The Effect of Commercial Ration with Green Bean Sprout Peels Flour To Performance of Male Bali Duck Aged 0-8 Weeks
on
e-journal
FAPET UNUD
e-Journal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science email: [email protected]
Submitted Date: August 26 , 2019 Accepted Date: August 28, 2019
Editor-Reviewer Article;: A.A.Pt. Putra Wibawa & Dsk. P. M. A. Candrawati
Pengaruh Penggantian Ransum Komersial dengan Tepung Kulit Kecambah Kacang Hijau terhadap Penampilan Itik Bali Jantan Umur 0-8
Minggu
Laksmana, K. Y. P., N. W. Siti, dan E. Puspani
P S Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail: [email protected], Telp +62857 3855 3538
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggantian ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, tiap perlakuan menggunakan lima ulangan dan setiap ulangan menggunakan tiga ekor itik bali jantan. Perlakuan yang diberikan yaitu; P0 (ransum komersial 100%), P1 (penggantian 6% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau) dan P2 (penggantian 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau). Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah berat badan awal, konsumsi ransum, konsumsi air minum, berat badan akhir, pertambahan berat badan dan Feed Convertion Ratio. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggantian 6% dan 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, konsumsi air minum, berat badan akhir, pertambahan berat badan dan FCR. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan penggantian 6% dan 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang memberikan pengaruh yang sama baiknya dengan itik yang diberikan ransum komersial.
Kata kunci : Itik bali jantan, tepung kulit kecambah kacang hijau, penampilan, ransum komersial
The Effect of Commercial Ration with Green Bean Sprout Peels Flour To Performance of Male Bali Duck Aged 0-8 Weeks
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of commercial ration with green bean sprout peels flour on performance of male bali duck. Research use completely randomized design (CRD) with three treatments, each treatment using five replications and each replication using three male bali duck. The treatments it gives is ; P0 (commercial ration of 100%), P1 (replacement of 6% commercial ration with bean sprout peels flour) and P2 (replacement of 12% of commercial ration with bean sprout peels flour). The variables were observed in this study is the initial weight, consumption of rations, drinking water consumption, final body weights, increase of body weight and Feed Conversion Ratio. The results showed that the replacement of 6% and 12% commercial ration with green bean sprout peels flour effect is not significant (P>0.05) to consumption of rations, drinking water consumption, final body
weights, increase of body weight and Feed Conversion Ratio. Based on the results of this study concluded the replacement of 6% and 12% commercial ration with green bean sprout peels flour giving effect same good with commercial rations to performance of male bali duck aged 0-8 weeks.
Keywords : Male bali ducks, green bean sprout peels flour, performance, commercial ration
PENDAHULUAN
Meningkatnya kebutuhan masyarakat Indonesia mengkonsumsi protein hewani yang berasal dari daging maupun telur, menuntut ditingkatkannya produktivitas ternak unggas baik secara kualitas maupun kuntitas. Standar nasional telah mensyaratkan, konsumsi protein asal ternak perkapita/hari adalah 4,5 g, namun konsumsi protein asal ternak masyarakat Indonesia baru mencapai 4,19 g/kapita/hari (Dirjenak, 2007). Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu ternak unggas yang perlu dikembangkan selain ayam adalah itik bali. Itik bali (Anas sp.) merupakan plasma nutfah asli Indonesia harus dijaga kelestariannya dan mempunyai daya tahan hidup yang tinggi sehingga dapat menyediakan protein yang berkualitas (Siti, 2016). Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2016) populasi itik di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Populasi itik pada tahun 2015 tercatat 45.322.000 ekor dan tahun 2016 meningkat menjadi 47.360.000 ekor. Populasi itik di Bali tahun 2016 tercatat 674.094 ekor. Produksi daging itik di Bali tahun 2015 tercatat 364 ton, sedangkan tahun 2016 mengalami peningkatan yaitu 378 ton.
