ISSN 2722-7286

Jurnal

FAPET UNUD


Jurnal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: jurnaltropika@unud.ac.id

Submitted Date: August 3, 2020

Accepted Date: September 3, 2020


Editor-Reviewer Article;: Dsk. Pt. Mas Ari Candrawati & Eny Puspani

NILAI ORGANOLEPTIK DAN KANDUNGAN NUTRIEN DARI SILASE DAUN MENGKUDU (Morinda Citrifolia) YANG DIFERMENTASI INOKULUM BERBEDA

Asmara, N. D. E. A. D. P. S. M., I M. Mudita dan N. P. Mariani

PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

E-mail: nindy@student.unud.ac.id , Hp: 081353865035

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai organoleptik dan kandungan nutrien dari silase daun mengkudu (Morinda citrifolia) yang difermentasi inokulum berbeda. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai September 2019 di Stasiun Penelitian Fakultas Peternakan dan Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari lima perlakuan yaitu silase daun mengkudu yang difermentasi tanpa inokulum sebagai kontrol (A), daun mengkudu yang difermentasi inokulum kombinasi mikroorganisme/Effective Microorganisme-4/EM-4 (B), daun mengkudu yang difermentasi inokulum yeast/ragi

Saccaromyces serevisiae (C), daun mengkudu yang difermentasi inokulum bakteri Bacillus sp strain BT3CL (D) dan daun mengkudu yang difermentasi inokulum bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL (E), masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Variabel yang diamati adalah nilai organoleptik meliputi jamur, tekstur, warna dan bau silase, serta kandungan nutrien yaitu: bahan kering (BK), kadar air, protein kasar (PK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), abu dan bahan organik (BO). Hasil penelitian daun mengkudu yang difermentasi menggunakan inokulum bakteri (Perlakuan D dan E) menghasilkan silase yang tidak ada jamurnya. Perlakuan D menghasilkan silase dengan warna terbaik, perlakuan E menghasilkan silase dengan aroma/bau terbaik, dan penggunaan inokulum ragi (perlakuan C) menghasilkan silase dengan tekstur terbaik, kualitas bahan organik tertinggi (P<0,05) dan serat kasar terendah (P<0,05). Penggunaan inokulum kombinasi (EM-4/Perlakuan B) menghasilkan silase dengan protein kasar tertinggi (P<0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan inokulum bakteri (Perlakuan D dan E) menghasilkan nilai organoleptik terbaik. Penggunaan inokulum ragi (Perlakuan C) dan inokulum kombinasi (EM-4/Perlakuan B) menghasilkan kandungan nutrien terbaik.

Kata Kunci : daun mengkudu, inokulum, organoleptik, kandungan nutrien, silase

ORGANOLEPTIC VALUES AND NUTRITION CONTENT FROM NONI LEAVES (Morinda citrifolia) SILAGE FERMENTED BY DIFFERENT INOCULUM

ABSTRACT

This study aims to determine the organoleptic value and nutrient content of noni leaves (Morinda citrifolia) silage that is fermented by different inoculums. The study was conducted from June to September 2019 at the Faculty of Animal Husbandry Research Station and the Laboratory of Nutrition and Animal Feed of the Faculty of Animal Husbandry, Udayana University. The design used in this study was a complete random design (CRD) consisting of five treatments, namely the silage of noni leaves without inoculum as a control (A), noni leaves fermented inoculum combination of microorganism/Effective Microorganism-4/EM-4 (B), noni leaves fermented inoculum yeast Saccaromyces serevisiae (C), noni leaves fermented inoculum bacterial Bacillus sp strain BT3CL (D), and noni leaves fermented inoculum bacterial Bacillus subtilis strain BR2CL (E), each treatment was repeated three times. The variables observed were organoleptic values including fungi, texture, color and silage odor, while the nutrient content were: dry matter (BK), moisture content, crude protein (PK), crude fiber (SK), crude fat (LK), ash and organık material (BO), The results of studies of noni leaves fermented using bacterial inoculums (Treatment D and E) produce no slime fungi. Treatment D produced the best colored sılase, treatment E produced silage with the best scent /odor, and the use of a yeast inoculum (C treatment) produced the best texture, the highest quality organic material (P<0,05) and the lowest crude fiber (P<0,05). The use of a combination inoculum (EM-4/Treatment B) produced silage with the highest crude protein (P<0,05). Based on the results of the study it was concluded that the use of bacterial inoculums (Treatment D and E) produced the best organoleptic values. The use of yeast inoculum (Treatment C) and combination inoculum (EM-4 Treatment B) produce the best nutrient content.

Keywords: inoculum, noni leaves, nutrient content, organoleptic, silage

PENDAHULUAN

Tanaman mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan salah satu tanaman tropika yang cukup banyak ditemukan di berbagai tempat. Secara keseluruhan daun mengkudu mengandung zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, khususnya asam amino esensial dan non esensial, vitamin (provitamin A; vitamin A, C, B5, B1, B2) dan mineral (Ca, P, Se, Fe). Mengkudu mengandung alkaloid penting yaitu proxeronin (jenis asam koloid yang tidak mengandung gula, asam amino atau asam nukleat dengan bobot molekul lebih dari 16.000) dalam jumlah besar. Xeronin ini membantu memperluas usus kecil sehingga memudahkan proses penyerapan makanan, memperbaiki tugas kelenjar tiroid dan timus yang penting untuk kekebalan tubuh dan perlawanan menghadapi infeksi dari luar, mengaktifkan enzim-enzim dan mengatur fungsi protein di dalam sel. Daun mengkudu juga mengandung antrakuinon, glikosida sebagai anti kanker (Bestari et al., 2005).

