The Physical Quality of Landrace Pork Which Aging in The Traditional Way
on

e-journal FAPET UNUD
e-Journal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: peternakantropika@yahoo.com
Submitted Date: January 11, 2020
Accepted Date: January 21, 2020
Editor-Reviewer Article;: A.A.Pt. Putra Wibawa & I WYN Wirawan
Pengaruh Lama Waktu Pelayuan terhadap Kualitas Organoleptik Daging Babi Landrace Persilangan yang Dilayukan secara Tradisional
Tena, M. T., N. L. P. Sriyani., dan I. G. Suarta
PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: yohanestena12@gmail.com. Hp. 081339038635
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelayuan daging secara tradisional terhadap kualitas Organoleptik daging babi Landrace persilangan dan waktu optimal pelayuan daging secara tradisional untuk mendapatkan kualitas daging babi yang baik. Materi penelitian menggunakan daging babi Landrace persilangan pada bagian loin pada otot LD (Longisimus dorsi). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan yaitu P0 = daging segar yang tidak dilayukan, P1 pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 8 jam, P2 pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 16 jam, P3 pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 24 jam pada suhu ruang 28-290C. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah warna daging, aroma daging, tekstur daging, konsistensi dgaing, keempukan daging, citarasa daging dan penerimaaar keseluruhan daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik pelayuan secara tradisional daging babi Landrace persilangan berbeda nyata (P<0,05) terhadap warna daging, aroma daging, tekstur daging, konsistensi dgaing, keempukan daging, citarasa daging dan penerimaaar keseluruhan daging. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pelayuan daging babi Landrace persilangan secara tradisional dapat meningkatkan kualitas organoleptik daging babi Landrace persilangan. Lama waktu pelayuan daging babi secara tradisional yang optimal untuk menghasilkan kualitas organoleptik daging babi yang baik adalah selama 8 jam dilihat dari warna daging yang merah warna daging yang lebih merah dn aroma daging yang tinggi diikuti dengan konsistensi,keempukan, citarasa, penerimaan secara keseluruhan.
Kata kunci: pelayuan tradisional, daging babi, kualitas daging
The Physical Quality of Landrace Pork Which Aging in The Traditional Way
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of traditional meat aging on the physical quality of Landrace pork and the optimal length of time for traditional meat aging to get good quality pork. The research material used landrace pork loin on LD (Longisimus Dorsi). The design used was Completely Randomized Design (CRD) with four treatments and four replications, namely P0 = fresh meat that was not aging, P1 = meat aging the muscle part of LD (Longisimus Dorsi) during 8 hours, P2 = meat aging the muscle part LD (Longisimus Dorsi) during 16 hours, P3 = meat aging the muscle part of the LD (Longisimus Dorsi) during 24 hoursat room temperature 28-290C. The variables observed in this study were pH measurement, meat color, water holding capacity, cooking loss, weep loss. The results

showed that the traditional foraying statistics of Landrace pork crosses were significantly different (P <0.05) on pH value, meat color, water holding capacity, cooking loss, weep loss. The conclusion of this study is that Landrace pork crossing can improve the physical quality of crossing Landrace pork. The optimal length of pork delivery time to produce good quality pork for 8 hours for the color of red meat and high water holding capacity with cooking loss and low weep loss.
Keywords: traditional aging, pork, quality of pork, water holding capacity, cooking loss
PENDAHULUAN
Ternak babi merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2014) menyatakan bahwa ternak babi di Indonesia yang merupakan sumber protein hewani berupa daging mampu menyediakan sebanyak 10,43% dari produksi total daging di Indonesia. Dilihat dari data di atas maka perluanya peningkatan produksi daging untuk memenuhi kebutuhan akan daging di Indonesia.Ternak babi yang sering dimanfaatkan sebagai sarana sesaji maupun untuk dikonsumsi oleh masyarakat Bali adalah babi lokal (babi bali) dan babi ras (landrace). Babi Bali juga dipelihara untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang tiap tahun terus meningkat, contohnya untuk kebutuhan babi guling di Bali (Budaarsa, 2002; Budaarsa 2006). Meningkatnya permintaan daging babi dalam negeri sejalan denganpertambahan jumlah penduduk non muslim dan kunjungan wisatawan mancanegara yang terus meningkat (Budaarsa, 2012).
