e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science email: [email protected]

Submitted Date: February 12, 2020

Accepted Date: March 2, 2020


Editor-Reviewer Article;: A.A.Pt. Putra Wibawa & Ni Wayan Siti

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara In-Vitro dari Silase Kombinasi Batang Pisang dengan Kembang Telang (Clitoria ternatea)

Dewi, O., N. N. Suryani, dan I M. Mudita

PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Jl. P.B. Sudirman, Denpasar

Telepon: +6281236401945 email: [email protected]

ABSTRAK

Batang pisang berpotensi sebagai pakan karena produksinya yang tinggi, namun mudah rusak karena mengandung banyak air. Oleh karena itu perlu alternatif pengolahan seperti silase. Penelitian bertujuan untuk mengetahui level penambahan Clitoria ternatea pada silase batang pisang ditinjau dari kecernaan secara in vitro. Pembuatan silase dilaksanakan di Farm Sesetan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan, Gang Markisa, Denpasar, selama 4 minggu. Analisis kecernaan secara invitro dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana, selama 12 minggu. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan A (65% batang pisang + 30% pollard + 5% (molasis + EM4)), B (55% batang pisang + 10% C. ternatea + 30% pollard + 5% (molasis + EM4)), C (45% batang pisang + 20% C. ternatea + 30% pollard + 5% (molasis + EM4)), D (35% batang pisang + 30% C. ternatea + 30% pollard + 5% (molasis + EM4)). Variable yang diamati adalah kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO), bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), dan total digestible nutrient (TDN). Hasil penelitian menunjukkan persentase kecernaan bahan kering dan bahan organik mengalami peningkatan yang berbeda nyata (P<0,05) serta peningkatan tertinggi terjadi pada perlakuan D masing-masing sebesar 70,40% dan 73,08%. Kandungan BETN dan TDN menunjukan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05), namun secara kuantitatif mengalami peningkatan dengan nilai tertinggi pada perlakuan D masing-masing 38.39% dan 78,58%. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan pemberian 20% Clitoria ternatea menghasilkan KCBK, KCBO in vitro tertinggi.

Kata kunci: Batang Pisang, Kembang Telang, Kecernaan In-Vitro, Silase

The In-Vitro Digestibility of Dry Matter and Organic Matter of Banana Stem Combined With Kembang Telang (Clitoria ternatea) Silage

ABSTRACT

Banana stems have the potential as a source of feed because of its high rate of production, but it is easily spoiled due to it containing high level of water content. Because of this, it is necessary to use alternatives process such as silage. The purpose of this study is to identify the adequate level of Clitoria ternatea addition into banana stem silage that was measured through in vitro digestibility. The silage was created at the Universitas Udayana Faculty of Husbandry’s Sesetan Farm, which is at Sesetan Street, Substreet of Markisa, Denpasar, for 4 weeks. The in-vitro digestibility analysis was conducted at the Universitas Udayana Faculty of Husbandry’s Nutrition and Animal Feed Laboratory for 12 weeks. Completely Randomized Design (CRD) was used in this experiment with 4 treatments and 4 replicates. The treatment consists of A (65% banana stem + 30% pollard + 5%


(mollases+EM4)), B (55% banana stem + 10% C. ternatea + 30% pollard + 5% (mollases+EM4)), C (45% banana stem + 20% C. ternatea + 30% pollard + 5% (mollases+EM4)), and D (35% banana stem + 30% C. ternatea + 30% pollard + 5% (mollases+EM4)). The variables measured were the dry matter digestibility, organic matter digestibility, nitrogen free extract/NFE, and total digestible nutrients/TDN. The results showed that the dry matter and organic matter digestibility percentage increase has a significantly (P<0.05) and treatment D shows the highest increase for dry matter and organic matter digestibility of 70.40% and 73.08%, respectively. Nitrogen free extracts and total digestible nutrients showed that no significantly (P>0.05), but quantitatively increases with treatment D having the highest rate of nitrogen free extracts and total of digestible nutrients of 38.39% and 78.58%, respectively. The concluded of this study showed that the highest rate of dry matter and organic matter digestibility increased by adding 20% of Clitoria ternatea.