Daun mengkudu (Morinda citrifolia) mengandung nutrisi cukup baik, namun kadar serat daun mengkudu tinggi yaitu berkisar 22,12% (Febriani dan Titiek, 2008). Tingginya kadar serat kasar, umumnya didominasi oleh komponen lignoselulosa (karbohidrat komplek) yang sulit dicerna (Sofyan dan Febrisiantosa, 2007). Untuk itu, sebelum digunakan sebagai bahan pakan alternatif, daun mengkudu perlu diberi perlakuan untuk meningkatkan nilai gizi dan lebih mudah dicerna oleh tubuh, yaitu dengan perlakuan fermentasi.

Sampai saat ini penelitian pemanfaatan silase daun mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai bahan penyusun pakan ternak ruminansia masih belum ada. Penelitian tentang penggunaan silase daun mengkudu (Morinda citrifolia) masih sebatas untuk pakan ternak unggas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan daun mengkudu (Morinda citrifolia) yang difermentasi memiliki potensi yang baik sebagai pakan unggas karena telah terbukti dapat meningkatkan performans ayam broiler (Susilo, 2007) dan menurunkan kandungan kolesterol karkas ayam broiler (Syahruddin et al., 2011). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang silase daun mengkudu (Morinda citrifolia) dalam formula pakan ternak ruminansia.

Teknologi silase adalah teknologi fermentasi yang biasa digunakan untuk mengawetkan hijauan makanan ternak terutama di peternakan-peternakan besar dan di negara-negara bermusim empat. Di Indonesia, teknologi silase ini belum dikenal secara luas, peternakan rakyat yang dikerjakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia secara tradisionil masih mengandalkan hijauan segar berupa rumput lapangan. Akibatnya peternakan rakyat tidak pernah dapat berkembang seperti halnya peternakan komersil, karena pengadaan pakan tergantung sepenuhnya pada alam (Erowati, 2000).

Silase merupakan salah satu bentuk konservasi (pengawetan) hijauan pakan. Prinsip pembuatan silase adalah menghentikan kontak antara hijauan dengan oksigen, sehingga dalam keadaan anaerob bakteri asam laktat dapat tumbuh dengan mengubah karbohidrat mudah larut menjadi asam laktat (Heinritz, 2011). Proses fermentasi yang sempurna menghasilkan asam laktat sebagai produk utamanya. Asam laktat yang dihasilkan akan berperan sebagai pengawet pada silase sehingga kerusakan hijauan atau serangan mikroorganisme pembusuk dapat dihindari. Bagi ternak yang mengkonsumsi silase, kandungan asam laktat di dalam silase digunakan sebagai sumber energi (Widyastuti, 2008).

Ada banyak mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai inokulum/starter fermentasi dimana dalam proses pembuatannya ditambahkan bahan yang mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik.

Hasil penelitian Haryoto (2001) menunjukkan bahwa jerami yang difermentasi dengan EM-4 selama 14 hari terjadi peningkatan protein kasar, dari 3,61% menjadi 9,08%. Menurut Darmawan (2010) jerami yang difermentasi dengan EM-4 selama 8 hari terjadi peningkatan protein kasar dari 3,50% naik menjadi 7,05% dan kadar lemak naik dari 1,12% menjadi 2,46%.

Saccharomyces cerevisiae merupakan organisme penghasil enzim amilase yang cukup berpotensi, selain bakteri dan kapang. Winarno (2004) menyatakan Saccharomyces cerevisiae atau yang sering disebut ragi merupakan organisme fakultatif yang mempunyai kemampuan menghasilkan energi dari senyawa organik dalam kondisi aerob maupun anaerob sehingga ragi dapat tumbuh dalam kondisi ekologi yang berbeda.

Bakteri selulolitik yang diisolasi dari rayap diketahui mempunyai kemampuan degradasi substrat sumber/mengandung selulosa cukup tinggi yang ditunjukkan dengan dihasilkannya zone bening dengan diameter masing-masing sebesar 0,605-0,697 cm; 0,5500,643 cm; 0,723-0,821 cm; dan 0,580-0,616 cm tiap 15µl kultur isolate bakteri pada substrat CMC, avicel, dedak padi dan jerami padi (Mudita, 2019). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Bacillus sp. strain BT3CL merupakan isolat unggul dengan kemampuan degradasi substrat sumber selulosa terbaik dengan aktivitas enzim endoglukanase dan eksoglukanase tertinggi. Bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL yang diisolasi dari rumen sapi bali mempunyai kemampuan degradasi substrat selulosa yang tinggi. Ditunjukkan dengan dihasilkannya diameter zone bening sebesar 0,431 – 0,525 cm; 0,507 – 0,664 cm; 0,706 – 0,755 cm; 0,592 – 0,628 cm tiap 15 µl kultur bakteri masing –masing pada CMC, avicel, dedak padi dan jerami.

Berbagai referensi telah menunjukkan bahwa penambahan berbagai mikroorganisme mampu meningkatkan kualitas silase yang dihasilkan, namun pengaruh penggunaan mikroba tertentu seperti EM-4, Saccharomyces cerevisiae Bacillus sp. strain BT3CL dan/atau Bacillus subtilis strain BR2CL terhadap kualitas silase daun mengkudu berdasarkan uji organoleptik dan kandungan nutrien belum diperoleh, sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan.

