KAJIAN ANALISIS KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH DALAM PEMBERITAAN PROJECT MULTATULI “WADON WADAS MENJAGA ALAM UNTUK ANAK-CUCU”
on
JURNAL ILMIAH SOSIOPOLITIKA
E-ISSN 2685-4570
KAJIAN ANALISIS KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH DALAM PEMBERITAAN PROJECT MULTATULI “WADON WADAS MENJAGA ALAM UNTUK ANAK-CUCU”
Muhammad Nadhif Achyansyah1), Luthfi Hamzah Husin2) Departemen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
[email protected]1), [email protected]2)
ABSTRAK
Project Multatuli dengan kerangka public service journalism-nya merupakan salah satu dari sekian banyak inisiasi media alternatif yang sedari awal menekankan tentang jurnalisme yang berpihak kepada kelompok-kelompok marjinal. Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis teks reportase Project Multatuli sebagai media alternatif dengan headline "WADON WADAS MENJAGA ALAM UNTUK ANAK-CUCU" (2021) yang mengangkat konflik di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Jawa Tengah akibat proyek tambang andesit untuk proyek Bendungan Bener. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif menggunakan kerangka Critical Discourse Analysis Norman Fairclough dalam menganalisis teks, praktik produksi teks, dan praktik sosial budaya yang melatarbelakangi produksi teks reportase oleh Project Multatuli. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa reportase Project Multatuli memberikan penekanan terhadap kelompok-kelompok marjinal dalam konflik yang terjadi di Desa Wadas, dan produksi teks dari Project Multatuli sangat dipengaruhi oleh praktik diskursif, hingga praktik sosio-kultural utamanya wacana neo-developmentalisme Presiden Jokowi.
Kata Kunci: Analisis Wacana Kritis, Norman Fairclough, Project Multatuli, Media Alternatif, Neo-developmentalisme
ABSTRACT
Project Multatuli with its framework of public service journalism is one of the many alternative media initiations starting from journalism that sided with marginalized groups. This study aims to analyze the reportage text of Project Multatuli as an alternative media with the title "WADON WADAS KEEPING NATURE FOR CHILDREN" (2021) which raises the conflict in Wadas Village, Central Java due to the andesite mining project for the Bener Dam project. This research was conducted using qualitative research methods using Norman Fairclough's Critical Discourse Analysis framework in analyzing texts, text production practices, and socio-cultural practices that underlie the production of reportage texts by Project Multatuli. From the results of the analysis, it was found that Project Multatuli's reporting gave equal emphasis to marginal groups in the conflict that occurred in Wadas Village, and the production of texts from Project Multatuli was strongly influenced by cursive practices, to socio-cultural practices, especially President Jokowi's neo-developmentalism discourse.
Keywords: Critical Discourse Analysis, Norman Fairclough, Project Multatuli, Alternative Media, Neo-developmentalism
PENDAHULUAN
Dewasa ini, nama Multatuli (Eduard Douwes Dekker) merupakan sebuah nama yang agaknya cukup tidak asing di telinga kita semua. Dengan bukunya Max Havelaar yang pertama kali terbit pada tahun 1860, Multatuli berhasil menyuarakan suara-suara yang perlu disuarakan semasa zamannya, yaitu orangorang yang tertindas sebagai derivasi dari praktik kolonialisme dan imperialisme. Max Havelaar menguliti buruknya sistem kebijakan pemerintah kolonial yang berkelindan dengan sistem feodalisme. Max Havelaar mewakili suara etis, anti-kolonial yang membela kaum tertindas dan lebih lanjut membantu mewujudkan tidak hanya era pemerintahan Belanda yang lebih welas asih diHindia, tetapi juga akhir kerajaan sama sekali (Zook, 2006).
Karenanya, kemunculan Max Havelaar (baik secara teks maupun kewacanaan) tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang melatarbelakanginya. Hampir dua abad berlalu, Douwes Dekker dengan Max Havelaar-nya tetap mengilhami berbagai masyarakat untuk mengangkat suara-suara yang terpinggirkan, tak terkecuali melalui kerja-kerja jurnalistik. Project Multatuli adalah salah satu dari sekian banyak inisiasi yang terilhami dari semangat Multatuli untuk mengangkat suara-suara yang terpinggirkan ini. Dalam esainya pendiri Project Multatuli, Evi Mariani (2021) mengemukakan: “Saya dan belasan teman membuat Project Multatuli, suatu inisiatif jurnalisme yang mengusung konsep jurnalisme layanan publik, atau “public service journalism” yang kadang-kadang disebut sebagai “journalism in public interests”. Dilihat dari pernyataan ini, Project Multatuli berharap kerja-kerja jurnalisme yang dilakukannya diharapkan mampu melayani kegiatan publik, atau dalam istilah Project Multatuli “mengangkat suara-suara yang perlu diangkat”.
McCombs dan Shaw (1972, dalam Rogstad 2016:2) menekankan kepada peranan media sebagai gatekeepers, dimana media mempunyai peranan dan kapabilitas untuk mengawal atensi terhadap suatu isu dan agenda publik. Sementara itu, dalam studi Ilmu Politik banyak yang memberikan penekananterhadap media sebagai “pilar keempat” dari sistem demokrasi. Hal ini didasarkan kepada kapabilitas media untuk menjaga jalannya pemerintahan sesuai dengan konstitusi yang berlaku (Djuyandi, 2018).
“Ya aku akan dibaca! Seandainya tujuan ini tercapai aku akan merasa puas. Karena aku tidak bermaksud menulis dengan baik. Aku menulis agar didengar!”, ucap Multatuli di akhir novel Max Havelaar. Hal ini yang kemudian mengihami Project Multatuli untuk menggunakan nama Multatuli sebagai nama proyek inisiatif jurnalismenya. Dalam lamannya, Dikutip dari laman Project Multatuli: “Kami memakai Multatuli sebagai nama proyek kami, sebuah organisasi jurnalisme pelayan publik yang fokus memberi suara pada mereka yang sudah banyak menderita, di antaranya kaum miskin kota dan desa, korban diskriminasi seks dan gender, dan masyarakat adat, serta membongkar ketidakadilan sistematis yang belum banyak berubah sejak zaman kolonial.” (Project Multatuli, 2022).
