DIGESTIVITY OF BROILER CHICKEN RATE FEEDED AMINO ACID LYSINE AND METHIONINE THROUGH DRINKING WATER IN CLOSE HOUSE CAGES
on
ISSN 2722-7286

Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: jurnaltropika@unud.ac.id
Submitted Date: December 21, 2021
Accepted Date: May 3, 2022
Editor-Reviewer Article : Eny Puspani & A.A. Pt. Putra Wibawa
KECERNAAN RANSUM AYAM BROILER YANG DIBERIKAN ASAM AMINO LYSINE DAN METHIONIN MELALUI AIR MINUM PADA KANDANG CLOSE HOUSE
Udayana, P. W. K. , I P. A. Astawa dan I G. Mahardika
PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali Email: KRISNAUDAYANA@student.unud.ac.id Telp: 081248993358
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian asam amino lysine dan methionine melalui air minum terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, dan kecernaan serat kasar dari ransum yang diberikan. Penelitian dilaksanakan di kandang milik Bapak I Made Arcana yang berlokasi di Desa Candikusma, Jembrana selama 32 hari. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan dan empat ulangan serta disetiap unit percobaan menggunakan 12 ekor ayam strain CP 707. Perlakuan yang diberikan adalah P0= penggunaan 0% lysine dan methionine, P1= penggunaan 0,02% lysine dan methionine, dan P2= 0,025% lysine dan methionine, dan P3= penggunaan 0,03% lysine dan methionine. Variabel yang diamati meliputi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian asam amino lysin dan methionine melalui air minum dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serta kecernaan protein kasar, namun berpengaruh tidak nyata terhadap kecernaan bahan organik, dan kecernaan serat kasar.
Kata kunci: broiler, asam amino, lysine dan methionine, kecernaan
DIGESTIVITY OF BROILER CHICKEN RATE FEEDED AMINO ACID LYSINE AND METHIONINE THROUGH DRINKING WATER IN
CLOSE HOUSE CAGES
ABSTRACT
The aim of the study was to determine the effect of giving the amino acids lysine and methionine through drinking water on dry matter digestibility, organic matter digestibility, digestibility crude protein, and crude fiber digestibility of the given ration. The research was carried out in the cage owned by Mr. I Made Arcana located in Candikusma Village, Jembrana for 32 day. The study used a completely randomized design (CRD) consisting of

four treatment and four replications and in each experimental unit using 12 chickens strain CP 707. The treatment given was P0= the use of 0% lysine and methionine, P1= the use of 0.02% lysine and methionine, and P2= 0.025% lysine and methionine, and P3= the use of 0.03% lysine and methionine. The observed variables include the digestibility of the material dry matter, digestibility of organic matter, digestibility of crude protein, digestibility of crude fiber. Research result showed that administration of the amino acids lysine and methionine through drinking water can increase dry matter digestibility, crude protein digestibility, but can’t increace to crude fiber digestibility and organic matter digestibility.