MATERI DAN METODE

Materi

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai September 2019 di Stasiun Penelitian Sesetan Fakultas Peternakan dan Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan silase adalah daun mengkudu, pollard, molases, air, Effective Microorganism-4 (EM-4), Saccaromyces serevisiae, Bacillus sp. strain BT3CL dan Bacillus subtilis strain BR2CL, reagen kimia, cairan rumen dan aquades.

Alat-alat yang digunakan antara lain timbangan/neraca digital, kantong plastik, ember, tali rafia, dan isolasi sebagai perekat plastik, kertas label, saringan, kain kasa, peralatan glas (glassware), cawan porselin, draugh force oven, tanur listrik, desikator, peralatan analisis mikro kjeldahl-vafodest (peralatan destruksi, destilasi dan titrasi), peralatan penangas listrik, pompa vacum, soklet, ruang asam, vortex, tabung reaksi, magnetix stirer dan alat tulis.

Zat kimia

Zat kimia yang digunakan adalah asam sulfat (H2SO4) pekat, natrium hidroksida (NaOH) 50% (50 g/100 ml), asam klorida (HCl) 0,1 N, tablet katalis (1 g Na2SO4 + 10 mg Se), indikator campuran (20 ml Bromo Chresol Geen 0,1% + 4 ml Metyl Red 0,1% dalam alkohol), H2SO4 0,3 N, NaOH 1,5 N, alkohol, aseton, petroleum benzena B.P. 60 - 80°C, kapas bebas lemak, dan aquades.

Inokulum

  • a.    Strater fermentasi

Isolat mikroorganisme sebagai sumber inokulum/starter fermentasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Effective Mikroorganisme-4/EM-4 Produksi PT. Songgolangit Persada (sebagai sumber inokulum kombinasi mikroba), Saccaromyces serevisiae (sumber inokulum yeast), serta Bacillus sp strain BT3CL dan Bacillus subtilis strain BR2CL (sumber inokulum bakteri).

  • b.    Pembuatan Larutan Inokulum

Medium yang digunakan dalam pembuatan inokulum pada penelitian ini adalah 5% starter fermentasi, 5% molases dan 90% air. (32,5 ml starter fermentasi, 32,5 ml molases dan 595 ml air).

Metode

Rancangan penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan yaitu : Perlakuan A : Silase daun mengkudu tanpa inokulum sebagai kontrol; Perlakuan B : Silase daun mengkudu menggunakan inokulum

kombinasi berbagai mikroorganisme EM-4; Perlakuan C : Silase daun mengkudu menggunakan inokulum yeast/ragi (Saccaromyces serevisiae) ; Perlakuan D : Silase daun mengkudu menggunakan inokulum bakteri Bacillus sp strain BT3CL; dan Perlakuan E : Silase daun mengkudu menggunakan inokulum bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL.

Pembuatan silase

Pembuatan silase dilakukan dengan cara mencampurkan 80% daun mengkudu (% DM basis) yang telah dipotong dicampur dengan 20% pollard (% DM basis) lalu ditambahkan larutan inokulum (sesuai perlakuan; EM-4, Saccaromyces serevisiae, Bacillus sp. Strain BT3CL atau Bacillus subtilis strain BR2CL) dengan perbandingan 1 vs 1 (secara teknis 650 gram DM campuran daun mengkudu dan polard dicampur dengan 650 ml larutan inokulum) dan diaduk secara merata lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik yang diikat erat sehingga tercipta keadaan anaerob. Bakalan silase disimpan di tempat yang sejuk dan tidak terkena matahari serta difermentasi selama 14 hari.

Variabel yang diamati

Variabel yang diamati meliputi : kualitas fisik dilakukan dengan mengamati nilai organoleptik silase yaitu jamur, warna, bau, dan tekstur silase; kualitas kimia dilakukan dengan analisis kandungan nutrisi silase yaitu: bahan kering (BK), protein kasar (PK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), kadar abu dan bahan organik (BO).

Analisis data

Data yang diperoleh pada penelitian ini khususnya data nilai organoleptik dianalisis menggunakan analisis frekuensi dengan menghitung frekuensi atau jumlah (persentase) panelis yang memilih skala tertentu (Fauziah, 2013), dan untuk data hasil analisis kandungan nutrien dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, dan apabila nilai rataan perlakuan menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai organoleptik

Hasil penilaian panelis terhadap kualitas silase daun mengkudu yang difermentasi inokulum berbeda berdasarkan uji organoleptik disajikan pada (Tabel 1). Nilai organoleptik dari silase suatu bahan/pakan akan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas bahan/pakan, bahan tambahan, faktor lingkungan dan starter/inokulum yang dipakai (Mudita, 2019). Pada penelitian ini, penggunaan berbagai jenis inokulum, baik inokulum tunggal maupun gabungan Asmara, N.D.E.A.D.P.S.M.,et al.,J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 474–489 Page 479

atau inokulan bakteri, yeast maupun kombinasinya dalam proses ensilase daun mengkudu telah menghasilkan silase dengan nilai organoleptik yang bervariasi yang dipengaruhi oleh kharakteristik dari inokulum yang dipakai.