Itik bali yang biasanya dimanfaatkan sebagai pedaging adalah itik jantan atau betina afkir. Menurut Kuspartoyo (1990) bahwa itik jantan dapat menghasilkan daging yang lebih banyak dibandingkan dengan itik betina afkir. Selain itu kelebihan yang dimiliki itik jantan adalah harga bibitnya lebih murah, pertumbuhan dan peningkatan berat badannya lebih cepat. Laju pertumbuhan itik yang optimal terjadi pada umur 6-8 minggu dan umumnya itik jantan sudah siap dipanen pada umur 8 minggu. Pada saat ini, pemeliharaan itik sudah mengarah ke pemeliharaan secara intensif. Sistem pemeliharaan seperti ini, kendala utama yang dihadapi adalah tingginya biaya ransum. Yadnya et al. (2014) menyatakan bahwa biaya ransum dapat mencapai 60% dari total biaya produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dicari bahan pakan alternatif yang lebih murah, memiliki kandungan nutrisi yang baik, terjamin ketersediaanya dan tidak bersaing dengan manusia seperti kulit kecambah kacang hijau (Rasyaf, 2000). Kulit kecambah kacang hijau adalah limbah dari pembuatan kecambah kacang hijau, yang ketersediaannya cukup banyak. Belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak oleh manusia dan kandungan nutrien yang cukup tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali (2015) jumlah produksi kacang hijau di Provinsi Bali sebanyak 516 ton. Kacang hijau sebanyak 1 kg dapat menghasilkan 5 kg kecambah, sedangkan 20% - 40% merupakan kulit dari kacang hijau (Aprilianti et al., 2016). Semakin banyak pembuatan tauge maka semakin banyak limbah yang dihasilkan yaitu kulit kecambah kacang hijau (Yulianto, 2010). Limbah kulit kecambah kacang hijau
mempunyai kadar protein kasar dan serat kasar tinggi, dari hasil analisis laboratorium makanan ternak Universitas Sebelas Maret dalam penelitian Yulitanto (2010) kulit kecambah kacang hijau mengandung Energi Metabolis (ME) 2841,67 (kkal/kg), protein kasar 13,56 %, serat kasar 33,07 %, dan lemak kasar 0,22%, sehingga kulit kecambah ini potensial untuk dimanfaatkan.
Hasil penelitian Yulianto (2010) melaporkan penggantian konsentrat dengan kulit kecambah kacng hijau 15% dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering dan bahan organik kelinci keturunan Vlams reus jantan. Menurut Aprilianti et al. (2016) melaporkan penggunaan tepung limbah kecambah kacang hijau hingga taraf 15% belum meningkatkan kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar dan pertambahan berat badan pada itik magelang jantan umur 4 – 12 minggu.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini perlu dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh penggantian ransum komersial dengan tepung kulit kecambang kacang hijau terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan bagi para peternak bahwa penggunaan tepung kulit kecambah kacang hijau sebagai pakan itik, serta sebagai data ilmiah untuk para peneliti selanjutnya.
MATERI DAN METODE
Ternak
Itik yang di gunakan dalam penelitian ini adalah itik bali jantan umur 3 hari berjumlah 45 ekor dengan berat badan 42,9 g ± 1,98 g. Bibit itik bali ini diperoleh dari peternakan UD. Erna beralamat di Kediri, Kabupaten Tabanan.
Kandang dan perlengkapan
Penelitian ini menggunakan kandang “Battery Colony” sebanyak 15 petak, kerangka utama dari bambu dengan ukuran kandang panjang 80 cm, lebar 65 cm, tinggi 50 cm, alas kandang terbuat dari kawat dengan jarak dari lantai 57 cm dan bagian atap kandang terbuat dari bambu dan lantai dari beton. Semua petak kandang terletak dalam sebuah bangunan berukuran 7,96 m x 4,98 m, membujur dari timur ke barat.
Setiap petak kandang di lengkapi dengan tempat pakan yang terbuat dari pipa paralon dengan ukuran 40 cm dan tempat minum terbuat dari botol minuman mineral 1,5 L. Di bawah tempat pakan di letakkan nampan untuk menampung ransum yang jatuh. Untuk mengurangi bau dan kelembaban akibat kotoran itik, serta memudahkan pembersihan, maka lantai kandang di beri sekam padi yang diganti setiap tiga hari sekali.