Ternak babi merupakan ternak penghasil daging babi yang sangat efisien sehingga ternak babi memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi sebagai ternak potong (Ensminger, 1991). Selain pertumbuhan tubuhya yang cepat, ternak babi juga mampu memanfaatkan segala jenis limbah pertanian, tidak membutuhkan lahan pemeliharaan yang luas, dapat meningkatkan kesuburan tanah serta memiliki litter size yang tinggi. Kebutuhan protein hewani umumnya diperoleh dari daging sapi, kambing, babi, unggas dan ikan. Salah satu yang banyak menjadi pilihan adalah daging babi dimana daging babi merupakan daging yang bergizi untuk dikonsumsi (Antara et al., 2008). Daging babi merupakan salah satu komoditas penting ditinjau dari aspek gizi, sosial budaya, dan ekonomi. Industri karkas babi mempunyai prospek ekonomi yang cukup bagus, karena usaha peternakan babi relatif mudah dikembangkan, daya reproduksi tinggi dan cepat menghasilkan. Untuk memenuhi permintaan pasar secara kuantitas, produsen juga diharapkan dapat menyediakan daging babi yang berkualitas.
Daging didefinisikan sebagai semua jejaring hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno, 2005). Beberapa industri modern sudah menerapkan teknik pelayuan untuk meningkatkan kualitas daging. Salah satucara untuk mendapatkan daging yang berkualitas adalah melalui proses pelayuan. Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan atau jaringan ikat daging. Daging menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavour yang lebih kuat. Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Daging akan berubah menjadi empuk apabila dilayukan, hal ini karena selama proses pelayuan terjadi perubahan-perubahan pada protein intra dan ekstra seluler, sehingga proses autolisis pada daging menghasilkan daging yang lebih empuk, lebih basah dan flavouryang lebih disukai konsumen.
Fungsi pengempukan daging dengan pelayuan merupakan fungsi dari waktu dan temperatur. Pada temperatur yang tinggi akan menghasilkan tingkat keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan pada temperatur rendah. Setelah ternak mati dan daging mengalami rigor mortis, ikatan struktur myofibril dilonggarkan oleh enzim proteolitik, rusaknya komponen protein dan myofibril dapat meningkatkan keempukan daging. Denaturasi protein pada pelayuan terjadi karena pH yang rendah, temperatur diatas 250C atau dibawah 00C. Pada pelayuan, protein dan sarkoplasma mengalami denaturasi, sedangkan kolagen dan elastin tidak terdenaturasi. Denaturasi protein akan menyebabkan daya ikat air daging turun sehingga daging akan mengalami kehilangan cairan daging atau weep.
Di Bali pelayuan pada daging babi tidak umum dilaksanakan di pasaran atau di rumah potong hewan, tetapi secara tidak sengaja daging babi yang dipasarkan di pasar-pasar tradisional mengalami proses pelayuan pada suhu kamar atau pelayuan secara tradisional. Selain itu di desa-desa di Bali pada upacara adat juga banyak terjadi pelayuan pada suhu kamar. Daging babi hanya digantung begitu saja sebelum adanya konsumen yang membeli untuk diolah, namun lamanya proses pelayuan tidak tentu.Data tentang pengaruh pelayuan daging babi terhadap waktu atau lama pelayuan yang optimal terhadap kualitas organoleptik daging yang baik belum ada, oleh karena itu perlu kiranya dilakukan penelitian ilmiah mengenai kualitas organoleptik daging babi yang dilayukan secara tradisional dalam waktu yang berbeda.
