ISSN 2722-7286

Jurnal

FAPET UNUD


Jurnal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: [email protected]

Submitted Date: August 4, 2021

Accepted Date: September 2, 2021


Editor-Reviewer Article : A.A. Pt. Putra Wibawa & I Wayan Wirawan

PENGARUH ALBUMIN SEBAGAI PELAPIS (Coating) KULIT TELUR DAN MASA SIMPAN TERHADAP KUALITAS TELUR AYAM RAS

Febrianti, N., I. A. Okarini, I G. Suranjaya, I K. Sumadi dan I W. Wijana

PS Sarjana Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: [email protected], Telp +6285784737788

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh albumin sebagai pelapis (coating) kulit telur dan masa simpan terhadap kualitas telur ayam ras konsumsi selama masa penyimpanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 4 × 3.   Faktor pertama adalah perlakuan pelapisan kulit telur

menggunakan albumin, terdiri atas: A1 (kontrol), A2 (albumin kental), A3 (albumin cair), dan A4 (albumin campuran). Sedangkan faktor kedua adalah perlakuan lama penyimpanan, terdiri atas: B1 (10 hari), B2 (20 hari) dan B3 (30 hari). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan setiap ulangan menggunakan 3 butir telur, dengan total telur yang digunakan 108 butir. Variabel yang diamati meliputi berat telur selama penyimpanan, haugh unit, indeks kuning telur dan pH. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam, jika menunjukkan adanya perbedaan yang nyata maka dilanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelapisan kulit telur ayam ras segar dengan albumin dapat mempertahankan kualitas telur ayam selama penyimpanan ditinjau dari haugh unit, indeks kuning telur dan pH (P<0.05) dan tidak terdapat interaksi antara pelapisan kulit telur dengan albumin dan masa simpan terhadap kualitas telur (P>0.05).

Kata kunci: albumin, kualitas telur, lama penyimpanan

THE EFFECT OF ALBUMIN AS EGG SHELL COATING AND STORAGE TIME ON THE QUALITY OF CHICKEN EGGS

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the effect of albumin as coating an egg shell and shelf life on the quality of eggs consumed during storage. The method used in this study was a Completely Randomized Design (CRD) factorial 4 × 3. The first factor was the treatment of eggshell coating using albumin, consisting of: A1 (control), A2 (thick albumin), A3 (liquid albumin), and A4 (mixed albumin). While the second factor is the treatment of storage time, consisting of: B1 (10 days), B2 (20 days) and B3 (30 days). Each treatment was repeated 3 times and each replication used 3 eggs, with a total of 108 eggs used. The variables observed included changes in egg weight loss, haugh unit, egg yolk index and pH. The data obtained were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA), if there was a significant difference, it was continued with Duncan's Multiple Distance Test. The results of this study


indicate that coating fresh chicken eggshells with albumin can maintain the quality of chicken eggs during storage in terms of haugh unit, egg yolk index and pH (P<0.05) and there is no interaction between eggshell coating with albumin and shelf life on quality. eggs (P>0.05).

Key words: albumin, egg quality, storage time

PENDAHULUAN

Telur merupakan sumber protein hewani yang bisa dibeli dengan harga murah dan mudah untuk ditemui di masyarakat. Kandungan gizi telur cukup lengkap seperti: protein, lemak, vitamin dan mineral. Hal ini sesuai dengan pendapat Idayanti et al. (2009) yang melaporkan bahwa telur memiliki banyak kelebihan diantaranya memiliki kandungan gizi yang tinggi, dan harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan bahan sumber protein lainnya.

Telur ayam selain memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan diantaranya telur memiliki masa simpan yang singkat dan mudah rusak. Menurut Melia et al. (2009) telur memiliki masa simpan sekitar 10-14 hari, selanjutnya telur akan mengalami perubahan-perubahan yang akan menurunkan kualitas telur, misalnya: penguapan air melalui pori-pori kulit telur sehingga telur akan mengalami perubahan-perubahan komposisi kimia dan akan mengakibatkan isi telur menjadi lebih encer. Widyastuti dan Daydeva (2018) juga melaporkan bahwa kerusakan yang terjadi pada telur paling banyak disebabkan secara mikrobiologis. Di permukaan kulit telur sering terdapat feses yang menempel. Pada feses tersebut banyak terdapat bakteri-bakteri coliform fekal seperti: Escherichia coli, Salmonella tryphosa dan Stapylococcus aureus yang dapat masuk melalui pori-pori kulit telur. Sehingga bakteri-bakteri tersebut dapat menurunkan kualitas telur dan dapat memberikan dampak negatif bagi orang yang mengonsumsinya seperti diare.