Terhadap keberadaan jamur, hasil uji panelis pada (Tabel 1) menunjukkan bahwa silase daun mengkudu penelitian mempunyai skor 2 sampai 1 (kriteria baik – baik sekali). Penggunaan berbagai jenis inokulum mampu meningkatkan frekuensi perolehan skor 1 (sangat baik) dari silase yang diproduksi. Hal ini menunjukkan efektivitas dari berbagai inokulum dalam proses ensilase terutama dalam mempercepat tercapainya kondisi anaerob serta penurunan pH dari bahan pakan yang difermentasi (daun mengkudu) sehingga akan menghalangi terjadinya pertumbuhan jamur. McDonald et al. (2002) menyatakan pertumbuhan jamur pada silase disebabkan oleh belum maksimalnya kondisi kedap udara (anaerob), sehingga keberadaan oksigen (aerob) akan memberikan peluang tumbuhnya jamur. Kojo (2015) menambahkan semakin cepat terjadinya penurunan pH (keadaan asam) sebagai respon pertumbuhan mikroba terutama pembentuk asam laktat, jamur tidak dapat tumbuh dan berkembangbiak. Pada (Tabel 1) juga tampak bahwa penggunaan inokulum bakteri Bacillus sp. strain BT3CL dan Bacillus subtilis strain BR2CL dalam proses ensilase daun mengkudu mampu menghasilkan silase dengan kualitas baik sekali (100% skor 1). Hal ini menunjukkan penggunaan kedua jenis inokulum bakteri tersebut mampu mencegah pertumbuhan jamur hingga dihasilkannya silase dengan kualitas baik sekali.

Penilaian tekstur pada semua perlakuan secara keseluruhan penilaian tertinggi yaitu pada skoring 2, sehingga dengan tabel kriteria penilaian silase Deptan (1980) maka kualitas silase daun mengkudu penelitian secara keseluruhan digolongkan berkualitas baik. Menurut Kartadisastra (1997) silase yang baik kualitasnya adalah yang teksturnya tidak lembek, tidak berair, tidak berjamur dan tidak menggumpal. Untuk menilai tekstur ini diperlukan indra peraba untuk membedakan mana silase yang berkualitas baik dan tidak. Menurut Macaulay (2004) tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal fermentasi, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir dan lunak, sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) mempunyai tekstur kering. Pada (Tabel 1) juga tampak bahwa penggunaan inokulum yeast/ragi Saccharomyces cereviseae (C) menghasilkan silase daun mengkudu terbaik dengan skor 2 (80%) dan skor 1 (20%). Hal ini disinyalir sebagai akibat efektivitas perombakan dinding sel oleh yeast/ragi sehingga tekstur bahan (daun mengkudu) menjadi lebih lunak/lembut. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa yeast Saccharomyces cereviseae mempunyai laju pertumbuhan yang cepat serta merupakan mikroorganisme yang bekerja terlebih dahulu (sebelum bakteri memulai aktivitasnya) dalam dalam proses fermentasi Asmara, N.D.E.A.D.P.S.M.,et al.,J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 474–489 Page 480

perombakan suatu bahan pakan. Dengan aktivitas enzim yang dimilikinya terutama enzim pendegradasi serat (enzim fibrolitik) akan merombak senyawa kompleks bahan pakan menjadi senyawa lebih sederhana sehingga tekstur bahan akan menjadi lebih lunak.

Tabel 1. Kualitas silase daun mengkudu yang difermentasi inokulum berbeda berdasarkan uji organoleptik

Variabel

Skoring

Jumlah Frekuensi

A

B

Perlakuan C

D

E

1

1

5

8

10

10

2

9

5

2

0

0

Jamur

3

0

0

0

0

0

4

0

0

0

0

0

1

4

2

2

1

2

2

3

7

8

5

6

Tekstur

3

2

1

0

4

1

4

1

0

0

0

1

1

2

1

2

3

2

2

0

0

2

2

2

Warna

3

7

8

4

3

3

4

1

1

2

2

3

1

0

0

0

0

0

2

7

6

7

8

10

Bau

3

3

4

3

2

0

4

0

0

0

0

0

Keterangan :

A  : Daun mengkudu yang difermentasi tanpa inokulum

B  : Daun mengkudu yang difermentasi inokulum kombinasi mikroorganisme/Effective Microorganisme-

4/EM-4

C  : Daun mengkudu yang difermentasi inokulum yeast/ragi Saccaromyces serevisiae

D  : Daun mengkudu yang difermetasi inokulum bakteri Bacillus sp strain BT3CL

E  : Daun mengkudu yang difermentasi inokulum bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL

Hasil penilaian warna dari silase daun mengkudu secara keseluruhan skor penilaian terbanyak yaitu pada skoring 3, sehingga dengan tabel kriteria penilaian silase Deptan (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas sedang. Saun dan Heinrichs (2008) yang menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik akan memiliki warna seperti bahan asalnya. Perubahan warna pada bahan silase disebabkan karena proses fermentasi yang kedap udara, Reksohadiprodjo (1998) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang mengalami ensilase disebabkan oleh proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai oksigen tanaman habis. Lingkungan yang kedap udara akan memiliki temperatur yang lebih tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan

warna. Temperatur yang tidak dapat terkendali akan menyebabkan silase berwarna hitam, hal ini menyebabkan turunnya nilai kandungan nutrisi pakan, karena banyak sumber karbohidrat yang hilang, keadaan ini terjadi pada temperatur 55ºC (Kojo, 2015). Pada (Tabel 1) juga tampak bahwa penggunaan inokulum bakteri Bacillus sp. strain BT3CL (D) menghasilkan warna silase daun mengkudu dengan frekuensi perolehan skor 1 tertinggi dan lebih banyak dibandingkan penggunaan perlakuan lainnya (30% vs 10-20%). Hal ini kemungkinan sebagai respon tingginya laju pertumbuhan dan aktivitas selulolitik dari bakteri Bacillus sp. (Maranatha, 2008; Anindyawati, 2010) sehingga akan mempersingkat fase aerobik dalam proses ensilase sehingga warna silase yang dihasilkan lebih baik. Hal ini juga didukung dengan adanya pH silase yang paling rendah yang menunjukkan baik dan cepatnya proses ensilase yang berlangsung.