Dapat dilihat bahwa Project Multatuli memaknai kerja-kerja jurnalistik
sebagai kerja yang berpihak, yang dalam pandangan Project Multatuli berpihak kepada orang-orang yang sudah banyak menderita, mulai dari kaum miskin kota dan desa, korban ketimpangan gender dan seks, hingga korban ketidakadilan sistematis yang dewasa ini masih dapat kita jumpai. Meminjam kerangka media alternatif oleh Fuchs (2010) yang memaknai media alternatif seharusnya tidak diartikan sebagai praktik media alternatif saja, tetapi sebagai media yang mempertanyakan wacana dominan di masyarakat, Project Multatuli memilki benang merah dalam menentang wacana-wacana yang dianggap dominan, bersamaan dengan upayanya untuk mengangkat suara-suara kaum yang dianggap termarjinalkan.
Adapun dalam artikel ini, peneliti akan menganalisis pemberitaan Project Multatuli dalam menyoroti konflik pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Kawasan Bendungan Bener berada diatas tanah seluas 500 hektar atau setara 4.300 bidang. Desa Wadas adalah salah satu dari tujuh desa di Kecamatan Bener yang terdampak langsung pembangunan bendungan ini (Adriansa, et al., 2020).
Berkaitan dengan pemberitaan yang terjadi di media sosial, dijumpai berbagai narasi yang coba dibawakan oleh media dan teks terkait dengan konflik Wadas.Project Multatuli membuat rubrik khusus yang membahas konflik di Desa Wadas, salah satunya pemberitaan Project Multatuli yang terbit pada 15 November 2021 dengan headline “Wadon Wadas Menjaga Alam Untuk Cucu”, yang akan menjadi fokus bahasan dalam artikel ini. Adapun alasan kenapa peneliti menangkat topik ini adalah terkait posisi Project Multatuli dalam kerja-kerja jurnalistik yang lebih lanjut akan peneliti bahas di bagian pembahasan, serta pemberitaan yang berfokus kepada warga yang terlibat konflik Wadas. Analisa peneliti terhadap artikel Project Multatuli ini dilakukan menggunakan kerangka Critical Discourse Analysis (CDA) Norman Fairclough.
Kerangka analisis CDA Norman Fairclough didasarkan kepada pertanyaan besar bagaimana menghubungkan suatu teks yang mikro dengan masyarakat makro (Eriyanto, 2001). Analisis CDA Norman Farclough sendiri tidak bisa dilepaskan dari konsep “Wacana” oleh Michel Foucault dengan pandangan pasca-strkturalisnya. Konsep wacana” Foucault ini kemudian dikembangkan oleh Fairclough dalam bentuk analisis teks. Wacana membawa ke hubungan-hubungan kompleks kehidupan sosial: makna dan membuat makna, karenanya dalam menganalisis suatu teks, kerangka analisis CDA Fairclough memberikan penekanan terhdap order of discourse dalam memaknai teks, proses produksi teks, hingga konteks sosial dari suatu teks. (Haryatmoko, 2015; Eriyanto, 2001), Karenanya, kerangka analisis CDA Fairclough banyak digunakan dalam menganalisis suatu teks utamanya berkaitan dengan keterkaitannya dengan konteks sosial yang lebih luas.
Peneliti menjumpai penelitian terdahulu dengan topik serupa, diantaranya adalah penelitian dengan judul “ANALISIS WACANA KRITIS IKLAN FILM PENDEK LINE VERSI “ADA APA DENGAN CINTA?”” (2019) oleh Pranan Sutiono Saputra yang membahas tentang wacana nostalgia dan fitur aplikasi Line dalam iklan pendek Line dengan tujuan promosi film Ada Apa Dengan Cinta dan
promosi fitur “find alumni” dalam aplikasi Line. Penelitian serupa terkait analisis teks dalam kerangka CDA Fairclough adalah penelitian dengan judul “Wacana Perlawanan Persebaya 1927 terhadap PSSI: Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough” oleh Saraswati dan Sartini (2017). Penelitian ini membahas tentangkritik yang disampaikan oleh penggemar Persebaya 1927 terhadap PSSI melaluimedium spanduk dengan muatan sarkasme dan majas personifikasi. Penelitian lainnya yang menggunakan kerangka analisis CDA Fairclough dalam menganalisis suatu teks adalah penelitian dengan judul “Critical Discourse Analysis on PAN Political Banner Campaign Using Fairclough Three Dimensional Model” olehAkbar, dkk. (2019) yang membahas tentang spanduk kampanye Partai Amanat Nasional (PAN) di Jawa Barat. Dari penelitian ini dijumpai bahwa produksi pesan yang terkandung dalam spanduk kampanye ini berkaitan dengan dilakukan secara “tidak ortodoks” dan berfungsi untuk menarik perhatian pembaca.
Tiga penelitian tersebut, walau memberikan perspektif baru terhadap hubungan teks dan konteks sosial, hanya berfokus kepada kajian secara linguistik,dan utamanya media komunikasi. Adapun, dalam penelitian ini peneliti menggunakankacamata ilmu politik utamanya kaitannya dengan suprastruktur makro dalam produksi suatu teks. Terlebih lagi, sedari awal Project Multatuli memberikan penekanannya sebagai media public service journalism dan tujuan “kontra-oligarki”. Hal ini kemudian menjadi suatu kebaruan jika dibandingkan dengan tiga penelitian terdahulu yang dirujuk di atas, yang seringkali hanya membedah melalui sudut pandang ilmu budaya dan komunikasi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, terkait masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif merupakan bentuk penelitian yang secara fundamental bergantung kepada hasil pengamatan manusia, baik dalam kawasannya maupun peristilahannya (Kirk dan Miller, 1986:9 dalam Moloeong, 2007). Lebih lanjut, Sugiyono (2005) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang berfokus kepada kondisi alamiah objek yang akan diteliti, dimana seorang peneliti merupakan instrumen kunci dalam suatu penelitian, teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara gabungan (triangulasi), menggunakan analisis data yang bersifat induktif, serta lebih menekankan terhadap pemaknaan daripada objek yang diteliti, dibandingkan dengan generalisasi.
Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dengan menggunakan bahan kepustakaan yang relevan terhadap isu yang akan dibahas, mulai dari buku, jurnal, berita, hingga pemberitaan di media daring terhadap isu terkait. Hasan (2002) mendefinisikan data sekunder sebagai data yang dikumpulkan/diperoleh melalui penelitian terhadap sumber-sumber yang telah ada. Peristiwa yang dianalisis pada artikel ini ialah pemberitaan Project Multatuli dengan judul “Wadon Wadas Menjaga Alam untuk Anak-Cucu” dalam laman Project Multatuli. Pemberitaan ini menjadi suatu fenomena yang menarik untuk
ditelaah secara lebih mendalam sebab dalam pemberitaan ini ditemukan istilah-istilah yang mempertanyakan kembali wacana mapan di masyarakat, mulai dari pemaknaan terhadap pembangunan hingga kultur patriarkis yang eksis di masyarakat Indonesia. Adapun pendekatan yang akan peneliti gunakan adalah pendekatan CDA dari Norman Fairclough.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fairclough (dalam Eriyanto, 2001) memaknai bahasa sebagai suatu praktik kekuasaan, karenanya Fairclough memusatkan bagaimana suatu bahasa dibentuk dan terbentuk oleh relasi dan konteks sosial tertentu. Metode ini peneliti pilih karena metode ini dapat membantu konstruksi suatu pesan di dalam teks dengan melihat bangunan struktur wacana untuk melihat makna yang tersembunyi dalam suatu teks (Eriyanto, 2001). Fairclough memaknai bahwa bahasa dapat dilihat sebagai sebuah instrumen untuk melakukan konstruksi wacana. Fairclough (dalam Eriyanto, 2001) memandang bahasa secara sosial dan historis sebagai sebuah bentuk tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Karenanya analisis wacana harusdipusatkan tentang bagaimana suatu bahasa dikonstruk dan terkonstruk oleh relasidan konteks sosial yang eksis. Hal ini pula berkaitan dengan pranata sosial masyarakat yang akan berlomba-lomba mendominasi suatu wacana.
Jorgensen dan Phillips (dalam Munfarida, 2014) mengemukakan bahwa orientasi terhadap teks dalam pendekatan yang digunakan oleh Fairclough didasarkan kepada usaha untuk menyatukan tiga tradisi analisis, diantaranya adalah: (1) analisis tekstual dalam bidang linguistik (termasuk grammar fungsional Michael Halliday; (2) analisis makrososiologis dari praktik sosial termasuk teoriteori Foucault yang tidak menyediakan metodologi analisis teks; dan (3) tradisi interpretatif mikrososiologis dalam disiplin ilmu sosiologi. Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi, yakni (1) Teks (mikro) yang mencakup tutur, tulis dan imaji visual; (2) praktik diskursif (maso) yang mencakup produksi dan konsumsi teks; dan (3) praktik-praktik sosiokultural (makro) yang lebih luas yang menaungi peristiwa komunikatif (Eriyanto, 2001).
Fairclough membagi analisis wacana teks menjadi tiga elemen dasar untuk menguraikan dan menganalisis setiap teks yaitu representasi, relasi, dan identitas. Menurut Fairclough setiap teks pada dasarnya dapat diuraikan dan dianalisis dari ketiga unsur tersebut (Eriyanto, 2001).
Representasi dalam kerangka CDA Faiclough bertujuan untuk melihat penggambaran suatu peristiwa, orang, kelompok, situasi, atau keadaan apapun yang ada di dalam suatu teks (Eriyanto, 2001). Dilihat dari headline-nya, pemberitaan Project Multatuli memberikan penekanan terhadap peranan perempuan dalam
menjaga keberlangsungan lingkungan di Desa Wadas, terlihat dari headline pemberitaan “Wadon Wadas Menjaga Alam untuk Anak-Cucu”. Wadon Wadas sendiri merupakan kelompok perempuan Wadas. Secara eksplisit penggunaan kata “wadon” yang berarti “perempuan” dalam Bahasa Jawa alih-alih kata “perempuan” memberikan penekanan terhadap identitas perempuan di Wadas yang terletak di JawaTengah.
Peristiwa yang coba ditampilkan dalam pemberitaan ini adalah kehidupan perempuan Wadas dan perjuangannya dalam mempertahankan lahan Wadas yang berkonflik. Penggambaran kehidupan perempuan Wadas dapat dilihat dari penggalan kalimat awal pemberitaan ini, yaitu: “Embun pagi masih menempel pada daun-daun tumbuhan saat Urip (41) memulai aktivitas di dapur. Ibu dari tiga anak itu duduk di balai bambu, mengupas berambang dan bawang putih. Suara kokok ayam kampung jantan dan ayam hutan hijau (Gallus varius) yang bersahut-sahutan menemaninya memasak sayur bobor untuk makan keluarga.”. Kalimat “ibu dari tiga anak” disini digunakan untuk menggambarkan realitas yang harus dihadapi oleh ibu Urip selaku aktor yang coba direpresenasikan dalam kalimat ini.
Sementara perjuangan perempuan Wadas dalam mempertahankan lahan Wadas yang berkonflik, dapat dijumpai di penggalan kalimat: “Perempuan memiliki kedekatan terhadap alam dan sudah seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan alam mereka,” ujar Risma.”. Disini Pemberitaan Project Multatuli mengaitkan peranan perempuan Wadas dalammenjalani kehidupan sehari-harinya dan upaya-upaya yang dilakukan perempuan-perempuan Wadas ini untuk mempertahankan lingkungannya.