Untuk memperpanjang masa simpan pada telur maka perlu dilakukan suatu proses pengawetan. Prinsip dari pengawetan telur segar adalah dengan mencegah keluarnya air dan gas-gas lain dari dalam ke luar melalui pori-pori kulit telur. Hal-hal tersebut dapat dicegah dengan cara menutup pori-pori kulit telur atau mengatur kelembaban dan kecepatan aliran udara dalam ruang penyimpanan. Banyak sekali bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pelapis dalam pengawetan telur untuk menutup pori-pori kulit telur diantaranya: Aloe vera, daun sirih, minyak kelapa, gelatin, pati ubi jalar, lilin parafin, isolat protein kedelai dan

sebagainya. Pelapis yang dapat dimakan sering digunakan untuk memperpanjang masa simpan dan kualitas makanan selama penyimpanan. Eddin et al. (2019) melaporkan bahwa pelapis utama yang digunakan dalam industri pengolahan makanan adalah pelapis berbasis protein, lipid dan polisakarida. Albumin dapat dimanfaatkan sebagai bahan pelapis berbasis protein dalam pengawetan telur segar karena memiliki tekstur yang hampir mirip dengan minyak ataupun gelatin yaitu jernih dan bening sehingga mampu menutup pori-pori kulit telur. Selain memiliki tekstur yang hampir mirip, di dalam albumin juga terdapat antibakteri alami yang dapat melindungi telur dari dalam, sehingga bakteri-bakteri dari luar yang masuk melalui pori-pori kulit telur akan terhalang oleh albumin dan akan menjaga kualitas telur didalamnya. Di dalam putih telur, banyak mengandung protein salah satunya adalah lisozim (lysozyme). Menurut Carrillo et al. (2016) lisozim dari putih telur dapat digunakan sebagai pengawet dan antibakteri alami sehingga aman digunakan untuk produk pangan

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelapisan kulit telur dengan albumin terhadap kualitas telur, pengaruh lama waktu penyimpanan dan interaksi yang terjadi antara faktor pelapisan albumin dengan lama penyimpanan.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Tekhnologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana pada bulan April sampai Mei 2021. Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ayam ras umur satu hari yang diperoleh dari peternakan ayam di Tabanan-Bali, sebanyak 108 butir dari Strain Isa Brown, warna kerabang coklat, dengan berat berkisar antara 55-64 g (dengan rataan 59±0.91 g) dan albumin telur yang diperoleh dari10 butir telur. Sehingga total keseluruhan telur yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah 118 butir.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: timbangan analitik merek radwag dengan tingkat kepekaan 0,001 dan kapasitas berat 220 gram, pH meter digital merek yinmik, jangka sorong digital (Carbon fiber composites digital caliper) dengan tingkat ketelitian 0.1 mm, kaca datar transparan, sendok plastik, gelas plastik, alat tulis, rak telur (egg tray) , kertas label, dan tisu.

Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 4 x 3. Faktor pertama adalah perlakuan pelapisan kulit telur menggunakan albumin terdiri dari 4 taraf yaitu: tanpa lapisan (kontrol), lapisan albumin kental, lapisan albumin cair dan albumin campuran dan faktor kedua adalah perlakuan lama penyimpanan yaitu 10, 20 dan 30 hari. Dengan 12 kombinasi perlakuan, dimana setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan setiap ulangan menggunakan 3 butir telur, sehingga total telur yang digunakan dalam penelitian ini adalah 108 butir telur ayam.

Model matematis yang digunakan pada penelitian ini adalah:

Yijk = µ + Ai +Bj + ABij + Eijk

Keterangan:

Yijk   : Pengamatan faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ    : Rataan umum

Ai    : Pengaruh faktor kadar pelapisan pada taraf ke-i

Bj    : Pengaruh faktor masa simpan pada taraf ke-j

ABij  : Interaksi antara faktor kadar pelapisan dengan faktor masa simpan

Eijk   : Pengaruh galat pada faktor kadar pelapisan taraf ke-i, faktor masa simpan taraf ke-j dan ulangan ke-k

Prosedur penelitian

Pengambilan sampel telur

Telur ayam ras diambil dari kandang peternakan ayam di Tabanan-Bali. Telur ayam yang diambil adalah telur ayam ras yang masih segar yaitu umur satu hari sebanyak 108 butir telur dan diletakkan pada tempat telur (egg tray).

Pembersihan dan penimbangan telur

Telur yang sudah diambil dari peternakan, kemudian langsung dibawa ke laboratorium untuk dibersihkan dengan cara di lap menggunakan tisu sampai semua kotoran yang menempel di kulit telur hilang. Setelah telur bersih, selanjutnya telur ditimbang dengan menggunakan timbangan digital kemudian dicatat berat masing-masing telur.