Keywords: Banana stem, Clitoria ternates, In-vitro Digestibility, Silage,

PENDAHULUAN

Pakan memiliki peranan penting dalam keberhasilan usaha peternakan, karena 60-80% total biaya produksi digunakan untuk biaya pakan (Siregar, 2005). Hijauan pakan yang cukup dan berkualitas sangat penting dalam usaha peternakan, namun hanya tersedia pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau hijauan sangat terbatas. Mengatasi hal tersebut diperlukan teknologi silase dari limbah pertanian sebagai bahan pakan. Salah satu limbah pertanian yang masih banyak ditemukan dan berpotensi yaitu batang pisang. Batang pisang berpotensi tinggi sebagai pakan mengingat produksinya yang tinggi, namun mudah rusak akibat kandungan kadar air yang tinggi dan memiliki kualitas nutrisi yang rendah (Kurniati, 2016). Oleh karna itu perlu adanya alternatif pembuatan silase dengan menambahkan bahan lain seperti kembang telang (Clitoria ternatea) yang tinggi protein untuk meningkatkan kualitas nutrisinya.

Kalamani dan Gomez (2001) menyatakan protein kasar tanaman berkisar 14-20%, sedangkan kadar protein kasar dalam daun adalah 21,5% Hal ini menunjukkan Clitoria ternatea ini berpotensi sebagai sumber protein dan energi untuk ternak ruminansia. Alternantif silase diharapkan mampu mereduksi kandungan serat kasar menjadi lebih rendah sehingga akan berdampak positif terhadap peningkatan bahan ektak tanpa nitrogen BETN. Peningkatan nilai BETN akan meningkatkan kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO) maupun total digestible nutrien(TDN).

Silase kombinasi batang pisang dan Clitoria ternatea diharapkan mampu dijadikan sebagai pakan alternatif yang berpotensi dikembangkan dalam optimalisasi pemanfaatan limbah. Hasil penelitian Thiasari dan Setiyawan (2016) menunjukkan peningkatan KCBK pada silase pakan complete feed batang pisang terfermentasi dengan level protein berbeda.

Penambahan level protein 12%, 14%, dan 16% mendapatkan KCBK masing-masing 71,58%,75,06%, dan 74,32%, Peningkatan KCBK ini berkorelasi positif terhadap nilai KCBO, masing-masing KCBO yaitu65,53%, 68,50%, dan 69,82%. Hal ini menunjukkan dengan penambahan bahan pakan lain sebagai sumber protein dalam pembuatan silase batang pisang akan meningkatkan nilai KCBK dan KCBO. Oleh karena itu penelitian ini di lakukan karena sampai saat ini belum ada informasi mengenai silase batang pisang dangan Clitoria ternatea dan diharapkan nantinya dapat dimanfaatkan sebagai pakan yang mampu mengoptimalkan produktifitas ternak.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level penambahan Clitoria ternatea pada silase batang pisang yang di tinjau dari kecernaan secara in-vitro. Pembuatan silase dilaksanakan di Farm Sesetan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan, Gang Markisa, Denpasar dan analisis kecernaan secara in vitro dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan A (65% batang pisang + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)), B (55% batang pisang + 10% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)), C (45% batang pisang + 20% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)), D (35% batang pisang + 30% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)). Pertama pembuatan silase dilakukan sesuai dengan perlakuan dan di diamkan selama 21 hari untuk mendapatkan hasil silase. Selanjutnya akan di ambil sampling silase setiap ulangan dari perlakuan A, B, C dan D untuk dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutriennya serta untuk mencari/menghitung nilai BETN serta analisis kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in-vitro menggunakan metode Minson dan Me Leod (1972) yang dimodifikasi.

Variable yang diamati pada penelitian ini adalah kecernaan in-vitro bahan kering/KCBK, kecernaan in-vitro bahan organik/KCBO, Bahan ekstrak tanpa nitrogen/BETN dan total digestible nutrient/TDN.

  • a.    Kecrnaan bahan kering (KCBK)

    KCBK (%) =


BK sampel (g)- BK residu (g)

BK sampel (g)


X 100%


  • b.    Kecernaan bahan organik (KCBO)

    KCBO (%) =


BO sampel (g)- BO residu (g)

X 100%


BO sampel (g)

  • c.    Total Digestible Nutrien/TDN, dihitung dengan rumus Sutardi (2001)

TDN = 2,79 + (1,17 ×PK) + (1,74 × LK) – (0,29 × SK) + (0,810 x BETN)

  • d.    Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN), dihitung menggunakan rumus Tillman et al. (1998), yaitu:

BETN = 100% - (%PK + %LK + %SK + %Abu)

Hasil analisis kandungan nutrien dan produk metabolit dari silase batang pisang yang ditambahkan dengan berbagai level kembang telang pada penelitian lainnya (Suarna, et al., 2019) disajikan pada Tabel 1 dan 2.