Hasil uji panelis menunjukkan bahwa pada penilaian bau pada semua perlakuan secara keseluruhan penilaian tertinggi yaitu pada skoring 2, sehingga dengan tabel kriteria penilaian silase Deptan (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas baik. Pada pengamatan bau, silase yang berkualitas baik yaitu memiliki bau asam khas silase. Aroma yang dihasilkan pada silase daun mengkudu ini aromanya seperti tape dimana aroma tersebut menandakan bahwa silase tersebut beraroma asam sesuai dengan pendapat Saun dan Heinrichs (2008) bahwa silase yang beraroma seperti cuka diakibatkan oleh pertumbuhan bakteri asam asetat (Bacili) dengan produksi asam asetat tinggi, produksi etanol oleh yeast atau kapang dapat mengakibatkan silase beraroma seperti alkohol. Hasil yang sejalan juga ditunjukkan pada penelitian ini, dimana penggunaan inokulum bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL (E) dan Bacillus sp. strain BT3CL (D) masing-masing menghasilkan silase daun mengkudu dengan skor 2 (baik) sebanyak 100% dan 80% lebih tinggi daripada pemberian perlakuan lainnya (60 – 70%). Lebih tingginya aroma asam yang dihasilkan pada penggunaan inokulum bakteri (D dan E) secara nyata ditunjukkan dengan adanya pH silase daun mengkudu yang lebih rendah pada perlakuan tersebut ( 4,7797 dan 4,7790 Vs 4,8513-4,9460).

Penilaian semua perlakuan secara keseluruhan skoring 1 sebanyak 28%, skoring 2 sebanyak 44,5%, skoring 3 sebanyak 22%, dan skoring 4 sebanyak 5,5%. Penilaian tertinggi yaitu pada skoring 2 sehingga dengan tabel kriteria penilaian silase Deptan (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas baik.

Kandungan nutrien

Terhadap kandungan nutrien silase daun mengkudu yang dihasilkan, penggunaan berbagai jenis inokulum mampu meningkatkan kualitas nutrien silase yang ditunjukkan

terjadinya peningkatan kandungan protein dan lemak kasar serta penurunan kandungan serat kasar silase daun mengkudu yang dihasilkan, namun terhadap kadar bahan kering, bahan organik dan abu menunjukkan nilai yang bervariasi (Tabel 2). Hal ini sebagai akibat terjadinya perubahan kandungan nutrien pada saat yang bersamaan ada yang naik dan ada yang turun yaitu peningkatan kadar protein kasar dan lemak kasar serta penurunan kadar serat kasar yang merupakan bagian dari komponen nutrien yang dievaluasi (bahan kering maupun bahan organik) sehingga nilai/konsentrasi bahan kering maupun bahan organik/anorganik akan menjadi bervariasi, apalagi nilai didasarkan pada nilai persentase. Parakkasi (1990) juga mengungkapkan terjadinya peningkatan dan penurunan nilai nutrien tertentu dari suatu bahan/substrat secara bersamaan akan mengakibatkan nilai nutrien keseluruhan menjadi beragam. Leng (1997) juga menegaskan semakin kuat/tingginya perubahan konsentrasi suatu nutrien akan sangat menentukan respon perubahan dari komponen nutrien utama.

Terhadap kandungan bahan kering/BK dari silase daun mengkudu, hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan inokulum kombinasi mikroba/EM-4 (B) meningkatkan secara nyata (P<0,05) rataan BK silase, sedangkan penggunaan inokulan yeast/ragi Saccharomyces cereviseae (C) dan inokulum bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL (E) menghasilkan silase dengan kadar BK berbeda tidak nyata (P>0,05) dibandingkan silase yang diproduksi tanpa inokulum (A) (Tabel 2). Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan inokulum yang mengandung berbagai jenis mikroorganisme mampu mengurangi terjadinya leaching/hanyut/hilangnya nutrien selama proses ensilase, disamping adanya tambahan pasokan nutrien yang bersumber dari mikroorganisme sehingga kandungan bahan kering silase sampel menjadi meningkat. Sedangkan penggunaan inokulum tunggal baik yeast (C) maupun bakteri (D dan E) tambahan pasokan nutrien yang bersumber dari inokulum relatif terbatas sehingga konversi dari kehilangan nutrien oleh tambahan pasokan nutrien sel tubuh mikroba terbatas sehingga kandungan bahan kering total dari silase sampel berbeda tidak nyata dengan kontrol bahkan lebih rendah seperti yang ditunjukkan oleh silase yang difermentasi inokulum bakteri Bacillus sp. strain BT3CL (D). Waluyo (2002) menyatakan kehilangan bahan kering yang baik selama ensilase yaitu sebesar <16,1%. Penurunan kadar bahan kering silase juga dapat disebabkan oleh tingginya laju fermentasi yang akan meningkatkan perombakan senyawa kompleks menjadi komponen penyusunnya (senyawa sederhana), gas fermentasi (CO2, CH4, NH3, H2S) dan air sehingga kadar bahan kering menjadi menurun. Surono et al. (2006) menyatakan bahwa peningkatan kandungan air selama ensilase menyebabkan kandungan bahan kering silase menurun, sehingga menyebabkan

kehilangan bahan kering. Hal ini didukung oleh Novianty (2014) semakin tinggi kadar air maka semakin menurun kadar bahan kering dalam suatu bahan.