Pengacakan telur

Setelah dilakukan pembersihan telur, penimbangan dan pencatatan berat kemudian dilakukan proses pengacakan. Berat telur ayam yang digunakan dalam penelitian ini berkisar antara 55-64 g (dengan rataan 59±0.91 g). Telur diacak pada masing-masing perlakuan sehingga diperoleh rata-rata berat yang hampir sama dalam setiap perlakuan.

Cara memperoleh albumin sebagai pelapis

Larutan albumin yang digunakan sebagai pelapis (coating) menggunakan telur ayam ras sebanyak 10 butir. Albumin diperoleh dari hasil pemisahan antara albumin dengan kuning

telur. Selanjutnya albumin tersebut dipisahkan antara albumin cair dengan albumin kental, kemudian albumin dihomogenkan dengan menggunakan sendok. Sebelum digunakan sebagai pelapis (coating), albumin dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter. Selanjutnya albumin dapat digunakan sebagai pelapis pada kulit telur.

Pelapisan telur dengan albumin

Telur-telur yang sudah dilakukan pengacakan kemudian dicelupkan ke dalam larutan albumin (lapisan protein coating) pada suhu ruang selama sepuluh detik sampai semua permukaan kulit telur tertutup sempurna dengan albumin. Kemudian telur ditiriskan dan diletakkan pada rak telur (egg tray) dan selanjutnya telur disimpan pada suhu ruang dan dilakukan pengamatan pada hari ke-10, 20 dan 30.

Variabel penelitian

  • 1.    Kualitas eksternal:

    Berat telur

Berat telur di dapat dengan cara menimbang masing-masing telur menggunakan timbangan dan dicatat hasilnya (Mota et al., 2017).

  • 2.    Kualitas internal:

Haugh Unit (HU)

Untuk mengukur nilai haugh unit, telur ditimbang lalu dipecahkan diatas kaca datar. Tinggi putih telur (mm) yang diukur menggunakan jangka sorong adalah putih telur yang terletak 1 cm dari pinggir kuning telur. Kemudian di hitung dengan menggunakan rumus Haugh (1937) sebagai berikut:

HU = 100 log (H+7,57-1,7 W0,37)

Keterangan:

HU= haugh unit

H = tinggi putih telur kental (mm)

W = berat telur utuh (gram)

Indeks Kuning Telur (IKT)

Pengukuran indeks kuning telur dilakukan dengan cara mengukur tinggi dan diameter kuning telur dengan jangka sorong. Indeks kuning telur dihitung menggunakan rumus menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BSNI) 2008 sebagai berikut:

Tnrlalzc              rTdliiv ZTTr T∖            L [TuCl >3 C i⅛ TOTOI TOnCl tS iu?' I. TOlTOl. J

Indeks Kuning Telur (IKT) =

d[αwi0⅛r ktoto[to^ tβ I. TOiTOi J

Derajat keasaman (pH)

Telur yang telah dipecahkan di atas kaca datar dipindahkan ke dalam gelas plastik untuk pengujian pH. Sebelum dilakukan pengukuran, telur dihomogenkan menggunakan

sendok. Kemudian pH meter digital yang digunakan distandarisasi menggunakan larutan buffer pH 4 dan 7 sebelum pengujian dimulai (Wong et al., 1996).

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Kemudian jika perlakuan yang dicobakan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat telur

Berdasarkan hasil analisis statistik (Tabel 1.) menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan (coating) albumin (faktor A) tidak berbeda nyata (P>0.05), sedangkan lama penyimpanan (faktor B) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap kualitas telur ditinjau dari berat telur. Interaksi antara faktor A (jenis coating) dengan faktor B (lama simpan) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Persentase berat telur selama masa simpan 30 hari tertinggi terjadi pada A1 (kontrol) sebesar 6.70% dan dilanjutkan dengan A4, A3 dan A2 dengan persentase masing-masing sebesar 4.56%, 4.28% dan 3.24%.