  • Tabel 1. Kandungan Nutrisi Silase Batang Pisang Dengan Penambahan Berbagai Level Clitoria Ternatea (%)

Parameter

Perlakuan

SEM

A

B

C

D

Bahan kering (% segar basisi)

16,22a

17,00b

19,92c

24,87d

0,90

Bahan organik (% DM basis)

87,74a

88,89b

90,75c

91,51d

0,34

Protein kasar

11,11a

12,08b

14,30c

15,90d

0,49

Serat kasar

21,58a

21,22a

21,14a

19,00a

1,91

Sumber: Suarna et al. (2019)

Tabel 2. Produksi Metabolik Kecernaan In Vitro Silase Batang Pisang dengan Penambahan Berbagai Level Clitoria Ternatea

Perlakuan

Parameter

A        B        C         D

SEM

NH3 (mMol)                 5,03a          6,43a          7,26a          9,44a

VFA Total (mMol)          129,33a       132,75a       133,82a        132,43a

0,49

3,04

Sumber: Suarna et al. (2019)

Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam atau analisis varians (Anova) dan apabila terdapat perbedaan nyata antar perlakuan (P<0,05) analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Steel dan Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecernaan bahan kering

Kecernaan suatu bahan pakan merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas bahan pakan. Semakin tinggi kecernaan maka, semakin tinggi peluang nutrien yang terserap sehingga menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak. KCBK diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserap tubuh yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan

kering (Boangmanalu et al., 2016). Kecernaan pakan adalah bagian ransum yang tidak diekskesikan di dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh hewan (Suryani et al., 2015).

Analisis statistik terhadap kecernaan bahan kering silase batang pisang dengan berbagai level Clitoria ternatea menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). KCBK silase batang pisang dengan penambahan 10%, 20%, dan 30% Clitoria ternatea (Perlakuan B, C dan D) masing-masing 62,25%, 68,64%, 70,40% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A yang mempunyai nilai KCBK sebesar 58,25%. Penambahan 20% Clitoria ternatea(C)sudah menunjukkan peningkatan tertinggi secara statistik. Sementara secara kuatitatif penambahan 30% Clitoria ternatea(D)menunjukkan nilai tertinggi sebesar 20,86%dari perlakuan A, 13,09% dari perlakuan B, dan 2,56% dari perlakuan C.Data pada tabel 3 menunjukkan peningkatan persentase Clitoria ternatea juga meningkatkan KCBK, hal ini disebabkan oleh kandungan protein tinggi dan SK yang rendah (Tabel 1).

Tabel 3. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara In-vitro serta Kandungan BETN dan TDN dari Silase Batang Bisang dengan Berbagai Level Clitoria ternatea

Parameter

Perlakuan

SEM

A

B

C

D

Kecernaan BK (%)

58,25a

62,25b

68,64c

70,40c

2,70

Kecernaan BO (%)

60,95a

69,82b

71,53bc

73,08c

468

BETN

33,59a

35,99a

36,95a

38,39a

1,81

TDN

73,97a

73,92a

75,15a

78,58a

3,24

Keterangan :

A: 65% batang pisang + 30% pollard + 5% (molases + EM4)

B: 55% batang pisang + 10% C. ternatea + 30% pollard + 5% (molases + EM4)

C: 45% batang pisang + 20% C. ternatea + 30% pollard + 5% (molases + EM4)

D: 35% batang pisang + 30% C. ternatea + 30% pollard + 5% (molases + EM4)

Tingginya kandungan protein disebabkan karena Clitoria ternatea merupakan pakan sumber protein. Kandungan protein kasar Clitoria ternatea pada daun 21,3% dan biji 42,5% (Heuzé et al., 2012). Tingginya kandungan protein pada Clitoria ternatea juga meningkatkan kandungan protein pada silase. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis proksimat yang menunjukkan semakin tinggi persentase penambahan Clitoria ternatea maka semakin tinggi kandungan proteinnya mencapai 15,90 %(Tabel 1).

Protein pakan yang masuk kedalam rumenakan dihidrolisis menjadi peptida oleh enzim proteolisis yang dihasilkan mikroba rumen. Peptida tersebut mengalami degradasi lebih lanjut menjadi asam-asam amino, asam-asam amino kemudian akan dideaminasi menjadi amonia untuk pertumbuhan mikroba rumen. Semakin tinggi kandungan protein pakan yang bisa dirombak di dalam rumen maka akan semakin banyak NH3 yang dihasilkan. Hasil penelitian

