ISSN 2722-7286

Jurnal

FAPET UNUD


Jurnal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: jurnaltropika@unud.ac.id

Submitted Date: September 27, 2021

Accepted Date: January 13, 2022


Editor-Reviewer Article : Eny Puspani & A.A. Pt. Putra Wibawa

SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK RARIT DAGING SAPI YANG MENGGUNAKAN JENIS GULA YANG BERBEDA

Safura, I. A. Okarini, dan N. P. Sarini

PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: safura@student.unud.ac.id, Telp +6287864019296

ABSTRAK

Rarit merupakan salah satu produk makanan tradisional khas pulau Lombok berupa irisan daging yang diberi bumbu asam jawa, garam dan gula kemudian dikeringkan. Penelitianini dilaksanakan untuk mengetahui sifat fisikokimia dan organoleptik rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda. Pada penelitian ini rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan sehingga diperoleh 16 unit percobaan. Keempat perlakuan tersebut yaitu: (P0) Daging sapi (abdomen) sebanyak 100 gram tanpa perlakuan atau kontrol, (P1) Dengan perlakuan asam jawa, garam dan 10 gram gula aren, (P2) Dengan perlakuan asam jawa, garam dan 10 gram gula pasir dan (P3) Dengan perlakuan asam jawa , garam, 10 gram gula pasir dan gula aren (5 gram gula pasir dan 5 gram gula aren). Variabel yang diamati yaitu fisikokimia (susut masak, pH dan kadar air) dan mutu organoleptik (rasa, aroma, tekstur dan warna). Hasil penelitian menunjukan pada sifat fisikokima menunjukan hasil berbeda nyata (P<0,05) terhadap (susut masak, pH dan kadar air), sedangkan pada organoleptik (rasa, aroma, tekstur dan warna) tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada rarit daging sapi yang diberi bumbu pada susut masak, pH dan kadar air berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol, sedangkan pada uji organoleptik tidak berbeda nyata (P>0,05).

Kata kunci : fisikokimia, organoleptik, rarit daging sapi, perlakuan gula

PHYSICOCHEMICAL AND ORGANOLEPTIC PROPERTIES OF BEEF RARIT USING DIFFERENT TYPES OF SUGAR

ABSTRACT

Rarit is one of the traditional food products typical of the island of Lombok in the form of sliced meat seasoned with tamarind, salt and sugar and then dried. This research was conducted to determine the physicochemical and organoleptic properties of beef ribs using different types of sugar. In this study, the experimental design used was a completely randomized design (CRD) with four treatments and four replications in order to obtain 16 experimental units. The four treatments were: (P0) 100 grams of beef (abdomen) without treatment or control, (P1) With tamarind, salt and 10 grams of palm sugar treatment, (P2) With tamarind treatment, salt and 10 grams of granulated sugar. and (P3) With tamarind


treatment, salt, 10 grams of sugar and palm sugar (5 grams of granulated sugar and 5 grams of palm sugar). The variables observed were physicochemical (cooking loss, pH and water content) and organoleptic quality (taste, aroma, texture and color). The results of the research on physicochemical properties showed significantly different results (P<0.05) against (cooking loss, pH and water content), while on organoleptic (taste, aroma, texture and color) were not significantly different (P>0.05). Based on the results of the study, it can be concluded that the beef tenderloin which was seasoned with cooking loss, pH and water content were significantly different (P<0.05) with the control, while the organoleptic test was not significantly different (P>0.05).

Keywords: Physicochemistry, organoleptic, beef ribs, sugar treatment

PENDAHULUAN

Rarit adalah salah satu produk makanan tradisional khas pulau Lombok berupa irisan daging yang diberi bumbu asam jawa, gula dan garam setelah itu dikeringkan. Rarit dengan dendeng hampir sama dimana menurut SNI 01-2908-1992 bahwa dendeng adalah salah satu produk makanan yang berbentuk lempenga terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi bumbu, kemudian dikeringkan. Menurut Sartika et al. (2018), rarit dengan dendeng salah satu olahan daging yang diproduksi di Indonesia, dengan tujuan supaya daging lebih tahan lama.

Daging adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang penting dalam memenuhi kebutuhan nilai gizi dibandingkan dengan protein nabati (Febrianingsih et al., 2016). Perlu diketahui bahwa bahan pangan hewani termasuk daging, memiliki sifat umum yaitu mudah rusak, untuk mengatasinya perlu dilakukan pengolahan daging misalnya dari daging mentah menjadi produk seperti dendeng dan rarit (Abustam, 2000).

Sama halnya dengan dendeng, cara pembuatan rarit itu sendiri sangat mudah dan murah dimana bumbu-bumbu yang digunakan yaitu berupa asam jawa, garam, dan gula. Adapun fungsi bumbu-bumbu yang digunakan seperti asam jawa, adalah sebagai anti bakteri untuk mencegah supaya bakteri yang menyebabkan daging cepat busuk tidak tumbuh sehingga dapat mencegah kerusakan daging dengan menekan laju pertumbuhan mikroorganisme pembusuk pada produk. Senyawa antibakteri yang terdapat pada buah asam jawa yaitu : asam-asam organik seperti asam sitrat, asam tartarat, asam malat, yang merupakan asam organik asal tumbuhan. (Ferrara, 2005) menyatakan bahwa buah asam jawa juga memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh yaitu menurunkan gula darah, menurunkan kolesterol, anti-peradangan.