Tabel 1. Rataan hasil analisis statistik berat telur

Variabel

Faktor2 A

Faktor B3

Rata-rata

B1

B2

B3

A1

57,77 ± 1,56

56,09 ± 0,65

53,90 ± 1,68

55,92 a

Berat telur

A2

56,88 ± 0,85

56,72 ± 0,40

55,03 ± 0,84

56,21 a

A3

58,41 ± 0,60

56,27 ± 1,01

55,90 ± 1,82

56,86 a

A4

58,52 ± 0,18

57,11 ± 2,04

55,85 ± 1,60

57,16 a

Rata-Rata

57,89 A

56,550 B

55,171 C

Keterangan:

1.  Superskrip huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama, menunjukkan hasil berbeda nyata

(P<0.05)

2. Faktor A (jenis coating) : A1= kontrol, A2= Albumin kental, A3= Albumin cair, dan A4= Albumin campuran

3. Faktor B (lama simpan) : B1= 10 hari, B2= 20 hari dan B3= 30 hari

Secara statistik diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05) antar perlakuan namun rataan berat telur yang dilapisi albumin cenderung lebih tinggi jika dibandingkan telur tanpa coating albumin pada hari ke 30. Hal ini sejalan dengan penelitian Christanto et al. (2021) yang melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) pada berat telur ayam ras dengan pengolesan aloe vera selama proses penyimpanan tetapi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai haugh unit, pH, indeks kuning telur dan warna yolk.

Persentase penurunan berat telur selama masa penyimpanan 30 hari paling besar terjadi berturut-turut pada A1 (kontrol) sebesar 6.69%, A4 (albumin campuran) 4.56%, A3 (albumin cair) 4.28% dan A2 (albumin kental) 3.24%. Terjadi penurunan berat telur lebih tinggi pada telur tanpa coating dibandingkan telur yang dilakukan dengan coating albumin. Wong et al. (1996) melaporkan bahwa telur yang dilapisi albumin dengan penambahan air dan gliserol pada hari ke 28 terjadi penurunan berat sebesar 7.9% jika dibandingkan dengan

telur tanpa coating yaitu sebesar 11.1%.

BERAT TELUR

□Kontrol QAlbuminKental Albumincair QAlbumincampuran

Gambar 1. Grafik berat telur selama penyimpanan 10-30 hari

Hal ini dapat disebabkan karena kulit telur yang di lapisi (coating) albumin mampu menutupi pori-pori kulit telur sehingga mengurangi penguapan yang terjadi selama penyimpanan, sehingga perubahan berat selama penyimpanan tidak terlalu tinggi. Perubahan berat telur disebabkan oleh pertukaran gas-gas dari dalam telur seperti: uap air, karbondioksida, amonia, nitrogen dan gas hidrogen sulfida selama penyimpanan (Alsobayel and Albadry, 2011 ; Jin et al. 2011). Yoga et al. (2021) melaporkan bahwa penurunan yang terjadi pada telur tergantung pada suhu ruang penyimpanan, semakin tinggi suhu ruang penyimpanan maka penurunan berat telur akan lebih cepat. Sihombing et al. (2013) juga melaporkan bahwa suhu yang tinggi selama penyimpanan akan mengakibatkan penguapan CO2 dan H2O lebih cepat dan kelembaban yang rendah juga dapat mempercepat penguapan sehingga penurunan berat telur akan lebih cepat. Berdasarkan SNI Telur Ayam Konsumsi (2008) berat telur ayam konsumsi dibagi menjadi tiga yaitu telur berukuran kecil (<50 gram), sedang (50-60 gram) dan besar (>60 gram).

Haugh unit

Hasil analisis statistik (Tabel 2.) menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan (coating) albumin (faktor A) berbeda nyata (P<0.05) terhadap kualitas telur ditinjau dari nilai haugh

unit, sedangkan lama penyimpanan (faktor B) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Interaksi antara faktor A (jenis coating) dengan faktor B (lama simpan) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Persentase nilai haugh unit A2, A3 dan A4 jika dibandingkan dengan A1 (kontrol) adalah lebih tinggi sebesar 12.88%, 15,43% dan 14.38%.

Tabel 2. Rataan hasil analisis statistik haugh unit telur

Variabel

Faktor2 A

Faktor B3

Rata-rata

B1

B2

B3

A1

56,29 ± 3,47

56,95 ± 1,25

53,42 ± 6,21

55,55 a

Haugh unit

A2

66,49 ± 9,43

62,53 ± 10,94

62,26 ± 3,79

63,76 b

A3

64,22 ± 7,67

68,04 ± 3,20

64,80 ± 4,05

65,69 b

A4

68,27 ± 2,52

64,24 ± 4,56

62,13 ± 2,12

64,88 b

Rata-Rata

63,81 A

62,94 A

60,65 A

Keterangan:

1. Superskrip huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama, menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05)

