PHYSICAL QUALITY AND INVITRO SILASE OF RICE PINE PEOPLE DISUPLEMENTED BY GAMAL AND KALIANDRA LEAVES
on
ISSN 2722-7286
Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: August 14, 2020
Accepted Date: September 30, 2020
Editor-Reviewer Article;: Eny Puspani & A.A. Pt. Putra Wibawa
KUALITAS FISIK DAN KECERNAAN INVITRO SILASE JERAMI PADI YANG DISUPLEMENTASI DAUN GAMAL DAN KALIANDRA
Basudewa, I G. B., I G. L. O. Cakra, dan N. W. Siti
PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: [email protected], Telepon: +62 81339314858
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik dan kecernaan in vitro silase jerami padi yang disuplementasi daun gamal dan kaliandra. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari empat perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali, sehingga terdapat 20 unit percobaan. Perlakuan yang diberikan yaitu: P0 (90% jerami padi + 5% molasses + 5% polar), P1 (60% jerami padi + 30% daun gamal + 5% molasses + 5% polar), P2 (60% jerami padi + 15% daun gamal + 15% daun kaliandra + 5% molasses + 5% polar) dan P3 (60% jerami padi + 30% daun kaliandra + 5% molasses + 5% polar). Variable yang diamati adalah pH, NH3, VFA (Vollatile Faty Acid), KcBK (Kecernaan Bahan Kering), KcBO (Kecernaan Bahan Organik), tekstur, warna, dan bau. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi NH3 pada perlakuan P1 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P0, P2 dan P3 masing-masing 36,88%, 33,76% dan 38,92%. Nilai pH dan VFA total tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar semua perlakuan. KCBK dan KCBO pada perlakuan P1 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P2. Dapat disimpulkan bahwa pembuatan silase jerami padi dengan penambahan gamal 30% dapat meningkatkan kualitas silase baik ditinjau dari NH3 serta pengujian organoleptik yaitu warna dantekstur. KCBK dan KCBO tertinggi pada P1 karena gamal mengandung sumber protein terdegradasi (protein yang dibutuhkan oleh mikroba rumen) yang lebih di bandingkan kaliandra.
Kata kunci : Silase jerami padi, kualitas fisik, kecernaan
PHYSICAL QUALITY AND INVITRO SILASE OF RICE PINE PEOPLE DISUPLEMENTED BY GAMAL AND KALIANDRA LEAVES
ABSTRACT
This study aims to determine the physical quality and digestibility of in vitro silage of rice straw supplemented with gamal and kaliandra leaves. The study used a Completely Randomized Design (CRD), consisting of four treatments and each treatment was repeated five times, so that there were 20 experimental units. The treatments given were: P0 (90% rice straw + 5% molasses + 5% polar), P1 (60% rice straw + 30% gamal leaf + 5% molasses + 5% polar), P2 (60% rice straw + 15 % gamal leaves + 15% calliandra leaves + 5% molasses + 5% polar) and P3 (60% rice straw + 30% calliandra leaves + 5% molasses + 5% polar). The
observed variables were pH, NH3, VFA (Vollatile Faty cid), DMD (Dry Matter Digesribility), OMD (Organic Matter Digestibility), fungus, texture, color, and odor. The resul showed that the concentration of NH3 in the P1 treatment was higher than the P0, P2 and P3 treatments respectively 36.88%, 33.76% and 38.92%. Total pH and VFA values did not show significant differences between all treatments. DMD and OMD in P1 treatment were higher than P0, P1 and P2 treatments. It can be concluded that making rice straw silage with the addition of 30% gamal can improve silage quality both in terms of NH3 and organoleptic testing, namely color and texture. DMD and OMD are highest in P1 because gamal contains a degraded source of protein (protein needed by rumen microbes) that is more comparable to calliandra.
Keywords: Rice straw silage, physical quality, digestibility
PENDAHULUAN
Ketersediaan pakan masih menjadi kendala pengembangan ternak ruminansia di
Indonesia, terlebih pada saat musim kemarau dimana ketersediaan hijauan pakan ternak sangat kurang. Hal ini disebabkan sebagian besar bahan pakan bersifat musiman, terkonsentrasi di suatu wilayah dan tidak tepatnya manajemen pengelolaan pakan yang diterapkan selama ini, sehingga pakan tidak bisa disimpan lama. Faktor lainnya adalah semakin sempitnya lahan penanaman hijauan pakan karena terjadi pengalihan fungsi menjadi kawasan pemukiman dan ndicato. Akibatnya kualitas dan harga pakan menjadi fluktuatif yang selanjutnya akan mempengaruhi produktivitas ternak.