MATERI DAN METODE
Daging babi
Materi penelitian menggunakan daging babiLandrace pada bagian Loinpada otot LD (Longisimus Dorsi). Babi yang digunakan umur 6 bulan dan berat badan 100-125kg, pembelian daging di RPH Pesanggaran, dimana berat babi ini biasanya dipotong dan dijual
di pasar-pasar tradisional.
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau , tissue, alat penggantung, piring kertas, penggorengan, tusuk gigi, sendok, minyak goreng, kompor gas, saringan (alat peniris minyak), alat tulis kuisioner.
Tempat dan lama penelitian
Penelitian dilaksanakan di Lab. Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Februari – 2 Maret 2019.
Rancangan penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan lama pelayuan dan masing-masing perlakuan terdiri dari empat ulangan. Perlakuan lama pelayuan yang akan dicobakan pada penelitian ini: P0 : Daging segar bagian otot LD yang tidak dilayukan
P1 : Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama
8jam P2 : Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama
16jam P3 : Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama
24jam
Pelayuan daging bagian loin dilakukan pada suhu ruang 28-290C. Setelah dilakukan pelayuan ini maka dilaksankan uji kualitas organoleptik di Lab. Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Variabel penelitian
Warna daging
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah warna, aroma, tekstur, konsistensi, citarasa dan penerimaan secara keseluruhan terhadap sampel daging babi yang diujikan. Dalam uji hedonik tersebut menggunakan ‘‘metode Consumer Preference Test’’yaitu metode pengujian secara langsung yang dilakukan oleh panelis semi terlatih (mahasiswa/i) untuk memberikan penilaian suatu sifat atau kualitas suatu bahan pangan. Uji dilakukan oleh panelis dengan acuan sebuah lembar kuisioner. Berapapun jumlah panelis dalam uji organoleptik, digunakan sebagai ulangan (replicate). Panelis dalam penelitian ini, masih pada situasi panelis semi terlatih (15 panelis). Penilaian yang dilakukan berdasarkan tingkat intensitas kesukaan (minimum, sama sekali tidak disukai, nilai terendah sampai maksimum, sangat disukai, nilai tertinggi).
Analisis data
Data organoleptik yang diperoleh, selanjutnya dianalisis menggunakan analisis Non-Parametrik (Kruskal-Wallis), apabila terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney 1977) dengan bantuan program SPSS 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa kualitas organoleptik daging babi landreca pada penelitian ini tersaji pada Tabel 3.1:
Tabel 3.1. Pengaruh lama waktu pelayuan terhadap kualitas organoleptik daging babi landrace persilangan yang dilayukan secara tradisional
Variabel |
Perlakuan | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | |
Warna |
3,80c |
4,32d |
2,96b |
2,22a |
Aroma |
3,24c |
3,93d |
2,78b |
1,78a |
Tekstur |
3,86a |
3,85a |
3,54a |
3,41a |
Konsistensi |
4,06c |
3,75c |
3,11b |
2,16a |
Kempukan |
2,60a |
3,06b |
3,80c |
4,30d |
Citarasa |
3,66c |
4,37d |
3,11b |
2,37a |
Penerimaan Keseluruhan |
3,88c |
4,47d |
3,11b |
2,38a |
Keterangan:
-P0 : Daging segar bagian otot LD yang tidak dilayukan
-P1 : Pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 8 jam
-P2 : Pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 16 jam
-P3 : Pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 24 jam
5: Sangat suka, 4: Suka, 3: Biasa, 2: Tidak suka, 1: Sangat tidak suka
Berdasarkan data pelayuan daging babi secara tradisional pada Tabel 3.1 berpengaruh nyata terhadap warna daging (P<0,05). Warna daging tertinggi yaitu pada perlakuan P1(8 jam) diikuti dengan P2(16 jam), nol jam dan P3(24 jam). Pada Tabel 3. 1 terlihat bahwa pada perlakuan P1(8 jam) ada peningkatan warna dari P0(0 jam), namun warna daging cenderung menurun pada perlakuan P2(16 jam) dan P3(24 jam). Peningkatan warna dari P0(0 jam) ke P1(8 jam) karena terjadinya ikatan myoglobin dengan oksigen menjadi oksimyoglobin yang memberikan warna yang lebih cerah. Peningkatan warna merah selama proses pelayuan terjadi karena evaporasi dan dehidrasi cairan dari permukaan daging (Lawrie, 1991).Pada perlakuan P0(0 jam), P2( 16 jam) dan P3(24 jam) warna daging babi sudah menurun dan cenderung pucat/coklat.Menurut Lawrie (2003), perubahan pH menyebabkan terdenaturasi
dan perubahan muatan protein. Perubahan muatan protein akan mengubah jarak antar serat-serat daging sehingga mempengaruhi penampakan (warna) daging secara visual. Menurut Lawrie (2003), perubahan pH menyebabkan terdenaturasi dan perubahan muatan protein. Perubahan muatan protein akan mengubah jarak antar serat-serat daging sehingga mempengaruhi penampakan (warna) daging secara visual.