ini pun menunjukkan hal yang sejalan, dimana peningkatan kandungan protein pakan juga meningkatkan produksi N-NH3 silase mencapai 9,44% (Suarna et al., 2019) (Tabel 2). Tanuwiria et al. (2005) menambahkan bahwa produksi NH3 yang tinggi mencerminkan banyaknya protein ransum yang mudah didegradasi oleh mikroba rumen. Banyaknya NH3 dalam rumen akan menguntungkan bagi mikroba rumen sebagai sumber utama untuk sintesis protein mikroba sehingga populasinya semakin tinggi. Tingginya populasi mikroba akan meningkatkan jumlah enzim sehingga kecernaan juga akan meningkat karena kecernaan merupakan indikator dari kerja enzim. Hal ini menunjukkan pentingnya meningkatkan kandungan protein dalam pakan untuk mempercepat kerja mikroba sehingga kecernaan meningkat. Menurut Riswadi (2014) tingginya kandungan protein dalam pakan dapat mengakibatkan populasi dan aktifitas mikroba rumen meningkat sehingga kecernaan pakan akan meningkat pula. Sultan et al. (2010) juga menyatakan bahwa kecernaan berhubungan dengan komposisi kimia pakan yaitu protein, dimana KCBK meningkat secara linier dengan peningkatan level protein dalam pakan.

Kandungan SK juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan KCBK, semakin rendah kandungan SK pada silase batang pisang akan meningkatkan KCBK. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis proksimat yang menunjukkan semakin rendah SK pada perlakuan D (19,00%)(Tabel 1) meningkatkan KCBK 70,40%. Hal ini dikarenakan semakin tinggi SK maka semakin kuat dinding selnya, yang artinya semakin sulit bahan pakan tersebut terdegradasi. Selulosa adalah komponen dari serat kasar yang menghalangi proses perombakan dinding sel dari bahan pakan oleh mikroba atau enzim yang bekerja dalam rumen sehingga mengakibatkan tingkat kecernaan rendah. Mudita (2019) menambahkan bahwa lignoselulosa merupakan komponen utama dinding sel tanaman yang terdiri atas polimer selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif yang berikatan secara kuat yang menghambat proses perombahan nutrien.

Dilihat dari data penelitian Table 3 dan Tabel 1 meningkatknya BK diikuti dengan meningkatnya KCBK. Hal ini diasumsikan karena BK tersusun dari zat-zat makanan yang dibutuhkan ternak seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Hasil penelitian menunjukkan kandungan BK dan KCBK pada silase terus meningkat dan tertinggi pada perlakuan D mencapai 24,87% (BK) dan 70,40% (KCBK). Hal ini membuktikan pada penelitian ini meningkatnya BK juga akan meningkatkan KCBK. Hasil penelitian Santi et al. (2012) menunjukkan hasil yang sama, peningkatan kandungan BK (32,26%) pada silase batang pisang yang ditambahkan tepung gamplek akan mempengaruhi KCBK (69,28%).

Rataan KCBK tertinggi silase kombinasi batang pisang dan Clitoria ternatea yaitu 70,40%. KCBK hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Thiasari dan Setiyawan (2016) dari silase batang pisang dengan penambahan Complete feeddan level protein 14% meningkatkan kecernaan mencapai 75,06%. Perbedaan kandungan kecernaan ini bisa disebabkan oleh persentasi batang pisang yang digunakan serta susunan komposisi ransum yang berbeda sehingga memberikan perbedaan kandungan zat-zat makanan pada ransum. Tinggi rendahnya daya cerna zat-zat makanan dalam ransum juga dapat dipengaruhi oleh keseimbangan zat-zat makanan yang terdapat dalam ransum tersebut (Boangmanalu et al., 2016).

Terjadinya peningkatan KCBK pada silase kombinasi batang pisang dangan berbagai level Clitoria ternatea menunjukkan hasil tertinggi dengan penambahan 30% Clitoria ternatea juga ditunjukan pada konsentrasi Volatile fatty acid (VFA) mencapai 132,43 mMol (Tabel 2). Peningkatan konsentrasi VFA dapat meningkatkan KCBK karena tingginya produksi VFA disebabkan oleh tingginya kecernaan dari semua senyawa organik yang mengandung unsur CHO sebagai penghasil VFA. Mikroba rumen mendegradasi karbohidrat dan protein kasar menjadi asam asetat, propionat dan butirat serta isobutirat dan isovalerat yang merupakan asam lemak rantai pendek komponen VFA. VFA hasil fermentasi karbohidrat oleh mikrobia rumen akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan untuk membentuk kerangka karbon. Hasil penelitian ini pun menunjukkan hal yang sejalan, dimana penambahan Clitoria ternatea meningkatkan konsentrasi VFA berkisar antara 129,33-133,82 mMol (Suarna et al., 2019; Tabel 2). Dilihat dari pernyataan McDonald et al. (2011), bahwa produksi VFA total bagi kelangsungan hidup ternak berkisar 70- 150 Mm. Hal ini menunjukkan peningkatan konsentrasi VFA ini sudah mendukung pertumbuhan dan aktifitas mikroba dalam rumen.