Keywords: broiler, amino acids, lysine and methionine, digestibility
PENDAHULUAN
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia maka semakin meningkat pola kebutuhan bahan makanan, termasuk bahan makanan yang berasal dari hewan terutama daging. Ayam broiler merupakan jenis ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan daging dibandingkan dengan ayam lainya. Pertumbuhan ayam broiler yang cepat juga di ikuti dengan pertumbuhan lemaknya yang cepat (Nuroso, 2012; Suprijatna el al., 2005). Ayam ras pedaging atau broiler menjadi komoditas utama karena pertumbuhannya yang cepat, secara umum perkembangan ayam broiler memberikan manfaat yang besar untuk para pelaku usaha peternakan. Komoditas yang mempunyai prospek pasar yang baik karena di dukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang relatip murah dengan akses yang mudah karena sudah merupakan barang publik dan merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional. Seiring berkembangnya teknologi banyak peternak yang beralih dari kandang open house ke kandang close house mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
Close house adalah kandang tertutup yang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, alat penerangan, sistem pemanas/ brooder, exhaust fan, cooling pad,sensor, panel listrik, dan tirai. Penggunaan kandang close house pada pemeliharaan ayam broiler untuk mengurangi pengaruh dari suhu di luar kandang (Sujana, Darana, dan Setiawan, 2011). Secara teori kandang close house bisa memaksimalkan kondisi kandang 95 % dari suhu yang extrim sedangkan faktor manajemen kandang hanya berpengaruh 5%, harapan peternak tentu ingin mendapatkan keuntungan yang maksimal. Disisi lain keuntungan sistim peternakan close house antara lain bisa menekan pencemaran lingkungan seperti bau dan lalat bisa
diatasi dengan maksimal. Dinegara-negara maju peternak ayam broiler telah banyak beralih kepeternakan ayam sistem close house karena dalam manajemen pemeliharaan lebih mudah dan dianggap lebih menguntungkan. Dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas ayam broiler sistem peternakan ayam close hause dalam era teknologi zaman ini sangat tepat di terapkan. Untuk meningkatkan atau menunjang produktivitas unggas agar maksimal perlu dilakukan penambahan asam amino lisin dan metionin pada air minum ayam broiler. Asam amino lysine dan metheonine pada broiler adalah salah satu solusi untuk pengganti Antibiotik Growth Promotor (AGP) karena asam amino lysine dan metheonine dapat memperbaiki kualitas pakan dari sumber protein, dimana dalam proses pemecahan bahan makanan banyak kandungan protein.
Pemberian asam amino lysin dan metheonine pada ayam broiler adalah salah satu solusinya, karena asam amino lysin dan metheonine dapat memperbaiki kualitas pakan dari sumber protein, dimana dalam proses pemecahan bahan makanan banyak kandungan protein yang hilang sehingga solusinya dapat ditambahkan asam amino lysin dan metheonine. Menurut Yuliyanti et al. (2018) pemberian ransum dengan suplementasi campuran lisin, metionin dan kolin sebanyak 0,5% dan 1% pada babi bali jantan belum memberikan hasil yang berbeda terhadap dimensi tubuh yang meliputi tinggi pundak, tinggi punggung, tinggi pinggul, lingkar dada, lingkar perut, lingkar flank, dan panjang badan
Asam amino ensensial yaitu asam amino yang harus tersedia dalam pakan karena ternak tidak mampu atau hanya sedikit mensintesanya. Asam amino lysin dan metheonie merupakan asam amino yang perlu di perhatikan dalam penyusunan ransum. Hal ini memungkinkan apabila ayam diberikan tambahan asam amino lysine dan methionine dapat meningkatkan kinerjanya. Asam amino lysine dan methionine merupakan 2 asam amino pembatas utama pada pakan.
MATERI DAN METODE
Broiler
Broiler yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler berumur 25 hari, sebanyak 192 ekor dengan berat yang homogen (SD±5%) produksi PT. Charoen Phokphand, Tbk. tanpa membedakan jenis kelamin (unsexed)
Asam amino
Asam amino yang digunakan pada penelitian ini adalah lysine dan methionine yang diproduksi oleh PT Peridam Tbk.
Kandang dan perlengkapan
Tipe kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang “Close House” yang didalamnnya telah disekat sebanyak 16 petak. Ke 16 petak kandang terbuat dari bahan kayu dan kawat jaring dengan ukuran 1x1 m yang dilengkapi dengan gasolek/pemanas.Setiap unit kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum galon dengan kapasitas 5 liter. Pada bagian bawah kandang terdapat sekam untuk menampung kotoran dan dinding kandang ditutupi dengan terpal.
Ransum dan air minum
Ransum yang di berikan selama kolekting adalah ransum Br 12 yang di produksi oleh PT. Charoen Phokphand, tbk. Air minum diberikan ad libitum. Kandungan nutrisi pakan dapat di lihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Komposisi kandungan zat nutrisi pakan
Nutrien Pakan
BR12
(3-6 minggu) |
Standar2) | ||
Energi metabolis |
(Kkal/Kg) |
3000-3100 |
3200 |
protein kasar |
(%) |
20-22 |
18-23 |
Serat kasar |
(%) |
5 |
3-6 |
Lemak kasar |
(%) |
5 |
3-4 |
Kalsium |
(%) |
0,9 |
0,9-1 |
Fospor |
(%) |
0,5 |
0,35-0,45 |
Keterangan:
1) Brosur pakan ternak yang di produksi oleh PT. Charoen Pokhphand Indonesia, Tbk.