2. Faktor A (jenis coating) : A1= kontrol, A2= Albumin kental, A3= Albumin cair, dan A4= Albumin campuran

3. Faktor B (lama simpan) : B1= 10 hari, B2= 20 hari dan B3= 30 hari

Secara statistik diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0.05) antara faktor A1 (kontrol) dengan faktor A2, A3 dan A4. Telur yang dilapisi (coating) albumin pada hari ke 30 mendapatkan nilai haugh unit pada faktor A2, A3 dan A4 berturut-turut 63.8, 65.7 dan 64.9 (Grade A), sedangkan faktor A1 (kontrol) mendapatkan nilai haugh unit 55.6 (Grade B). Wong et al. (1996) melaporkan bahwa telur yang dilapisi albumin dengan penambahan air dan gliserol pada hari ke 28 diperoleh nilai haugh unit sebesar 36.7 sedangkan telur tanpa coating yaitu sebesar 32.4. Menurut Caner and Yuceer (2015) kualitas telur berdasarkan nilai haugh unit dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: Grade AA = HU>72 ; Grade A = HU 60-71 ; Grade B = HU 31-59 dan Grade C = HU<30.

Telur yang dilapisi (coating) menggunakan albumin mampu mempertahankan kualitas internal telur berdasarkan nilai haugh unit jika dibandingkan dengan telur tanpa coating albumin (kontrol). Albumin mampu menutup pori-pori kulit telur sehingga mengurangi proses penguapan CO2 dan gas-gas lain dari dalam ke luar. Hal ini sesuai dengan pendapat Widyastuti et al. (2018) yang melaporkan bahwa penurunan kualitas telur diakibatkan karena telah terjadi penguapan CO2 melalui pori-pori kulit telur sehingga mengakibatkan pH naik dan mempercepat pemecahan ovomucin. Penguapan CO2 disebabkan oleh penguraian senyawa NaHCO3 menjadi NaOH dan CO2. Kemudian NaOH akan dipecah lagi menjadi Na+

dan OH sedangkan CO2 akan menguap sehingga akan menurunkan kualitas dari putih telur

(Fahrullah, 2012; Widyastuti, 2018). Wirapartha et al. (2019) melaporkan bahwa faktor-

faktor yang dapat memengaruhi nilai haugh unit telur diantaranya: masa simpan, suhu, wadah

penyimpanan dan kualitas kulit telur.

HAUGH UNIT

□Kontrol QAlbuminKental Albumincair SAlbumincampuran

Gambar 2. Grafik nilai haugh unit selama penyimpanan 10-30 hari

Pemberian coating albumin mampu mempertahankan nilai Haugh Unit (HU) antara 63-65 (grade A) pada umur penyimpanan 30 hari pada suhu kamar. Nilai Haugh Unit (HU) ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai Haugh Unit (HU) telur yang dilapisi dengan berbagai bahan protein pelapis telur lainnya seperti corn zein, wheat gluten, soy protein isolate dan mineral oil masing-masing adalah 52.6, 53.3, 51.1 dan 34.6 pada hari ke 20 pada suhu kamar (Caner and Yuceer, 2015). Hal ini diakibatkan karena albumin yang dilapisi pada kulit telur akan mengering dan merekat sempurna, sehingga albumin akan menutup pori-pori kulit telur dan mampu menjaga kualitas internal telur.

Indeks kuning telur

Berdasarkan hasil analisis statistik (Tabel 3.) menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan (coating) albumin (faktor A) dan lama penyimpanan (faktor B) berbeda nyata (P<0.05) terhadap kualitas telur ditinjau dari nilai indeks kuning telur. Sedangkan untuk interaksi antara faktor A (jenis coating) dengan faktor B (lama simpan) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Persentase nilai indeks kuning telur A2, A3 dan A4 jika dibandingkan dengan A1 (kontrol) adalah lebih tinggi sebesar 27%, 25.30% dan 27%.

Tabel 3. Rataan hasil analisis statistik indeks kuning telur

Variabel

Faktor2 A

Faktor B3

Rata-rata

B1

B2

B3

A1

0,25 ± 0,00

0,19 ± 0,17

0,14 ± 0,13

0,19 a

Indeks kuning

A2

0,34 ± 0,01

0,27 ± 0,06

0,19 ± 0,02

0,26 b

telur

A3

0,30 ± 0,27

0,28 ± 0,05

0,19 ± 0,02

0,26 b

A4

0,31 ± 0,02

0,27 ± 0,02

0,21 ± 0,03

0,26 b

Rata-Rata

0,30 A

0,25 B

0,18 C

Keterangan:

1.  Superskrip huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama, menunjukkan hasil berbeda nyata

(P<0.05)