Kelompok perempuan dalam teks ini pula ditampilkan berasal dari latar belakang yang cukup beragam. Hal ini dapat dilihat dari penggalan: “Kini Wadon Wadas mempunyai anggota sekira 300 orang. Usia mereka beragam, mulai dari Arofah yang mahasiswa hingga Mbah Rah atau Tumirah, perempuan berambut putih yang lahir pada masa penjajahan Belanda.”. Wacana peranan perempuan Wadas dalam pemberitaan ini ditunjukkan dengan berbagai teks yang memunculkan latar belakang perempuan yang berasal dari berbagai latar belakang.
Lebih lanjut, pada penggalan teks: “Awalnya hanya pria saja yang aktif berjuang, seperti menghadapi langsung pemerintah dan menggelar mujahadah, sebuah perlawanan dengan cara doa bersama di masjid atau di alas” dapat dijumpai bahwa perjuangan masyarakat yang menolak tambang pada konflik Wadas pada awalnya didominasi oleh pria. Penggunaan kalimat “awalnya” ini kemudian menunjukkan bahwa perempuan di Desa Wadas sama-sama menganggap konflik tambang ini sebagai sebuah permasalahan bersama, dan lebih lanjut turut memperjuangkan kepentingan mereka dalam konflik ini.
Identitas keagamaan Islam pula sedikit banyak disinggung dalam pembacaan berita oleh Project Multatuli, terlihat dari penggalan kalimat: “Awalnya hanya pria saja yang aktif berjuang, seperti menghadapi langsung pemerintah dan menggelar mujahadah, sebuah perlawanan dengan cara doa bersama di masjid atau di alas.” dan kalimat “Di batas desa, sejak pagi Wadon Wadas bermujahadah dengan duduk di
jalan sambil merapalkan “Hasbunallah wanikmal wakil” (hanya Allah pelindungku)” di dalam teks.
Pemunculan identitas ini di teks tidak bisa dipisahkan dari kondisi bahwa mayoritas masyarakat Wadas sendiri mayoritas beragama Islam dan umumnya secara kultural cukup erat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam pemberitaan mengenai konflik Wadas lainnya oleh Project Multatuli dengan headline “Wadas Melawan Tanpa Kekerasan: Membalas Pukulan Polisi dengan Hasil Bumi untuk Ndoro Ganjar” dijumpai spanduk besar bergambar pendiri Nahdlatul Ulama, Kiai Hasyim Asy’ari dengan tulisan “Petani itulah penolong negeri” digantungkan di teras rumah Kiai Bahrudin di seberang masjid (Project Multatuli, 2022). Dapat dilihat bahwa headline dan empat penggalan teks tersebut merepresentasikan identitas wacana perlawanan perempuan yang bersifat inklusif, serta penekanan perjuangan perempuan dalam mempertahankan alam di Desa Wadas Purworejo.
Fairclough (dalam Eriyanto, 2001) memaknai relasi sebagai penggambaran antara hubungan antara wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dalam teks. Lebih lanjut, Fairclough memandang terdapat tiga kategori partisipan dalam media, yaitu: (1) wartawan, (2) khalayak media, dan (3) partisipan publik. Fairclough (dalam Eriyanto, 2001) memandang praktik relasional ini termanifestasi oleh kemampuan media sebagai suatu ruang untuk berpartisipasi menyampaikan pendapat. Sementara identitas dimaknai sebagai penggambaran identitas wartawan (pembuat teks), khalayak, dan partisipan berita dimunculkan dalam suatu teks.
Upaya untuk menghubungkan khalayak pembaca dengan masyarakat yang menolak tambang di Wadas, dapat dilihat dengan kalimat-kalimat yang mengangkat keseharian masyarakat Wadas sebelum membahas lebih lanjut konflik yang terjadi. Salah satu dari kalimat ini dapat dijumpai pula di kalimat awal pemberitaan ini yang menceritakan keseharian Urip dan suaminya Tukidi.
Wartawan Project Multatuli menghubungkan masyarakat Wadas yang menolak tambang dengan pembaca melalui aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat Wadas yang dinarasikan sudah hidup layak sebelum adanya tambang, terlihat dari penggalan: Riset yang dibuat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan masyarakat Wadas memberikan alasan mengapa Urip dan warga Wadas lainnya menolak. Rata-rata hasil pertanian mencapai Rp4 juta hingga Rp5 juta per bulan sehingga bisa menopang kehidupan petani dengan dua anak yang masih sekolah, kuliah, atau mondok di pesantren.”.
Berkaitan dengan relasi pula, pemberitaan Project Multatuli sedikit banyak menyoroti paradigma pembangunanisme atau neo-pembangunanisme meminjam istilah Warburton (2016) yang belakangan ini menjadi pembicaraan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pemberitaan Project Multatuli mengangkat pandangan Asfinawati yang secara ad verbatim berbunyi: “Wadas adalah bentuk dari kembalinya ideologi pembangunanisme Orde Baru” Pengangkatan pandangan ini menunjukkan bahwa wartawan Project Multatuli memaknai (neo) pembangunanisme
sebagai sesuatu yang bersifat negatif dan cenderung mengesampingkan aspek kerakyatan dan secara implisit mengajak khalayak pembaca untuk kembali memaknai ulang paradigma pembangunanisme yang dewasa ini pula memiliki konsekuensinya tersendiri.
Lebih lanjut, wartawan Project Multatuli disini berupaya untuk menampilkan konflik yang terjadi di Wadas sebagai sebuah permasalahan bersama. Mulai dari diangkatnya pandangan masyarakat yang tidak berdomisili di Wadas seperti Michelle Rizky Yuditha, seorang aktivis asal Yogyakarta yang dalam pemberitaan Project Multatuli tergugah dengan perjuangan masyarakat Wadas dalam mempertahankan tanahnya; hingga Gunarti, perempuan pejuang dari Kendeng yang turut mendukung perjuangan perempuan di Wadas.