≡ 1
⅛ O
O 8 16 24
Laina Pelayuan (Jain)
Gambar 1. Grafik Warna daging selama pelayuan
Hasil uji organoleptik pada penelitian ini menunjukan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma daging babi bali lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0,5). Aroma daging tertinggi yaitu pada perlakuan P1(8 jam) diikuti dengan P2(16 jam), P0(0 jam) dan P3(24 jam). Pada table 2terlihat bahwa pada perlakuan P1(8 jam) ada peningkatan aroma dari P0(0 jam), namun aroma daging cenderung menurun pada perlakuan P2(16 jam) dan P3(24 jam). Peningkatan aroma daging dari nol jam ke P1(8 jam) karena aroma daging merupakan senyawa volatile yang menguap dan menibulkan aroma yang spesifik pada proses pemasakan. Peningkatan aroma selama proses pelayuan terjadi karena evaporasi dan dehidrasi cairan dari permukaan daging, salah satu senyawa yang menguap dan menimbulkan aroma yang spesifik pada proses pemasakaan adalah lemak yang terkandung dalam daging. Sesuai dengan pendapat budaarsa (2012) bahwa aroma spesifik daging babi yang dimasak berasal dari lemak daging yang dipanaskan, oleh karena itu semakin tinggi kandungan lemak daging maka akan semakin spesifik aroma daging tersebut. Pada perlakuan P0(0 jam), P2( 16 jam) dan P3(24 jam) aroma daging babi sudah menurun dan cenderung pucat.
Gambar 2. Grafik Aroma daging selama pelayuan
Pelayuan dapat meningkatkan palatabilitas daging karena timbulnya aroma atau flavour khas daging. Menurut Lawrie, (2003), pemecahan protein dan lemak selama pelayuan mempunyai sumbangan dalam citaflavour dengan membentuk hidrogen sulfida, amonia, asetaldehid, aseton, dan diasetil. Penurunan aroma pada P2 disebabkan karena setelah 16 jam daging sudah mengalami pembusukan. Keempukan merupakan sifat sensoris daging yang berkaitan dengan tingkat kehalusan dan daya putus daging. Berdasarkan hasil uji organoleptik pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap keempukan daging ditanda berbeda nyata (P<0,05). Keempukan daging tertinggi yaitu pada perlakuan P3( 24 jam), melanjutkan cenderung menurun pada perlakuan P2(16 jam), P1(8 jam) dan P0(0 jam). Keempukan daging merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Pertama, kemudahan awal penetrasi gigi kedalam daging; kedua, mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen atau potongan-potongan yang lebih kecil; dan ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Lawrie, 2003).