Gula merupakan senyawa organik golongan karbohidrat yang larut dalam air dan mudah dicerna didalam tubuh. Gula juga merupakan salah satu pemanis yang digunakan pada makanan maupun minuman, selain sebagai pemanis makanan gula juga berperan sebagai pengawet. Ada beberapa jenis gula diantaranya adalah gula putih (gula pasir dan gula batu) dan gula merah (gula kelapa dan gula aren). Gula putih merupakan gula yang sering dijumpai dan digunakan sehari-hari sebagai pemanis makanan dan minuman. Gula putih yang sudah dikenal luas yaitu gula pasir dan gula batu. Gula pasir adalah gula yang berasal dari cairan sari tebu yang dikristalkan, sari tebu yang dikristalkan akan berubah menjadi butiran gula berwarna putih bersih atau putih agak coklat sedangkan gula batu merupakan pengolahan dari gula pasir, dengan bentuk seperti bongkahan gula yang berwarna putih, tingkat kemanisan dari gula batu lebih rendah dibandingkan dengan gula pasir. Sedangkan gula merah merupakan produk dari olahan nira aren atau kelapa, sering disebut juga sebagai gula jawa. Bentuk dari gula merah yaitu berbentuk silinder dan berwarna coklat biasanya digunakan sebagai bahan pemanis minuman dan makanan dengan cara diiris tipis. Kekurangan dari gula putih Menurut Darwin (2013) bahwa apabila kita mengkonsumsi gula pasir lebih dari ½ sdm makanan setiap hari maka sisanya akan menjadi gula darah dan lemak tubuh. Lama kelamaan tubuh kita bertambah gemuk dan berkembang menjadi diabetes. Sedangkan manfaat atau kelebihan dari gula merah yaitu selain rasanya lebih gurih juga bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena kandungan gula merah pada tubuh berperan penting dalam mejaga keseimbangan tubuh dan menjauhkan dari berbagai penyakit dan gula merah juga mengandung mineral yang penting untuk proses metabolisme dan mengoptimalkan kerja otot, jantung, dan paru-paru, seperti fosfor, kalsium, Cu dan besi (Tanuwijaya et al., 2017). Tambahan gula merah pada makanan tidak hanya sebagai pemanis atau pelezat tetapi juga sehat dan bisa dikonsumsi oleh semua orang. Gula merah juga memiliki keliebihan yang lain yaitu warna kecoklatan dan aroma yang khas serta mempunyai nilai indeks glikemik yang rendah dibandingkan dengan gula pasir yaitu 35 (Partiwi, 2015). Sedangkan indeks glikemik gula pasir yaitu 58 (Putri et al., 2012). Sehingga baik untuk digunakan oleh penderita diabetes dan masyarakat yang ingin menjaga kesehatannya. Oleh karena itu pada pembuatan rarit kali ini akan mencoba menggunakan dua jenis gula yang berbeda yaitu gula putih dan gula merah dengan harapan dapat menghasilkan produk rarit yang baik dan sehat serta disukai oleh masyarakat.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian berlangsung pada bulan Juli 2021 yang bertempat di Laboratorium Hasil Ternak (THT) Fakultas Peternakan, Gedung Agrokomplek lantai 1, Universitas Udayana Jl. P.B Sudirman Denpasar.

Bahan dan alat

Daging yang digunakan adalah daging sapi Bali pada bagian perut (abdomen) diperoleh dari rumah potong hewan pesanggaran, Denpasar sebanyak 2 kilogram. Gula aren 10 gram, gula pasir 10 gram, garam 2 gram, asam jawa 3 gram, minyak goreng, Aquades dan buffer 4 dan 7.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: Pisau, talenan, timbangan analitik merek radwag kapasitas 220, nampan, baskom plastik,wajan, spatula, sendok, piring plastik,tissue, oven merek jisico, plastik, wadah, kertas label, kertas kuisioner, alat-alat tulis, Waterbath, gelas beker, pH metermerek yinmik, kompor, cawan porselin, dan desikator.

Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan tiap perlakuan dilakukan 4 kali ulangan. Sehingga keseluruhanya terdapat 16 unit percobaan. Setiap unit percobaan menggunakan daging sapi bagian perut sebanyak 100 gram dengan lama marinasi terhadap seluruh perlakuan selama 30 menit.

P0 : Daging sapi bagian perut (abdomen) sebanyak 100 gram tanpa perlakuan sebagai kontrol P1 : Daging sapi yang dimarinasi dengan campuran asam jawa, garam dan 10 gram gula aren P2 : Daging sapi yang dimarinasi dengan campuran asam jawa , garam dan 10 gram gula pasir P3 : Daging sapi yang dimarinasi dengan asam jawa , garam, 10 gram gula pasir dan gula aren (5 gram gula aren dan 5 gram gula pasir).

Prosedur penelitian

1.    Persiapan Bahan
a.    Persiapan daging sapi

Penelitian ini akan dimulai dengan menyiapkan daging sapi Bali bagian perut (abdomen) sebanyak 2 kg yang diperoleh dari rumah potong hewan pesanggaran, Denpasar. Daging dibawa ke laboratorium kemudian dibersihkan dari lemak yang melekat setelah itu daging diiris dengan serat daging memanjang dengan masing-masing daging beratnya 100 gram. Setelah itu daging di masukan kedalam frezzer sebelum di campur dengan bumbu marinasi.

  • b.    Persiapan bahan marinasi bumbu rarit

Persiapan bumbu marinasi rarit yang pertama asam jawa yang di pakai yaitu daging asam jawanya saja sebanyak 1kg dan masing-masing perlakuan ditambah 3 gram daging asam jawa, setelah itu daging asam jawa yang sudah dibagi kemudian dicampur dengan garam sebanyak 2 gram, gula sebanyak 10 gram dan aquades sebanyak 20 ml. Di setiap perlakuan dikasih gula yang berbeda-beda perlakuan pertama diberikan gula aren sebanyak 10 gram, perlakuan kedua diberikan gula pasir sebanayak 10 gram dan perlakuan ke tiga diberikan gula aren dan gula pasir sebanyak 10 gram (5 gram gula aren dan 5 gram gula pasir) Setelah semua bumbu siap kemudian di campur merata dengan cara diaduk.