Ransum dan air minum
Ransum yang digunakan terdiri dari ransum komersial CP 511 dan tepung kulit kecambah kacang hijau. Air minum yang digunakan adalah air yang berasal dari PDAM dengan penambahan 15 ml probiotik ditambah 3 sedok makan gula untuk 20 liter air.
Komposisi bahan penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan kandungan nutrien ransum terdapat pada Tabel 2.2.
Tabel 1 Komposisi bahan penyusun ransum penelitian
Bahan (%) |
1) Perlakuan | ||
P0 |
P1 |
P2 | |
CP 511 |
100 |
94 |
88 |
Tepung Kulit Kecambah Kacang Hijau |
0 |
6 |
12 |
Total |
100 |
100 |
100 |
Keterangan:
1) P0: Ransum komersial 100%.
P1: Penggantian 6% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau.
P2: Penggantian 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau.
Tabel 2 Kandungan nutrien ransum
Nutrien |
Perlakuan 1) |
2) Standar | |||
P0 |
P1 |
P2 | |||
Energi Metabolis |
(kkal/kg) |
3.000 |
2.990,5 |
2.981 |
Min. 2.700 |
Protein Kasar |
(%) |
23 |
22,43 |
21,86 |
Min. 18 |
Lemak kasar |
(%) |
5 |
4,71 |
4,42 |
7,0 |
Serat kasar |
(%) |
5 |
6,68 |
8,36 |
7,0 |
Kalsium (Ca) |
(%) |
0,9 |
0,84 |
0,79 |
0,9-1,2 |
Fospor (P) |
(%) |
0,6 |
0,56 |
0,52 |
0,6 – 1,0 |
Keterangan:
1) P0: Ransum komersial 100%.
P1: Penggantian 6% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau.
P2: Penggantian 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau.
2) Standar SNI 2008.
Peralatan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu alat tulis untuk mencatat setiap kegiatan yang di laksanakan dari awal pemeliharaan sampai akhir pemotongan ternak; timbangan elektrik 5 kg dengan kepekaan 1 g yang digunakan untuk menimbang berat badan itik, bahan-bahan penyusun ransum, dan sisa ransum; baskom yang berukuran sedang untuk mencampur ransum, kantong plastik untuk tempat perlakuan ransum; gelas ukur 1 liter untuk mengukur volume air dan sisa air; ember yang berukuran besar untuk menampung air dan sisa air; lembaran plastik dan nampan diletakan di bawah tempat makan dan minum untuk menampung pakan dan air yang berjatuhan.
Tempat dan lama penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Peternakan, Universitas Udayana yang berlokasi di jalan Raya Sesetan, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan dilaksanakan selama 8 minggu.
Rancangan penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari tiga perlakuan yaitu; P0 (Ransum komersial 100%), P1 (Penggantian 6% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau), P2 (Penggantian 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Setiap ulangan menggunakan 3 ekor itik, sehingga total itik yang digunakan adalah 45 ekor.
Pengacakan itik
Sebelum penelitian dimulai, untuk mendapatkan berat badan itik yang homogen, maka semua itik sebanyak (65 ekor), ditimbang untuk mencari bobot badan rata-rata (X) dan standar deviasinya. Itik yang digunakan adalah yang memiliki kisaran berat badan 40,92 g - 44,88 g sebanyak 45 ekor. Itik tersebut kemudian dimasukan ke dalam 15 unit kandang secara acak dan masing-masing unit diisi 3 ekor. Selanjutnya dilakukan pengacakan kandang yang nantinya menjadi identitas unit kandang.
Pembuatan tepung kulit kecambah kacang hijau
Kulit kecambah kacang hijau di jemur di bawah sinar matahari selama 6 jam atau hingga kering setelah itu di giling sampai halus lalu simpan tepung kulit kecambah kacang hijau di dalam wadah tertutup dan siap untuk digunakan sebagai pakan ternak.
