ORGANOLEPTIC QUALITIES, METABOLITE PRODUCTS AND DIGESTIBILIY OF DRY AND ORGANIC MATTER OF ELEPHANT GRASS SILAGE (Pennisetum purpureum) WITH VARIOUS LEVELS OF BREAD WASTE
on
ISSN 2722-7286
Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: March 10, 2021
Accepted Date: March 30, 2021
Editor-Reviewer Article : A.A. Pt. Putra Wibawa & Eny Puspani
KUALITAS ORGANOLEPTIK, PRODUK METABOLIT SERTA KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK DARI
SILASE RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) DENGAN BERBAGAI LEVEL LIMBAH ROTI
Bhuana, I M. K. A., I M. Mudita, dan I G. L. O. Cakra
PS Sarjana Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali Email: [email protected], Telp. +6282231137656
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas organoleptik, produk metabolit dan kecernaan bahan kering dan bahan organik silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan berbagai level limbah roti. Studi ini dilaksanakan di Stasiun Penelitian Sesetan dan Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang dilakukan mulai bulan Juli-September 2020. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 4 perlakuan yaitu silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 0% limbah roti (P0), silase 90% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 10% limbah roti (P1), silase 80% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 20% limbah roti (P2), silase 70% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 30% limbah roti (P3). Masing-masing perlakuan memiliki 4 ulangan. Variabel yang diamati adalah kualitas organoleptik meliputi warna, bau, tekstur, serta nilai pH, produksi VFA dan NH3, serta kecernaan bahan kering dan bahan organik. Data dianalisis menggunakan sidik ragam. Hasil penelitian menunjukkan secara kuantitatif P3 menghasilkan warna, bau dan tekstur terbaik, perlakuan P3 mendapatkan nilai pH terendah (P<0,05) sebesar 4,236, produksi VFA tertinggi (P>0,05) sebesar 75,77mM, serta kecernaan bahan kering dan bahan organik tertinggi (P<0,05) masing-masing sebesar 69,019% dan 67,352%, perlakuan P2 mendapatkan produksi NH3 tertinggi (P>0,05) sebesar 3,681 mM. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa limbah roti mampu meningkatkan kualitas silase melalui penilaian organoleptik, kecernaan bahan kering dan bahan organik serta produksi VFA dan NH3.
Kata kunci : silase rumput gajah, limbah roti, organoleptik, kecernaan, produk metabolit
ORGANOLEPTIC QUALITIES, METABOLITE PRODUCTS AND DIGESTIBILIY OF DRY AND ORGANIC MATTER OF ELEPHANT GRASS SILAGE (Pennisetum purpureum) WITH VARIOUS LEVELS OF BREAD WASTE
ABSTRACT
This study aims to determine the organoleptic quality, metabolite products and digestibility of dry matter and organic matter elephant grass silage (Pennisetum purpureum)
with various levels of bread waste. This study was conducted at the Sesetan Research Station and Laboratory of Nutrition and Animal Feed, Faculty of Animal Science, Udayana University, which was conducted from July-September 2020. The design used was a completely randomized design (CRD) consisting of 4 treatments, namely elephant grass silage (Pennisetum purpureum) + 0% bread waste (P0), silage 90% elephant grass (Pennisetum purpureum) + 10% bread waste (P1), silage 80% elephant grass (Pennisetum purpureum) + 20% bread waste (P2), silage 70% elephant grass (Pennisetum purpureum) + 30% bread waste (P3). Each treatment had 4 replications. The variables observed were organoleptic qualities including color, odor, texture, mold and pH value, VFA and NH3 production, and dry matter and organic matter digestibility. Collcect data were analyzed by analysis of variance. The results showed quantitatively P3 produced the best color, odor and texture, while P2 and P3 had no mold, P3 treatment got the lowest pH value (P<0,05) of 4.236, the highest VFA production (P>0,05) was 75,77 mM, and the highest dry matter and organic matter digestibility (P<0,05), respectively 69.019% and 67.352%. P2 treatment obtained the highest NH3 production (P>0,05) of 3.681 mM. From the results of the study it can be concluded that bread waste can improve the quality of silage through organoleptic assessment, dry matter digestibility and organic matter as well as VFA and NH3 production.
Keyword : elephant grass silage, bread waste, organoleptic, digesibility, metabolite products
PENDAHULUAN
Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan hijauan pakan yang sering diberikan kepada ternak ruminansia di Indonesia. rumput gajah (Pennisetum purpureum) banyak diminati karena hijauan ini merupakan hijauan unggul dari aspek tingkat pertumbuhan, produktivitas, dan nilai gizinya serta memiliki kandungan bahan kering 19,9%, protein kasar 10,2%, lemak 1,6%, serat kasar 34,2%, kadar abu 11,7% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 42,3%. Produksi ruuput gajah (Pennisetum pupureum) dapat mencapai 20-30 ton/ha/tahun (Ella, 2002). Kandungan nutrisi dan produksi rumput gajah (Pennisetum purpureum) ini cukup baik, tetapi hijauan ini memiliki kelemahan yaitu serat kasarnya tinggi serta tidak tersedia sepanjang tahun, perlu dicarikan solusi melalui pengolahan agar pakan dapat tersedia sepanjang tahun dan serat kasarnya dapat turun.