  • 2.    Proses pembuatan rarit

Setelah semua bahan marinasi jadi, kemudian daging yang sudah diiris tadi dicamprukan dengan masing-masing bahan marinasi yang telah dibuat dan dicampur rata setelah semua tercampur rata didiamkan selama 30 menit supaya bumbu yang dicampur tadi terserap. Setelah didiamkan selama 30 menit kemudian daging tersebut ditiriskan dengan cara digantung pada suhu ruanag selama 30 menit, setelah itu daging yang sudah ditiriskan kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 70 ºC kurang lebih selama 7 jam. Setelah dagingnya kering daging ditumbuk kasar dan daging di goreng.

Variabel penelitian

  • 1.    Susut masak rarit daging sapi

Menurut (Joo et al., 2013) pada pengujian susut masak dapat dilakukan dengan cara menyiapkan sampel daging seberat 10 gram dan dibungkus menggunakan plastik polietilen. Kemudian rebus atau panaskan menggunakan waterbath pada temperatur 80̊ C selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkann, daging yang sudah dingin kemudian ditimbang. Persentase susut masak dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

n           i n/ BnratAwnI-HernMItftir , „

Susut Masak % =                 x 100

BeratAwal

  • 2.    Nilai pH rarit daging sapi

Menurut Suwetja, (2007)cara menentukan pH dapat dilakukan dengan menggunakan pH meter,dengan urutan kerja sebagai berikut:

  • 1.    Daging yang sudah dimarinasi dipotong sebanyak 10 gram kemudian digiling halus selama 1 menit setelah digiling ditambahkan aquades sebanyak 10 ml.

  • 2.    Sampel dituangkan kedalam glas beker 10 ml.

  • 3.    Sebelum pH meter digunakan, pH meter dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4,0 dan pH 7,0 hingga sekala pH meter stabil.

  • 4.    Kemudian elektroda pH dicelupkan kedalam gelas piala yang berisi campuran daging sapi yang telah dihaluskan, kemudian lihat angka yang muncul pada pH meter dan angka tersebut dicatat.

  • 3.    Kadar air rarit daging sapi

Menurut (AOAC., 2005) kadar air ditentukan dengan menggu nakan metode pengeringan dan dinyatakan sebagai persen kehilangan berat bahan. Proses analisis kadar air yaitu sebagai berikut: 1. Cawan porselin yang sudah bersih dikeringkan dalam oven dengan suhu 110ºC selama 30 menit, setelah itu cawan porselin didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. 2. Sampel sebanyak 10 gram kemudian dimasukan kedalam cawan porselin dan dikeringkan dalam oven selama 12 jam dengan suhu 105 ºC sehingga memperoleh berat konstan. 3. Setelah 12 jam cawan porselin dan sampel didinginkan dalam desikator setelah itu timbang. 4. Kemudian kada air dihitung dengan rumus :

Kadar Air % = V' x 100%

Ket : A = Berat sampel ditambah cawan porselin

B = Berat residu ditambah cawan porselin

C = Berat sampel awal

  • 4.    Uji Organoleptik

Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen dilakukan uji hedonik (uji kesukaan) dengan 15 panelis (Soekarto, 1985). Parameter yang diuji meliputi aroma, tekstur, warna dan rasa. Khusus pada daging yang masih mentah tidak ada uji rasa, pada pengujian ini masing-masing perlakuan diberi kode. Panelis diminta memberikan penilaian tingkat kesukaannya dengan kisaran satu sampai tujuh (1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka) terhadap peubah yang diuji pada format uji. Metode yang dilakukan yaitu dengan cara sampel daging disajikan diatas piring plastik yang diberi kode masing-masing disetiap perlakuan. Masing- masing panelis menilai daging sapi Bali untuk mengetahui aroma, tekstur, cita rasa dan warnadaging yang dinilai yaitu daging yang sudah digoreng, kemudian panelis mengisi lembar kuisioner yang telah tersedia dengan memberikan tanda centang dikolom lampiran kuisioner.

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan yang nyata (P <0,05) diantara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Dan pada uji organoleptiknya data diperoleh dianalisis dengan uji

friedman, apabila terdapat perbedaan nyata maka diuji lanjutkan dengan wilcoxon untuk membandingkan setiap data statistik yang sama dan untuk data yang tidak memenuhi kaidah statistik akan diuraikan secara deskriptif (Sampurna dan Nindhia, 2019).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis fisikokimia dan organoleptik rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisikokimia dan organoleptik rarit daging sapi yang menggunakan jenis

gula yang berbeda

Variabel

Perlakuan1)

P0

P1

P2

P3

Susut masak (%)

9,51 ± 0,28a

9,32 ± 0,15ab

9,40 ± 0,16ab

9,16 ± 0,10b

Nilai pH

5,94 ± 0,11a 2)

5,54 ± 0,07b

5,59 ± 0,07b

5,58 ± 0,09b

Kadar air (%)

28,35 ± 1,50a

27,23 ± 2,50a

21,28 ± 1,36b

20,04 ± 4,13b

Organoleptik

Rasa

4,00 ± 1,41a

4,73 ± 1,22a

5,07 ± 1,280a

5,00 ± 1,30a

Aroma

3,47 ± 1,30a

4,73 ± 1,22a

5,07 ± 1,10a

4,87 ± 1,12a

Tekstur

3,20 ± 1,14a

4,00 ± 1,64a

4,67± 1,17a

4,33 ± 1,23a

Warna

4,07 ± 1,38a

4,33 ± 1,71a

4,93 ± 1,22a

5,13 ± 0,99a

Keterangan:

1) Perlakuan P0 : Perlakuan control

Perlakuan P1 : Dimarinasi dengan campuran asam jawa, garam dan 10 gram gula aren

Perlakuan P2 : Dimarinasi dengan campuran asam jawa, garam dan 10 gram gula pasir