Tabel 2. Kandungan nutrien dari silase daun mengkudu (Morinda citrifolia) yang difermentasi inokulum berbeda

Variabel(%)

A

B

Perlakuan1) C

D

E

SEM2)

Bahan Kering

97,34b

97,67a

97,37b

96,63c

97,60ab3)

0,07

Abu

13,09ab

13,15ab

12,70c

12,98b

13,23a

0,05

Bahan Organik

86,91bc

86,85bc

87,30a

87,02b

86,77c

0,05

Protein Kasar

19,22c

20,53a

20,23b

20,31ab

20,45ab

0,08

Serat Kasar

14,50a

12,62b

9,57e

11,45c

10,79d

0,14

Lemak Kasar

2,72b

3,25a

3,39a

3,44a

3,29a

0,11

Keterangan:

1) Silase daun mengukudu yang difermentasi tanpa inokulum sebagai kontrol (A). Daun mengkudu yang difermentasi inokulum kombinasi mikroorganisme/Effective Microorganisme-4/EM-4 (B). Daun mengkudu yang difermentasi inokulum yeast/ragi Saccaromyces serevisiae (C). Daun mengkudu yang difermetasi inokulum bakteri Bacillus sp strain BT3CL (D). Daun mengkudu yang difermentasi inokulum bakteri Bacillus subtilis strain BR2CL (E).

2) SEM : Standard Error of The Treatment Means

3) Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Terhadap kandungan bahan organik dan anorganik/abu, penggunaan inokulum yeast/ragi Saccharomyces cereviseae (C). Rata-rata kadar abu pada perlakuan A adalah sebesar 13,09%. Pada perlakuan C, D dan E kandungan abu masing-masing sebesar 12,70%, 12,98% dan 13,23% secara statistik berbeda nyata (P<0,05), sedangkan pada perlakuan A dan B secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05) kemungkinan disebabkan karena proses fermentasi yang mampu merubah kadar abu suatu bahan, namun dapat mempengaruhi kadar bahan organik. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwadaria et al. (1997) bahwa abu secara absolut tidak berubah, maka peningkatan kadar abu menunjukkan berkurangnya bahan organik substrat. Kecendrungan peningkatan kadar abu silase jerami padi disebabkan oleh penurunan bahan organik akibat dari peningkatan populasi mikroba yang memerlukan lebih banyak bahan organik, sehingga bahan organik akan menurun.

Kadar bahan organik pada perlakuan A dan B menunjukkan analisis statistik menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05), namun pada perlakuan C, D dan E analisis statistik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Hal ini disebabkan karena persentase bahan organik dipengaruhi oleh persentase bahan lainnya. Menurut Amrullah (2003) kandungan bahan organik suatu bahan pakan tergantung pada komponen lainnya seperti bahan kering dan abu. Terjadinya kecendrungan penurunan kandungan bahan organik tersebut kemungkinan disebabkan karena penambahan cairan rumen yang dapat meningkatkan populasi mikroba dalam silase jerami padi, peningkatan populasi mikroba akan meningkatkan kebutuhan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan mikroba, sehingga mikroba akan merombak bahan organik untuk Asmara, N.D.E.A.D.P.S.M.,et al.,J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 474–489 Page 484

memenuhi kebutuhannya. Sesuai dengan pendapat Hartadi et al. (1997) bahwa peningkatan jumlah mikrobia akan mengakibatkan semakin tingginya bahan organik yang tercerna oleh mikroba. Walaupun peningkatan populasi mikroba juga dapat sebagai bahan organik namun tidak sebanyak dengan bahan organik yang digunakan oleh mikroba itu sendiri. Menurut pendapat Kristianti et al. (2015) adanya mikroba fermentor juga akan memberikan pasokan nutrien ke dalam bahan (ransum) terfermentasi namun dalam jumlah yang lebih rendah dari nutrien yang termanfaatkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar protein kasar pada Perlakuan B berbeda nyata (P<0,05) dengan jumlah rataan sebesar 20,53% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan C dan berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan D dan E. Peningkatan protein kasar pada perlakuan dengan penambahan Effective microorganism 4 (EM-4) kemungkinan besar disebabkan oleh mikroba dalam Effective microorganism 4 (EM-4) yang berkembang, sehingga populasi mikroba meningkat yang juga akan meningkatkan kadar protein kasar silase. Menurut Leng (1997) komposisi sel tubuh bakteri adalah relatif konstan yang terdiri atar 32 - 42% protein murni, 10% senyawa nitrogen, 8% asam nukleat, 11-15% lipid, 17% karbohidrat dan 13% abu. Block (2006) mengungkapkan bahwa asam amino mikroba khususnya bakteri mempunyai kualitas tinggi dengan komposisi asam amino yang setara bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan profil asam amino susu, tepung ikan, jagung kuning, tepung darah maupun tepung canola. Populasi mikroba yang tinggi pada proses fermentasi juga akan meningkatkan kandungan protein bahan melalui sintesis protein tubuhnya. Sesuai dengan pernyataan Arora (1995) sintesis protein adalah proses memproduksi senyawa-senyawa polipeptida dalam tubuh sel yang berguna untuk pewarisan sifat secara genetis kepada keturunannya, sehingga mikrobia akan berkembang biak dan akan meningkatkan kandungan protein kasar dari bahan pakannya.