2) Standar menurut NRC (1994)
Alat-alat dan perlengkapan
Peralatan yang di gunakan pada penelitian ini adalah ember plastik, timbangan
“Ohaus” kapasitas 2610 g dengan kepekaan 10 g, timbangan “Scale Kitchen” kapasitas 5 kg
dengan kepekaan 50 g, kantong plastic, lampu, tempat pakan, tempat minum, sepait, kalkulator. Alat tulis berupa buku, pulpen. Alat-alat bedah seperti pisau, cutter, gunting dan pinset. Perlengkapan lain yang digunakan dalam penelitian ini yakni kertas koran sebagai alas, bola lampu 100 watt, terpal/kain untuk menutupi kandang dari angin dan sabun untuk mencuci peralatan kandang.
Metode Penelitian
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali, yang berlangsung selama 32 hari, feses yang diambil selama 7 hari sebelum pasca panen. Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak selama 1 minggu.
Rancangan percobaan
Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dalam satu kelompok.Adapun perlakuannya yaitu:
P0 : Ayam tanpa pemberian asam amino lysine dan methionine dalam air minum
P1 : Ayam yang mendapatkan 0,02% asam amino lysine dan metheonine dalam air
minum
P2 : Ayam yang mendapatkan 0,025% asam amino lysine dan methionine dalam air minum
P3 : Ayam yang mendapatkan 0,03% asam amino lysine dan metheonine dalam air Minum
Pengacakan ayam
Ayam diambil secara acak sebanyak 192 ekor dari 202 ekor ayam yang kemudian ditimbang untuk mengetahui berat badannya. Rata-rata berat badan yang di peroleh dipakai untuk membuat kisaran berat badan, yaitu x ± 5%. Ayam yang dipakai adalah ayam yang beratnya masuk kedalam kisaran berat badan yang telah di buat. Ayam kemudian di masukan pada masing-masing petak kandang yang jumlahnya 16 petak dan tiap petak kandang diisi 12 ekor ayam. Sehingga jumlah ayam yang digunakan sebanyak 192 ekor.
Pencegahan penyakit
Sebelum ayam di masukkan kedalam kandang terlebih dahulu kandang disemprot menggunakan formalin dengan dosis 1-2 cc dalam 1 liter air. Ayam yang baru tiba diberikan “vitachick” dengan dosis 1 g dalam 1 liter air minum untuk meningkatkan nafsu makan dan “vitastress” dengan dosis 1 g dalam 1 liter air air minum untuk menghilangkan stress saat ayam di kandangan. Vaksin ND sudah di lakukan oleh perusahaan peternak yakni saat umur 1 hari.
Pemberian ransum dan air minum
Ransum dan air minum di berikan secara ad libitum. Pemberian jenis ransum dibagi 3 fase yaitu pada umur 1 sampai 7 hari diberikan ransum kode BR 10, pada umur 7 sampai 21 hari diberikan ransum kode BR 11 sementara pada umur 22-28 hari ternak diberikan ransum dengan kode BR 12. Pada saat pemberian ransum, ransum diberikan setengah dari tempat pakan untuk menghindari pakan tercecer akibat dikais oleh ayam. Air minum diberikan dengan cara mengisi ½ bagian dari tempat air minum untuk menghindari tumpahnya air saat ayam minum.Air minum berasal dari sumber PDAM setempat dengan menambahkan asam amino sesuai dengan dosis perlakuan. Air dengan perlakuan diberikan pada pagi hari pukul 08.00 – 12.00 sebanyak 1 kali sehari karena asam amino yang digunakan akan basi dan dapat menyebabkan ayam sakit jika meminumnya, setelah pemberian perlakuan selesai maka air minum diganti dengan air biasa tanpa perlakuan.