Ternak ruminansia seperti kerbau, kambing, ndicato domba secara alami membutuhkan hijauan berupa rumput dan daun-daunan.Hijauan merupakan bahan pakan yang penting bagi ternak ruminansia. Sumber hijauan dapat berupa hijauan yang tumbuh dengan sendirinya dan hijauan yang dibudidayakan. Hijauan liar terdiri atas berbagai jenis rumput, leguminosa dan tanaman lainnya. Sumber pakan hijauan dipengaruhi oleh faktor musim, dimana pada musim penghujan tersedia dalam jumlah banyak dan melimpah sedangkan pada musim kemarau ketersedian sangat terbatas.Untuk mengatasi hal tersebut biasanya peternak memberi pakan sisa-sisa pertanian seperti jerami padi. Limbah pertanian berupa jerami padi, dapat digunakan secara luas pada ternak ruminansia dalam mengatasi kendala-kendala penyediaan bahan pakan ternak pada musim kemarau.
Jerami padi mempunyai karakteristik kandungan protein kasar rendah serta serat kasar yang tinggi seperti selulosa, hemiselulosa, lignin dan ndica (Greenland, 1984; Lamid, 2013). Menurut Dewi (2002) jerami padi mengandung 37,71% selulosa; 21,99% hemiselulosa; dan 16,62% lignin. Menurut Wanapat et al. (2013) kandungan protein kasar
pada jerami padi sekitar 2-5%. Pemanfaatan jerami sebagai pakan memiliki kelemahan utama yaitu daya cerna yang rendah yang tercermin pula pada sifat fisik khususnya kelarutan dan sifat bulky dari jerami padi tersebut (Sarnklong et al., 2010; Yanuartono et al., 2017). Penggunaan jerami padi secara langsung atau sebagai pakan tunggal tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Peningkatan kandungan protein dapat juga dilakukan dengan suplementasi daun gamal dan kaliandra.
Penggunaan kombinasi bahan pakan akan saling melengkapi ketersediaan ndicato ransum. Gamal dan kaliandra merupakan bahan pakan dengan kandungan protein dan nutrisi yang ndicato tinggi, sehingga dapat dikombinasikan dengan jerami padi. Penggunaan daun kering gamal dan kaliandra dalam ransum meningkatkan konsumsi bahan kering ransum karena palatabilitas daun gamal dan kaliandra lebih tinggi dibandingkan jerami padi.Kandungan nutrisi hijauan gamal (G. sepium) yaitu kadar protein 25,7%, serat kasar 13,3%, abu 8,4%, dan BETN 4,0% (Hartadi et al., 1993).Kandungan nutrisi kaliandra, protein kasar 24%, ndica kasar kkal/kg 4630, lemak 4,1%, lignin 5%, abu 8%, Ca 1,6% dan P 0,2%.. Pemberian sebanyak 30% akan lebih baik untuk pertumbuhan. Hasil penelitian Trisnadewi et al.(2014) menunjukkan bahwa penggantian daun gamal dengan daun kaliandra sampai tingkat 20% dalam ransum, dapat menurunkan kecernaan bahan kering dan ndicat dalam rumen, tetapi sebaliknya meningkatkan kecernaan bahan kering dan ndicat dalam pepsin in-vitro. Salah satu teknologi pakan tepat guna yang dilakukan dalam pengolahan bahan pakan ternak adalah dengan membuat silase.
Silase adalah bahan pakan yang di produksi dengan cara fermentasi. Iglesias et al. (2014) mengungkapkan fermentasi merupakan proses yang memanfaatkan mikroba dengan tujuan mengubah substrat menjadi produk tertentu seperti yang diharapkan. Chilton et al. (2015) mendefinisi pakan fermentasi adalah pakan yang diberi perlakuan dengan penambahan mikro-organisme atau enzim sehingga terjadi perubahan biokimiawi dan selanjutnya akan mengakibatkan perubahan yang signifikan pada pakan.
MATERI DAN METODE
Materi
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan dengan dua tahap, tahap pertama yaitu pembuatan silase jerami padi yang suplementasi dengan daun gamal vs daun kaliantra yang dilakukan di Desa Sidemen Kabupaten Karangasem. Tahap kedua yaitu analisis sifat fisik dan kecernaaan in
vitro yang dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Alat dan bahan
Alat-alat yang akan digunakan dalam pembuatan silase antara lain, pisau, timbangan,ember, papan, kantong ndicat, kertas sebagai label, tali ndicat, dan
isolasi/lakban. Bahan yang digunakan dalam pembuatan silase adalah limbah jerami padi, daun gamal, daun kaliandra, ndicator molasses.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian uji silase jerami padi adalah pH meter, kantong kertas, oven, alat penggiling, cawan porselin, neraca analitik, desikator, pinset, tanur listrik, ndicator , gelas ukur, gelas piala, buret, aluminium foil, botol semprot, pengaduk magnet, rak tabung, kertas saring, corong ndicat, kondensor, dan pompa vakum.
Zat kimia
Zat kimia yang akan digunakan adalah larutan Mc Dougall, gas CO2, HgCl2, Na2CO3, asam borak, asam sulfat, HCl, pepsin, aquades, NaOH, vaselin, ndicator phenolptalin, larutan fenol, larutan natrium ndicator de, dan larutan pengoksidasi.