Salah satu pengolahan bahan pakan yang dapat digunakan adalah dengan melakukan fermentasi menjadi silase. Silase adalah proses pengawetan hijauan pakan segar dalam kondisi anaerob dengan pembentukan asam. Asam yang terbentuk yaitu asam-asam organik seperti asam laktat, asetat, dan butirat sebagai hasil fermentasi karbohidrat terlarut oleh bakteri sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan derajat keasaman (pH). Penurunan nilai pH dan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk terhambat (Stefani et al., 2010).
Dalam pembuatan silase diperlukan zat aditif untuk mempercepat proses fermentasi.
Salah satu sumber aditif sebagai sumber karbohidrat adalah limbah roti. Limbah roti ditandai
dengan roti tersebut yang mulai berjamur dan dibuang. Limbah roti merupakan sumber gula karena berasal dari tepung terigu hasil dari penggilingan biji gandum. Tepung terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, juga mengandung protein dalam bentuk gluten (Pusuma et al., 2018). Menurut Widyastuti dan Sujana (2009) limbah roti mempunyai kandungan energi bruto sebesar 4.217 kkal/kg dan energi metabolisme sebesar 2.952 kkal/kg, protein kasar sebesar 10,25%, serat kasar sebesar 13,42%, mineral berupa kalsium 0,07% dan posfor sebesar 0,019%, dan dengan kadar abu sebesar 0,8%, serta kadar air sebesar 6,91%.
Penggunaan limbah roti sebagai bahan campuran dari silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) belum banyak digunakan kepada ternak ruminansia oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang limbah roti sebagai campuran dari silase hijauan Pennisetum purpureum karena penelitian tentang ini belum memiliki informasi yang lengkap.
MATERI DAN METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penelitian Sesetan milik Fakultas Peternakan Universitas Udayana untuk pembuatan silase dan uji organoleptik. Sementara untuk melakukan analisis laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – September 2020.
Bahan-bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah roti (roti yang sudah kadaluarsa/sudah ditarik oleh pabriknya dengan kriteria: masih dalam kondisi baik, belum tengik, sedikit berjamur) dan rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang masih segar sebagai bahan utama. Larutan inokulan yang dipakai adalah Inokulan Biokatalis Bio-BaliTani (Mudita et al., 2019), molases, garam, pupuk urea. Bahan lainnya yang digunakan adalah cairan rumen, aquades, H2SO4 15%, NaOH 0,5 N, Indikator Phenolpthalin, HCl 0,5 N, (NH4)2SO4, larutan phenol, Natrium Nitroprussida, larutan MC Dougall, HgCl2, pepsin-HCl 0,2%.
Alat-alat penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: kantong plastik sebagai silo, tabung centrifuge, rak tabung, crucible gooch porcelain, tempat crucible, tabung erlenmeyer,
pipet, pH meter, timbangan analitik, oven pada suhu 70oC dan oven pada suhu 105oC, tanur, perangkat gelas beker dan thermometer.
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat kali ulangan sehingga terdapat 16 unit percobaan (Gaspersz, 1991). Perlakuan yang dicobakan ini adalah:
P0 : Silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 0% limbah roti
P1 : Silase 90% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 10% limbah roti
P2 : Silase 80% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 20% limbah roti
P3 : Silase 70% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 30% limbah roti
Pembuatan silase
Bahan yang dipakai untuk produksi silase diambil dari 2 tempat berbeda yaitu untuk hijauan rumput gajah (Pennisetum purpureum) diambil dari Stasiun Penelitian Sesetan Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Sampel kedua yaitu limbah roti diambil di beberapa pasar yang ada di daerah Denpasar.
Produksi silase dilakukan dengan cara terlebih dahulu rumput gajah dan limbah roti yang dipakai untuk produksi silase dipotong kecil kecil. Kemudian dilakukan pencampuran/pengadukan bahan hingga homogen (sesuai perlakuan; pengukuran penggunaan bahan berbasis bahan kering). Selanjutnya campuran bahan ditambahkan larutan inokulan dengan perbandingan 1 liter larutan inokulan untuk setiap 1 kg DM bahan/campuran bahan silase. Larutan inokulan dibuat untuk 1 liternya menggunakan 10 ml inokulan Bio-BaliTani, 50 ml molases, 5 gram pupuk urea, 1 gram garam dapur dan air bersih hingga volume 1 liter. Setelah bahan dan larutan inokulan tercampur homogen, bahan dimasukkan kedalam silo yang terbuat dari kantong plastik hitam hingga mampat. Kemudian dibungkus rapat hingga kedap udara. Fermentasi bahan dilakukan selama 2 minggu dalam kondisi suhu ruang/ditaruh ditempat teduh (Mudita et al., 2019). Setelah 14 hari, silase dipanen dan dilakukan pengambilan sampel untuk kegiatan analisis laboratorium.
Uji organoleptik
Kualitas fisik dilakukan dengan mengamati kualitas organoleptik silase meliputi warna, bau, dan tekstur silase. Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut: a) Bau, didapatkan dengan cara mencium bau yang dihasilkan dari silase. b) Tekstur, didapatkan
dengan cara menyentuh silase. c) Warna, didapatkan dengan cara melihat warna langsung dari silase yang dihasilkan. (Khristanta et al., 2020).