Kecernaan bahan organik

Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami ransum dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut berupa penghalusan ransum dari butir-butir atau partikel yang lebih kecil. KCBO merupakan faktor penting yang menentukan kualitas ransum. Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi ransum, sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen (Fatmasari, 2013).

Analisis statistik terhadap kecernaan bahan organik (KCBO) silase batang pisang dengan berbagai level Clitoria ternatea menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). KCBO

silase batang pisang dengan penambahan 10%, 20%, dan 30% Clitoria ternatea mengalami peningkatan dan lebih tinggi (perlakuan B, C dan D) masing-masing 69,82%, 71,53%, dan 73,08% dibandingkan dengan perlakuan A yang mempunyai nilai KCBO sebesar 60,95% . Pemberian 20% Clitoria ternatea sudah menunjukkan peningkatan tertinggi secara statistik. Secara kuantitatif pemberian 30% Clitoria ternateamenunjukan nilai tertinggi dengan meningkatnya KCBO sebesar 19,90% dari perlakuan A, 4,67% dari perlakuan B, dan 2,17% dari perlakuan C. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan KCBO ketika persentase Clitoria ternatea ditingkatkan. Peningkatan KCBO dipengaruhi oleh meningkatnya KCBK dan kandungan BO secara signifikan

Hasil penelitian ini menunjukkan meningkatnya KCBK juga meningkatkan KCBO yang artinya KCBO sejalan dengan KCBK. Hal ini dikarenakan BO adalah komponen penyusun BK. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Sutardiet al. (2001) yang menyatakan bahwa BO berkaitan erat dengan BK karena BO merupakan bagian terbesar dari BK.Andayani (2010) menambahkan bahwa nilai KCBO sejalan dengan nilai KCBK, hal ini disebabkan karena BO merupakan bagian dari BK.

Selain itu peningkatan KCBO lebih tinggi dibandingkan KCBK, hal ini disebabkan karena KCBK merupakan kecernaan dari BK yang masih mengandung abu sehingga menghambat tercernanya BK ransum. Fathul dan Wajizah (2010) menambahkan kandunganKCBO lebih tinggi dibanding KCBK karena pada BK masih terdapat kandungan abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif lebih mudah dicerna. Terjaninya peningkatan yang signifikan pada KCBO juga tercermin pada peningkatan kandungan BO yang signifikan (Tabel 1; Suarna et al., 2019). Kedua data ini juga meninjukkan hasil tertinggi pada penambahan 30% Clitoria ternatedengan angaka mencapai 73,08% (KCBO) dan 91,51% (BO).

Hasil penelitian Santi et al. (2012) menunjukkan KCBO silase batang pisang yang ditambahkan tepung gaplek yaitu 68,53%. Hasil penelitian Thiasari dan Setiyawan (2016) menunjukkan KCBO silase batang pisang dan penambahan Complete feeddengan level protein 14% yaitu 68,50%. KCBO dari penelitian tersebut lebih rendah dibandingkan dengan silase kombinasi batang pisang dengan berbagai level Clitoria ternatea mencapai 73,08%.

Perbandingan KCBO menunjukkan penambahan Clitoria ternateamemiliki niali KCBO terbaik dibandingkan dengan penambahan tempung gaplek dan penambahan Complete feed. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan komposisi kimia ransum salah satunya yaitu protein yang mempercepat kerja mikroorganisme dalam mencerna ransum. Riswandi (2014)

menyatakan peningkatan kandungan protein kasar akan menyebabkan meningkatnya aktivitas mikrobia rumen, digesti terhadap bahan organik.

  • 3.2.3    BETN

Kandungan nutrisi bahan pakan adalah salah satu indikator untuk mengetahui kualitas bahan pakan. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) silase batang pisang dengan penambahan berbagai level Clitoria ternatea menunjukkan hasil yang berdeda tidak nyata (P>0,05). BETN silase batang pisang tanpa perlakuan dan dengan penambahan 10%, 20%, dan 30% Clitoria ternate (Perlakuan A, B, C dan D) masing-masing 33,59%, 35,99%, 36,95%, 38,39%. Secara kuantitatif penambahan 30% Clitoria ternatea menunjukkan hasil tertinggi dengan peningkatan sebesar 14,29% dari perlakuan A, 6,67% dari perlakuan B, dan 3,90% dari perlakuan C.Kandungan BETN yang tidak berbeda nyata ini diasumsikan karena ada dua kemungkinan yaitu karena kandungan SK yang tidak berbeda nyata (Tabel 1) dan pemanfaatan BETN oleh mikroba rumen.