Metode
Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Terdiri dari 4 perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali, komposisi bahan dalam pembuatan silase sesuai perlakuan adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Komposisi baha dalam pembuatan silase.
Perlakuan |
Persentase Bahan | ||||
Jerami Padi kaliandra |
Daun gamal |
Daun |
Molases |
Pollar | |
P0 |
90 |
0 |
0 |
5 |
5 |
P1 |
60 |
30 |
0 |
5 |
5 |
P2 |
60 |
15 |
15 |
5 |
5 |
P3 |
60 |
0 |
30 |
5 |
5 |
Keterangan:
P0= 90% jerami padi + 5% molase + 5% pollar
P1 = 60% jerami padi + 30% gamal+ 5% molase + 5% pollar
P2 =60% jerami padi + 15% kaliandra + 15% gamal + 5% molase + 5% pollar
P3= 60% jerami padi + 30% kaliandra+ 5% molase + 5% pollar
Pelaksanaan Penelitian
Sebelum dilakukan pembuatan silase, terlebih dahulu jerami padi, daun gamal dan daun kaliandra dilayukan untuk menurunkan kadar air. Selanjutnya, pembuatan silase dilakukan dengan memotong-motong jerami padi, daun gamal dan kaliandra sepanjang ± 3 cm. Jerami Basudewa, I G. B., et al., J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 530–544 Page 533
padi, daun gamal, daun kaliandra, molase dan pollar dicampur secara merata sesuai perlakuan. Masukkan kedalam ndicat silo sedikit demi sedikit dan dipadatkan hingga udara yang tertinggal di dalam silo seminimal mungkin. Selanjutnya diikat rapat dan disimpan di tempat yang sejuk dan terhindar dari sinar matahari, maka bahan silase tersebut disimpan selama 21 hari.
Setelah penyimpanan 21 hari maka silo ndicat dibuka dan sampel silase diambil sesuai kebutuhan dan ndicato yang diamati.
Variabel penelitian
-
1 Kualitas fisik
Peubah yang akan diamati dan cara kerja dalam penelitian ini adalah :
-
a) pH, didapatkan dengan cara :
menimbang 20g sampel dan menambahkan 100ml aquadest, kemudian diblender, selanjutnya diasing dan cairan yang didapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan PH meter
-
b) Aroma, didapatkan dengan cara mencium aroma yang dihasilkan dari silase.
-
c) Tekstur, didapatkan dengan cara menyentuh silase.
-
d) Warna, didapatkan dengan cara melihat warna langsung dari silase yang dihasilkan.
Penilaian panelis dengan menggunakan tabel skoring kriteria silase yang baik menurut Departemen Pertanian (1980) yang dapat dilihat pada Tabel 2. Panelis merupakan mahasiswa aktif Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Tabel 2. Kriteria Penilaian Silase
Kriteria |
Penilaian | |||
Baik Sekali |
Baik |
Sedang |
Buruk | |
Tekstur |
Tidak Ada Halus |
Sedikit Agak Halus |
Lebih Banyak Kurang Halus |
Banyak Kasar |
Warna |
Hijau |
Kuning |
Kecoklatan |
Coklat |
Bau |
Kekuningan Sangat |
Asam |
Kurang Asam |
Kehitaman Busuk |
Skoring |
Asam 1 |
2 |
3 |
4 |
Ph |
3,2 – 4,5 |
4,2 – 4,5 |
4,5 – 4,8 |
> 4,8% |
Sumber : Departemen Pertanian (1980).
-
2 Kecernaan in vitro
-
3 . Kecernaan bahan kering dan bahan ndicat
Evaluasi kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan ndicat (KcBO) dari silase jerami padi dilaksanakan dengan teknik in-vitro menggunakan metode Minson dan Mc Leod (1972). Kegiatan analisis dilakukan dengan cara terlebih dahulu menyiapkan sebanyak 0,25 gram sampel yang sudah digiling ke dalam tabung in-vitro. Kemudian ditambahkan dengan 25 ml cairan rumen yang sudah dicampur dengan larutan buffer dengan perbandingan 1:4. Campuran sampel dengan cairan rumen selanjutnya diinkubasi dalam shaking bath selama 48 jam pada suhu 39 oC dan setiap 6 jam dikocok untuk mengeluarkan gas yang terbentuk. Setelah inkubasi, sampel disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan supernatannya diisap/dibuang dengan bantuan pompa vacuum serta selanjutnya dilakukan pembilasan dengan aquades sebanyak 2 kali dengan cara mensentrifuse sampel yang telah dibilas tersebut. Selanjutnya residu yang diperoleh ditambahkan 25 ml larutan pepsin dalam HCl dan diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 39 oC dalam shaking bath serta setiap 6 jam dikocok. Selanjutnya kembali disentrifuse dan dibilas dengan aquades sebanyak 2 kali serta residu yang diperoleh dipindahkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan dalam oven serta dilanjutkan pada proses pengabuan hingga diperoleh residu kering dan residu abu.