Variabel yang Diamati
Kecernaan
Pengukuran kecernaan ransum dilakukan pada ayam yang berumur 25 hari dan dilaksanakan dengan metode koleksi total selama 7 hari. Koleksi total dilakukan dengan mengambil feses pada minggu akhir penelitian dengan mengambil waktu selama tujuh hari secara berturut-turut. Prosedur pengambilan sampel feses sebagi berikut: sampel diambil sebanyak 200 gram perlakuan setiap harinya lalu dikeringkan dibawah sinar matahari. Selanjutnya sampel dikumpulkan dan dikomposit kemudian diambil sub sampel berdasarkan perlakuan masing-masing sebanyak 100 - 200 gram. Sub sampel dibawa ke laboratorium untuk analisis. Prosedur analisis penentuan Kecernaan Bahan Kering (KCBK), Kecernaan
Bahan Organik (KcBO), Kecernaan Protein Kasar (KCPK) dan Kecernaan Serat Kasar (KCSK) sesuai dengan metode "Association of Official Analytic Chemist" (A.O.A.C., 1990).
Penentuan kecernaan nutrien dapat dihitung sebagai berikut :
A. Koefisien cerna bahan organic (KCBO)
KCBO =
Konsumsi bahan organik—bahan organik (feses) Konsumsi bahan organik
x 100%
B. Koefisien cerna protein kasar (KCPK)
KCPK =
Konsumsi protein-protein (feses)
Konsumsi protein
x100%
C. KoeKfisien cerna serat kasar (KCSK)
KCSK =
Konsumsi serat kasai—serat kasar( feses) Konsumsi bahan serat kasar
x100%
D. Koefisien cerna bahan kering (KCBK)
KCBK =
konsumsi bahan kering—bahan kering (feses) Konsimsi bahan kering
x100%
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan
(Stell dan Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik rataan kecernaan ransum ayam broiler yang diberikan asam amino lisin dan methionin melalui air minum pada kandang close house dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Koefisien kecernaan ransum ayam broiler yang diberikan asam amino lysine dan methionin | |||||
Variabel |
A |
Perlakuan(1) |
D |
SEM(2) | |
B |
C | ||||
Koefisien Cerna Bahan Kering (%) |
67,95a |
68,26b |
73,43c |
72,39bc |
1,75 |
Koefisien Cerna Bahan Organik (%) |
60,95a |
62,64a |
63,78a |
63,60a |
1,46 |
Koefisien Cerna Protein (%) |
70,78a |
73,36b |
75,65c |
74,66b |
0,30 |
Koefisien Cerna Serat Kasar (%) |
30,06a |
29,80a |
26,99a |
27,90a |
0,88 |
Keterangan |
1) Perlakuan A : ayam tanpa pemberian asam amino lisin dan metionin (sebagai control)
perlakuan B :ayam dengan pemberian asam amino lisin dan metionin 0,02%
perlakuan C : ayam dengan pemberian asam amino lisin dan metionin 0,025% perlakuan D : ayam dengan pemberian asam amino lisin dan metionin 0,030% 2) Nilai dengan hurup berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). 3) SEM:”Standard Error of the Treatment Mean”
Koefisien Cerna Bahan Kering
Rataan koefisien cerna bahan kering ransum ayam broiler tanpa pemberian asam amino lisin dan meitionin (A) sebesar 67,67%. Pada perlakuan B (pemberian asam amino lisin dan meitionin 2%), perlakuan C (pemberian asam amino lisin dan meitionin 2,5%) dan perlakuan D (pemberian asam amino lysine dan methionin 3%) koefisien cerna bahan kering secara berturut-turut 0,86%, 7,84% dan 6,52% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A. Koefisien cerna bahan kering ransum ayam broiler pada perlakuan D lebih tinggi 5,70% dari perlakuan B, namun 1,44% lebih rendah dari perlakuan C. Secara statistik koefisien cerna bahan kering ayam broiler berbeda nyata (P<0,05). Kecernaan bahan kering adalah selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan (Ranjhan, 1980). Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserap tubuh yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam feses. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian asam amino sampai sebesar 0,03 % pada air minum dapat meningkatkan kecernaan ransum. Meningkatnya kecernaan bahan kering ini disebabkan karena penambahan asam amino lisin dan metionin menyebabkan keseimbangan asam amino menjadi lebih baik sehingga penyerapan nutrien juga menjadi meningkat. Anggorodi (1994) menyatakan faktor yang berpengaruh terhadap daya cerna diantaranya bentuk fisik pakan, komposisi bahan dan nutrisi ransum serta perbandingan nutrient lainnya. Pada penelitian ini semua perlakuan memiliki bentuk fisik yang sama yaitu bentuk tepung, akan tetapi komposisi dan perbandingan nutriennya berbeda karena persentase
tiap bahan pakan yang digunakan berbeda. Nilai kecernaan bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 67,67 – 73,43 %. Angka kecernaan bahan kering ini masih berada pada kisaran kecernaan bahan kering ayam broiler sebagaimana rekomendasi Blair et al., (1990), dimana kecernaan bahan kering broiler fase finisher berkisar pada angka 50 – 80%.