Dapat dilihat bahwa secara relasional, hubungan dalam konflik Wadas dalam pemberitaan Project Multatuli ini digambarkan dengan pola relasi yang memberikan penekanan terhadap kelompok yang menolak tambang, utamanya perempuan. Ia menekankan terhadap inklusifitas dan perjuangan-perjuangan untuk menolak tambang di Desa Wadas Purworejo yang dianggap akan mencederai lingkungan.
Sedangkan secara identitas, wartawan Project Multatuli mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang menolak adanya pertambangan di Desa Wadas. Hal ini secara eksplisit dapat dilihat dalam penggalan kalimat: “Wadon Wadas sedang menjawab tantangan sejarah, berjuang membela hak hidupnya bersama alam di tanah kelahirannya. Seperti dalam syair mars perjuangan Gempa Dewa, mereka berjanji melestarikan alam untuk kehidupan anak cucu dan bahkan sampai akhir dunia.”. Dalam kalimat ini, wartawan mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok yang mendukung perjuangan masyarakat Wadas dalam menolak tambang dan memberikan penekanan terhadap peranannya dalam menjaga keberlangsunganlingkungan.
Produksi dan konsumsi teks akan menentukan bagaimana proses suatu teks terbentuk, karenanya dalam Fairclough memberikan penekanan terhadap pengaruh diskursus dalam pembentukan suatu teks. Pola praktik diskursif ini dibentuk setidaknya oleh tiga faktor yaitu individu jurnalis, struktur organiisasi media dan rutinitas media yang lebih lanjut membentuk suatu formasi diskursif (Eriyanto, 2001).
Agaknya peneliti ingin sedikit menyinggung terkait perdebatan mengenai posisi kerja-kerja jurnalistik dan keberpihakan atau yang biasa disebut dengan istilah netralitas. Setidaknya, terdapat dua pandangan umum berkaitan dengan hal ini. Pandangan pertama adalah pandangan yang menganjurkan tentang pentingnya netralitas suatu media. Penganut pentingnya netralitas ini menganggap bahwa sikap netral ini merupakan hal yang perlu untuk ditegakkan demi mewujudkan wartawan dan kerja-kerja jurnalistik yang profesional.
Sebagaimana dikutip dalam tulisan Darajat Wibawa (2020): “netralitas dengan sendirinya akan mudah mejadi media yang kapabel dan wartawan yang profesional.”. Media disini harus memiliki jarak dan bersikap dingin terhadap objek
yang diliputnya (Utomo, 2021). Pandangan ini mirip dengan pandangan positivis-empiris dan pada umumnya meyakini bahwa netralitas akan mengarah kepada profesionalitas sebuah media.
Netralitas dan objektivitas sempat menjadi jargon yang cukup banyak digaungkan, utamanya pada awal abad ke-20. Hal ini yang kemudianmelatarbelakangi munculnya istilah jurnalisme profesional. Alih-alih menyuguhkan jurnalisme yang menantang, jurnalisme profesional memberikan penekanan terhadap “jarak” terhadap objek yang diliputnya. Ia menisbikan kondisi ekonomi politik dan pengaruhnya terhadap kerja-kerja jurnalistik. Keberpihakan dimaknai sebagai sesuatuyang negatif. Ruangan redaksi idealnya tidak dipengaruhi oleh agenda politik, pemilik modal, pemasang iklan, editor, hingga jurnalis dan wartawan itu sendiri (Eddyono, et al., 2019).
Lantas dimanakah posisi Project Multatuli dalam perdebatan netralitas media ini? Dalam bagian “tentang kami”, Project Multatuli memberikan penekanan terhadap pentingnya gerakan jurnalisme publik, terlihat dari kalimat :”Project Multatuli adalah sebuah inisiatif jurnalisme untuk melayani yang dipinggirkan demi mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Kami melayani publik dengan mengangkat suara-suara yang dipinggirkan, komunitas-komunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang disisihkan”. Berkaitan dengan upayanya untuk suara-suara yang “perlu diangkat” ini, dalam lain kesempatan Evi Mariani menekankan bahwa Project Multatuli memberikan penekanan terhadap keberpihakan terhadap kelompok-kelompok marjinal dengan kerangka Public Service Journalism sebagai upaya untuk melawan oligarki media dan armchair journalism.
Merujuk kepada pernyataan ini dan sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya Project Multatuli secara terang-terangan menyatakan keberpihakannya terhadap suatu isu dan wacana yang ingin diangkat dan secara jelas menyatakan telah keluar dari jebakan netralitas jurnalisme. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi wartawan Project Multatuli untuk berpihak terhadap “suara-suara kelompok marjinal dalam pemberitaannya”, salah satunya adalah pemberitaan berkaitan dengan konflik Wadas yang merupakan fokus analisis penelitian ini. Dalam reportasenya, Bambang Muryanto selaku wartawan pada reportase ini terjun langsung ke dalam masyarakat Wadas dalam mendapatkan suatu berita.
Berkaitan dengan struktur organisasi suatu media, hal ini dapat ditarik dari latar belakang kemunculan Project Multatuli. Merujuk kepada esai “Mengapa Kami Mendirikan Project Multatuli” oleh Evi Mariani, dijumpai bahwa inisiatif Project Multatuli diinisiasi oleh penulis, videografer, editor, pewarta foto, jurnalis data, digital campaigner, manajer bisnis, dengan keyakinan bahwa jurnalisme yang baik bisa menggerakkan dan membawa dampak (Mariani, 2022). Praktik diskursif juga dipengaruhi oleh rutinitas sebuah media, Project Multatuli dalam reportasenya menekankan kepada kerangka jurnalisme investigasi dan public service jounalism yang menentang armchair journalism dimana jurnalis dalam armchair journalism melakukan kerja-kerja jurnalismenya tanpa meninggalkan meja redaksinya.