Rumus:
, Jumlah BK Ransum — Iumlah BK Residu
Kc. BK (%) =■----------—-----------------X 100%
Jumlah BK Ransum
, Jumlah B O Ransum — Jumlah B O Residu Kc. BO (%) = -----------—-----------------X 100%
Jumlah BO Ransum
-
2. Konsentrasi NH3
Konsentrasi N-NH3 silasesampeldianalisis menggunakan metode phenol hypochlorite dengan bantuan spektrofotometer (Department of Dairy Science, 1966). Kegiatan analisis dilaksanakan dengan cara terlebih dahulu membuat kurve serta persamaan garis regresi standar ndicat dengan normalitas 1 pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 640 nm sesuai prosedur Solarzano (1969). Selain itu disiapkan pula larutan phenol 10%, larutan sodium nitroprusside 0,5% serta larutan pengoksid. Analisis sampel dilaksanakan dengan cara memasukkan 5 ml larutan sampel (hasil preparasi sampel dengan metode Lana, 1998) ke dalam tabung spektrofotometer. Selanjutnya ditambahkan 0,2 ml larutan phenol, 0,2 ml larutan natrium, ndicator de dan 0,5 ml larutan pengoksidasi. Pembacaan absorbansi sampel dilaksanakan setelah 5 menit penambahan larutan pengoksid menggunakan cuvet dari spektrofotometer dan selanjutnya konsentrasi N-NH3 sampel ditentukan berdasarkan rumus persamaan regresi dari standar ndicat yang telah dibuat/diperoleh sebelumnya.
Y = mx +b
Keterangan:
y = Hasil dalam ppm N-NH3
m = Slope, sudut kemiringan
x = Hasil pembacaan dalam absorban
b = Intercept, garis perpotongan
-
3. VFA total
Produksi VFA total dianalisis dengan metode destilasi uap mengikuti General Laboratory Procedure (1966). Kegiatan analisis dilaksanakan dengan cara terlebih dahulu menyaring silase sampel yang telah dipreparasi sesuai metode Lana (1998) dan mengambilnya sebanyak 2,5 ml bagian cair silase sampel tersebut dan dimasukkan kedalam tabung destilator, kemudian ditambahkan dengan 0,5 ml H2SO4 15%. Selanjutnya didestilasi pada Vapodest dengan metode VFA50 (metode khusus VFA total) dan hasil destilasi ditampung menggunakan ndicator yang telah diisi 2,5 ml NaOH 0,5 N hingga tertampung 150 ml. Destilat dititrasi dengan HCl 0,1002N dengan 1 tetes Penolptalin/PP sebagai ndicator sampai titik akhir titrasi. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko tanpa sampel.
Konsentrasi VFA total dihitung dengan rumus:
, (V. titran blanko — V.titran sampel) X N HCl X IOOO
VFA Total (mMol) =-------------------—4— -----------
-
V. sampel (ml)
Analisis data
Data organoleptik yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis menggunakan analisis frekuensi relatif dengan menghitung jumlah atau persentase panelis yang memilih skala tertentu. Sedangkan data pH, NH3, VFA dan KCBK KCBO yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam, apabila nilai rataan perlakuan berpengaruh nyata pada peubah (P<0,05), dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan taraf 5% (Steel and Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil dari kualitas Fisik dan Kecernaan In Vitro silase jerami padi yang disuplementasi daun gamal dan kaliandra tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Kualitas fisik silase jerami padi yang disuplementasi daun gamal dan kaliandra
Variable Jumlah frekuensi (%)
Skoring2) |
P01) |
P1 |
P2 |
P3 | |
Tekstur |
1 |
2 |
12 |
28 |
4 |
2 |
40 |
54 |
58 |
42 | |
3 |
42 |
28 |
8 |
34 | |
4 |
16 |
6 |
6 |
20 | |
Warna |
1 |
0 |
24 |
16 |
0 |
2 |
46 |
32 |
12 |
2 | |
3 |
52 |
44 |
42 |
56 | |
4 |
2 |
0 |
30 |
42 | |
Bau |
1 |
0 |
6 |
20 |
0 |
2 |
36 |
28 |
36 |
20 | |
3 |
46 |
60 |
40 |
72 | |
4 |
18 |
6 |
4 |
8 |
Keterangan:
-
1. Perlakuan
P0= 90% jerami padi + 5% molase + 5% pollar
P1 = 60% jerami padi + 30% gamal+ 5% molase + 5% pollar
P2 =60% jerami padi + 15% kaliandra + 15% gamal + 5% molase + 5% pollar
P3= 60% jerami padi + 30% kaliandra+ 5% molase + 5% pollar
-
2. Skoring 1 menunjukkan nilai silase baik sekali
Skoring 2 menunjukkan nilai silase baik
Skoring 3 menunjukkan nilai silase sedang
Skoring 4 menunjukkan nilai silaseburuk