Penilaian panelis menggunakan tabel skoring kriteria silase yang telah tersedia pada Tabel 1. Panelis merupakan mahasiswa aktif Fakultas Peternakan Universitas Udayana sejumlah 10 orang.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Silase
Skoring
Kriteria |
1 |
2 |
3 |
4 |
Buruk |
Sedang |
Baik |
Sangat Baik | |
Warna |
Coklat kehitaman |
Kecoklatan |
Kuning |
Hijau Kekuningan |
Bau |
Busuk |
Kurang Asam |
Asam |
Sangat Asam |
Tekstur |
Kasar |
Kurang Halus |
Agak Halus |
Halus |
Sumber : Departemen Pertanian Republik Indonesia (1980) (dimodifikasi)
Analisis laboratorium
Pengukuran pH
Pengukuran pH menggunakan prosedur Naumann dan Bassler (1997). Silase yang baru dibuka, diambil sebanyak 10g dan dicampur dengan 100 ml aquadest dan didiamkan pada lemari pendingin selama 24 jam. Setelah 24 jam, pH silase diukur menggunakan pocket pH meter yang telah dikalibrasi. Pembacaan pH dilakukan setelah screen stabil.
Preparasi sampel
Sampel silase yang telah diambil, terlebih dahulu dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian dimasukkan kedalam oven suhu 70oC selama 48 jam. Setelah kering, proses pengovenan dihentikan dan sampel silase diturunkan, ditempatkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian bobot keringnya dicatat. Sampel silase selanjutnya dipreparasi menggunakan mesin penggiling. Sampel yang telah dipreparasi dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian lebih lanjut.
Pengambilan cairan rumen
Cairan rumen yang dipakai untuk analisis kecernaan secara in-vitro, diambil dari sapi yang berada di Rumah Potong Hewan (RPH) yang berada di Jalan Pesanggaran, Kelurahan Sesetan. Sampel cairan rumen diambil dengan menggunakan termos yang sebelumnya diisi dengan air hangat dengan suhu 40oC. Termos untuk menyimpan cairan rumen air panas didalamnya dibuang terlebih dahulu kemudian cairan rumen diperas dengan menggunakan kain kasa dan dimasukan kedalam termos hangat. Termos hangat segera ditutup rapat
kemudian segera dibawa ke Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Analisis kecernaan bahan kering dan bahan organik
Evaluasi kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO) dari silase penelitian dilaksanakan dengan teknik in-vitro menggunakan Metode Minson and McLeod (1972).
Kegiatan analisis dilakukan dengan cara terlebih dahulu menyiapkan sebanyak 0,25 g sampel yang sudah digiling selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung in-vitro. Kemudian ditambahkan dengan 25 ml cairan rumen yang sudah dicampur dengan larutan buffer dengan perbandingan 1:4. Campuran sampel dengan cairan rumen selanjutnya diinkubasi dalam shaking water bath selama 48 jam pada suhu 39oC dan setiap 6 jam dikocok untuk mengeluarkan gas yang terbentuk. Setelah inkubasi, sampel disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan supernatannya ditampung untuk penentuan produksi VFA total dan N-NH3, selanjutnya dilakukan pembilasan dengan aquades sebanyak 2 kali dengan cara mensentrifuse. Residu yang diperoleh ditambahkan 25 ml larutan pepsin dalam HCl dan diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 39oC dalam shaking water bath serta setiap 6 jam dikocok. Selanjutnya kembali disentrifuse dan dibilas dengan aquades sebanyak 2 kali serta residu yang diperoleh dipindahkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan dalam oven serta dilanjutkan pada proses pengabuan hingga diperoleh residu kering dan residu abu.
KcBK (%) =
Jumlah BK Silase — Jumlah BK Residu Jumlah BK Silase
× 100%
Jumlali BO Silase — Jumlah BO Residu
KcB0 (%) =-------r IkRnei----------× 100%
Jumlah BO Silase
Penentuan Konsentrasi VFA Total
Konsentrasi VFA total rumen secara in-vitro dianalisis dengan metode destilasi uap mengikuti General Laboratory Procedure (1966). Sampel penelitian merupakan supernatan dari kegiatan analisis kecernaan in-vitro. Kegiatan analisis dilaksanakan dengan cara sebanyak 2,5ml supernatan/sampel penelitian dimasukkan kedalam tabung destilator, kemudian ditambahkan dengan 0,5 ml H2SO4 15%. Selanjutnya didestilasi pada vapodest dengan metode VFA 50 (metode khusus VFA total) dan hasil destilasi ditampung menggunakan indikator yang telah diisi 2,5 ml NaOH 0,5 N hingga tertampung 150 ml. Destilat yang telah diisi 1 tetes indikator Penolptalin/PP dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai titik akhir titrasi. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko tanpa sampel.