Analisis praktik diskursus memusatkan tentang bagaimana suatu teks
diproduksi dan dikonsumsi. Pembentukan sebuah teks merupakan derivasi dari praktik diskursus. Dalam konteks Project Multatuli, dapat dilihat bahwa pemaknaan Project Multatuli terhadap kerja-kerja jurnalistik sangat mempengaruhi produksi teksnya, mulai dari produksi teks oleh wartawan, struktur organisasi media, hingga rutinitas media.
Fairclough memandang bahwa setiap teks dalam wacana dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik (kekuasaan dan ideologi), dan budaya (nilai dan identitas) yang mempengaruhi institusi media. Fairclough membuat tiga level analisis pada praktik sosial budaya: 1) Tingkat Situasional, 2) Tingkat Institusional dan 3) Tingkat Sosial (Eriyanto, 2001).
Dalam konteks situasional, produksi teks ini jelas tidak bisa dipisahkan dari konflik yang terjadi di Desa Wadas dan pembangunan proyek pembangunan Bendungan Bener. Proyek pembangunan Bendungan Bener ini dicanangkan sebagai salah satu proyek strategis nasional, namun dalam proses pembangunannya terdapat berbagai permasalahan yang dihadapinya. Salah satu dari permasalahan ini adalah berkaitan dengan pembebasan lahan untuk penambangan batu andesit Desa Wadas.
Dalam proses pembebasan lahan ini dijumpai pula represifitas yang dilakukan oleh aparat terhadap sejumlah masyarakat termasuk sekelompok perempuan yang melakukan perlawanan menolak proyek penambangan batu (Nursalim dan Riyono, 2022). Di media sosial, terjadi tren peningkatan perbincangan mengenai konflik di Desa Wadas pasca adanya konflik antara warga Desa Wadas dan aparat kepolisian. Drone Emprit mencatat bahwa Topik Wadas dan hashtag #WadasMelawan banyak berkelindan di media sosial Twitter sejak 8 Februari 2022.
Dalam tingkatan institusional, Fairclough (dalam Eriyanto, 2001) memberikan penekanan terhadap analisis kekuatan-kekuatan eksternal yang mempengaruhi proses produksi sebuah teks, salah satunya adalah pengaruh ekonomi media. Di Indonesia, bersamaan dengan semangat demokrasi dan desentralisasi pasca Orde Baru, terjadi sebuah konsensus akan adanya praktik demokratisasi dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam media. Media-media baru mulai bermunculan sebagai dampak dari adanya kemudahan perizinan usaha media dan adanya kebebasan pers. Lebih dari 900 izin televisi komersial dan radio diterbitkan, sebagai turunan dari disahkannya UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers dan Permen No. 01 tahun 1998 yang menjamin independensi pers, serta kemudahan untuk mendapatkan Surat Ijin Usaha Penerbitan (Dahlia dan Permana, 2022). Suatu hal yang agaknyasulit dijumpai di medai semasa rezim Orde Baru yang nasionalis-sentralistik.
Namun, kebebasan media ini pula menimbulkan permasalahan lebih lanjut, salah satunya adalah kapitalisasi industri media. UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
membolehkan penyertaan modal asing sebesar 20 persen dari total saham penyiaran. Namun, UU ini tidak mengatur penyertaan modal asing secara komperhensif. Kesempatan kapitalisasi industri media juga semakin terbuka ketika sebuah media penyiaran menyatakan terbuka secara publik.
Mahanani (2022) mengemukakan ada tiga cara kapitalisasi media pasca Orde Baru ini dilakukan, utamanya oleh investor asing. Pertama, investor asing dapat membeli langsung saham televisi. Kedua, memiliki saham melalui perantara (tidak langsung). Ketiga, penguasaan 100 persen saham oleh perusahaan induk yang dibentuk oleh pengelola televisi. Lebih lanjut, Tapsell (2017) mengidentifikasikan bahwa media arus utama Indonesia berada di belakang konglomerat yang sebagian besarnya terjun ke politik praktis dan sebagiannya lagi memiliki usaha di bidang selain media. Ringkasnya Tapsell memandang bahwa media arus utama di Indonesia dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari cengkraman oligarki dimana media Indonesia bekerja dalam kerangka pasar bebas, dimana perilaku produksi suatu berita ditentukan oleh audiens dan pembaca.
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi kemunculan media-media alternatif di Indonesia, salah satunya adalah Project Multatuli. Kemunculan media alternatif tidak bisa dipisahkan dengan adanya gempuran konglomerasi media. Media alternatif bermunculan untuk merebut visibilitas dari pasar media yang sesak (Kenix dalam Mariani dan Adiprasetio, 2018).
Dalam kerangka CDA Fairclough, faktor sosial memainkan peranan yang esensial dalam proses analisis suatu teks. Aspek sosial disini diartikan secara makro, mulai dari aspek ekonomi, politik, hingga sosiokultural (Eriyanto, 2001). Hal ini berkitan dengan adanya pergeseran aspek makro yang kemudian menentukan perkembangan wacana di media maupun masyarakat. Secara makro, agaknya sulit untuk mengesampingkan bahwa konflik yang dibawakan teks ini secara tidak bisa dipisahkan dengan kondisi ekonomi-politik Indonesia dibawah kepemimpinanPresiden Joko Widodo bersifat “Neo-Developmentalis”.
Warburton (2016) mencirikan developmentalisme baru Presiden Jokowi bersifat pragmatis dan berorientasi pada pertumbuhan dalam kebijakannya, statis-nasionalis dalam posisi ideologisnya, dan konservatif dalam pendekatannyaterhadap masalah transparansi dan pemerintahan serta hak asasi manusia dan keadilan. Menurutnya, terdapat gema masa lalu yang luar biasa dalam developmentalisme baru ini, sebagaimana Orde Baru dengan pembangunan pragmatisdan aspirasi retorisnya untuk 'memodernisasi' Indonesia.