Variabel tekstur pada perlakuan P0 memiliki penilaian dengan skoring 1 sebanyak 2%, skoring 2 sebanyak 400%, skoring 3 sebanyak 43% dan skoring4 sebanyak 16%. Perlakuan P2 skoring 1 sebanyak12%, skoring 2 sebanyak 54%, skoring 3 sebanyak 28% dan akring 4 sebanyak 6%. Pada perlakuan P2 skoring 1 sebanyak 28%, skoring 2 sebanyak 58%, skoring 3 sebanyak 8% dan skoring 4 sebanyak 6%. Selanjutnya pada perlakuan P3 skoring 1 sebanyak 4%, skoring 2 sebanyak 42%, skoring 3 sebanyak 34% dan skoring 4 sebanyak 20%. Dengan demikian secara berurutan penilaian tertinggi hingga terendah yaitu P2, P1, P3, dan P0. Variabel tekstur memperoleh penilaian terbaik pada perlakuan P2 karena memiliki nilai tertinggi sehingga dengan tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas baik sekali. Menurut Kartadisastra (1997) silase yang baik kualitasnya adalah yang teksturnya tidak lembek, berair, berjamur dan tidak menggumpal, untuk menilai tekstur ini diperlukan indra peraba untuk membedakan mana
silase yang berkualitas baik dan tidak. Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa terjadinya penggumpalan dan keberadaan lendir disebabkan oleh adanya aktivitas organisme pembusuk. Keadaan ini dapat terjadi, apabila ada udara yang masuk ke dalam silo sehingga aktivitas metabolisme organisme berjalan lagi. Syarifuddin (2006) melaporkan bahwa tekstur silase pada berbagai umur pemotongan (20 hari hingga 80 hari) menunjukkan tekstur yang remah. Hal ini menunjukkan bahwa tekstur halus pada silase dipengaruhi oleh bahan pembuatan silase seperti umur dari bahan yang digunakan yaitu gamal melebihi dari 80 hari.
Pada variabel warna perlakuan P0 memiliki skoring 2 sebanyak 46%, skoring 3 sebanyak 52%, dan skoring 4 sebanyak 2%. Pada perlakuan P1 skoring 1 sebanyak 24%, skoring 2 sebanyak 32% dan skoring 3 sebanyak 44%. Selanjutnya pada perlakuan P2 skoring 1 sebanyak 16% orang, skoring 2 sebanyak 12%, skoring 3 sebanyak 42%, dan skoring 4 sebanyak 30%. Perlakuan P3 skoring 2 sebanyak 2%, skoring 3 sebanyak 56%, dan skoring 4 sebanyak 42%. Secara berurutan dari penilaian tertinggi hingga terendah yaitu P1, P2, P0, dan P3. Penilaian terbaik pada variabel warna yaitu pada perlakuan P1 karena memiliki nilai tertinggi dengan tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas baik sekali. Saun and Heinrichs (2008) yang menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik akan memiliki warna seperti bahan asalnya. Perubahan warna pada bahan silase disebabkan karena proses fermentasi yang kedap udara, Rekohadiprodjo (1998) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang mengalami ensilase disebabkan oleh proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai oksigen tanaman habis. Lingkungan yang kedap udara akan memiliki temperatur yang lebih tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan warna. Temperatur yang tidak dapat terkendali akan menyebabkan silase berwarna hitam, hal ini menyebabkan turunnya nilai kandungan nutrisi pakan, karena banyak sumber karbohidrat yang hilang, keadaan ini terjadi pada temperatur 55ºC (Kojo, 2015). Menurut Ensminger dan Olentine (1978), bahwa warna coklat tembakau, coklat kehitaman, karamel (gula bakar) atau gosong menunjukkan silase kelebihan panas.
Variabel bau pada perlakuan P0 memiliki skoring 2 sebanyak 36%, skoring 3 sebanyak 46% dan skoring 4 sebanyak 18%. Perlakuan P1 skoring1sebanyak 6%, skoring 2 sebanyak 28%, skoring 3 sebanyak 60%, dan skoring 4sebanyak 6%. Selanjutnya pada perlakuan P2 40%koring 1 sebanyak 20%, skoring 2 sebanyak 36%, skoring 3 sebanyak dan skoring 4 sebanyak 4% orang. Perlakuan P3 dengan skoring 2 sebanyak 20%, skoring 3 sebanyak 72%, dan skoring 4 sebanyak 8%. Secara berurutan penilaian tertinggi hingga Basudewa, I G. B., et al., J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 530–544 Page 538
terendah yaitu perlakuan P2, P1, P0, dan P3. Variabel bau memperoleh penilaian terbaik pada perlakuan P2 karena memiliki nilai tertinggi dengan tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas baik sekali. Pada pengamatan bau, silase berkualitas sangat baik yaitu memiliki bau asam khas silase. Bau ini dihasilkan dari aktivitas fermentasi oleh bakteri asam laktat, sedangkan silase pada perlakuan termasuk dalam silase berkualitas baik, karena pada perlakuan P2 terdapat aroma asam dan amonia lebih pekat. Aroma amonia ini disebabkan oleh adanya aktivitas fermentasi bakteri Clostiridia. Bakteri ini menyebabkan terjadinya proteolisis dan sebagai salah satu indikator terjadinya proteólisis adalah terbentuknya amonia. Bakteri ini dapat berkembang jika keadaan anaerob terganggu (Saun and Heinrichs, 2008). Utomo (1999) menambahkan bahwa aroma silase yang baik agak asam, bebas dari bau manis, bau ammonia, dan bau H2S. Silase dengan atau tanpa penambahan starter memiliki aroma cenderung asam, sehingga setiap perlakuan yang berbeda tidak mempengaruhi aromasilase.