Perlakuan P3 : Dimarinasi dengan campuran asam jawa, garam, 10 gram gula aren dan gula pasir (5 gram gula aren dan 5 gram gula pasir)

2) Notasi dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0.05)

Susut masak rarit daging sapi

Hasil analisis statistik Tabel 1 sifat fisikokimia rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda menunjukan bahwa susut masak pada perlakuan (P0 dan P3) berbeda nyata (P<0,05). Dengan nilai P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut 9,51, 9,32, 9,40 dan 9,16. Susut masak merupakan cairan yang hilang atau berat yang hilang setelah proses pemasakan. Susut masak digunakan untuk mengetahui jumlah kandungan air yang ada didalam daging masak (Sumadi et al., 2021) susut masak salah satu indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar juicy daging yaitu banyaknya air yang terikat didalam dan diantara serabut otot (Soeparno, 2015). Daging yang berkualitas baik akan memiliki nilai susut masaknya lebih kecil bila dibandingkan dengan daging yang berkualitas rendah (Mendrofa et al., 2016) Dari penelitian ini didapatkan hasil berbeda nyata (P<0,05) pada perlakuan P0 berbeda nyata dengan P3 terhadap nilai susut masak rarit daging sapi. Rata-rata nilai susut masak dengan perlakuan P0 3,68% lebih besar dibandingkan dengan perlakuan P3

dengan penambahan bumbu lebih rendah susut masaknya dibandingkan tanpa bumbu, hal ini dapat dijelaskan bahwa peran bumbu (asam, garam dan gula) mampu mendenaturasikan protein miofibril daging untuk mengikat air daging, sehingga saat pemanasan (pada penentuan susut masak), penguapan air bebas daging lebih rendah. Susut masak yang rendah pada penelitian ini diduga ada kaitanya dengan kadar air dimana kadar air pada P0 lebih tinggi dari pada P3, rendahnya kadar air pada rarit daging sapi dengan penambahan gula kombinasi diduga disebabkan oleh kemampuan higroskopis gula kombinasi antara gula aren dan gula pasir sehingga susut masak dari gula kombinasi rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Henry dan Heppell (1998) bahwa sukrosa bersifat higroskopis dan mengikat air melalui ikatan hidrogen. Akan tetapi pada perlakuan P0 dengan P1 dan P2 tidak berbeda nyata (P>0,05) disebabkan karena adanya kandungan protein dan senyawa lainnya terhadap gula aren dan gula pasir sehingga memungkinkan rarit daging sapi yang menggunakan gula aren dan gula pasir dapat mengikat air yang lebih banyak, dimana menurut (Buckle et al., 1987) bahwa gula pasir terdiri atas 99,8 % sukrosa dan 0,2 % senyawa lainnya, sedangkan gula merah 92 % sukrosa dan 8 % senyawa lainnya seperti protein. Soeparno (2015), menyatakan pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,5% - 54,5% dengan kisaran 15 -40%. Susut masak pada penelitian rarit daging sapi memiliki nilai susut masak yang rendah diduga disebabkan adanya proses pengeringan, namun nilai susut masak rarit daging sapi pada perlakuan P0 lebih tinggi daripada P1, P2, dan P3. Hasil penelitian ini diduga ada kaitanya antara susut masak dengan pH dimana nilai pada pH rarit daging sapi pada perlakuan P0 lebih tinggi dibandingkan P1, P2 dan P3. Pada perlakuan P1, P2 dan P3 disebabkan adanya penambahan asam jawa yang dimana asam jawa memiliki pH asam, semakin asam kondisi daging yang dimarinasi maka akan menurunkan nilai susut masak. Daging yang berkualitas baik memiliki nilai susut masak yang rendah dibandingkan daging yang bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi pada saat pemasakan lebih sedikit (Sriyani et al., 2015). Menurut Lawrie (2003) susut masak daging dapat dipengaruhi oleh jumlah protein daging, lama dan suhu pemasakan. Hal ini Soeparno (2015) menambahkan bahwa pemasakan daging menyebabkan daging membengkak kemudian mengkerut dan mengalami disintegrasi sehingga menyebabkan keluarnya air dalam daging.

Nilai pH rarit daging sapi

Hasil analisis statistik Tabel 1 menunjukan bahwa nilai pH sifat fisikokimia rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda pada P0 menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05) terhadap P1, P2 dan P3. Namun pada perlakuan P1, P2 dan P3 menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Dengan nilai P0, P1, P2 Dan P3 berturut-turut adalah 5,94, 5,54, 5,59 dan 5,58. Salah satu faktor terpenting yang berpengaruh terhadap ketahanan dan kualitas daging sebagai bahan pangan adalah nilai pHdaging (Ibarburu 2007). Nilai pH juga mempengaruhi sifat-sifat fisik daging seperti pada warna daging, susut masak, keempukan dan daya mengikat air (Forrest et al., 1975). Hal ini didukung dengan pernyataan (Komaruddin et al., 2019) bahwa nilai pH dapat mempengaruhi daya ikat air daging. Dari penelitian ini didapatkan hasil pengukuran nilai pH dari keempat perlakuan berbeda nyata (P<0,05) terhadap pH rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda dimana pada P0 nilai pH daging yaitu 5,94 berbeda nyata (P<0,05) dengan P1, P2 dan P3 dikarenakan pada P0 tanpa penambahan atau pemberian bumbu asam jawa, garam dan gula sehingga nilai pH daging lebih tinggi dibandingkan penambahan asam jawa, garam dan gula. Sedangkan pada nilai pH daging P1 (5,54), P2 (5,59) dan P3 (5,58) dimana P1,P2 dan P3 tidak berbeda nyata (P>0,05) hal ini disebabkan karena kurangnya lama marinasi sehingga terjadi penurunan pH. Menurut Handayani et al. (2015) menyataka nilai pH pada dendeng pada lama marinasi menunjukan pola menurun semakin lama perendaman, pH dendeng didapatkan berkisar 5,42-5,69. Oleh karena itu nilai pH rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda mendekati nilai pH dendeng menurut Handayani et al. (2015).