(V. titran blanko — V. titran sampel) × N HCl × 1000
VFATotal (mMol) = ---—--1 ---
V. sampel (ml)
Konsentrasi N-NH3
Konsentrasi N-NH3 dari fermentasi rumen secara in-vitro dianalisis menggunakan Metode phenolhypochlorite dengan bantuan spektrofotometer General Laboratory Procedure (1966). Sampel penelitian merupakan supernatan dari residu kegiatan analisis kecernaan in-vitro. Kegiatan analisis terlebih dahulu membuat kurve serta persamaan garis regresi standar ammonia dengan normalitas 1 pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 640 nm sesuai prosedur Solorzano (1969). Selain itu disiapkan pula larutan phenol 10%, larutan sodium nitroprusside 0,5% serta larutan pengoksid. Analisis sampel dilaksanakan dengan cara memasukkan 5 ml larutan sampel (yang telah diencerkan, dengan pengenceran 100 kali) ke dalam tabung spektrofotometer. Selanjutnya ditambahkan 0,2 ml larutan phenol, 0,2 ml larutan natrium, nitropruside dan 0,5 ml larutan pengoksidasi. Pembacaan absorbansi sampel dilaksanakan setelah 5 menit penambahan larutan pengoksid menggunakan cuvet dari spektrofotometer dan selanjutnya konsentrasi N-NH3 sampel ditentukan berdasarkan rumus persamaan regresi dari standar ammonia yang telah dibuat/diperoleh sebelumnya.
y = mx +b
Keterangan: y |
= |
Hasil N-NH3 |
m |
= |
Slope, sudut kemiringan |
x |
= |
Hasil pembacaan dalam absorban |
b |
= |
Intercept, garis perpotongan |
Analisis Statistik
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,5) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas organoleptik
Berdasarkan hasil penilaian panelis pada kualitas silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang ditambahkan limbah roti dengan berbagai level tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Persepsi Responden Terhadap Kualitas Organoleptik dari Silase Rumput
Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Berbagai Level Limbah Roti
Variabel |
Skoring |
Perlakuan | |||
0 |
1 |
2 |
3 | ||
1 |
0 |
0 |
0 |
0 | |
Warna |
2 |
30 |
20 |
10 |
0 |
(%) |
3 |
50 |
40 |
10 |
10 |
4 |
20 |
40 |
80 |
90 | |
1 |
10 |
0 |
0 |
0 | |
Bau |
2 |
20 |
0 |
0 |
0 |
(%) |
3 |
30 |
30 |
30 |
10 |
4 |
40 |
70 |
70 |
90 | |
1 |
0 |
0 |
0 |
0 | |
Tekstur |
2 |
30 |
10 |
0 |
0 |
(%) |
3 |
50 |
30 |
20 |
0 |
4 |
20 |
60 |
80 |
100 |
Keterangan:
P0 : Silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 0% limbah roti
P1 : Silase 90% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 10% limbah roti
P2 : Silase 80% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 20% limbah roti
P3 : Silase 70% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 30% limbah roti
Nilai organoleptik dari silase suatu bahan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas bahan/pakan, bahan tambahan, faktor lingkungan dan starter/inokulum yang dipakai (Kung et al., 2003; Mudita et al., 2019). Pada penelitian ini secara umum kualitas silase pada perlakuan berwarna hijau kecoklatan, bau sedikit asam namun tetap segar, tekstur halus dan sedikit lembek.
Penilaian silase terhadap variabel warna, pada P0 tidak ada panelis yang menyatakan warna silase buruk, 30% panelis menyatakan warna silase sedang, 50% panelis menyatakan warna silase baik dan 20% panelis menyatakan warna silase sangat baik. pada P1 tidak ada panelis yang menyatakan warna silase buruk, 20% panelis menyatakan warna silase sedang, 40% panelis menyatakan warna silase baik dan 40% panelis menyatakan warna silase sangat baik. Pada P3 tidak ada yang menyatakan warna silase itu buruk, 10% menyatakan silase warna silase sedang, 10% menyatakan silase warna silase baik dan 80% menyatakan warna silase sangat baik. Pada P3 tidak ada panelis yang menyatakan warna silase buruk maupun sedang, 10% menyatakan silase baik serta 90% panelis menyatakan warna silase sangat baik. Dengan demikian, penilaian terendah sampai terbaik secara berurutan pada perlakuan P0, P1, P2, P3.Perlakuan P0, P1, P2 dan P3 secara keseluruhan mendapat nilai 1 tidak ada, nilai 2 sebanyak 15%, nilai 3 sebanyak 27,5% dan nilai 4 sebanyak 57,5%. Nilai terbanyak
didapatkan pada nilai 4 sehingga kualitas warna silase adalah hijau kekuningan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prabowo et al. (2013), bahwa silase yang baik berwarna hijau kekuningan atau hijau kecoklatan, sedangkan silase yang bermutu kurang baik berwarna coklat hingga kehitaman. Kastalani et al. (2020) menyatakan perubahan warna yang terjadi dikarenakan pada silase mengalami proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada serta persediaan gula yang terkandung dalam silase habis.