2. Faktor A (jenis coating) : A1= kontrol, A2= Albumin kental, A3= Albumin cair, dan A4= Albumin campuran

3. Faktor B (lama simpan) : B1= 10 hari, B2= 20 hari dan B3= 30 hari

Nilai indeks kuning telur adalah salah satu indikator kesegaran telur ayam ras. Semakin tinggi kuning telur dan semakin kecil diameter kuning telur maka kualitas indeks kuning telur semakin baik. Hasil dari penelitian (Tabel 4.1) ini diperoleh nilai indeks kuning telur kurang dari 0.330 pada hari ke 30. Hal ini menunjukkan bahwa telur-telur tersebut sudah mengalami kerusakan selama proses penyimpanan. Berdasarkan nilai Standart Nasional Indonesia (SNI) Telur Ayam Konsumsi (2008) untuk indeks kuning telur dibagi menjadi tiga yaitu Grade I dengan nilai indeks kuning telur antara 0.458-0.521, Grade II antara 0.394-0.457 dan Grade

III antara 0.330-0.393.

Gambar 3. Grafik nilai indeks kuning telur selama penyimpanan 10-30 hari

Secara statistik diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0.05) antara faktor A1 (kontrol) dengan faktor A2, A3 dan A4. Telur yang dilapisi (coating) albumin pada hari ke 30 mendapatkan nilai indeks kuning telur pada faktor A2, A3 dan A4 berturut-turut diperoleh

0.263, 0.257 dan 0.263, sedangkan faktor A1 (kontrol) mendapatkan nilai indeks kuning telur sebesar 0.192. Pelapisan (coating) albumin pada kulit telur mampu mempertahankan kualitas indeks kuning telur jika dibandingkan dengan telur tanpa coating (kontrol). Hal ini bisa terjadi karena albumin dapat menutup pori-pori kulit telur sehingga mengurangi proses penguapan CO2 dan gas-gas lain dari dalam telur ke luar melalui pori-pori kulit telur.

Indeks kuning telur mengalami penurunan selama masa penyimpanan seiring dengan penurunan kualitas putih telur sehingga mengakibatkan terjadinya perpindahan air dari putih ke kuning telur. Winarno dan Koswara (2002) melaporkan bahwa faktor pengenceran putih telur diakibatkan oleh kenaikan pH yang mengakibatkan serabut protein (ovomucin) mengalami kerusakan. Akibatnya air dari protein putih telur akan keluar dan terjadi proses pengenceran. Menurut Agustina et al. (2013) penurunan indeks kuning telur dapat dipengaruhi oleh lama simpan, tempat penyimpanan, suhu, kualitas membran vittelin dan nutrisi pakan. Adanya perbedaan tekanan osmosis antar kuning dan putih telur, dimana tekanan osmosis pada kuning telur lebih besar dibandingkan putih telur. Hal ini mengakibatkan terjadinya perpindahan air dari putih telur menuju ke kuning telur melalui membran vittelin, sehingga mengakibatkan kekentalan kuning telur akan berkurang dan serabut-serabut protein penyusun membran vittelin mengalami kerusakan. Proses ini akan mengakibatkan berkurangnya tinggi kuning telur dan melebarnya diameter kuning telur sehingga nilai indeks kuning telur mengalami penurunan. Keener et al. (2006) menambahkan bahwa berkurangnya kekuatan membran vittelin disebabkan oleh mikroorganisme yang masuk melalui putih telur dan menghasilkan enzim proteolitik sehingga menyebabkan membran vittelin semakin lemah.

Derajat keasaman (pH)

Tabel 4. menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan (coating) albumin (faktor A) dan lama penyimpanan (faktor B) berbeda nyata (P<0.05) terhadap kualitas telur ditinjau dari nilai pH. Sedangkan untuk interaksi antara faktor A (jenis coating) dengan faktor B (lama simpan) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Persentase pH A2, A3 dan A4 jika dibandingkan dengan A1 (kontrol) adalah lebih kecil sebesar 4.63%, 5% dan 2.55%.

Tabel 4. Rataan hasil analisis statistik pH telur

Variabel

Faktor2 A

Faktor B3

Rata-rata

B1

B2

B3

A1

8,40 ± 0,36

8,66 ± 0,26

8,84 ± 0,10

8,63 a

pH

A2

7,83 ± 0,87

8,32 ± 0,24

8,55 ± 0,14

8,23 b

A3

7,86 ± 0,79

8,17 ± 0,34

8,57 ± 0,08

8,20 b

A4

8,13 ± 0,31

8,44 ± 0,03

8,67 ± 0,02

8,41 ab

Rata-Rata

8,05 A

8,40 B

8,66 B

Keterangan:

1.  Superskrip huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama, menunjukkan hasil berbeda nyata

(P<0.05)