Tabel 4 Kecernaan in vitro silase jerami padi yang disuplementasi daun gamal dan
kaliandra
Variabel |
Perlakuan1) |
SEM3) | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | ||
pH |
4,475b |
4,535b |
4,583ab |
4,656a |
0,036 |
VFA (mM/L) |
23,811a2) |
29,679a |
31,692a |
27,08a |
3,009 |
NH3(mM/L) |
3,432b |
5,438a |
3,602b |
3,321b |
0,42 |
KcBK (%) |
41,264bc |
51,167a |
43,563b |
38,346c |
1,349 |
KcBO (%) |
43,639b |
55,34a |
45,201b |
39,397b |
2,039 |
Keterangan:
1. Perlakuan
P0= 90% jerami padi + 5% molase + 5% pollar
P1 = 60% jerami padi + 30% gamal+ 5% molase + 5% pollar
P2 =60% jerami padi + 15% kaliandra + 15% gamal + 5% molase + 5% pollar
P3= 60% jerami padi + 30% kaliandra+ 5% molase + 5% pollar
-
2. Superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
-
3. SEM = Standard Error of The Treatment Mean
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai pH pada perlakuan P0 (90% jerami padi + 5% molase + 5% polar)/kontrol) adalah sebesar 4,475 (Tabel 3). Nilai pH perlakuan P1 (60% jerami padi + 30% gamal + 5% molase + 5% polar) lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0 sebesar 1,32 %, perlakuan P2 (60% jerami padi + 15% kaliandra + 5% molase + 5% polar) lebih tinggi dari perlakuan P0 dan P1 masing-masing sebesar 1,05 dan 2,35% , perlakuan P3 (jerami padi 60% + 30% kaliandra + 5% molase + 5% polar) lebih tinggi dari perlakuan P0, P1, dan P2 masing- masing sebesar 3,88, 2,59 dan 1,57%. Secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian, pemberian perlakuan P1,P2 dan Basudewa, I G. B., et al., J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 530–544 Page 539
P3, menyebabkan peningkatan nilai pH rumen secara nyata (P<0,05) masing-masing 4,535; 4,583; 4,656 dibandingkan perlakuan P0 yang besarnya 4,475. Peningkatan pH disebabkan karena menurunnya perombakan karbohidrat terlarut dalam ransum dengan adanya tanin pada kaliandra. Walaupun berbeda nyata dengan perlakuan A tetapi nilainya masih dalam kisaran pH normal yaitu5,5-7,2 (Owen danGoetsch,1988).
Konsentrasi VFA pada keempat perlakuan berkisar antara 23,811 – 31,692 mM/L secara statistik menunjuka hasil yang berbeda tidak nyata (P>0,05) (Tabel 4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 perlakuan P1 nyata (P<0,05) lebih tinggi masing-masing 58,45%; 50,97% dan 63,75% dibandingkan dengan perlakuan P0, P2 dan P3. Konsentrasi NH3 pada perlakuan P0, P2 dan P3 berkisar antara 3,321 – 3,602 secara statistik berbeda tidak nyata (P >0,05). Kisaran nilai tersebut sesuai dengan tabel kriteria silase Deptan (1980) maka kualitas silase berada pada kisaran baik menuju sedang. Menurut Ratnakomala et al. (2006) silase yang baik dinilai dari segi kualitatif dapat ditinjau dari beberapa parameter seperti pH, suhu, tekstur, warna dan kandungan asam laktatnya. Kebutuhan protein pada ruminansia hanya didasarkan pada kadar protein kasar. Pengukuran protein kasar pada bahan pakan didasarkan pada suatu analisis yang mengukur jumlah N di dalam bahan pakan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NH3 pada perlakuan P1 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P0, P2 dan P3 . Peningkatan kandungan protein kasar akan mengakibatkan produksi NH3 meningkat (Indah, 2016). Suryani et al. (2013), menyatakan Produksi NH3 berkorelasi positif dengan kandungan gamal dalam ransum.