Pencampuran ransum
Sebelum mencampur ransum terlebih dahulu mempersiapkan alat-alat seperti timbangan, wadah plastik dan baskom yang sudah di beri label perlakuan. Pencampuran ransum dilakukan dengan cara menimbang terlebih dahulu bahan-bahan penyusun ransum. Penimbangan di mulai dari bahan-bahan yang jumlahnya paling banyak dan dilanjutkan dengan penimbangan bahan yang jumlahnya lebih sedikit. Bahan ransum yang sudah ditimbang diratakan di atas karung agar tidak berserakan, untuk bahan yang paling banyak ditempatkan paling awal kemudian bahan yang paling sedikit, dibagi empat bagian aduk satu persatu setelah itu diaduk secara silang sampai homogen dan di aduk secara menyeluruh, begitu pula dengan perlakuan berikutnya. Setelah bahan-bahan tercampur rata masukan ransum pada baskom yang telah beri label.
Pemberian ransum dan air minum
Ransum dan air minum diberikan ad libitum (tersedia setiap saat). Tempat pakan dan diisi 3/4 untuk menghindari ransum tercecer pada saat itik makan, untuk air minum diberikan 1,6 L setiap harinya.
Variabel yang diamati
Selama penelitian berlangsung, variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
-
1. Berat Badan Awal (g) diukur dengan cara menimbang itik pada awal penelitian untuk mencari berat badan yang homogen.
-
2. Konsumsi ransum (g/ekor), diukur dengan cara menghitung jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan jumlah pakan yang tersisa.
-
3. Konsumsi air minum (ml/ekor), diukur setiap hari dengan cara mengukur jumlah air minum yang diberikan dikurangi dengan jumlah air minum yang tersisa.
-
4. Berat Badan Akhir (g/ekor) diukur dengan cara menimbang itik pada akhir penelitian, sebelum penimbangan itik terlebih dahulu dipuasakan selama 12 jam.
-
5. Pertambahan Berat Badan (PBB) (g/ekor), dengan mengurangi antara berat badan akhir dengan berat badan awal.
-
6. “Feed Convertion Ratio” (FCR) dengan membagi konsumsi ransum dengan pertambahan berat badan.
Analisis statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian penggantian ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu antara lain: berat awal, konsumsi ransum, konsumsi air minum, berat badan akhir, pertambahan berat badan dan Feed Conversion Ratio (FCR) disajikan pada Tabel 3.
Tabel. 3.. Pengaruh penggantian ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu. | ||||
Variabel |
Perlakuan1) |
SEM 3) | ||
P0 |
P1 |
P2 | ||
Berat Badan Awal (g) |
42,53a2) |
43,27a |
42,87a |
0,3 |
Konsumsi Ransum (g/ekor) |
4.277,67a |
4.390,60a |
4.319,33a |
32,08 |
Konsumsi Air Minum (ml/ekor) |
7.131,11a |
7.484,11a |
7.396,67a |
76,52 |
Berat Badan Akhir (g/ekor) |
1.454,27a |
1.441,47a |
1.396,53a |
10,4 |
Pertambahan Berat Badan (g/ekor) |
1.411,73a |
1.398,20a |
1353,67a |
10,36 |
FCR |
3,03a |
3,14a |
3,20a |
0,03 |
Keterangan : |
1) P0: Ransum komersial 100%.
P1: Penggantian 6% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau.
P2: Penggantian 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau.
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan berbeda tidak nyata (P>0,05).
3) SEM (Standart Error of the Treatment Means).
Berat badan awal
Rataan hasil penelitian menunjukan bahwa berat badan awal pada perlakuan P0 (Ransum komersial 100%) memiliki berat badan awal 42,53 g (Tabel 3.), sedangkan pada perlakuan penggantian 6% (P1) sampai 12% (P2) ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau masing–masing sebesar 1,73% dan 0,79% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P0 dan perlakuan P2 menghasilkan berat badan awal sebesar 42,87 g lebih rendah 0,93% dibandingkan dengan perlakuan P1 , secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05).
Konsumsi ransum
Rataan jumlah ransum yang dikonsumsi selama delapan minggu pada perlakuan P0 yaitu 4.277,67 g/ekor (Tabel 3.), sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 meningkat masing – masing 2,64% dan 0,97% jika dibandingkan dengan perlakuan P0, dan pada perlakuan P2 mengkonsumsi ransum sebesar 4.319,33 g/ekor lebih rendah 1,65% dibandingkan dengan perlakuan P1, secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05).