Menurut Sastrawan at al. (2020) pemberian suplementasi komplek asam amino, mineral, dan vitamin dapat meningkatkan produktivitas ayam broiler menyatakan kecernaan erat hubungannya dengan konsumsi ransum, dengan meningkatnya konsumsi maka kecernaan didapat semakin meningkat. Menurut Aisjah et al. (2007) bahwa energi metabolis berpengaruh terhadap ransum, begitu pula dengan kandungan proteinnya. Didukung pendapat Prawira et al. (2019) yang menyatakan peningkatan kecernan ransum, diakibatkan karena konsumsi ransum meningkat yang diikuti dengan peningkatan zat-zat makanan yang dikonsumsi. Si et al. (2001) menyatakan bahwa tingkat methionin dan lisin yang disarankan atau ditingkatkan lebih dari yang direkomendasikan akan meningkatkan kinerja pertumbuhan dan konversi pakan.
Kecernaan bahan kering ransum tertinggi dalam penelitian ini pada perlakuan C, yaitu 73,74 %. Lebih tingginya kecernaan bahan kering pada perlakuan C dibanding perlakuan lainnya diduga disebabkan oleh pengaruh asam amino yang berfungsi meningkatkan kecernaan pada ayam broiler. Tillman et al, (1998) mengemukakan bahwa bahan kering yang diekskresikan dalam feses merupakan zat-zat makanan yang tidak diserap tubuh. Peningkatan kualitas pakan menyebabkan tingginya nilai kecernaan, dan berpengaruh terhadap peningkatan nilai energi metabolis (Mc. Donnald, et al., 1989).
Koefisien Cerna Bahan Organik
Rataan koefisien cerna bahan organik ransum ayam broiler tanpa pemberian asam amino lisin dan meitionin (A) sebesar 60,95%. Pada perlakuan B (pemberian asam amino lisin dan meitionin 2%), perlakuan C (pemberian asam amino lisin dan meitionin 2,5%) dan perlakuan D (pemberian asam amino lisin dan meitionin 3%) koefisien cerna bahan organik secara berturut-turut sebesar 2,70%, 4,43% dan 4,17% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A . Koefisien cerna bahan organik ransum ayam broiler pada perlakuan D lebih tinggi 1,50% dari perlakuan B, namun 0,28% lebih rendah dari perlakuan C. Secara statistik koefisien cerna bahan organik ransum ayam broiler tidak berbeda nyata (P>0,05). Data Hasil penelitian menunjukkan rataan kecernaan bahan organik ransum yang
menggunakan asam amino lysine dan methionin pada broiler dapat dilihat pada Tabel 3.1 bahwa kecernaan bahan organik tertinggi yang diperoleh dari perlakuan C yaitu 63,78 % dan yang terendah A (perlakuan kontrol) yaitu 60,95 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan asam amino sampai dengan level 0,03% memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0,05). Peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan peningkatan kecernaan bahan kering. Hal ini sejalan dengan prinsip perhitungan bahan organik dari analisis proksimat, dimana semakin rendah persentase bahan kering maka akan diikuti pula oleh penurunan persentase bahan organik (Bautrif, 1990). Penggunaan serat kasar dalam ransum pada penelitian ini masih dalam batas normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (1994) bahwa penggunaan maksimum dalam ransum ayam pedaging tidak lebih dari 5%. Jika persentasi serat kasar berlebih dalam ransum maka akan menghambat penyerapan zat-zat makanan dalam tubuh ayam.