Penurunan serat kasar yang tidak signifikan sangat berpengaruh terhadap kandungan BETN, semakin rendah kandungan SK (Tabel 1) maka akan semakin banyak kandungan BETN. Sutowo et al. (2016) menambahkan kandungan SK pada bahan akan mempengaruhi kandungan BETN ransum. Hal ini dikarenakan SK yang berbeda tidak nyata secara otomatis akanmempengaruhi komponen kaebohidrat, komponen karnohidrat yaitu BETN dan SK. BETN merupakan golongan karbohidrat non-struktural yang mudah dicerna SK adalah golongan karbohidrat struktural yang sulit untuk dicerna. Oleh karena itu penurunan SK akan memudahkan mikroorganisme mendegradasi pakan sehingga semakin banyak nutrien yang terlarut dan BETN meningkat. Sulitnya mendegradasi SK karena SK tersusun atas selulosa yang menghalangi proses perombakan dinding sel dari bahan pakan oleh mikroba atau enzim yang bekerja dalam rumen. SK sebagian besar berasal dari dinding sel tanaman yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin (Suparjo, 2010).Sutowo et al. (2016) menambahkan kandungan SK pada bahan akan mempengaruhi kandungan BETN ransum.

Kandungan BETN yang telah di produksi dari perombakan SK di ubah menjadi VFA oleh mikroba fermentasi untuk sentesis protein tubuhnya. Hal ini mengakibatkan kandungan BETN terdeteksi sebagai senyawa karbon dan mengakibatkan kandungan BETN berbeda tidak nyata. Anwar (2008) menyatakan bahwa BETN tersebut digunakan sebagai energi oleh mikroba dalam pertumbuhan dan untuk aktivitasnya maka akan semakin banyak energi (BETN) yang dibutuhkan.

Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sutowo et al. (2016) dan Dhalika et al.(2011) menunjukkan hasil yang lebih rendah yaitu dengan kandungan BETN silase batang dan bonggol pisang berkisar 43,82-66,31% dan silase batang pisang campuran umbi singkong dan biji jagung yaitu 47,21%, sedangkan silase kombinasi batang pisang dengan berbagai level Clitoria ternatea mencapai 38.39%. Perbedaan kandungan BETN dipengaruhi oleh perbedaan nutrisi yang dikandung pada silase tersebut karena perbedaan komposisi substrat yang berbeda akan mengubah kualitas silase yang dihasilkan.Kemampuan karbohidrat non-struktural untuk difermentasi dalam rumen nilainya bervariasi tergantung dari tipe pakan, cara budidaya dan pengolahan (NRC, 2001).

  • 3.2.4    TDN

Menurut Saputroet al. (2016), TDN merupakan gambaran dari total energi yang berasal dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak.Hasil penghitungan TDN pada semua perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan nilai masing-masing 73,97% (perlakuan A), 73,92% (Perlakuan B), 75,15% (Perlakuan C) dan 78,58% (Perlakuan D) (Tabel 3). Secara kuantitatif penambahan 30% Clitoria ternate menunjukkan nilai tertinggi dengan peningkatan sebesar 6,23% dari perlakuan A, 6,30% dari perlakuan B, dan 4,56% dari perlakuan C.Nilai TDN yang berbeda tidak nyata ini sebabkan oleh produksi VFA dan BETN yang juga berbeda tidak nyata.

Nilai TDN yang berbeda tidak nyata tercermin pada produksi VFA yang dihasilkan. Hasil penelitian ini pun menunjukkan hal yang sejalan, dimana produksi VFA silase kombinasi batang pisang dan Clitoria ternatea menunjukkan hal yang sama dengan nilai TDN, yaitu sama-sama berbeda tidak nyata (P>0,05) (Suarna et al., 2019) (Tabel 2).

Semakin tinggi VFA umumnya mencerminkan semakin banyak BO yang terdegradasi karena nutrien tercerna adalah BO seperti SK yang merupakan komponen karbohidrat mengalami proses perombakan oleh mikroba rumen menjadi komponen monosakarida dan mengalami proses fermentasi berlanjut sehingga membentuk VFA. Protein juga akan mengalami perombakan oleh mikroba rumen menjadi asam amino dan mengalami fermentasi berlanjut menjadi partikel-partikel asam amino yang tersusun atas ikatan CHO-N, ikatan CHO akan membentuk VFA dan N akan membentuk NH3.

Susanti (2016) menyatakan bahwa peningkatan BK ransum akanmeningkatkanpersentase TDN. Hermanto (2001) menambahkan besar kecilnya nilai energi yang di dapat dari TDN tergantung pada KCBO pakan, namun dalam penelitian ini peningkatan KCBO yang signifikan tidak meningkatkan TDN secara signifikan yang artinya kandungan nutrisi lainnya

juga berpengaruh terhadap peningkatan niali TDN seperti PK, LK, SK, dan BETN. Hal ini di dukung dengan pernyataan Saputro et al. (2016) bahwa, setiap bahan makanan mempengaruhi daya cerna bahan lain.