2. Faktor A (jenis coating) : A1= kontrol, A2= Albumin kental, A3= Albumin cair, dan A4= Albumin campuran

3. Faktor B (lama simpan) : B1= 10 hari, B2= 20 hari dan B3= 30 hari

Derajat keasaman (pH) telur mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan periode penyimpanan. Eddin dan Thaergorabi (2019) melaporkan bahwa pH telur meningkat selama penyimpanan disebabkan karena telah terjadi kehilangan CO2 melalui pori-pori kulit telur, sehingga menyebabkan perubahan pada sistem penyangga bikarbonat. Anas (2021) juga melaporkan bahwa kenaikan pH terjadi karena penguapan air dan gas CO2 sehingga mengakibatkan putih telur akan menjadi lebih encer. Sehingga akan terjadi proses perpindahan H2O dari putih telur ke kuning telur dan mengakibatkan pecahnya membran vittelin. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya proses pencampuran antara putih dan kuning telur sehingga mengakibatkan pH telur menjadi lebih basa. Menurut Silversides et al. (2004) ada beberapa hal yang memengaruhi pH telur seperti perbedaan ukuran telur, kualitas telur, kondisi penyimpanan (suhu dan kelembaban).

PH

□ Kontrol OAIbuminKentaI QAIbumincair SAIbumincampuran

Gambar 4. Grafik kenaikan nilai pH telur selama penyimpanan 10-30 hari

Dilihat dari grafik kenaikan nilai pH telur selama proses penyimpanan (Gambar 4) menunjukkan bahwa telur yang tidak dilapisi (coating) albumin mengalami kenaikan pH yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan telur yang dilapisi (coating) albumin yaitu 8.6 pada hari ke 30. Pelapisan kulit telur dengan albumin dapat mempertahankan nilai pH. Hal ini disebabkan karena albumin (sebagai coating) mampu menutup pori-pori kulit telur sehingga mampu mengurangi penguapan. Telur yang disimpan dalam suhu ruang tanpa coating memiliki pH 8.63, lebih tinggi jika dibandingkan dengan telur yang di coating albumin yang berkisar antara 8.2 - 8.4. Wong et al. (1996) melaporkan bahwa telur yang dilapisi albumin dengan penambahan air dan gliserol pada hari ke 28 diperoleh nilai pH sebesar 7.77 ± 0.05 sedangkan telur tanpa coating yaitu sebesar 7.79 ± 0.05.

Eke et al. (2013) melaporkan bahwa lapisan terluar telur (kutikula) yang menyumbat pori-pori kulit telur yang disimpan dalam suhu ruang lebih cepat mengering dan menyusut, oleh karena itu pori-pori kulit bertambah besar sehingga mempercepat proses penguapan karbondioksida dan gas-gas lain. Dengan dilakukan pelapisan (coating) albumin pada kulit telur, akan mencegah kutikula menjadi lebih cepat mengering dan menyusut, sehingga akan memperlambat proses penguapan dari dalam telur.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelapisan kulit telur ayam dengan albumin dapat mempertahankan kualitas telur, terdapat pengaruh lama waktu penyimpanan terhadap berat telur, haugh unit, indeks kuning telur dan pH. Kemudian tidak terjadi interaksi dari pelapisan albumin dengan lama penyimpanan terhadap kualitas telur.

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mempertahankan kualitas telur ayam konsumsi seperti haugh unit, indeks kuning telur dan pH dapat dilakukan pelapisan (coating) albumin.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS. dan Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ni Wayan Siti, M.Si. atas fasilitas pendidikan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

DAFTARPUSTAKA

Agustina, N., I. Thohari, dan D. Rosyidi. 2013. Evaluasi sifat putih telur ayam pasteurisasi ditinjau dari pH, kadar air, sifat emulsi dan daya kembang angel cake. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 23 (2): 6-13.

Alsobayel, A.A and M. A. Albadry. 2011. Effect of storage period and strain of layer on internal and external quality characteristics of eggs marketed in Riyadh area. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. 10 (1): 41-45.

Anas, M.Y.A., M. Wirapartha, dan I.A.Okarini. 2021. Pengaruh pemanfaatan coating minyak zaitun dan minyak kelapa terhadap kualitas serta daya simpan telur ayam ras. Jurnal             Peternakan             Tropika.             9             (1):177-88.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/71751/39007

Badan Standarisasi Nasional Indonesia. 2008. Telur Ayam Konsumsi. SNI 3926:2008. Bogor: Badan Standarisasi Nasional.

Caner, C., and M. Yuceer. 2015. Efficacy of various protein-based coating on enhancing the shelf life of fresh eggs during storage. Poultry Science. 94: 1665-1677.

