tidak aman dengan 6,33 kali lebih kompeten dibandingkan pekerja yang ambigu pada pekerjaan mereka dengan nilai (95% CI 3,30-12,16).
Terdapat beberapa kelemahan yang terdapat pada penelitian ini, yaitu: (1) Pada masa pandemi Covid-19 ini membuat akses untuk masuk dan observasi pada pengambilan data terbatas. Sehingga hasil yang didapat berdasarkan hasil kuesioner tanpa melakukan pengawasan dan observasi langsung dengan kondisi terbaru di lapangan. (2) Pada pemilihan responden peneliti memilih responden yang ditemui saja untuk mengisi kuesioner, karena pada masa pandemi ini sebagian pekerja bandar udara work from home dengan sistem 2 hari kerja 7 hari libur. Oleh sebab itu, penyebaran kuesioner menggunakan sistem angket yang diisi oleh pekerja yang ditemui sehingga dapat memungkinkan bias data seperti terdapat beberapa jawaban yang cenderung mirip dari departemen yang sama dan bias informasi seperti tulisan responden yang sulit di baca.
SIMPULAN
Berdasarkan pemaparan hasil, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan faktor individu pada karakteristik demografi responden, sebagian besar pekerja berumur 20-29 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan pendidikan terakhir yang ditempuh SMA/Sederajat dengan masa kerja responden rata-rata bekerja ≥ 10 tahun dengan pengetahuan yang dimiliki dalam kategori baik. Selain itu, faktor manajemen yang meliputi persepsi pekerja terhadap sistem proteksi, pelatihan
kebakaran, dam upaya pencegahan kondisi tidak aman responden dapat di kategorikan baik.
Berdasarkan total skor rata-rata, responden sebanyak 51,70% termasuk ke dalam kategori baik terhadap kesiapsiagaan kebakaran. Berdasarkan hasil uji bivariate menggunakan chi-square didapatkan hasil semua avariabel memiliki hubungan bermakna terhadap kesiapsigaan dengan nilai, faktor individu yaitu umur (p=0,0093), jenis kelamin (p=0,0166), pendidikan (p=0,0320), masa kerja (p=0,0008), pengetahuan (p= 0,0278). Serta faktor manajemen yaitu persepsi pekerja (p= 0,0000), pelatihan kebakaran (p= 0,0000), dan upaya pencegahan kondisi tidak aman (p=0,0000).
Sedangkan, pada hasil analisis multivariate menggunakan multiple logistic regression diperoleh faktor individu yaitu jenis kelamin, masa kerja dan faktor manajemen yaitu persepsi pekerja pelatihan kebakara dan upaya pencegahan kondisi tidak aman terbukti bersama-sama memiliki hubungan bermakna meningkatkan kesiapsiagaan kebakaran (p<0,05).
Upaya pencegahan kondisi tidak aman dan pelatihan kebakaran merupakan variabel yang paling meningkatkan kesiapsiagaan kebakaran pada pekerja bandar udara.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat peneliti berikan bagi manajemen adalah (1) Diharapkan manajemen mensosialisasikan buku petunjuk atau SOP yang berisi informasi mengenai upaya pencegaha
bahaya kebakaran sehingga setiap pekerja dapat mengetahui dan memahami sarana proteksi yang telah disedikan. (2) Manajemen diharapkan dapat memberikan pelatihan dan simulasi kebakaran penanggulangan keadaan darurat kepada seluruh pekerja di setiap departement secara berkala agar setiap pekerja memiliki kesiapsiagaan yang baik dalam menghadapi keadaan darurat. (3) Apabila terjadi kebakaran, manajemen hendaknya meningkatkan inovasi dalam investigasi kejadian kecelakaan sehingga feedback yang didapatkan bisa menjadi acuan dalam pembenahan program K3 khususnya penanggulangan kebakaran.
Selain itu, saran bagi pekerja bandar udara: (1) Responden diharapkan mengisi kuesioner secara mandiri sehingga hasil yang didapatkan dapat merepresentasikan keadaan responden dilapangan secara akurat. (2) Responden diharapkan dapat mempertahankan upaya pencegahan kondisi tidak aman di bandar udara dalam meningkatkan kesiapsiagaan apabila menghadapi kebakaran. (3) Responden tanpa memandang gender atau profesi kerja diharapkan hendaknya memiiliki kesiapsigaan dalam menghadapi kebakaran sehingga siapapun yang berada pada area terjangkau dapat mengurangi kerugian. (4) Diharapkan responden hendaknya lebih peduli dan mengetahui sistem proteksi serta cara penggunannya apabila terjadi dalam keadaan darurat.