Menurut (Aria 2013) penurunan pH disebabkan oleh penambahan asam jawa yang bisa menurunkan nilai pH pada produk. Dimana asam jawa mengandung asam asetat, asam malat, asam sukinat, asam tartarat dan asam sitrat yang dapat menyebabkan nilai pada pH rendah. Soeparno, (2015) menyatakan bahwa asam jawa memiliki pH asam sehingga penambahan asam semakin meningkat keasamannya yang akan menurunkan nilai pada pH. Selain pemberian asam jawa dikarenakan juga terdapat pada pemberian garam dan gula pada saat marinasi dimana menurut Sartika et al., (2018) bahwa garam dapat menahan aktifitas enzim glikolitik yang dapat menghambat pemecahan glikogen pada pembentukan asam laktat sehingga menyebabkan perubahan pada pH karena adanya penambahan asam jawa garam dan gula sehingga menyebabkan perubahan pada pH tidak signifikan. Nilai pH daging sangat mempengaruhi kualitas sensori seperti warna, flavor dan tekstur pada produk olahan menurut Ke, et al. (2009).

Kadar air rarit daging sapi

Hasil analisis statistik sifat fisikokimia rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda pada Tabel 1 menunjukan bahwa kadar air pada perlakuan P0 berbeda nyata (P<0,05) terhadap perlakuan P2 dan P3. Dengan nilai P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah

28,35, 27,23, 21,28 dan 20,04. Kadar air dalam suatu bahan dapat menentukan kualitas dan daya simpan produk olahan makanan. Kadar air yang tinggi dengan mudahnya mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, kadar air yang tinggi dapat mempercepat tingkat kerusakan bahan pangan (Ikhsan, 2016). Berdasarkan hasil analisis statistik kadar air rarit daging sapi pada P0 berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P2 dan P3. Nilai rata-rata kadar air rarit daging sapi dari yang terbesar ke yang terkecil yaitu P0 (28,35), P1 (27,23), P2 (21,28) dan P3 (20,04). Namun pada perlakuan P0 dan P1 tidak berbeda nyata (P>0,05) karena pada P1 adanya penambahan gula aren yang dimana gula aren memiliki kadar air tinggi dibandingkan gula pasir. Setiap jenis gula memiliki kandungan air yang berbeda-beda, sehingga kadar air pada P1 tidak berbedanyata dengan kontrol. didukung dengan pendapat Imanda (2007) bahwa kadar air gula aren yaitu (10,3%) lebih tinggi dibandingkan gula pasir (8,3%). Dan juga disebabkan kurangnya lama marinasi dan bumbu yang diberikan sehingga menyebabkan kadar air masih tinggi. Sejalan dengan pendapat Hardianto dan Yunianta (2015) bahwa tingginya kadar air dipengaruhi oleh lamanya waktu marinasi yang relatif singkat dan bumbu marinasi yang digunakan kurang beragam sehingga proses penyerapan air pada saat pengeringan kurang stabil yang menyebabkan kadar air masih tinggi. Kadar air rarit daging sapi dengan perlakuan kontrol dan penambahan bumbu marinasi belum memenuhi syarat mutu kadar air pada dendeng menurut (SNI 2908:2013) yaitu 12%. Adapun menurut Suharyanto (2009) kadar air dendeng daging sapi yaitu 15-50%, sehingga kadar air pada rarit daging sapi yang dihasilkan pada penelitian ini mendekati kadar air dari dendeng menurut Suharyanto (2009).

(Offer dan Knight, 1988 ; Burke dan Monahan, 2003) menyatakan bahwa daging sapi yang direndam pada pH asam dibawah 5,0 akan mampu menyerap air, susut masaknya sedikit dan sedikit empuk dibandingkan kontrol. Dilihat dari hasil nilai pada penelitian ini kadar air pada perlakuan P1,P2 dan P3 yang diberi bumbu asam jawa, garam, gula pasir dan gula aren lebih rendah dibandingkan dengan kontrol disebabkan karena adanya penambahan gula dapat menyebabkan persentase padatan meningkat sedangkan persentase air menurun penurunan kadar air terlihat dengan semakin besarnya gula yang ditambahkan Pursudarsono et al. (2015) semakin tinggi gula yang ditambahkan menunjukan pada akhir pengeringan terlihat total padatan semakin meningkat sedangkan kadar air semakin menurun, menurut Syarif dan Halid (1993) bahwa gula yang larut dapat menyebabkan tekanan uap yang lebih rendah. Tekanan uap yang rendah menyebabkan air lebih mudah menguap dari bahan yang akan dikeringkan.

Rasa rarit daging sapi

Hasil analisis menunjukkan bahwa rasa rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda pada semua perlakuan (P0,P1,P2 dan P3) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun jika dilihat dalam Tabel 1 pada perlakuan P2 cenderung lebih disukai jika dibandingkan dengan P0,P1 dan P3. Dengan nilai berturut-turut pada P0, P1, P2 dan P3 adalah 4,00, 4,73, 5,07 dan 5,00. Rasa merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam menentukan penerimaan atau penolakan oleh konsumen terhadap suatu produk pangan (Rahayu et al., 2020). Rasa dapat dinilai menggunakan indra perasa yaitu lidah. Sifat rasa itu sendiri terdiri atas asin, manis, asam dan pahit (Silvana, 2010).