Carrillo, W., J. Tubon, and R. Vilcacundo. 2016. Isolation of hen egg white lysozyme by cation exchange chromatography, analysis of its digestibility and evaluation of the inhibition lipid peroxidation in the zebrafish model. Asian J Pharm Clin Res. 9 (3): 345349.

Christanto, R. A., I. A. Okarini, dan I. W. Wijana. 2021. Pengaruh edible coating daun lidah buaya (Aloe vera) terhadap mutu dan masa simpan telur ayam lohmann brown. Jurnal Peternakan              Tropika.              9              (1):              101-115.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/69811/38183

Eddin, A. S and R. Tahergorabi. 2019. Efficacy of Sweet Potato Starch-Based Coating to Improve Quality and Safety of Hen Eggs during Storage. Coatings. 9 (3): 205.

Eddin, A. S., S. A. Ibrahim., R. Tahergorabi. 2019. Egg quality and safety with an overview of edible coating application for egg preservation. Food Chemistry. 296: 29-39.

Eke, M.O., N. I. Olaitan, and J. H. Ochefu. 2013. Effect of storage conditions on the quality attributes of shell (Tabel) eggs. Nigerian Food Journal. 31 (2): 18-24.

Fahrullah. 2012. Pengaruh Penggunaan Probiotik Komersial sebagai Bahan Curing pada Pembuatan Telur Itik Asin. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Tekhnologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Hasanuddin, Makasar.

Haugh, R. 1937. The haugh unit for measuring egg quality. U.S. Egg Poult. Mag. (552553).

Idayanti., S. Darmawati dan U. Nurullita. 2009. Perbedaan variasi lama simpan telur ayam pada penyimpanan suhu almari es dengan suhu kamar terhadap total mikroba. Jurnal Ilmu Kesehatan. 2 (1): 19-26.

Jin, Y. H., K. T. Lee., W. I. Lee., and Y. K. Han. 2011. Effects of storage temperature and time on the quality of eggs from laying hens at peak production. Asian Australasian Journal of Animal Sciences. 24 (2): 279-284.

Keener, K. M., K. C. Mcayoy., J. B. Foegeding., P. A. Curtis., K. E. Anderson and J. A. Obsorne. 2006. Effect of testing temperaturen on internal egg quality measurements. Poultry Science. 85: 550-555.

Melia, S., I. Juliyarsi dan Africon. 2009. Tekhnologi pengawetan telur ayam ras dalam larutan gelatin dari limbah kulit sapi. Fakultas Peternakan, Universitas Andalas, Padang. http://repository.unand.ac.id/id/eprint/851 (Diunduh, 24 Juli 2021).

Mota, A. S.D. B., Lima, P. M. D.S., Silva, D. S., Abreu, V. K. G., Freitas, E. R dan Pereira, A. L. F. 2017. Internasional Quality of Eggs Coated with Cassava and Yam Starches. Agraria- Revista Brasileira de Ciencias Agrarias. 12 (1): 47-50.

Sihombing, R., T. Kurtini., K. Nova. 2013. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas internal telur ayam ras pada fase kedua. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 2 (2): 81-86.

Silversides, F. G and K. Budgell. 2004. The relationships among measures of egg allbumen height, pH, and whipping volume. Poultry Science. 83 (10): 1619-1623.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie., 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik) Penerjemah B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Widyastuti, E, dan A. Daydeva. 2018. Aplikasi teknologi dielectric discharge-UV plasma terhadap sifat fisik dan kimia telur ayam (Gallus gallus domesticus). Buana Sains. 18 (1): 85-96.

Winarno, F. G dan S. Koswara. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya. M-Brio Press. Bogor.

Wirapartha, M., K. A.Wiyana., G. A. M. K. Dewi, dan I. Wijana. 2019. Pengaruh tray karton, kayu, dan kawat terhadap kualitas telur ayam isa brown yang disimpan pada suhu kamar.

Majalah          Ilmiah          Peternakan.           22           (1):           1-4.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/mip/article/view/50097/29829

Wong, Y. C., T. J. Herald, and K.A. Hachmeister. 1996. Evaluation of mechanical and barrier properties of protein coatings on shell eggs. Poultry Science. 75: 417-422.

Yoga, I. K. P., I. A. Okarini, dan A. A. P. P. Wibawa. 2021. Pengaruh ekstrak buah bidara (sebagai coating) terhadap kualitas telur ayam selama penyimpanan. Jurnal Peternakan Tropika. 9 (1): 45-59.

Febrianti, N., et al., J. Peternakan Tropika Vol. 9 No. 3 Th. 2021: 635 - 650

Page 650