Penurunan SK dan peningkatan BETN yang tidak signifikan memiliki pengaruh yang besar terhadap persentase TDN. Kandungan SK yang yang tidak berbeda nyata akan menurunkan kecernaan yang secara otomatis akan menurunkan kandungan BETN sehingga hal ini akan mempengaruhi nilai TDN. Menurut Ayuningsih et al. (2018) BETN merupakan komponen nutrien terbesar dalam TDN. BETN yang rendah akan menurunkan kecernaan karena BETN lebih mudah untuk dicerna (Astuti et al., 2009).

Penelitian ini menunjukkan persentase TDN silase kombinasi batang pisang dengan berbagai level Clitoria ternatea mendapatkan hasil mencapai 78,58%, persentase ini lebih tinggi dari TDN pada silase batang pisang dan penambahan Complete feed dengan level 14% mencapai 66,07% yang sama-sama berbeda tidak nyata (P>0,05) (Thiasari dan Setiyawan, 2016).Dilihat dari peningkatan kandungan KCBK, KCBO dan TDN yang menunjukkan silase kombinasi batang pisang dan Clitoria ternatea memiliki persentase yang lebih besar pada KCBK, KCBO dan TDN dibandingkan silase batang pisang dengan penambahan Complete feed dengan level 14%. Hal ini menunjukkan jika dibandungkan dengan bahan lain maka penambahan Clitoria ternatea pada batang pisang mendaptkan hasil yang lebih baik.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, silase batang pisang dengan pemberian berbagai level Clitoria ternatea dapat meningkatkan kandungan KCBK, KCBO in vitrodibandingkan tanpa tambahan Clitoria ternatea.Mulai pemberian 20% Clitoria ternatea menunjukkan hasil tertinggi dengan meningkatkan KCBK, KCBO secara in vitro.

SARAN

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui berapa persen pemberianClitoria ternatea yang optimum pada silase batang pisang agar mendapatkan KCBK, KCBO, BETN, dan TDN tertinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Rektor Universitas Udayana dan Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, M.S selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas

kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, J. 2010. Evaluasi kecernaan in vitro bahan kering, bahan organik, protein kasar pengguna kulit buah jagung amoniasi dalam ransum ternak sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. XIII (5) : 252-259.

Anwar, K. 2008. Kombinasi Limbah Pertanian dan Peternakan Sebagai Alternatif Pembuatan Pupuk Organik Cair Melalui Proses Fermentasi Anaerob. Yogyakarta: UII ISBN:978-979-3980-15-7.

Astuti, D. A., S. Suharti, dan E. Wina. 2009. Kecernaan nutrien dan performa produksi sapi potong peranakan ongole (po) yang diberi tepung lerak (sapindus rarak) dalam ransum. JITV. 14 (3) : 200-207.

Ayuningsih, B., I. Hernaman, I. Ramdani, Siswoyo. 2018. Pengaruh imbangan protein dan energi terhadap efisiensi penggunaan ransum pada domba Garut betina. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 6: 97-100.

Boangmanalu, R., T. H. Wahyuni, dan S. Umar. 2016. kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar ransum yang mengandung tepung limbah ikan gabus pasir (butis amboinensis) sebagai substitusi tepung ikan pada broiler. Jurnal Peternakan Integratif. 4 (3) : 329-340.

Dhalika. T, A. Budiman, B. Ayuningsih, dan Mansur. 2011. Nilai Nutrisi Batang Pisang Dari Produk Bioproses (Ensilage) Sebagai Pakan Lengkap. Universitas Padjadjaran. Bandung. Vol (2) ; 1 (17-23).

Fathul, F., dan S. Wajizah. 2010. Penambahan mikromineral Mn dan Cu dalam ransum terhadap aktivitas biofermentasi rumen domba secara in vitro. JITV. 15(1): 9-15.

Fatmasari, D. 2013. Pengaruh penambahan macam akselerator terhadap nilai kecernaan silase batang pisang (Musa paradisiaca) secara in vitro. Sekripsi. Sarjana Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Hermanto, 2001. Pakan Alternatif Sapi Potong. Dalam Kumpulan Makalah Lahirnya Kajian Teknologi Pakan Ternak Alternatif. Pakan Ternak Alternatif. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Dispet Propinsi Jatim, Surabaya.