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar serat kasar pada perlakuan B, C, D dan E nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A yang memiliki kandungan serat kasar 14,50%. Menurunnya kandungan serat kasar secara signifikan pada perlakuan B, C, D dan E disebabkan oleh proses fermentasi yang terjadi secara maksimal akibat penambahan beberapa inokulum sebagai berikut, Effective microorganism 4 (EM-4) pada perlakuan B, Saccharomycess cerevisiae (ragi) pada perlakuan C, Bacillus sp. strain BT3CL pada perlakuan D, dan Bacillus suptilis strain BR2CL pada perlakuan E , selain sebagai penyumbang mikroba inokulum juga dapat sebagai bahan aditif

atau suplemen yang akan digunakan mikroba untuk hidup dan berkembang. Sesuai dengan pendapat Trisnadewi et al. (2017) kandungan serat kasar semakin meningkat dengan menurunnya suplementasi pollard dan meningkatnya suplementasi molases pada 20% maupun 10%. Populasi mikroba yang meningkat akibat dari tambahan inokulum tersebut juga akan meningkatkan mikroba selulolitik yang akan menghasilkan enzim selulase yang akan merombak serat kasar dengan cara mendegradasi selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana berupa glukosa untuk dimanfaatkan kembali oleh mikroba untuk hidup dan berkembang. Partama et al. (2012) menyatakan meningkatnya populasi bakteri selulolitik menyebabkan meningkatnya degradasi selulosa yang dirombak menjadi oligosakarida dan glukosa.

Analisis statistik menunjukkan bahwa kadar lemak kasar pada perlakuan A (kontrol) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan perlakuan A, B, C, D dan E. Kemungkinan disebabkan karena aktifitas mikroba yang tinggi, sehingga pada saat proses fermentasi aktifitas mikroba yang menghasilkan asam lemak dapat di degradasi oleh mikroba lipolitik. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmosuwito (1985) bahwa mikrobia lipolitik ini akan menghasilkan enzim lipase untuk mendegradasi lemak menjadi gliserol dan asam-asam lemak yang digunakan sebagai sumber energi. Di sisi lain kecendrungan terjadinya peningkatan kadar lemak kasar disebabkan oleh penambahan cairan rumen sebanyak 50 ml/kg bahan dapat lebih meningkatkan aktifitas mikroba, sehingga asam lemak yang dihasilkan mikroba pada saat proses fermentasi tidak dapat didegradasi sepenuhnya oleh mikroba lipolitik. Soeparno (1998) menyatakan bahwa pada proses fermentasi silase terdapat aktivitas bakteri yang menghasilkan asam lemak cukup tinggi, sehingga kandungan lemak cenderung meningkat.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan inokulum bakteri Bacillus sp strain BT3CL dan Bacillus subtilis srain BR2CL menghasilkan nilai organoleptik terbaik. Penggunaan inokulum ragi (Saccaromyces serevisiae) dan inokulum kombinasi (EM-4) menghasilkan kandungan nutrien terbaik.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat dampak penambahan inokulum berbeda terkait penggunaan silase daun mengkudu sebagai bahan pakan tambahan sumber protein bagi ternak secara langsung.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS dan seluruh responden yang telah bekerja sama dengan baik dalam pengumpulan data selama penelitian ini. Terimakasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Penerbit Satu Gunung Budi, Bogor.

Anindyawati, T. 2010. Potensi Selulase dalam Mendegradasi Lignoselulosa Limbah Pertanian untuk Pupuk Organik. Berita Selulosa. 45(2) : 70 - 79.

Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Retno Muwarni).

Bestari, J., A. Parakkasi, dan A. Susilo, 2005. Pengaruh Pemberian Tepung Daun Mengkudu (Morinda citifolia linn) yang Direndam Air Panas Terdahap penampilan Ayam Broiler. Balai Penelitian Ternak, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 702-713.

Block, E. 2006. Rumen Microbial Protein Production Are, We Missing an Oppurtunity to Improve Dietary and Economic Efficiencies in Protein Nutrition of the High Producing Dairy Cow Industry. Presentation High Plains Dairy Conference.

Darmawan, K. 2010. Jerami padi fermentasi pakan alternatif. Universitas. Diakses pada tanggal 27 Januari 2020 dari. http://EM-4baliorganik.com

Darmosuwito, S. 1985. Beberapa Aspek Mikrobiologis pada Fermentatif Pangan. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Departemen Pertanian. 1980. Silase sebagai makanan ternak. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Laporan Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.

Erowati, A. S. D. A. 2000. Penerapan Teknologi Silase Hijauan makanan Ternak (HMT) di Jombang Jawa Timur. Jurnal Teknologi Lingkungan.1(2) : 184-188.

Fauziah, T. 2013. Analisis Kualitas Produk Surabi Berbasis Organoleptik pada Pedagang Surabi di Kota Bandung. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.