Penilaian silase terhadap variabel bau/aroma, pada P0 10% panelis menyatakan bau silase buruk, 20% panelis menyatakan bau silase sedang, 30% pnelis menyatakan bau silase baik dan 40% panelis menyatakan bau silase sangat baik. Pada P1 tidak ada panelis yang menyatakan bau silase buruk dan sedang, 30% panelis menyatakan bau silase silase baik, 70% panelis menyatakan bau silase sangat baik. Pada P2 tidak ada juga panelis yang menyatakan bau silase buruk maupun sedang, 30% panelis menyatakan bau silase baik dan 70% panelis menyatakan bau silase sangat baik. pada P3 tidak ada juga yang menyatakan bahwa bau silase buruk maupun sedang, 10% panelis menyatakan bau silase baik dan 90% panelis menyatakan bau silase sangat baik. Perlakuan P0, P1, P2 dan P3 secara keseluruhan hanya satu panelis yang menyatakan bau silase buruk dan itupun terjadi hanya pada P0, sementara nilai 2 sebanyak 5% dan terjadi hanya pada P0, nilai 3 sebanyak 22,5% dan nilai 4 sebanyak 70%. Nilai terbanyak terdapat pada nilai 4 yang dapat dinyatakan bau silase berbau asam dan segar. Hal ini karena nilai pH yang menurun pada silase sehingga menyebabkan bau dari silase menjadi asam. Utomo (2013) yang menjelaskan bau asam disebabkan karena adanya produksi asam laktat selama proses fermentasi. Bau asam yang dihasilkan oleh silase disebabkan dalam proses pembuatan silase bakteri anaerob aktif bekerja menghasilkan asam organik. Pada Tabel 2, bau silase P0-P3 menurut penilaian semakin tinggi penggunaan limbah roti maka bau dari silase semakin asam, hal ini diduga karena asam laktat yang dihasilkan juga semakin banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Zakariah (2016) yang menyatakan bahwa bau silase dipengaruhi oleh asam laktat yang dihasilkan oleh mikrobia yang terdapat di dalam tumpukan silase.
Penilaian silase terhadap variabel Tekstur, pada P0 tidak ada panelis yang menyatakan tekstur silase buruk, 30% menyatakan tekstur silase sedang, 50% menyatakan tekstur silase baik dan 20% menyatakan tekstur silase sangat baik. pada P1 tidak ada panelis yang menyatakan bahwa tekstur silase buruk, 10% panelis menyatakan tekstur silase sedang, 30% panelis menyatakan tekstur silase baik dan 60% panelis menyatakan tekstur silase sangat baik.
pada P2 tidak ada panelis yang menyatakan tekstur silase baik maupun sedang, 20% panelis menyatakan tekstur silase baik dan 80% panelis menyatakan tekstur silase sangat baik. pada P3 seluruh panelis (100%) menyatakan bahwa tekstur silase sangat baik. Dengan demikian, penilaian terendah sampai tertinggi secara berurutan pada perlakuan P0, P1, P2, P3. Perlakuan P0, P1, P2 dan P3 secara keseluruhan mendapat nilai 1 tidak ada, nilai 2 sebesar 10% dan hanya pada P0 dan P1, nilai 3 sebesar 25%, nilai 4 sebanyak 65%. Nilai terbanyak terdapat pada nilai 4 yang menandakan bahwa rata-rata silase memiliki tekstur halus. Hal ini karena kondisi saat penyimpanan benar benar anaerob. Hal ini sesuai dengan pernyataan Zakariah (2016), bahwa tekstur yang tidak menggumpal dan tidak berlendir, dimiliki oleh silase yang baik dan hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat kerusakan karena tidak adanya oksigen yang masuk kedalam wadah ataupun tidak adanya pertumbuhan jamur yang tidak diharapkan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah penggunaan limbah roti yang merupakan sumber karbohidrat. Penambahan karbohidrat mudah larut menyebabkan penurunan pH dan menghambat pertumbuhan jamur yang menyebabkan tekstur menjadi tidak menggumpal masih seperti semula, tidak berlendir (Alamsyah dan Karim, 2012).
Nilai pH
Nilai pH merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas silase. Kadar pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan (Clostridium dan Enterobacterium) dan jamur yang dapat menyebabkan silase mengalami kebusukan. Pada penelitian ini nilai pH pada silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) tanpa penggunaan limbah roti (P0) sebesar 5,377. Pada perlakuan dengan penggunaan limbah roti sebesar 10% (P1), 20% (P2) dan 30% (P3) secara berturut dapat menurunkan nilai pH sebesar 16,74%, 21,53% dan 25,97% dibandingkan P0 dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05) serta P2 dan P3 juga dapat menurunkan nilai pH sebesar 4,24% dan 7,91% dibandingkan P1 dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). (Tabel 3).
Tabel 3. Produksi VFA dan NH3 serta Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik dari Silase rumput Gajah dengan Berbagai Level Limbah Roti
Variabel |
Perlakuan |
SEM | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | ||
pH |
5,337c |
4,571b |
4,391a |
4,236a |
0,053 |
VFA (mM) |
63,928a |
66,862a |
74,618a |
75,770a |
6,876 |
NH3 (mM) |
3,655a |
3,661a |
3,681a |
3,667a |
0,007 |
Kecernaan Bahan Kering (%) |
59,953a |
64,152ab |
67,12b |
69,019b |
1,776 |
Kecernaan Bahan Organik (%) |
59,359a |
64,152ab |
65,524bc |
67,352c |
1,346 |
Keterangan: |
1. P0 : Silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 0% limbah roti, P1 : Silase 90% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 10% limbah roti, P2 : Silase 80% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 20% limbah roti, P3 : Silase 70% rumput gajah (Pennisetum purpureum) + 30% limbah roti
2. SEM :“Standard Error of the Treatment Mean”
3. Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
4. Nilai dengan huruf sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Nilai pH dari silase dipengaruhi oleh aktifitas mikroba selama proses ensilage dimana bakteri asam laktat memanfaatkan gula sederhana pada hijauan maupun aditif sebagai sumber energi dan merombak senyawa kompleks menjadi zat-zat sederhana, aktifitas mikroba ini akan menurunkan nilai pH (Wakano et al. 2019). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang mendapatkan bahwa nilai pH silase cukup rendah (Tabel 3) nilai pH cukup rendah ini karena bakteri asam laktat pada “BiobaliTani” dapat memanfaatkan gula sederhana dengan baik pada rumput gajah (Pennisetum purpureum), selain itu penurunan nilai pH yang berpengaruh nyata (P<0,05) terjadi pada perlakuan dengan penambahan limbah roti. Semakin tinggi penggunaan limbah roti berbanding lurus dengan penurunan nilai pH. Hal ini diduga karena penurunan pH pada silase disebabkan bakteri asam laktat yang mengubah karbohidrat yang banyak dikandung oleh limbah roti menjadi asam laktat. Hal serupa diuatarakan oleh Kurniawan et al. (2015), bahwa bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah karbohidrat (glukosa), menjadi asam laktat.