Berdasarkan hasil analisis statistik uji organoleptik pada rasa rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda menunjukan bahwa hasil uji friedman menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) dikarenakan kurangnya konsentrasi bumbu yang ditambahkan, kurangnya lama waktu marinasi yang menyebabkan bumbu yang ditambahkan kurang meresap dan rasa yang dihasilkan kurang terasa bumbu serta tingkat penilaian terhadap rasa yang diterima oleh panelis yang berbeda-beda seperti perbedaan selera dan indra pengecap panelis. Akan tetapi dilihat pada nilai penerimaan dari yang tertinggi sampai terendah yaitu pada perlakuan P2 (5,07), yang ditambahkan asam jawa, garam dan gula pasir, yang kedua P3 (5,00) dengan penambahan asam jawa, garam, gula aren dan gula pasir, yang ketiga pada P1 (4,73) dengan penambahan asam jawa, garam dan gula aren dan yang terakhir yaitu P0 (4,00) tanpa penambahan bumbu atau kontrol. Dimana menurut (Aria, 2013) menyatakan adanya pemberian asam jawa mampu memberikan rasa asam pada produk, karena mengandung asam asetat, asam malat, asam tartarat, asam sitrat dan asam sukinat. Sedangkan pada penambahan garam dapat berfungsi untuk menambah rasa pada komponen flavor lainya pada makanan Sartika et al. (2018). Dan pada penambahan gula memberikan rasa manis semakin tinggi konsentrasi gula yang digunakan maka semakin manis. Sesuai pernyataan Soeparno (2015) dalam Dewi dan Ibrahim (2006) bahwa fungsi utama gula yaitu untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar air.

Aroma rarit daging sapi

Hasil analisis aroma pada rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda pada semua perlakuan (P0, P1, P2 dan P3) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Akan tetapi dilihat dari Tabel 1 pada perlakuan P1, P2 dan P3 cenderung lebih disukai dibandingkan dengan P0. Dengan nilai berturut-turut pada P0, P1, P2 dan P3 adalah 3,47, 4,73, 5,07 dan 4,87. Aroma merupakan parameter utama bagi produk sebagai penentu

diterima atau tidaknya suatu produk, karena pada umumnya aroma dapat memberikan kesan sebelum panelis menilai rasa pada suatu produk. Berdasarkan analisis statistik uji organoleptik aroma rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda pada hasil uji friedman menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap aroma rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda. Karena aroma dari seluruh perlakuan masih bisa diterima oleh panelis sehingga aroma rarit daging sapi yang diberi bumbu dengan kontrol tidak berbeda nyata. Selain itu juga pada konsentrasi bumbu yang diberikan masih kurang kemudian lama waktu marinasi yang kurang sehingga belum mampu mempengaruhi aroma pada rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda dan juga aroma yang hilang disebabkan saat proses pengeringan dimana aroma dari bumbu rarit daging sapi menguap dan adanya proses penggorengan dari rarit daging sapi. Sejalan dengan pendapat Soeparno (2015) bahwa aroma dendeng dapat dipengaruhi oleh penambahan pada bumbu dan pada saat pemanasan, dimana pada saat pemanasan seperti pemanggangan dan penggorengan dapat menyebabkan aroma yang berasal dari bumbu yang diberikan menguap sehingga tidak memberikan pengaaruh nyata. Akan tetapi dilihat dari hasil penilaian panelis yang tertinggi sampai terendah berturut-turut yaitu pada perlakuan P2 (5,07), P3 (4,87), P1 (4,73) dan P0 (3,47) dimana dari penerimaan panelis lebih menyukai rarit daging sapi yang diberi bumbu dibandingkan yang kontrol.

Tekstur rarit daging sapi

Hasil analisis tekstur rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda pada semua perlakuan (P0, P1, P2 dan P3) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun dapat dilihat dari Tabel 1 pada perlakuan P2 cenderung lebih disukai dibandingkan dengan P0, P1 dan P3. Dengan nilai berturut-turut pada P0, P1, P2 dan P3 adalah 3,20, 4,00, 4,67 dan 4,33. Tekstur merupakan indikator yang sangat menentukan suatu produk supaya dapat diterima oleh konsumen. Menurut Soeparno (2015) aspek yang dapat dinilai dari tekstur daging yaitu dapat ditandai dengan kasar atau halusnya suatu produk. Dari hasil uji statistik yang didapatkan pada uji organoleptik pada tekstur rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda dengan menggunakan uji feiedman pada perlakuan P0,P1,P2 Dan P3 memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05), rata-rata panelis memberikan nilai agak suka hingga suka, sedangkan pada penilaian skor panelis memberikan nilai alot hingga empuk. Dimana Soeparno (2015) berpendapat bahwa faktor yang dapat mempengaruhi keempukan yaitu pada fisiologi dan metode pengolahannya, dimana tingkat keempukan pada dendeng dapat dipengaruhi oleh kadar air yang ada pada dendeng dimana

semakin tinggi kadar air maka dendeng semakin empuk. Soeparno (2015) berpendapat bahwa perbedaan daya ikat air sebagian disebabkan oleh laju dan besarnya pada penurunan pH. pH rendah dapat menyebabkan daya ikat air berkurang sehingga akan mempengaruhi rarit daging sapi. Didukung dengan pendapat Ke et al. (2009) menyatakan bahwa nilai pH daging sangat mempengaruhi kualitas sensori pada daging seperti warna, tekstur dan flavor pada produk olahan.

Warna rarit daging sapi

Hasil analisis warna organoleptik rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda pada semua perlakaun (P0, P1, P2 dan P3) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun dapat dilihat dari Tabel 1 menunjukan bahawa P3 cenderung lebih banyak disukai dibandingkan dengan P0, P1 dan P2. Dengan nilai pada P0, P1, P2 dan P3 adalah 4,07, 4,33, 4,93 dan 5,13. Warna merupakan salah satu parameter utama yang menentukan penerimaan panelis terhadap suatu produk olahan. Menurut (Muchtadi dan Sugiono, 1992) bahwa warna pada daging merupakan kombinasi dari beberapa faktor yang dapat dideteksi oleh mata. Apabila warna suatu produk menarik maka panelis akan lebih tertarik sebaliknya apabila warna suatu produk tidak menarik maka dapat mempengaruhi penilaian panelis terhadap produk tersebut.