Sebagai sebuah pembaharuan dari gagasan developmentalisme, gagasan neo-developmentalisme dinilai berbeda dari arus utama dan fleksibel. Penganjur neo-developmentalisme memandang neo-developmentalisme sebagai bentuk baru dari aktivisme negara (state activism). Neo-developmentalisme merupakan program pembangunan national capitalism untuk memandu transisi negara-negara berkembang menjauh dari Washington Consensus (Ban, 2013). Neo developmentalisme
menekankan kepada pentingnya intervensi oleh negara bersamaan dengan dukungan yang bersifat selektif untuk berbagai aspek dan strategi ekonomi yang ortodoks dan liberal (Bresser-Pereira, 2009).
Infrastruktur dalam kerangka neo-developmentalisme memainkan peranan yang penting, utamanya dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana kerangka neo-developmentalisme yang menghendaki adanya “intervensi” pemerintah, intervensi ini juga dilakukan melalui pelibatan perusahaan-perusahaan BUMN dalam proyek infrastruktur di Indonesia dengan adanya harapan untuk mengundang investasi masuk ke Indonesia dan lebih lanjut berdampak kepada ekonomi nasional (Warburton, 2018).
Sebagaimana periode pertamanya, wacana pembangunan di periode kedua Presiden Jokowi juga mendapatkan gaung yang cukup kuat. Tercatat Ada 89 usulan proyek strategis nasional (PSN) baru pada periode 2020-2024 yang menelan biaya Rp1.422 triliun dari Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto kepada Jokowi. Proyek pembangunan Bendungan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, merupakan salah PSN di bawah pemerintahan Presiden Jokowi yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020, Dari total 201 PSN, 48 di antaranya di sektor pembangunan infrastruktur bendungan (Tempo, 2022). Bendungan ini direncanakan akan memiliki kapasitas sebesar 100.94M³diharapkandapat mengairi lahan seluas 15069 Ha, mengurangi debit banjir sebesar 210 M³/detik, menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 M³/detik, dan menghasilkan listrik sebesar 6,00 MW (KPPIP, 2022).
Hal ini pula dapat dilihat dalam pembangunan Bendungan Bener, yang hampir dari setengah dari aliran air Bendungan Bener akan digunakan untuk kebutuhanNYIA dan Kulon Progo (CNN Indonesia, 2022). Lebih jauh lagi apabila menelisik agendaagenda pembangunan Presiden Jokowi, kawasan Borobudur memang dicanangkan sebagai “10 Bali Baru”. Pembangunan NYIA yang sempat bermasalah pula ini merupakan upaya pemerintah untuk mempersiapkan akses wisatawan untuk bertamasya ke Borobudur, mengingat Bandara Adi Sucipto Yogyakarta dianggap tidak bisa menampung arus kedatangan penumpang ke Borobudur (Katadata, 2022).
Secara iklim politik, dengan segala kekurangannya media di Indonesia agaknya bisa bernafas lega apabila dibandingkan dengan Rezim Orde Baru, sebagaimana disinggung sebelumnya. Merujuk kepada asesmen yang dilakukan oleh Freedom House, dalam asesmen dengan pertanyaan “Are there free and independent media?”, Indonesia mendapatkan skor tiga dari empat, terlepas dari segalakekuragannya salah satunya adalah kriminalisasi melalui UU ITE (Freedom House, 2022). Hal ini kemudian mempengaruhi produksi teks berita, dimana wartawan dan jurnalistik dapat bersikap kritis dalam meliput suatu pemberitaan.
SIMPULAN
Produksi suatu teks hingga ke pemilihan bahasa yang digunakan oleh produsen teks sangat berkaitan dengan praktik sosial yang ada. Ia dibentuk dan terbentuk oleh praktik sosial dan lebih lanjut konsumsi terkait discourse. Berkaitan
dengan teks pemberitaan Project Multatuli dengan headline “Wadon Wadas Menjaga Alam untuk Anak-Cucu”, ada beberapa kesimpulan yang peneliti dapat ambil. Berkaitan dengan diksi dan kalimat-kalimat yang ada dalam pemberitaan ini, Project Multatuli berusaha menekankan kepada peranan perempuan, inklusivitas, dan lebih lanjut dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok perempuan ini dalam menghidupi kehidupannya sehari-hari bersamaan dengan upayanya untuk menjaga alam. Wartawan selaku produsen teks juga mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok yang mendukung perjuangan masyarakat Wadas, terlihat dari variabel representasi, relasi, dan identitas dalam teks ini.
Produksi teks oleh wartawan ini juga tidak bisa dipisahkan dari institusi dimana wartawan ini memproduksi teks, yang dalam hal ini Project Multatuli. Project Multatuli sedari awal sudah menegaskan posisinya sebagai media alternatif yang menekankan wacana jurnalisme pelayanan publik yang kontra-oligarki. Diskursus mengenai jurnalisme pelayanan publik sendiri juga tidak bisa dipisahkan dengan konteks sosial-politik yang lebih luas. Konteks sosial dalam skala makro mulai dari adanya oligarki media hingga konflik Wadas yang dapat dilihat sebagai derivasi gagasan neodevelopmentalisme Presiden Jokowi juga memainkan pengaruh yang penting dalam struktur yang makro. Karenanya, dapat dilihat bahwa produksi teks pemberitaan oleh Project Multatuli ini dilatarbelakangi oleh konteks sosial yanglebih luas, atau dalam istilah Fairclough diskursus yang mengkonstruk dan dikonstruk oleh wacana yang lebih luas.
REFERENSI
Adriansa, M. Z., Adhim, N., & Silviana, A. (2020). PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN BENDUNGAN BENER DI DESA WADAS KABUPATEN PURWOREJO (TAHAP I)(STUDI KASUS HAMBATAN DALAM PENGADAAN TANAH DI DESA WADAS). Diponegoro Law Journal, 9(1), 138-154.