Produksi VFA (Volatile Fatty Acid)
Seiring penurunan nilai pH maka produksi VFA pada silase semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena bakteri asam laktat memanfaatkan gula sederhana pada hijauan. Hal serupa diutarakan oleh Hindratiningrum et al. (2011) yang menyatakan faktor yang mempengaruhi konsentrasi VFA antara lain jenis mikroba, penyerapan dan fermentabilitas dari pakan sumber karbohidrat. Produksi VFA dari silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) tanpa penggunaan limbah roti (P0) sebesar 63,928 mM. Pada perlakuan dengan penggunaan limbah roti sebesar 10% (P1), 20% (P2) dan 30% (P3) secara berturut-turut
meningkatkan produksi VFA sebesar 4,39%, 10,39% dan 11,76% dibandingkan P0 namun secara statistik perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 3). Pada penelitian ini penggunaan level limbah roti berbanding lurus dengan produksi VFA pada pakan (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena meningkatnya proporsi karbohidrat pada perlakuan, hal ini serupa dengan pernyataan Jayanegara et al. (2009) yang menyatakan produksi VFA mendapatkan korelasi positif dengan meningkatkan proporsi konsentrat yang berarti meningkatkan proporsi karbohidrat mudah larut terhadap kandungan seratnya, tetapi pemberian limbah roti pada perlakuan tidak pengaruh nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena penyusun silase sama namun laju degradasi bahan penyusun silase berbeda sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap produksi VFA. Produksi VFA mencerminkan degradabilitas bahan organik, diantaranya karbohidrat dan protein kasar didalam rumen (Pujowati et al., 2012). Faktor lain yang dapat mempengaruhi produksi VFA adalah mikroba pada cairan rumen. Hal ini serupa dengan yang diutarakan oleh Hindratiningrum et al. (2011) yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi VFA antara lain jenis mikroba, penyerapan dan fermentabilitas dari pakan sumber karbohidrat.
Produksi N-NH3 (Amonia)
Kecenderungan produksi VFA yang sama dapat dikarenakan protein pada pakan perlakuan mudah terdegradasi, produksi VFA ini juga sejalan dengan produksi N-NH3. Menurut Wijayanti et al. (2012) faktor produksi VFA dikarenakan protein pada pakan perlakuan mudah terdegradasi dan menghasilkan asam amino, yang selanjutnya asam amino mengalami deaminasi menjadi NH3 dan asam lemak rantai pendek. Amalia (2012) menyatakan bahwa produksi NH3 rumen dapat terjadi karena bahan pakan mengandung protein kasar yang mudah dicerna oleh mikroba rumen. Produksi N-NH3 dari silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) tanpa penggunaan limbah roti (P1) sebesar 3,655mM. Pada perlakuan dengan penggunaan sebesar 10% (P1), 20% (P2) dan 30% (P3) mampu meningkatkan produksi N-NH3 secara berturut-turut sebesar 0,14%, 0,69% dan 0,31% dibandingkan perlakuan P0 namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 3). Pada penelitian ini perlakuan dengan penggunaan limbah roti kadar 20% merupakan produksi N-NH3 dengan hasil terbaik. Hal ini terjadi diduga karena protein yang terlebih dahulu dirombak oleh mikroba rumen waktu penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Amalia (2012) yang menyatakan bahwa produksi NH3 menunjukkan banyaknya kandungan protein kasar (PK) yang dirombak oleh mikroba rumen sehingga saat penyimpanan mikroba
merombak protein untuk dijadikan makan mikroba. Penggunaan limbah roti 20% ini memanglah yang terbaik, namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) yang disebabkan oleh lamanya penyimpanan sehingga mikroba rumen merombak protein saat penyimpanan sehingga kandungan protein kasar yang relatif sama. Hal ini sesuai pendapat Ørskov (1982), bahwa produksi amonia dipengaruhi oleh jumlah protein ransum dan kelarutan protein ransum. Produksi NH3 dalam penelitian berkisar antara 3,65-3,68 mM, produksi NH3 tersebut cukup mendukung sintesis protein mikrobia dalam rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmadi et al. (2010), bahwa konsentrasi NH3 yang dibutuhkan untuk mendukung sintesis protein mikrobia adalah 3,57 - 7,14 mM, tetapi produksi NH3 pada penelitian ini masih termasuk rendah. Wijayanti et al. (2012) menyatakan rendahnya produksi NH3 pada pakan komplit dapat disebabkan rendahnya tingkat kelarutan bahan pakan terutama kandungan protein, karena protein yang kurang larut akan lolos degradasi rumen dengan lebih mudah, sehingga menghasilkan produksi amonia yang rendah. Produksi NH3 yang meningkat dari perlakuan kontrol dapat mencerminkan hasil kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik yang meningkat juga, hal ini dikarenakan amonia merupakan hasil fermentasi senyawa nitrogen oleh mikroba rumen. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian kecernaan secara in vitro.