Secara keseluruhan kecernaan bahan organik setiap perlakuan mengalami peningkatan walaupun tidak berbeda nyata. Terjadinya peningkatan kecernaan bahan organik berkaitan dengan kecernaan bahan kering. Sutardi, (1980) menyatakan bahwa peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi rendahnya bahan organik.
Koefisien Cerna Protein
Rataan koefisien cerna protein ransum ayam broiler tanpa pemberian asam amino lisin dan meitionin (A) sebesar 70,78%. Pada perlakuan B (pemberian asam amino lisin dan meitionin 2%), perlakuan C (pemberian asam amino lisin dan meitionin 2,5%) dan perlakuan D (pemberian asam amino lisin dan meitionin 3%) koefisien cerna protein secara berturut-turut sebesar 3,51%, 6,44% dan 5,20% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A. Koefisien cerna protein ransum ayam broiler pada perlakuan D lebih tinggi 1,74% dari perlakuan B, namun 1,33% lebih rendah dari perlakuan C. Secara statistik koefisien cerna protein ransum ayam broiler berbeda nyata (P<0,05). Pada penelitian ini diperoleh hasil kecernaan protein kasar ransum tertinggi pada perlakuan C sebesar 75,65 % dan terendah pada perlakuan A sebesar 70,78 %. Perbedaan kecernaan protein kasar pada setiap perlakuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan protein bahan pakan, kandungan protein yang masuk dalam saluran pencernaan serta jumlah konsumsi ransum. Menurut Maynard et
al., (1969) bahwa daya cerna dipengaruhi oleh kandungan zat-zat makanan dalam ransum dan jumlah ransum yang dikonsumsinya. Ranjhan (1980) menambahkan bahwa kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam ransum. Penelitian ini memperoleh rataan nilai kecernaan protein kasar ransum sebesar 73,46% nilai kisaran tersebut menunjukkan bahwa ransum yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas baik. Selain itu, angka kecernaan protein ini masih berada pada kisaran kecernaan protein broiler di daerah tropis yang berkisar 60 – 85% (Blair et al., 1990). Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein dalam ransum, Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1998). Guna mencapai daya cerna protein yang optimal, nilai nutrien dari protein harus disesuaikan dengan kebutuhan ayam itu sendiri. Faktor yang mempengaruhi jumlah kebutuhan protein pada ternak ayam yaitu: tingkat protein, temperatur atau suhu lingkungan, usia ternak ayam, kandungan asam amino, dan daya cerna (Sklan et al., 1980).
Koefisien Cerna Serat Kasar
Rataan koefisien cerna serat kasar ransum ayam broiler tanpa pemberian asam amino lisin dan meitionin (A) sebesar 30,06%. Pada perlakuan B (pemberian asam amino lisin dan meitionin 2%), perlakuan C (pemberian asam amino lisin dan meitionin 2,5%) dan perlakuan D (pemberian asam amino lisin dan meitionin 3%) koefisien cerna serat kasar secara berturut-turut sebesar 0,87%, 15,66% dan 7,74% lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A. Koefisien cerna serat kasar ransum ayam broiler pada perlakuan D lebih tinggi 6,84% dari perlakuan C, namun 6,81% lebih rendah dari perlakuan B. Secara statistik koefisien cerna serat kasar ransum ayam broiler tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil analisis ragam kecernaan serat kasar, menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kecernaan serat kasar ransum. Kandungan dan konsumsi serat kasar dengan ransum perlakuan pada ayam Broiler, menunjukkan hasil kandungan serat kasar ransum P0, P1, P2 dan P3 masing- masing sebesar 30,06%, 29,80%, 26,99% dan 27,90%, Tillman el al. 1998 yang menyatakan bahwa kecernaan serat kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang dikonsumsi. Kandungan serat kasar terlalu tinggi dapat mengganggu pencernaan zat lain dan pemberian ransum
dengan level serat kasar yang tinggi menyebabkan pemanfaatan nutrien ransum menjadi rendah dan terjadi penurunan bobot badan (Hsu el al., 2000). Daya cerna serat kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktifitas mikroorganisme (Maynard el al., 2005) Metionin sebagai aflatoksin binder yang mampu mengikat aflatoksin sehingga pada saat berada di dalam saluran pencernaan aflatoksin tidak terserap dan dibuang melalui feses (Kinh et al., 2010).