Dari hasil analisis organoleptik rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda pada uji warna dengan menggunakan uji friedman memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dikarenakan pada penilaian panelis memberikan nilai rata-rata pada tingkat kesukaan terhadap semua perlakuan diperoleh kriteria agak suka sampai suka, sedangkan pada penilaian sekor panelis menilai pada kriteria merah kecoklatan sampai agak hitam. Sependapat dengan Handayani et al. (2015) secara umum panelis memberikan penilaian suka karena pada warna dendeng itu sendiri merah kecoklatan. Akan tetapi panelis memberikan penilaian berpariasi diduga perbedaan kemampuan panelis pada saat membedakan warna pada rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda dengan rarit daging sapi tanpa perlakuan atau kontrol. Selain itu juga warna dari rarit daging sapi yang menggunakan jenis gula yang berbeda juga hampir sama dari seluruh perlakuan sehingga sulit untuk dibedakan dan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hal ini sejalan dengan pendapat Lawrie (2005) bahwa adanya faktor-faktor yang menentukan warna pada daging adalah salah satunya yaitu pH daging yang dapat menentukan karakteristik daging normal. Dimana menurut Bailey (1998) bahwa dendeng memiliki warna coklat disebaabkan oleh reaksi antara gula preduksi dengan asam amino secara non enzimatis. Akan

tetapi dilihat dari nilai hasil statistik pada uji friedman uji organoleptik warna dari nilai tertinggi sampai dengan terendah yaitu pada perlakuan P3 (5,13), P2 (4,93), P1 (4,33) dan yang terendah yaitu P0 (4,07) dikarenakan pada perlakuan yang ditambahkan bumbu warna yang dihasilkan lebih berwarna dibandingkan kontrol sehingga banyak disukai oleh panelis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

  • 1.    Sifat Fisikokimia rarit daging sapi

Berdasarkan hasil analisis sifat fisikokimia pada penelitian rarit daging sapi dapat disimpulkan bahawa pada susut masak, pH dan kadar air terdapat hasil yang berbeda nyata dan dari keseluruhan perhitungan nilai yang paling bagus dari hasil uji fisikokimia yaitu pada P3 dengan penambahan asam jawa, garam, gula aren dan gula pasir.

  • 2.    Organoleptik rarit daging sapi

Berdasarkana hasil analisis pada uji organoleptik dapat disimpulakan bahwa pada uji rasa, aroma, tekstur dan warna terdapat hasil yang tidak berbeda nyata, namun dari penilaian panelis dari segi rasa, aroma dan tekstur yang yang disukai yaitu pada P2 dengan penambahan asam jawa, garam, dan gula pasir sedangkan pada uji warna yang disukai yaitu pada P3 dengan penambahan asam jawa, garam, gula aren dan gula pasir.

Saran

Dari hasil penelitian dapat disarankan bahwa dengan penambahan asam jawa, garam, gula aren dan gula pasir dapat memberikan hasil yang baik pada sifat fisikokimia. Namun pada uji organoleptik belum mampu memberikan tingkat kesukaan yang baik buat panelis. Sehingga perlu dilakukan uji lanjutan mengenai pemberian konsentrasi campuran bumbu ditingkatkan, lama waktu perendaman ditingkatkan sehingga hasil penelitian dapat optimal dan diharapkan produk rarit disukai oleh semua lapisan masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gede Antara, M.Eng., IPU. Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS. dan Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ni Wayan Siti, M.Si. atas fasilitas pendidikan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Abustam, E, 2000. Pengolahan Dan Pengawetan Daging. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makasar.

AOAC (Association of Official Analytical Chemists). 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. 18th Edition. Gaitherburg, USA:AOAC International: 2426.

Aria, Susanti, 2013. Makalah Farmakognosi I Suku Caesalpiniaceae Asam Jawa (Tamarindus indica L). Universitas Islam Bandung. Bandung.

Badan Standarisasi Nasional, 2013. Dendeng Sapi. SNI 2908:2013. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Bailey, M.E., 1998. Mailard Reactions and Meat Flavour Development. Dalam: F. Sahidi (Ed). Flavour of Meat Product and Seafood. 2nd Ed. Blackie Academic and Profesional. New York.

Buckle, K. A. Edward, R. A. Fleet, G.H. Wootton, M. 1987. Ilmu Pangan. UI-Press, Jakarta.

Burke, R.M, Monahan F.j., 2003. The Tenderisation of Shin Beef Using a Citrus Juice Marinade. Meat Sci. 63: 161-168.

Darwin, P. 2013. Menikmati Gula Tanpa Rasa Takut. Perpustakaan Nasional. Sinar Ilmu.

Dewi, E.N. dan Ibrahim, R. 2006. Pengaruh Jenis Gula pada Proses Pengolahan Dendeng Ikan Nila Merah Terhadap Mutu. Jurnal Saintek Perikanan Vol.2 No.1, 2006.

Febrianingsih, F. Hafid, H. dan Indi A, 2016. Kualitas Organoleptik Dendeng Sapi Yang Diberi Gula Merah Dengan Level Berbeda. Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo. Kendari.

Ferrara, L. 2005. Antioxidant Activity of Tamarindus indica L. Ingredient Alimentary, 4(6): 13-15.

Forrest, C.J., E.D. Aberle, H.B. Hendricle, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co. San Fransisco. USA.

Handayani, B.R., Kartanegara, C.C.E. Margana, A. Hidayati dan W. Werdiningsih, 2015. Kajian Waktu Perendaman “Marination” Terhadap Mutu Dendeng Sapi Tradisional Siap Makan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 26(1): 17-25.