Akbar, A. M., Agasi, R. S., & Yowata, T. Critical Discourse Analysis on PAN Political Banner Campaign Using Fairclough Three Dimensional Model. PRASASTI: Journal of Linguistics, 4(2), 104-112.
Ban, C. (2013). Brazil's liberal neo-developmentalism: New paradigm or edited orthodoxy?. Review of International Political Economy, 20(2), 298-331.
Bresser-Pereira, L. C. 2009. “From Old to New Developmentalism in Latin America”. In Handbook of Latin America Economics, edited by Jose Antonio Ocampo. Oxford: Oxford University Press.
CNN Indonesia. 2022. Drone Emprit: Ganjar Paling Banyak Disinggung di Medsos Soal Wadas. [online] Available at:
<https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220209120152-192-756927/dr one-emprit-ganjar-paling-banyak-disinggung-di-medsos-soal-wadas> [Accessed 29 May 2022].
Dahlia, R. R., & Permana, P. A. (2022). Oligarki Media dalam Pusaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2019 Menuju 2024. POLITICOS: Jurnal Politik dan Pemerintahan, 2(1), 65-81.
Djuyandi, Y. (2018). Pengantar Ilmu Politik. Depok: Rajawali Pers.
Eddyono, A. S., Faruk, H. T., & Irawanto, B. (2019). Menyoroti Jurnalisme Warga: Lintasan Sejarah, Konflik Kepentingan, dan Keterkaitannya dengan Jurnalisme Profesional. Jurnal Kajian Jurnalisme, 3(1), 1-17.
Eriyanto. (2001). Analisis wacana: pengantar analisis teks media. LKiS Yogyakarta.
Freedom House. 2022. Indonesia: Freedom in the World 2022 Country Report |
Freedom House. [online] Available at:
<https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2022> [Accessed 15 June 2022].
Hasan, M. I. (2002). Pokok-pokok materi metodologi penelitian dan aplikasinya.
Infrastruktur Yang Mendekatkan 10 Bali Baru. Industri Katadata.co.id. (2019, July 20). Retrieved May 30, 2022, from
https://katadata.co.id/muchamadnafi/berita/5e9a50d851f2b/infrastruktur-yan g-mendekatkan-10-bali-baru
Mahanani, C., 2022. Yang Tidak Banyak Dikatakan Soal Pekerja Media : Kondisi, Posisi, dan Strategi, Buruh Digital Muda di Indonesia. Yogyakarta: Litiani
Mariani, E. (2022, January 5). Mengapa Kami mendirikan Project Multatuli. Project Multatuli. Retrieved May 29, 2022, from
https://projectmultatuli.org/mengapa-kami-mendirikan-project-multatuli/
Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 103.
Munfarida, E. (2014). Analisis wacana kritis dalam perspektif Norman Fairclough. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 8(1), 1-19.
Muryanto, B. (2022, January 5). Wadon Wadas Menjaga Alam Untuk Anak-Cucu. Project Multatuli. Retrieved May 31, 2022, from
https://projectmultatuli.org/wadon-wadas-menjaga-alam-untuk-anak-cucu/
Project Multatuli. (2022, February 15). Tentang Kami. Retrieved May 31, 2022, from https://projectmultatuli.org/about/
Muryanto, B. (2022, March 7). Wadas Melawan Tanpa kekerasan: Membalas Pukulan Polisi Dengan Hasil Bumi untuk ndoro ganjar. Project Multatuli. Retrieved May 29, 2022, from
https://projectmultatuli.org/wadasmelawan-tanpa-kekerasan-membalas-puku lan-polisi-dengan-hasil-bumi-untuk-ndoro-ganjar/
Nursalim, N., & Riyono, S. (2022). ANALISIS PERLAWANAN PEREMPUAN TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENAMBANGAN BATU ANDESIT DI DESA WADAS. MIMBAR ADMINISTRASI FISIP UNTAG Semarang, 19(1), 32-49.
Rogstad, I. (2016). Is Twitter just rehashing? Intermedia agenda setting between Twitter and mainstream media. Journal of Information Technology & Politics, 13(2), 142-158.
Saputra, P. S. (2019). Analisis Wacana Kritis Iklan Film Pendek Line Versi “Ada Apa dengan Cinta?”. Ars: Jurnal Seni Rupa dan Desain, 22(1), 16-24.
Saraswati, A. (2017). Wacana Perlawanan Persebaya 1927 terhadap PSSI: Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough. Mozaik Humaniora, 17(2), 181-191.
Tapsell, R. (2017). Media power in Indonesia: Oligarchs, citizens and the digital revolution. Rowman & Littlefield.
Walhi: Kepentingan Utama Bendungan bener Suplai Kebutuhan Bandara Nyia. nasional. (2022, February 11). Retrieved May 30, 2022, from
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220211104353-20-757906/walhi-kepentingan-utama-bendungan-bener-suplai-kebutuhan-bandara-nyia
Wibawa, D. (2020). Wartawan dan Netralitas Media. Communicatus: Jurnal Ilmu komunikasi, 4(2), 185-206.
Yadi, K. (2017). Sejarah Perkembangan Pendidikan di Priangan 1900-1942. Online)(https://jurnal. unigal. ac. id/ind ex. php/artefak/article/view/908).
Yoedtadi, M. G., & Pribadi, M. A. (2020, December). Alternative Media as CounterHegemony: A Case study of Konde. co and Magdalene. co. In The 2nd Tarumanagara International Conference on the Applications of Social Sciences and Humanities (TICASH 2020) (pp. 99-107). Atlantis Press.
Zook, D. C. (2006). Searching for Max Havelaar: Multatuli, Colonial History, and the Confusion of Empire. MLN, 121(5), 1169-1189.
100
Discussion and feedback