Konsumsi air minum
Rataan jumlah air minum yang dikonsumsi selama delapan minggu penelitian pada perlakuan P0 adalah 7.131,11 ml/ekor (Tabel 3.), sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 meningkat masing – masing 4,95% dan 3,73% lebih tinggi dari perlakuan P0 dan perlakuan P2 mengkonsumsi air minum sebanyak 7.396,67 ml/ekor lebih rendah 1,18% dibandingkan dengan perlakuan P1, secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05).
Berat badan akhir
Rataan hasil penelitian menunjukan bahwa itik yang diberikan perlakuan P0 mencapai berat badan akhir 1.454,27 g/ekor (Tabel 3.), sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 masing – masing 0,89% dan 3,97% lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan P0 dan perlakuan P2 memiliki berat badan akhir sebesar 1.396,53 g/ekor lebih rendah 3,22% dibandingkan dengan perlakuan P1, secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05).
Pertambahan berat badan (PBB)
Rataan pertambahan berat badan itik selama delapan minggu pada perlakuan P0 adalah 1.411,73 g/ekor (Tabel 3.), sedangkan pada itik yang mendapat perlakuan P1 dan P2 masing – masing sebesar 0,97% dan 4,29% lebih rendah dibandingkan itik pada perlakuan P0 dan pada perlakuan P2 memiliki pertambahan berat badan sebesar 1353,67 g/ekor lebih rendah 3,29% dibandingkan dengan perlakuan P1, secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05).
FCR
Rataan hasil penelitian pada perlakuan P0 menghasilkan FCR 3,03 (Tabel 3.) sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 masing – masing sebesar 3,62% dan 5,44% lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan P0 dan pada perlakuan P2 memiliki FCR sebesar 3,20 lebih tinggi 1,75% dibandingkan dengan perlakuan P1, secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05).
PEMBAHASAN
Ternak harus mendapatkan nutrien dalam jumlah yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhannya (McNamara, 2006). Ratan konsumsi ransum itik selama delapan minggu penelitian tersaji dalam Tabel 3. Pengaruh penggantian 6% (P1) sampai 12% (P2) ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau secara statistik memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum. Hal ini disebabkan kandungan nutrien dalam ransum masih dalam standar terutama pada energi metabolis pada setiap perlakuan. Konsumsi ransum pada ternak sangat dipengaruhi oleh kandungan energinya. Apabila kandungan energi dalam ransum tinggi maka konsumsi ransum akan turun dan sebaliknya apabila kandungan energi ransum rendah maka konsumsi ransum akan naik guna memenuhi kebutuhan akan energi. Hal ini disebabkan karena unggas mengkonsumsi ransum terutama untuk memenuhi energinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wicaksana et al, (2015) ternak akan berhenti mengkonsumsi ransum apabila kebutuhan akan energi sudah terpenuhi walaupun tembolok belum penuh. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Zumiarti et al. (2017) yang menyatakan konsumsi dipengaruhi oleh kandungan nutrisinya, semakin rendah energi dan protein yang diberikan semakin tinggi konsumsi ransum karena ternak akan terus makan sampai energinya terpenuhi dan sebaliknya. Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah kandungan nutrien ransum terutama energi metabolis, temperatur lingkungan, jenis ternak, berat badan (Suprijatna et al., 2005), tipe produksi, besar ternak, aktivitas ternak, pemeliharanaan (Wahyu, 1992), fisiologis ternak, dan gerak laju dari ransum tersebut didalam alat pencernaan ternak (Amrullah, 2004).
Ratan konsumsi air minum itik selama delapan minggu penelitian tersaji dalam Tabel 3. Pengaruh penggantian 6% (P1) sampai 12% (P2) ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau secara statistik memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi air minum. Hal ini disebabkan konsumsi air minum berbanding lurus dengan konsumsi ransum. Makin banyak itik mengkonsumsi ransum maka akan semakin banyak memerlukan air. Hal ini disebabkan air minum sangat diperlukan untuk melarutkan ransum dalam saluran pencernaan ternak (Anggrodi, 1985) dan sebagai alat transportasi zat-zat makanan untuk disebarkan ke seluruh tubuh sehingga dibutuhkan lebih banyak air dari pada makanannya (Dewi, 2014). Faktor meningkatnya konsumsi air minum pada unggas dipengaruhi oleh jenis dan jumlah ransum yang dikonsumsi, suhu lingkungan, serta besar kecilnya tubuh ternak (Wahyu, 2004).