Febriani , M dan Titiek. I. 2008. Penggunaan Tepung Daun Mengkudu sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam Pakan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Laporan Penelitian Universitas Hang Tuah.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A. D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Haryoto, 2001. Meningkatkan Protein Kasar Jerami Padi dengan teknologi EM-4. Akademi Peternakan Karanganyar, Karanganyar.

Heinritz, S. 2011. Ensiling Suitability of High Protein Tropical Forages and Their Nutritional Value for Feeding Pigs. Diploma Thesis. University of Hohenheim. Stutgart.

Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia (Sapi, Kerbau, Domba, Kambing). Kanisius, Yogyakarta.

Kojo, R. M. 2015. Pengaruh penambahan dedak padi dan tepung jagung terhadap kualitas fisik silase rumput gajah (Pennisetum purpureum CV.Hawaii). Zootek. 35(1): 21-29

Kristianti, N. W. D., I M. Mudita, dan N. W. Siti. 2015. Kandungan Nutrien Ransum Sapi Bali Berbasis Limbah Pertanian yang Difermentasi dengan Inokulan dari Cairan Rumen dan Rayap (termites sp). Laporan Hibah Penelitian Unggulan Udayana. Universitas Udayana, Denpasar.

Leng, R. A. 1997. Tree Foliage In Ruminat Nutrition. Food and Agriculture Organization of The United Nation Rome, Italy.

Macaulay, A. 2004. Evaluating Silage Quality. http://www.agric.gov.ab.com, diakses : 27 Januari 2020.

Maranatha, B. 2008. Aktivitas Enzim Selulase Asal Indonesia pada berbagai Substrat Limbah Pertanian. Departemen Biologi. FMIPA. IPB. Bogor.

McDonald, P., R. A. Edwards and J. F. D. Greenhalg. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Prentice Hall, London.

Mudita, I M. 2019. Penapisan dan Pemanfaatan Bakteri lignoselulolitik Cairan Rumen Sapi Bali dan Rayap sebagai Inokulan dalam Optimalisasi Limbah Pertanian sebagai Pakan Sapi Bali. Disertasi Program Doktor. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.

Novianty, N. 2014. Kandungan Bahan Kering Bahan Organik Protein Kasar Ransum Berbahan Jerami Padi Daun Gamal Dan Urea Mineral Molases Liquid Dengan Perlakuan Yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar.

Parakkasi, A. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Monogastrik. Angkasa, Bandung.

Partama, I. B. G., I M. Mudita, N. W. Siti, I W. Suberata, dan A. A. A. S. Trisnadewi. 2012. Isolasi, Identifikasi dan Uji Aktivitas bakteri serta Fungi Lignoselulolitik Limbah Isi Rumen dan Rayap Sebagai Sumber Inokulan dalam Pengembangan Peternakan Sapi Bali Berbasis Limbah. Laporan Penelitian Invensi. Universitas Udayana, Denpasar.

Purwadaria T., T. Haryati, A.P. Sinurat, I.P. Kompiang, Supriyati and J. Darma. 1997. The Correlation Between Amylase and Selulase Activity with Starch and Fiber Content on the Fermentation of “Cassapro” (Cassava Protein) with Aspergillus niger. Dalam : Proceeding of The Indonesian Biotechnology Conference 1997. The Indonesian

Biotechnology Consortium IUC Biotechnology, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 1 : 379-390

Reksohadiprodjo, S. 1998. Pakan Ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta.

Saun R. J. V. and A. J. Heinrichs. 2008. Troubleshooting silage problems. How to identify potential problem. In: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference, Pensylvania. Penn State Collage. P. 2-10.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke tiga. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Sofyan, A. dan Febrisiantosa, A. 2007. Pakan Ternak dengan Silase Peneliti UPT BPPTK LIPI, Yogyakarta. Sumber: Majalah INOVA Edisi 5 Desember 2007.

Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: Sumantri, B. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Surono, M. Soejono, dan S.P.S. Budhi. 2006. Kehilangan Bahan Kering Dan Bahan Organik Silase Rumput Gajah Pada Umur Potong Dan Level Aditif Yang Berbeda. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Susilo, A. 2007. Efek penggunaan daun mengkudu yang difermentasi dan diensilase terhadap performans ayam broiler. Tesis. Pascasarjana Ilmu Ternak. Institut Pertanian Bogor.

Syahruddin, E. Abbas, E. Purwati dan Heryandi. 2011. Pengaruh pemberian daun mengkudu (Morinda citrifolia L.) fermentasi terhadap kandungan kolesterol karkas ayam broiler . JITV 16 (4): 266-271.

Trisnadewi, A. A. A. S., I G. L. O. Cakra., dan I W Suarna. 2017. Kandungan nutrisi silase jerami jagung melalui fermentasi pollard dan molasses. Majalah Ilmiah Peternakan.

Waluyo, B. 2002. Pengaruh Aras Pemberian Tetes dan Lama Pemeraman yang Berbeda Terhadap Protein Kasar dan Serat Kasar Silase Hijaun Sorgum. Laporan Penelitian. Universitas Diponegoro. Semarang.

Widyastuti, Y. 2008. Fermentasi silase dan manfaat probiotik silase bagi ruminansia. Media Peternakan 31(3) : 225-232.

Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gedia Pustaka Utama.

Asmara, N.D.E.A.D.P.S.M.,et al.,J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 474–489 Page 489