Kemudian yang terakhir saran bagi peneliti selanjutnya adalah (1) Diharapkan kepada peneliti selanjutnya melakukan observasi dan wawancara mendalam untuk mendapatkan hasil yang sesuai
sehingga hasil penelitian dapat
menggambarkan kondisi yang terjadi di lapangan. (2) Diperlukan pemilihan dan pengawasan responden pada saat pengisian kuesioner sehingga dapat menghindari bias data. (3) Diharapkan peneliti selanjutnya melakukan pengkajian analisis terkait manajemen kebakaran menggunakan teori of planned behavior dan juga teori produktivitas tentang
kelengkapan sarana dan proteksi kebakaran dengan standar baku.
DAFTAR PUSTAKA
Amboka, A. T. M. (2013). ‘Factors affecting disaster preparedness at Moi International Airport, Mombasa County, Kenya.”, Factors affecting disaster preparedness at Moi International Airport, Mombasa
County, Kenya.”, pp. 1–64.
Austin, D. (2010). Surviving the Next
Disaster:Assessing the Preparedness of Community-Based Organizations.
Disaster Prevention Management, 20(1), 19-33.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
(2018). Definisi dan Jenis Bencana.
Fitriana Laila, Suroto, B. K. (2017). ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Upaya Kesiapsiagaan Karyawan Bagian Produksi Dalam
Menghadapi Bahaya Kebakaran Di Pt Sandang Asia Maju Abadi’, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro, 5(3), pp. 295– 307.
Fitriyana, I. and Kurniawan, B. (2016). ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesiapsiagaan Tanggap Darurat Pada Aviation Security Terhadap Bahaya Kebakaran Di Terminal Bandara X’, Jurnal
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, 4(3), pp. 416–424.
Iswara, I. (2011). ‘Analisis Resiko Kebakaran di Rumah Sakit Metropolitan Medical centre Tahun 2011’.
Kartikawati. (2017). ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik
Kesiapsiagaan Security Terkait
Kebakaran Di Terminal Peti Kemas Semarang Pt. Pelabuhan Indonesia Iii (Persero)’, Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 5(5), pp. 388– 396.
Kementerian Ketenagakerjaan. (2003).
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Kiongo, J.G., (2015). Disaster Preparedness
Among members of Staff at Kenyatta National Hospital.
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (2008). Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan.
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia. (1999). Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia
No.Kep.186/MEN/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja
Murage, J. G. (2012). ‘Factors Influencing Fire Disaster Preparedness In The Central Business District Of Nyeri Town , Nyeri County , Kenya By Joyce Gathoni Murage A Research Project Report Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Award of the degree of Mast’, Thesis.
National Fire Protection Assosiation, (2018a). NFPA 99: Health Care Fasilities Code,USA.
Ning N, Kang Z, Jiao M, et al. (2014). Factors affecting emergency preparedness competency of public health inspectors: a cross-sectional study in northeastern China. BMJ Open 2014;4:e003832. doi:10.1136/bmjopen-2013- 003832
2014).
Nurina DL.(2012). Pengembangan Program Tanggap Darurat Kebakaran di Gedung Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta Tahun 2012.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Presiden Republik Indonesia, 2009. Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Presiden Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Jakarta.
PT. Angkasa Pura 1 ( Persero), (2016).
Keputusan Direksi PT Angkasa Pura I (Persero) No : KEP. 83/OM.01
.O1/2016 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kantor Cabang PT. Angkasa Pura I (Persero) Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai - Bali.
Ramli, Soehatman. (2010). Praktis Manajemen Kebakaran (Fire
Management). Dian Rakyat. Jakarta.
Wambugu F, M. C. and G. E. (2016). ‘Assessment of Fire Safety Preparedness At Jomo Kenyatta’, Jagst, 17(2), pp. 78– 96.
Xu W, et al. (2015). Community preparedness for emergency: a cross-sectional survey of residents in Heilongjiang of China. BMJ Open 2015;5:e008479.
doi:10.1136/bmjopen-2015-008479.
Accepted 2015.5 (11).
*e - mail korespondensi : ktresnaadhi@unud.ac.id
44
Discussion and feedback