Hardianto, L., dan Yunianta, 2015. Pengaruh Asap Cair Terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis). Jurnal Pangan Dan Agroindustri (4): 79-82.

Henry, CJ.K and Heppel. N .J. 1998. “Nutritional aspects of food processing and ingredient” , An Aspen Publication.

Ikhsan, M., Muhsin, Patang. 2016. Pengaruh Variasi Suhu Pengering Terhadap Mutu Dendeng Ikan Lele Dumbo. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian Vol.2 (2016): 114122.

Ibarburu. M., J. Kliebenstein, dan B. Hueth. 2007. pH as a Predictor of Flavor, Juiciness, Tenderness and Texture in Pork From Pigs in a Niche Market System. Iowa State University Animal Industry Report 2007. A.S. Leaflet R2181.

Imanda, M, R., 2007. Kajian Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan Terhadap Karakteristik Mutu Produk Gula Invert dari Gula.

Joo ST, Kim GD, Hwang YH, Ryu YC. 2013. Control of fresh meat quality through manipulation of muscle fiber characteristics. Review. Meat Sci 95(4): 828-836.

Ke, S., Huang, Y., Decker, E.A., Hultin, H.O., 2009. Impact of Citric Acid on The Tenderness, Microstructure and Oxidative Stability of Beef Muscle. Meat Sci 82: 113118.

Komaruddin, M., I.N.S. Miwada., S.A. Lindawati. 2019. Evaluasi kemampuan ekstrak daun bidara (Zizipus mauritiana Lam) sebagai pengawet alami pada daging ayam broiler. Ejournal Peternakan Tropika.     7(2):     899-910.     Diakses melalui

https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/52460/30972

Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Universitas Indonesia. Jakarta.

Lawrie, R.A., 2005. Meat Component and Their Variability. In D.J.A. Dan R.A Lawrie, Editor Proceedings of The Twenty-First Easter School In Agricultural Science. Universitiy of Nottingham. Butterworths.

Mendrofa, V.A, R. Priyanto, Komariah. 2016. Sifat Fisik dan Mikroanatomi Daging Kerbau dan Sapi pada Umur yang Berbeda. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. ISSN 2303-2227. Vol. 04. No. 2 Juni 2016.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Peratiwi, P. 2015. Studi Preferensi Konsumen Terhadap Gula Semut Kelapa Di Universitas Lampung. Universitas Lampung (Skripsi). Bandar Lampung.

Pursudarsono, Fadimas, Rosyidi D., Widati A. 2015. Pengaruh Perlakuan Imbangan Garam dan Gula Terhadap Kualitas Dendeng Paru-paru Sapi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 10(1):35-45. DOI:10.2177/ub.jitek.2015.010.01.5

Putri, R.M.S. Ninsix. R., & Sari, A.G. 2012. Pengaruh Jenis Gula Yang Bebeda Terhadap Mutu Permen Jelly Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Mahasiswa Teknologi Pangan Universitas Islam Indragiri. Riau.

Rahayu, P.I.S.,I.N.S. Miwada., dan I. A. Okarini. 2020. Efek Marinasi Tepung Batang Kecombrang Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Daging Broiler. Majalah Ilmu Peternakan. Vol. 23 no. 3 tahun 2020.

Sampurna, I. P., Dan T.S. Nindhia. 2019. Biostatistika. Penerbit Puri Bagia. Genre Pendidikan. Diterbitkan Online Melalui nulisbuku.com/view-profile/90381/1%20Putu-Sampurna.

Sartika, R. I., Handayani, B. R., Dan Werdiningsih, W. 2018. Pengaruh Lama Marinasi Terhadap Mutu Rarit Daging Sapi Tradisional. Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram, Mataram.

Silvia, D. 2010. Efek Penambahan Ekstrak Air Jahe (Zingiber Officinale Rescoe) dan Penyimpanan Daging terhadap Mutu Sensori Ikan Tuna (Thunnus albacores) Jurnal.

Soekarto S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

Soeparno, 2015. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sriyani, N. L. P., N. M. A. Rasna., S. A. Lindawati., dan A. A. Oka. 2015. Studi Perbandingan Kualitas Fisik Daging Babi Bali Dengan Babi Landrace Persilangan yang di Potong di Rumah Potong Hewan Tradisional. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol. 18(1):26-29. https://ojs.unud.ac.id/index.php/mip/article/view/17948/11705

Standarisasi Nasional Indonesia. 01-2908-1992: Dendeng Sapi. Badan Standar Nasional Jakarta.

Steel, R. G. Dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip Dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. P.T. Gramedia. Jakarta.

Suharyanto, 2009. Aktivitas Air (Aw) dan Warna Dendeng Daging Giling Terkait Cara Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda. Jurnal Sain Peternakan Indonesia 4 (2): 113-120.

Sumadi, A. A. A. F., I. A. Okarini, dan I W. Wijana. 2021. Pengaruh Ekstrak Buah Bidara (Ziziphus Mauritiana.) dan Lama Marinasi Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Daging Ayam Broiler. Jurnal Peternakan Tropika. Vol. 9 No. 2 Th. 2021: 416-427. Diakses melalui https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/76351/40773

Suwetja, I. K. 2007. Biokimia Hasil Perikanan. Jilid III. Rigormortis, TMAO, dan ATP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Sam Ratulangi Manado.

Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta.

Tambunan, R. D. 2009. Keempukan Daging dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Lampung.

Tanuwijaya, R.R. Krisyanto, A., & Doewes, M. 2017. Pengaruh Pemberian Air Gula Merah Tehadap Kebugaran. Jurnal Gizi 6 (2). Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Safura, et al., J. Peternakan Tropika Vol. 10 No. 1 Th. 2022 :102-119

Page 119