Proses pengempukan daging merupakan hal penting yang akan menentukan tekstur daging saat dikonsumsi. Pengempukan dipengaruhi oleh kemampuan memegang air selama pascamortem. Menurut Sutardi (1989), faktor lain yang mempengaruhi berlangsungnya keempukan daging adalah meningkatnya kandungan nitrogen non protein yang tidak larut dalam air yaitu peptida dan asam amino yang mungkin dibebaskan dari protein otot oleh aktivitas enzim proteolitik. Protein otot mengalami proteolisa apabila daging disimpan pada suhu diatas 00C.Sarkoplasma mengandung enzim hidrolitik meliputi katepsin, enzim proteolitik yang aktif pada suasana asam. Enzim tersebut dibebaskan pada saat membran lipoprotein dan lisozim rusak yaitu pada pH lebih rendah dari keadaan normal jaringan hidup, khususnya daging selama pascamortem.
S 0
£ o 8 16 24 Lama Pelayuan (Jam)
Gambar 3. Grafik keempukan daging selama pelayuan
Penurunan pH memiliki kaitan yang sangat erat dengan peningkatan keempukan. Keempukan dapat meningkat karena terjadinya proses glikogenolisis sehingga terbentuknya asam laktat yang akan menyebabkan penurunan pH yang diikuti dengan terjadinya pelepasan enzim protease (Pearson dan Dutson, 1985). Menurut Soeparno (2005), selama penurunan pH daging terjadi aktivasi enzim proteolitik, yaitu enzim CANP (Calcium Activated Neutral Proteinase) dan katepsin. Enzim CANP akan aktif pada permulaan proses pelayuan sekitar pH 6,5-8,0 yang berfungsi mendegradasi miofibril (aktin dan miosin). Setelah enzim CANP bekerja, lalu enzim katepsin yang aktif dan bekerja pada kisaran pH 3,0-7,0 yang berfungsi mendegradasi miofibril dan kolagen. Protein miofibril dan kolagen yang didegradasi menyebabkan daging menjadi lebih empuk.
Berdasarkan hasil penelitian pada proses pelayuan daging babi secara tradisional Tabel1 menunjukkan bahwa perlakuan diperoleh berbeda nyata terhadap konsistensi daging (P<0,05). Konsistensi daging tertinggi yaitu pada perlakuan P0(0 jam) diikuti dengan P1(8 jam), P2(16 jam) dan P3(24 jam). Pada gambar terlihat bahwa konsitensi daging segar akan lebih baik pada daging babi telah di layukan secara tradisional, karena semakin lama pelayuan sampai P3(24 jam) maka konsistensi daging terlihat semakin berair (lembek) hal ini menyebabkan penurunan nilai preferensi hasil konsistensi daging.
Gambar 4. Grafik konsistensi daging selama pelayuan
Citarasa merupakan kualitas sensoris daging yang dinilai melalui indra pengecap pada lidah dan bibir. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap citarasa daging berbeda nyata (P<0,05). Nilai preferensi citarasa daging tertinggi yaitu pada perlakuan pelayuan P1(8 jam) diikuti dengan P2(16 jam), P0(0 jam) dan P3(24 jam). Pada gambar Table.4.1terlihat bahwa pada perlakuan P1(8 jam) ada peningkatan citarasa dari P0(0 jam), namun warna daging cenderung menurun pada perlakuan P2(16 jam) dan P3(24 jam). Peningkatan citarasa dari P0(0jam) ke P1(8 jam)karena Pada umumnya rasa gurih lebih pada olahan daging berasal dari proses pelelehan lemak daging yang terjadi pada saat proses pemasakan. Citasasa menunjukan bahwa semakin lama pelayuan akan mampu meningkatkan kesukaan panelis terhadap citarasa daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa citarasa daging masak sangat dipengaruhi oleh lama waktu penyimpanan dan kondisi penyimpanan, pelayuan setelah di potong terjadi proses perubahan pada pelayuan P2(16 jam), P3(24 jam) menyebabkan turunnya nilai citarasadisebabkan oleh pada pelayuan P2(16 jam) daging sudah berbau busuk.