Tillman et al., 1998 yang menyatakan bahwa kecernaan serat kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang dikonsumsi. Semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum, makan semakin tinggi pula kecernaan serat kasar dan begitu pula sebaliknya. Pada pemberian lysine dan methionine pada ayam broiler cenderung memberikan pengaruh yang tidak nyata, hal itu dikarenakan kandungan serat kasar lysine dan methionine yang rendah sehingga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan serat kasar pada ayam broiler. Hal itu sejalan denga yang disampaikan Hidanah et al., (2013) mengemukakan bahwa kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi pakan, kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas mikroorganisme.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian asam amono lisin dan methionin melalui air minum pada level pemberian 0,02%-0,03% terhadap ayam broiler dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, kecernaan protein kasar dan tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan organik serta kecernaan serat kasar.
Saran
Dari hasil penelitian ini disarankan kepada peternak dengan pemberian asam amino lisin dan methionin, pada level pemberian 0,02%-0,03% dalam air minum sehingga dapat dijadikan acuan bagi peternak untuk dapat meningkatkan produksi ternaknya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gede Antara, M.Eng., IPU., Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS. dan Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ni Wayan Siti, M.Si. atas kesempatan, fasilitas pendidikan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, M., 2008. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada ternak sapi dan kerbau. Skripsi Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aisjah, T., R. Wiradimadja, dan Abun. 2007. Suplementasi Metionin Dalam Ransum Berbasis Lokal Terhadap Imbangan Efisiensi Protein pada Ayam Pedaging. Artikel IlmiahJurusan
Andreas. 2016.Evaluasi Performan AyamBroiler Strain Cobb Dan Ross Pada Tipe Kandang Close Dan Open.Fakultas Peternakan Universitas Islam Malang.Malang.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
AOAC, 1990. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists.Vol 1.Published by AOAC International, Arlington, USA
Bautrif, E. 1990. Recent Development in Quality Evaluation. Food Policy and Nutrition Division, FAO, Rome.
Blair, G. J,Ensiminger, M. E., dan W. W. Heinemman. 1990. Poultry Meat Feed and Nutrition. 2nd Ed The Ensminger Publishing Company, California.
Freiji, T.S. And Daghir, N.J. 1982. Low protein, amino acid supplemented diet for laying hens. Poultry.Science.61 1467.
Hsu, C., Hsu, Y., Chang, K., Lee, C., et al. 2000. Depression and the risk of peptic ulcer disease: A nationwide population-based study. Medicine (Baltimore), Vol. 94, No. 51, p.e2333
Kartadisastra, H.R. 1994. Pengelolaan Pakan Ayam Kiat Meningkatkan Keuntungan Agribisnis Unggas. Yogyakarta: Kanisius.
Kinh, L. V., & H. H. T. P. Van. 2010. Pengaruh bahan pengikat aflatoksin (MTOX) pada ayam broiler. Institut Ilmu Pertanian,Vietnam Selatan.
Leeson, S., and J.D. Summers. 2001. Nutrition of The Chicken 4th Ed. University Book, Quelph, Ontorio, Canada.
Martono, A.P. 1996. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Penebar Swadaya Bogor, Jakarta
Martono, P.1996. Membuat kandang Ayam. Penebar Suadaya,Depok.