Kecernaaan bahan kering
Rata-rata kecernaan bahan kering secara in-vitro dari silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) pada perlakuan kontrol (P0) adalah sebesar 59,953%. Penggunaan limbah roti dengan level 20% (P2) dan 30% (P3) mampu meningkatkan nilai kecernaan bahan kering masing-masing sebesar 10,69% dan 13,14% dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan P0 namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan P1, sedangkan penggunaan level 10% (P1) meningkatkan 6,55%, namun secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05) (Tabel 3). Kecernaan bahan kering meningkat pada setiap penambahan limbah roti pada perlakuan dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Hal ini karena limbah roti memiliki serat kasar yang lebih rendah dibandingkan rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang memiliki serat kasar sebesar 30,72% (Zakir dan Rostini, 2016) sehingga pakan lebih mudah dirombak oleh mikroba rumen dan mampu meningkatkan kecernaan pakan. Menurut Dewi et al. (2020) semakin tinggi serat kasar pada suatu pakan maka semakin sulit pakan tersebut terdegradasi karena dinding selnya semakin kuat sehingga mikroba rumen sulit mencerna pakan, selain itu menurut Widodo et al. (2012) kandungan SK yang tinggi,
umumnya diikuti dengan meningkatnya jumlah lignin yang mengikat selulosa dan hemiselulosa sehingga menyebabkan semakin turunnya nilai kecernaan. Dengan penambahannya limbah roti pada silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) ini dapat dikatakan bahwa kecernaan bahan kering dapat meningkat karena serat kasar yang sudah berkurang dari silase rumput gajah (Pennisetum purpureum). Hal ini sesuai dengan pendapat Wijayanti et al. (2012) yang menyatakan kandungan SK dalam pakan menyebabkan rendahnya nilai degradasi, karena SK yang berupa selulosa dan hemiselulosa sering berikatan dengan lignin dan sulit untuk dipecah oleh enzim pencernaan.
Kecernaan bahan organik
Peningkatan kecernaan bahan kering yang terjadi berbanding lurus dengan hasil dari kecernaan bahan organik. Hal ini karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering itu sendiri. Hal ini sesuai pendapat Yusuf et al. (2016) yang menyatakan bahwa korelasi yang sangat erat antara kecernaan bahan kering dan bahan organik. Hal ini karena bahan organik merupakan penyusun bahan kering juga. Kecernaan bahan organik secara in vitro dari silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) perlakuan kontrol (P0) sebesar 60,016%. Penggunaan limbah roti dengan level 20% (P2) dan 30% (P3) mampu meningkatkan nilai kecernaan bahan organik masing-masing sebesar 9,41% dan 11,86% dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan P0 namun penggunaan 10% limbah roti tidak berbeda nyata, penggunaan limbah roti level 10% (P1) meningkatkan 5,38% kecernaan bahan organik namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 3). Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kecernaan bahan kering yang berbanding lurus dengan kecernaan bahan organik. Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik suatu bahan pakan terakumulasi di dalam bahan kering. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah komposisi kimia dari bahan pakan itu sendiri baik dari protein, dan lain-lain, larutan buffer, cairan rumen, kondisi anaerob dan laju kecernaan dalam rumen (Widodo et al., 2012).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penggunaan limbah roti pada silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) sebesar 10%, 20% sampai 30% terbukti meningkatkan kualitas silase melalui penilaian organoleptik,
kecernaan bahan kering dan bahan organik serta produksi VFA dan NH3. Penggunaan limbah roti pada silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang optimal berkisar 20-30%.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan kepada petani dapat memberikan penggunaan limbah roti pada silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) untuk mendapatkan kecernaan hewan ternak yang lebih baik. Selain itu untuk penelitian ini diharapkan untuk diteruskan dengan menggunakan metode in vivo.
UCAPAN TERIMAKASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS, Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Dr. Ir. Ni Wayan Siti, M.Si, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Aslamyah, S., dan M. Y. Karim. 2012. Uji organoleptik, fisik, dan kimiawi pakan buatan untuk ikan bandeng yang disubstitusi dengan tepung cacing tanah (Lumbricus sp.). Jurnal Akuakultur Indonesia. 11 (2) : 124 – 131.
Amalia, S. 2012. Pengaruh Level Penggunaan Cassabio Dalam Konsentrat Terhadap Fermentabilitas Dan Kecernaan Ransum Ruminansia (In Vitro). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Dewi, O., N.N. Suryani, dan I M. Mudita. 2020. Kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in-vitro dari silase kombinasi batang pisang dengan kembang telang (Clitoria ternatea). E-Journal Peternakan Tropika. 8 (1): 60-73.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/58294/34003
Departemen Pertanian. 1980. Silase sebagai makanan ternak. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Laporan Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor
Ella, A. 2002. Produktivitas dan Nilai Nutrisi Beberapa Jenis rumput dan Leguminosa Pakan yang Ditanam pada Lahan Kering Iklim Basah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.