VFA total silase pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Banyaknya VFA pada silase menggambarkan indikator perombakan bahan organik selulosa (Saputra et al., 2019). Fermentabilitas bahan organik silase dalam rumen menghasilkan volatile fatty acid (VFA) yang digunakan sebagai sumber energi utama untuk mikroba rumen (Orskov dan Ryle, 1990). Pada perlakuan P2 VFA yang dihasilkan lebih tinggi yaitu 31,692 mMol, bila dibandingkan dengan perlakuan P0 (23,811 mMol), P1 (29,679 mMol), dan P3 (27,08 mMol). VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dalam pakan. Pada ternak ruminansia sumber energi utama adalah VFA hasil fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen. Lebih rendahnya nilai VFA berkaitan dengan jumlah karbohidrat yang sulit terdegradasi oleh mikroba dan terhambatnya penyerapan monosakarida oleh mikroba rumen. Jayanegara et al. (2006) menyatakan bahwa rendahnya VFA disebabkan karena adanya penyerapan monosakarida yang terhambatnya proses fermentasi. Proses fermentasi merupakan proses penyediaan energi Basudewa, I G. B., et al., J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 530–544 Page 540
bagi mikroba rumen, maka rendahnya VFA mencerminkan rendahnya energi yang tersedia bagi mikroba rumen. Daun gamal dan Kaliandra mengandung senyawa karbohidrat cukup baik, terlihat dari kandungan serat kasarnya (SK) sebesar 26,858% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) sebesar 43,1315%. Selain itu kadar serat kasar pada gamal mencapai 15,70 dan kaliandra 12,93% (Daning dan Foekh, 2018), sehingga VFA yang dihasilkan semakin tinggi.
Koefisien Cerna Bahan Kering pada perlakuan P1 nyata (P <0,05) lebih tinggi masing-masing 24%, 17,46% dan 33,44% dibandingkan dengan perlakuan P0, P2 dan P3. KCBK pada perlakuan P0, P2 dan P3 berkisar antara 38,346 – 41,264 secara statistik berbeda tidak nyata (P >0,05)/Tabel 4. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa Pada perlakuan P3 diperoleh KcBK dan KcBO terendah yaitu 38,346% dan 39,397% dan KcBK dan KcBO tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 51,167%, dan 55,34% (Tabel 4). Hal ini disebabkan dengan penambahan legum yang berbeda dapat meningkatkan kadar tanin dalam ransum (Tabel 4), tanin dapat menghambat aktivitas mikroba rumen dalam mencerna bahan pakan sehingga menyebabkan terjadi penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum seiring dengan penambahan jenis legum. KcBK dan KcBO tertinggi pada P1 karena gamal mengandung sumber protein terdegradasi (protein yang dibutuhkan oleh mikroba rumen) yang lebih di bandingkan kaliandra.
Pada akhir penelitian menunjukkan bahwa Koefisien Cerna Bahan Organik pada perlakuan P1 nyata (P <0,05) lebih tinggi masing-masing 21,14%; 18,32% dan 28,80% dibandingkan dengan perlakuan P0, P2, dan P3. KcBO pada perlakuan P0, P2, dan P3berkisar antara 39,397-43,639 secara statistic berbeda tidak nyata (P>0,05)/table 4. Keberadaaan tanin dapat mengurangi produksi gas dalam sistem fermentasi in vitro karena interaksi tanin dengan komponen-komponen pakan yang berkontribusi terhadap produksi gas, khususnya protein dan serat (Makkar et al., 2007; Ridwan et al., 2014). Nilai kecernaan bahan kering selaras dengan kecernaan bahan organik, nilai kecernaan bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi dari kecernaan bahan organik hal ini dipengaruhi oleh kandungan bahan anorganik atau abu (Fathul dan Wajizah, 2010). menyatakan bahwa pengaruh tanin terhadap kecernaan bahan organik pakan ini lebih signifikan terhadap komponen protein dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
-
1. Silase yang mengandung jerami padi 60%, gamal 30% molase 5% dan polar 5% dapat meningkatan kualitas fisik seperti tekstur dan warna tergolong baik sekali serta pH pada kriteria baik.
-
2. Silase yang mengandung jerami padi 60%, gamal 30% molase 5% dan polar 5% dapat meningkatkan konsentrasi NH3, koefisien cerna bahan kering dan bahan organik, namun tidak dapat meningkatkan konsentrasi VFA total.
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat dampak suplementasi daun gamal dan kaliandra kedalam silase jerami padi pada ternak ruminansia.
UCAPAN TERIMAKASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS. atas pelayanan administrasi dan fasilitas pendidikan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Chilton, S.N., J.P. Burton and G. Reid. 2015. Inclusion of Fermented Foods in Food Guides around the World. Nutrients 7: 390-404. doi:10.3390/nu7010390
Dewi. 2002. Hidrolisis Limbah Hasil Pertanian Secara Enzimatik. J. Akta Agrosia. 5 (2): 6771
Departemen Pertanian. 1980. Silase sebagai makanan ternak. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Laporan Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Ensminger M. E. and C. G. Olentine. 1978. Feed and NutritionComplate. The Ensminger Publishing Company. Clovis. California. USA.