Heuzé, V., G. Tran, D Bastianelli, M. Boval, dan F. Lebas. 2012. Butterfly pea (Clitoria ternatea). feedipedia.org. A programme by INRA, CIRAD, AFZ and FAO. Dis. Available from: URL: http://www.feedipedia.org/node/318.

Kalamani, A., dan S. M. Gomez. 2001. Genetic variability in Clitoria spp. Annals of Agricultural Research. 22 (2) : 243-245

Kurniati. 2016. Kandungan Lemak Kasar, Bahan Organik, dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen Silase Pakan Lengkap Berbahan Utama Batang Pisang (Musa paradisiaca) Dengan Lama Inkubasi yang Berbeda. Skripsi. Sarjana Peternakan., Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makasar.

McDonald P., R.A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, and C.A. Morgan. 2011. Animal Nutrition. 7 th edition. Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey.

Minson, D. J., dan M. N. Mc leod. 1972. The In Vitro Technique, Its modification for estimating digestibility of large numbers of tropical pasture sample. Divisi on of Tropical Pasture Technical Paper. No. 8 Common Wealth Scientific and Industrial Research Organization Autralia.

Mudita, I. M. 2019. Penapisan dan pemanfaatan bakteri lignoselulolitik cairan rumen sapi bali dan rayap sebagai inokulan dalam optimalisasi limbah pertanian sebagai pakan sapi bali. Disertasi. Universitas Udayana, Denpasar.

National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle, 7th Ed. National Academy Press. Washington, D.C.

Riswadi. 2014. Evaluasi kecernaan silase rumput kumpai (Hymenachne acutigluma) dengan penambahan legum turi mini (Sesbania rostrata). Jurnal Peternakan Sriwijay. 3 (2):43-52.

Santi, R. K., D. Fatmasari, S. D. Widayanti, dan W. P. Suprayogi. 2012. Kualitas dan nilai vecernaan in-vitro silase batang pisang (musa paradisiaca) dengan penambahan beberapa akselerator. Tropical Animal Husbandry. 1 (1) : 15-23.

Saputro, T., S. D. Widyawati, dan Suharto. 2016. Evaluasi nutrisi perbedaan resiko dedak padi dan ampas bir ditinjau dari nilai TDN ransum domba lokal jantan. Sains Peternakan. 14 (1) : 27-35.

Siregar, S. B. 2005. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya, Jakarta

Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan Bambang Sumantri. Gramedia. Jakarta.

Suarna, I. W., I. M. Mudita, dan I. W. Wirawan. 2019. Kombinasi Silase dan Hijauan Kembang Telang (Clitoria ternatea) Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Kambing Peternakan Etawa. Laporan Akhir Tahun. Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

Sultan, J. I., A. Javaid dan M. Aslam. 2010. Nutrient digestibility and feedlot performance of lambs fed diets varying protein and energy contents. Tropical Animal Health and Production. Vol. 42(5): 941-946.

Suparjo. 2010. Peningkatan kualitas nutrisi kulit buah kako sebagai pakan secara bioproses dengan Phanerochaete chrysosporium yang diperkaya ion Mn2+ dan Ca2+. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suryani, N. N., I. G. Mahardika, S. Putra, dan N. Sujaya. 2015. Sifat fisik dan kecernaan ransum sapi bali yang mengandung hijauan beragam. Jurnal Peternakan Indonesia. 17 (1) : 39-45.

Susanti, E. 2016. Pengaruh Pemberian Ransum Berbasis Limbah Kelapa Sawit Terhadap Kecernaan Lemak Dan Tdn (Total Digestible Nutrient) Pada Sapi Peranakan Ongole. Skripsi. Sarjana Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sutardi, T. 2001. Revitalisasi peternakan sapi perah melalui peng-gunaan ransum berbasis limbah perkebunan dan suplementasi mineral organik. Laporan akhir RUT VIII 1. Kantor Kementrian Negara Riset dan Teknologi dan LIPI.

Sutowo, I. T., Adelina, dan D. Febrina. 2016. Kualitas nutrisi silase limbah pisang (batang dan bonggol) dan level molasis yang berbeda sebagai pakan alternatif ternak ruminansia. Jurnal Peternakan. 12 (2) : 41-47.

Tanuwiria, U. H., B. Ayuningsih, dan Mansyur. 2005. Fermentabilitas dan kecernaan

Thiasari, N., dan A. I. Setiyawan. 2016 Complete feed batang pisang terfermentasi dengan level protein berbeda terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan TDN secara in vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 26 (2) : 67-72.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo, S. Reksohadiprodjo, dan S. Lebdosoekojo, 1998, Ilmu Makanan Ternak Dasar, Cetakan ke-6, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Dewi et al, Peternakan Tropika Vol. 8 No. 1 Th. 2020: 60 – 73

Page 73