Maynard et al. 1969. Animal Nutrition. Seventh Edition McGraw-Hill Book Company, Philippine. 110-115
McDonald, P., R. A. Edwards and J. F. D. Greenhalg.1989.Animal Nutrition. 4th English Language Book Society/Longman Group Ltd, Hongkong
Maynard, L.A.Loosil, J.K. Hintz, H.F. dan Warner, R.G. 2005. Animal Nutrion .7th Ed McGraw-Hill Book Company. New York, USA
Nuroso,2012. Pembesaran ayam Kampung Pedaging Hari Per Hari. Cetakan Ke-4. Penebar Swadaya, Jakarta.
Prawira, I. N., I. M. Suasta, dan I. P. A. Astawa. 2019. Pengaruh Pemberian Probiotik Melalui Air Minum Terhadap Bobot dan Potongan Karkas Broiler. Jurnal Peternakan Tropika Vol. 7 (3): 958-969.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/53921/31971
Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition In The Tropics. Vikas Publishing Hause P and TLtd., New Delhi.
Reddy, S.V.and F. Waliyar. 2008. Properties ofAflatoxin and Its Producing Fungi. http://www.aflatoxin.info/aflatoxin.asp. [30 April2008].
Resnawati, H. dan P.S. Hardjosworo. 1976. Pengaruh Umur Terhadap Persentase Karkas dan Efisiensi Ekonomis Pada Ayam Broiler unsexed. l.P.P. vi.
Sastrawan. I P. L., I. P. (2020). Pengaruh Suplementasi (Asam Amino, Mineral, dan Mineral) Melalui Air Minum Terhadap Kualitas Telur yang Disimpan Sampai 21 Hari. Peternakan Tropika 8(1): 189 – 201.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/60478/35013
Si, J., C. A. Fritts, D. J. Burnham and P. W. Waldroup. 2001. Relationship of Dietary Lysine Level to The Concentration of All Essential Amino Acids in Broiler Diets. Poultry Science. 80: 1472-1479.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sujana, E., S. Darana, dan L. Setiawan. 2011. Implementasi teknologi semi closed –house systempada perfor-man ayam broiler di test farm sus-tainable livestock techno park, kampus Fakultas Peternakan Uni-versitas Padjadjaran, Jatinangor.
Sondakh, E.H.B., M.R. Waani, J.A.D. Kalele, dan S.C. Rimbing. 2018. Evaluation of dry matter digestibility and organic matter of in vitrounsaturated fatty acid based ration of ruminant. International. J. current adv. Res. 7(6): 13582-13584
Suprijatna, E. U,Atmomarsono. R, Kartasudjana.2005. IlmuDasarTernakUnggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S.P. Kusumodan S. Lebdosoekojo.1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar.
Ukachukwu, S. N., S. O. Uzoech & J. N. Obiefuna. 2007. Aspects of growth performance and nutrient retention of starter broilers fed Mucuna cochinchinensis-based diets supplemented with methionine. Australian Journal of Experimental Agriculture. 47: 132–135.
Unandar, T.2003.Ada apa dengan broiler.Makalah disampaikan dalam temuplasma pintar,Bandar Lampung.
Whytes, J. R. and W. R. Ramsay. 1979. Beef carcass composition and meatquality. First Edition QueenslandDepartemen of Primary IndustriesBrisbane.
Widodo, W. 2002. Nutrisi Ransum Unggas Konstekstual. Fakultas Peternakan – Perikanan. Universitas Muhammadiyah. Malang.
Yuliyanti, N.N., I K. Sumadi dan I M. Suasta. 2018. Dimensi Tubuh Babi Bali Jantan yang diberikan Ransum dengan Suplemen Lisin, Metionin, dan Kolin. Jurnal Peternakan Tropika. Vol. 6 (2): 298-308.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/40359/24510
Zainuddin, D., H.,Resnawati, S, Iskandar Dan B. Gunawan. 2001. Pemberian tingkat energi dan asam amino esensial sintetis dalam penggunaan bahan pakan lokal untuk ransum ayam buras. Balai Penelitian Ternak. Buku III. Ternak Unggas, Aneka Ternak dan Pasca Panen. Bogor.
Udayana, P. W. K., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 2 Th. 2022 :258-272
Page 272
Discussion and feedback