Gambar 5. Grafi citarasa daging selama pelayuan
Penerimaan secara keseluruhan daging babi landrace pemasakan perlakuan nol jam memperoleh nilai lebih rendah daripada perlakuan P1(8 jam), P2(16 jam) dan P3(24 jam). Hal ini dikarenakan oleh adanya peningkatan nilai panel yang berhubungan dengan kualitas makan ( eating quality), terutama kesukaan warna, aroma, tekstur, dan cita rasa daging babi landrace masak, dan secara langsung menunjukkan perolehan nilai penerimaan secara keseluruhan yang tinggi pada perlakuan P1(8 jam), P2(16 jam) dan di ikuti P3(24 jam) di banding P0(0 jam). Didukung oleh pernayataan Wiranto (2002) bahwa mutu atau kualitas daging baik, ditentukan oleh aroma (bau), warna, tekstur, dan citarasa yang baik pula, sehinggga meningkatkan nilai organoleptiknya. Merupakan bagian dari parameter sensoris daging untuk tingkat penerimaan konsumen terhadap semua sifat sensoris daging. Penilaian akhir atau penerimaan didasarkan atas tingkat daya terima konsumen secara keseluruhan dan yang mendasari panelis memutuskan daging mana yang paling diterima atau disukai panelis.
Gambar 6. Grafik penerimaan keseluruhan daging selama pelayuan
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelayuan daging babi landrace secara tradisional dapat meningkatkan kualitas organoleptik daging babi landrace. Lama waktu pelayuan daging babi secara tradisional yang optimal untuk menghasilkan kualitas organoleptik daging yang baik dan bermutu adalah pelayuan 8 jam dilihat dari warna daging yang lebih di sukai dn aroma daging yang tinggi diikuti dengan konsistensi, keempukan, citarasa, penerimaan secara keseluruhan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, M.S., Pembimbing Penelitian, dan seluruh pihak yang membantu dalam pelaksanaan hingga penulisan jurnal penelitian ini.
DAFTAR PUASTAKA
Antara, N. S., I. B. D. U. Dauh, dan N. M. I. S. Utami, 2008. Tingkat Cemaran Bakteri Coliform, Salmonella sp. dan Staphylococcus Aureus pada Daging Babi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Udayana. Denpasar.
Budaarsa, K. 2002. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kota Denpasar. Laporan Penelitian.
DIK. Universitas Udayana.
Budaarsa, K. 2006. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kota Denpasar. Laporan Penelitian.
DIK. Universitas Udayana.
Budaarsa, K. 2012. Babi Guling Bali. dari Beternak, Kuliner Hingga Sesaji. Penerbit Buku
Arti. Denpasar. ISBN : 978-979-1145-69-5.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dikjennak). 2014. Pemerintah Pusat
dan Daerah Berkomitmen Melaksanakan Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasional. [Online]. Diakses 8 Desember 2019.
Ensminger. 1991. Poultry Animal. The Interstate Printers and Publishers, Denvile. New York. 10-11.
Forest. 1975. Pengaruh Dosis Injeksi Antemortem Ekstrak Papain Kasar dan Waktu Pelayuan terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Daging Ayam Petelur Afkir. Fakultas Pertanian. Unversitas Sebelas Maret.
Kristiawan, I. M., N. L. P. Sriyani., dan I. N. T. Ariana. 2019. Kualiatas Fisik Dagig Babi Landrace Persilangan yang Dilayukan Secara Tradisional. Journal Peternakan Tropika. Vol 7 (2). Hal. 711-722.
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima Penerjemah Prof Dr. Aminuddin Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Pearson, A. M. dan T. R. Duston. 1985. Scientific Basis For Electrical Stimulation. The Avi Publishing Company Inc. Connecticut. 45-72.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada. Press. Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan teknologi daging cetakan keempat. Universitas Gadjah Mada. Press. Yogyakarta.
Sutardi. 1989. Biokimia Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Winarno, F. G. 2002. Pengaruh Gizi Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tena, M. T., et al, Peternakan Tropika Vol. 8 No. 1 Th. 2020 : 16 - 26
Page 26
Discussion and feedback