Berdasarkan rataan hasil analisis statistik dapat dilihat bahwa pengaruh penggantian 6% (P1) sampai 12% (P2) ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau secara statistik memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap pertambahan berat badan dan berat badan akhir itik selama delapan minggu penelitian yang tersaji dalam Tabel 3. Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum pada setiap perlakuan secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05). Hasil
penelitian Aprilianti et al. (2016) menyatakan bahwa pemberian limbah kecambah kacang hijau sampai taraf 15% dalam ransum tidak mempengaruhi pertambahan berat badan dikarenakan perlakuan yang diberikan juga tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Pendapat tersebut diperkuat oleh Rasyid (2009) melaporkan bahwa konsumsi ransum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan berat badan, yang berkaitan dengan nutrien yang terkandung dalam ransum dan tingkat kecernaan ransum tersebut. Menurut Arinati dan Arsyandi (2009) bahwa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jenis kelamin, sistem pemeliharaan, jumlah konsumsi ransum dan kandungan nutrien dalam ransum. Penggantian 6% sampai 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau memberikan perbadaan dalam kandungan serat kasar pada setiap perlakuan akan tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi pertambahan berat badan dan berat badan akhir itik bali jantan umur 0-8 minggu karena itik masih toleran pada kandungan serat kasar 6% sampai 12%.
FCR (Feed Convertion Ratio) merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk mengetahui efisiensi penggunaan ransum. Semakin rendah nilai FCR, semakin tinggi efisiensi penggunaan ransum (Anggrodi, 1985). Ratan FCR itik selama delapan minggu penelitian tersaji dalam Tabel 3. Pengaruh penggantian 6% (P1) sampai 12% (P2) ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau secara statistik memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap FCR. Hal ini disebabkan karena berbeda tidak nyata konsumsi ransum dan pertambahan berat badan merupakan faktor yang mempengaruhi berbeda tidak nyata nilai FCR pada setiap perlakuan. Nilai FCR pada penelitian ini lebih rendah dibandingan dengan hasil penelitian Puger et al. (2019) di mana nilai FCR itik bali jantan yang diberian penggantian tepung ikan dengan keong mas dalam ransum terhadap penampilan itik bali jantan berkisar antara 3,48-3,66.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggantian 6% sampai 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau memberikan penggaruh yang sama baiknya dengan ransum komersial terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan kepada peternak, bahwa penggantian 6% sampai 12% ransum komersial dengan tepung kulit kecambah kacang hijau tidak mempengaruhi penampilan itik jantan umur 0-8 minggu dan dapat menyamai penampilan dengan yang diberikan ransum komersial.
UCAPAKAN TERIMAKASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S, Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir.
Ida Bagus Gaga Pratama, MS, Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Dr. Dewi Ayu Warmadewi, S.Pt, M.Si, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas UdayanaPenulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Ir. Ni Wayan Siti, M.Si; Ibu Eny Puspani, S.Pt., M.Si.; Bapak I Wayan Wirawan, S.Pt., MP., atas berbagai saran dan masukan untuk penyelesaian artikel ini dan Ibu Ir. Cok Istri Putri dan Komang Sri Urdiarni telah memberikan ijin dan meneliti di Laboratorium Sesetan.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I.K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan III. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor.
Aprilianti E., Mangisah I., dan Ismadi V. D. Y. B. 2016. Pengaruh penggunaan limbah kecambah kacang hijau terhadap kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar dan pertambahan bobot badan itik magelang. J Agromedia 35(2): 33-40.
Arianti dan A. Arsyadi. 2009. Performans itik pedaging (lokal x Peking) pada fase starter yang diberi pakan dengan presentase penambahan air yang berbeda. J. Peternakan. 2 (12) : 71 – 77.
Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Tanaman Pangan Kacang Hijau. Bali : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
Dewi, K. T., I. G. N. G, Bidura, dan D. P. M. A. Candrawati. 2014. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Kelor (Moriga oleifera) Dan Bawang Putih (Allium sativum) Melalui Air Minum Terhadap Penampilan Broiler Umur 2-6 Minggu. Peternakan Tropika. Vol. 2. No. 3. Hal 461-475.
Situs internet : https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/18497
Dirjen Peternakan Dan Kesehatan Hewan. 2016. Produksi Daging Itik Menurut Provinsi. Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. (2007). Statistik Peternakan 2007. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Republik Indonesia Jakarta.
Ketaren PP, Prasetyo LH. 2007. Pengaruh pemberian pakan terbatas terhadap produktivitas itik silang Mojosari × Alabio (MA): Masa pertumbuhan sampai bertelur pertama. JITV. 12:10-15.
Kupspartoyo. 1990. Segi kehidupan itik. Majalah Swadaya Peternakan Indonesia. 59:336- 37.
McNamara JP. 2006. Principles of Companion Animal Nutrition. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall.
Puger, A. W., E. Puspani, I. M. Nuriyasa dan I. W. Yupardhi. 2019. Effect of Replacement of Fish Mill with Golden Snail Mill in Ratio to Performance of Male Bali Duck. International Journal of Life Sciences. Vol. 3. No. 1. Page 25-30.
Available at :
https://sciencescholar.us/journal/index.php/ijls/article/view/243
Rasyaf, M. 2000. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. Penebar Swadaya, Jakarta
Rasyid H. 2009. Performa produksi kelinci lokal jantan pada pemberian rumput lapang dan berbagai level ampas tahu [skripsi]. Fakultas Peternakan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Siregar AP, Sabrani, MH, Sutomoprawiro P. 1986. Teknik beternak ayam pedaging di Indonesia. Cetakan ke-2. Jakarta (Indonesia): Margie Group.
Siti, N. W., 2016. Meningkatkan Kualitas Daging Itik Dengan Daun Pepaya. Swasta Nulus. Denpasar.
SNI (Standar Nasional Indonesia). 2008. Kumpulan SNI Bidang Pakan Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Steel, R. G. D. and J. H. Torrie., 1989. Principles and Procedure of Statistic 2nd Ed. Mc. Groow – Hill Book Co, London.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Ketiga. Gajah Mada University Press, Yogjakarta.
Wahyu, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Kelima. Gajah Mada University Press, Yogjakarta.
Wicaksana, I. K. A, I. G. N. G. Bidura dan I. A. P. Utami. 2015. Pengaruh Pemberian Kultur Bakteri Selulotik Rumen Kerbau Dalam Ransum Mengandung 10% Ampas Tahu Terhdap Penampilan Itik Bali Jantan Umur 0-8 Minggu. Peternakan Tropika. Vol 4. No 1. Hal 220-233.
Situs internet: https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/22736
Yadnya, T. G. B, Pratma I. B. G, Trisnadewi A. A. A. S, dan Wirawan I. W. 2014. Kajian Pemanfaatan Kulit Ubi Jalar Unggu (Ipomoea batatas L) Terfermentasi Dalam Ransum Terhadap Konsumsi dan Nutrisi Ransum dan Efisiensi Penggunaan Ransum Pada Itik Bali Umur 22 Minggu. Majalah Ilmiah Peternakan, [S.1.], v 18, n 1. ISSN 2656-8373.
Situs internet: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mip/article/view/17946
Yulianto, Joko. 2010. Pengaruh Penggunaan Kulit Kecambah Kacang Hijau Dalam Ransum Terhadap Kecernaan Bahan Kering Dan Organik Pada Kelinci Keturunan Vlaams reus Jantan. Skripsi. Diterbitkan. Program Studi Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Zurmiati, W. M. H. Abbas, dan M. E. Mahata. 2017. Pengaruh imbangan energi dan protein ransum terhadap pertumbuhan itik pitalah yang diberi probiotik Bacillus amyloliquefaciens. J. Peternakan Indonesia. 19 (2) : 78–8.
Laksamana, K. Y.P ., et al, Peternakan Tropika Vol. 7 No. 2Th. 2019: 911 – 921.
Page 921
Discussion and feedback