Fathul, F.and S. Wajizah. 2010. Additional micromineral Mn and Cu in ration to rumen biofermentation activities of sheep in vitro method. JITV, 15 (1) : 9-15.
Hindratiningrum, N., Bata, M., dan Santosa, S. A. 2011. Produk fermentasi rumen dan produksi protein mikroba sapi lokal yang diberi pakan jerami amoniasi dan beberapa bahan pakan sumber energi. Agripet, 11,(2): 29-34
Kastalani, Maria E.K., Desty L. 2020. Pengaruh aditif Em4 (Effective Microorganism), air tebu dan tepung jagung terhadap kualitas uji organoleptik silase rumput kumpai (Hymenachine amplexicaulis). Ziraa’ah, 45 (2): 171-177.
Khristanta. I. M. D. T. A., N. N. Suryani dan I. W. Wirawan. 2020. Kualitas silase kombinasi batang pisang dengan kembang telang (Clitoria ternatea) berdasarkan uji
organoleptik. E-Journal Peternakan Tropika. 8(1): 46-59.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/57966/33888
Kojo, R. M. 2015. Pengaruh penambahan dedak padi dan tepung jagung terhadap kualitas fisik silase rumput gajah (Pennisetum purpureum CV.Hawaii). Jurnal Zootek, 35(1): 21-29
Kurniawan. D, Erwanto, Farida Fathul. 2015. Pengaruh penambahan berbagai starter pada pembuatan silase terhadap kualitas fisik dan pH silase ransum berbasis limbah pertanian. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(4): 191-195
Mudita, I. M, I G. Mahardika, I. B. G. Partama, I N. Sujaya, N. N. Suryani, I W. Suarna. 2019. Screening and identification of superior lignocellulose degrading bacteria from termites. Research Journal of Life Sciences, Bioinformatics, Pharmaceutical and Chemical Sciences. 5(1); 162-178.
Mudita, I.M, I. G. L. O. Cakra, I. G. Mahardika. I. N. S. Sutama. 2019. Bakteri Lignoselulolitik Biokatalis Pakan Limbah Pertanian. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar
Ørskov, E. R. 1982. Protein Nutrition in Ruminant. Academic Press, New York
Prabowo A, A.E. Susanti, dan J. Karman. 2013. Pengaruh Penambahan Bakteri Asam Laktat Terhadap Ph dan Penampilan Fisik Silase Jerami Kacang Tanah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Sumatera Selatan.
Pusuma, D.P., Y. Praptiningsih, & M. Choiron. 2018. Karakteristik roti tawar kaya serat yang disubstitusi menggunakan tepung ampas kelapa. Jurnal Agroteknologi, 12 (1):29-42.
Pujowati, A., Sutrisno dan E. Pangestu. Kecernaan dan produksi volatile fatty acid pakan komplit yang mengandung tepung kedelai dengan perlakuan pemanasan secara in vitro. Animal Agriculture Journal, 1(2): 151-156
Rahmadi, D., Sunarso, J. Achmadi, E. Pangestu, A. Muktiani, M. Christiyanto, Surono dan Surahmanto. 2010. Ruminologi Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Stefani, J. W. H., F. Driehuis, J. C. Gottschal, and S. F. Spoelstra. 2010. Silage fermentation processes and their manipulation: 6-33. Electronic conference on tropical silage. Food Agriculture Organization.
Steel, C. J., dan Torrie, J. 1993. Principle and Procedure of Statistics. PT. Gramedia, Jakarta.
Utomo, R. 2013. Konservasi Hijauan Pakan dan Peningkatan Kualitas Bahan Pakan Berserat Tinggi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati. 2019. Pengaruh pemberian molases dan gula pasir terhadap pH dan produksi silase rumput gajah (Pennisetum purpureum). Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, 13(1) : 1- 9
Widodo, F., Wahyono, dan Sutrisno. 2012. Kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, produksi VFA dan NH3 pakan komplit dengan level jerami padi berbeda secara in vitro. Animal Agricultural Journal, 1(1) : 215-230.
Widyastuti, T., dan E. Sujana. 2009. Pemanfaatan tepung limbah roti dalam ransum ayam broiler dan implikasinya terhadap efisiensi ransum. Seminar Nasional Fakultas Peternakan Unpad: 558-562
Wijayanti, E. Wahyono, F dan Surono. 2012. Kecernaan nutrien dan fermentabilitas pakan komplit dengan level ampas tebu yang berbeda secara in vitro (in vitro digestibility and fermentability of nutrients of complete feed with different levels of bagasse). Animal Agricultural Journal, 1(1): 167 – 179
Yusuf. D,F, Farida F., dan Liman. 2016. Pengaruh substitusi rumput gajah dengan pelepah daun sawit terhadap kecernaan bahan kering dan organik, serta hubungan antara kedua kecernaan pada kambing. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 4(1):73-79
Zakariah, A. 2016. Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Pustaka Almaida. Makasar
Zakir, M.I. dan Rostini T. 2016. Kualitas silase rumput gajah yang diberi aditif bakteri L plantarum 1-2. Jurnal Fakultas Pertanian, Universitas Islam Kalimantan, 4(3): 23-31.
Bhuana, I M. K. A., et al., J. Peternakan Tropika Vol. 9 No. 1 Th. 2021: 160-176
Page 176
Discussion and feedback