Daning, D., R., A. dan B Foekh. 2018. Evaluasi produksi dan kualitas nutrisi pada bagian daun dan kulit kayu Calliandra callotyrsus dan Gliricidia sepium. Sains Peternakan Vol. 16(1), Maret 2018:7-11
Fathul, F. dan S. Wajizah. 2009. Penambahan mikromineral Mn dan Cu dalam ransum terhadap aktivitas biofermentasi rumen domba secara in vitro. JITV 15(1) : 9-15.
Makkar HPS. 2003a. Effects and fate of tannins in ruminant animals, adaptation to tannins, and strategies to overcome detrimental effects of feeding tannin-rich feeds. Small Rumin. Res. 49(3):241-256.
Hartadi, S.Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, Tillman, F.D,H. S.Lebdosoekojo. 1993. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Iglesias, A., A. Pascoal, A. B.Choupina, C. A. Carvalho, X. Feás and L. M. Estevinho. 2014. Developments in the Fermentation Process and Quality Improvement Strategies for Mead Production. Molecules 19: 12577-12590. doi:10.3390/molecules190812577
Indah, A. S. 2016. Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Silase Pakan Lengkap Berbahan Utama Batang Pisang (Musa Paradisiaca) dengan Lama Inkubasi yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar
Greenland, D. J. 1984. Upland rice. Outlook on Agriculture, 14: 21- 26.
Jayanegara, A., dan A. Sofyan. 2006. Penentuan Aktivitas Biologis Tanin Beberapa Hijauan secara in vitro Menggunakan ‘Hohenheim Gas Test” dengan Polietilen Glikol sebagai Determinan. Media Peternakan Vol. 31 No. 1. Bogor. Institut Pertanian Bogor
Kojo, R. M. 2015. Pengaruh penambahan dedak padi dan tepung jagung terhadap kualitas fisik silase rumput gajah (Pennisetum purpureum CV.Hawaii). Jurnal. Zootek Vol. 35(1): 21-29
Kastadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius, Yogyakarta
Minson, D.J. and M. M. McLeod. 1972. The In Vitro Technic: its Modification for Estimate Digestibility of Large Numbers of Tropical Pature Technique, Australia.
Orskov, E. R., and Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminants. London: Elsevier Applied Science
Owens, F.N. dan A. L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C. Church Ed. The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A Reston Book. Prentice Hall. Eglewood Cliffs, New Jersey
Ratnakomala, S., Ridwan, R., Kartina, G., dan Widyastuti, Y. 2006. Pengaruh Inokulum Lactobacillus plantarim 1A-2 dan 1B-L terhadap kualitas Silase Rumput Gajah
(Pennisetum purpureum). Biodiversitas. 7 (2): 131- 134
Sarnklong, C., Cone, J. W., Pellikaan, W., and Hendriks. W. H. 2010. Utilization of Rice Straw and Different Treatments to Improve Its Feed Value for Ruminants: A Review. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 23 (5) : 680 – 692. DOI: https://doi.org/10.5713/ajas
Saun R. J. V. and A. J. Heinrichs. 2008. Troubleshooting silage problems. How to identify potential problem. In: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference, Pensylvania. Penn State Collage. P.2-10.
Saputra, I K. T. A., A. A. A.S.Trisnadewi, dan I. G. L. O. Cakra. 2019. Kecernaan In Vitrodan Produk Fermentasi dari Silase Jerami Padi yang Dibuat dengan Penambahan Cairan Rumen. Journal Peternakan Tropika. Denpasar, Bali. Dikutip dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/50724. Diakses pada 19 Desember 2019.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (diterjemahkan dari: Principles and Procedures of Statistic, penerjemah: B. Sumantri). PT Gramedia. Jakarta. 748 halaman.
Syarifuddin, N. A. 2006. Karakteristik dan Persentase Keberhasilan Silase Rumput Gajah pada Berbagai Umur Pemotongan. Fakultas Peternakan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Banjarmasin
Suryani, N.N., I K. M. Budiasa, dan I P. A. Astawa. 2013. Suplementasi gamal sebagai rumen degradable protein (rdp) untuk meningkatkan kecernaan (in vitro) ransum ternak ruminansia yang mengandung jerami padi. Sumber :
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/6656/1/85c3e6d4ecbb5fa14201fd6031b35dab.pdf
Trisnadewi A. A. A. S., I G. L. O. Cakra, I W. Wirawan, I M. Mudita, dan N. L. G. Sumardani. 2014. Substitusi Gamal (Gliricidia sepium) Dengan Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Pada Ransum Terhadap Kecernaan In-Vitro. Pastura. Vol.3 No2 : 106 – 109 Sumber : https://ojs.unud.ac.id/index.php/pastura/article/view/11187/7969
Utomo, R. 1999. Teknologi Pakan Hijauan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Wanapat, M., Kang, S., Hankla, N., and Phesatcha, K. 2013. Effect of rice straw treatment on feed in- take, rumen fermentation and milk production in lactating dairy cows. Afr. J. Agric. Res. 8(17):1677-1687. DOI: 10.5897/AJAR2013.6732
Basudewa, I G. B., et al., J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 530–544 Page 544
Discussion and feedback