e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: peternakantropika@yahoo.com

Submitted Date: Agust 7, 2019

Accepted Date:Agust 21, 2019


Editor-Reviewer Article;: I Md. Mudita & Eny Puspani

Pengaruh Tepung Kulit Kecambah Kacang Hijau Terhadap Komposisi Fisik Karkas Itik Bali Jantan Umur 8 Minggu

Putra. R. P., I M. Suasta, dan N. M. S. Sukmawati

P S Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: pradanar.rio@gmail.com Hp. 083119004893

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh tepung kulit kecambah kacang hijau terhadap komposisi fisik karkas itik bali jantan umur 8 minggu telah dilaksanakan di Farm Sesetan Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang berlokasi di Jalan Raya Sesetan, selama 8 minggu. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas tiga perlakuan, yaitu: Itik yang diberi ransum tanpa tepung kulit kecambah kacang hijau (P0), itik yang diberi ransum mengandung 6% kulit kecambah kacang hijau (P1), itik yang diberi ransum mengandung 12% kulit kecambah kacang hijau (P2). Masing-masing perlakuan terdiri atas lima ulangan dan setiap ulangan menggunakan tiga ekor itik bali jantan umur 3 hari dengan bobot badan rata-rata 42,90 g ± 1,98 g. Variabel yang diamati adalah berat potong, berat karkas, persentase karkas, persentase daging, persentase tulang, dan persentase lemak subkutan termasuk kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa itik yang diberi ransum mengandung 6% tepung kulit kecambah kacang hijau (P1) dan itik yang diberi ransum mengandung 12% tepung kulit kecambah kacang hijau (P2) secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan tanpa tepung kulit kecambah kacang hijau (P0) terhadap berat potong, berat karkas, persentase karkas, dan komposisi fisik karkas itik bali jantan umur 8 minggu. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung kulit kecambah kacang hijau sebesar 6% sampai 12% memberikan hasil yang sama dengan kontrol, meliputi : berat potong, berat karkas, persentase karkas, dan komposisi fisik karkas itik bali jantan umur 8 minggu.

Kata kunci: Tepung kulit kecambah kacang hijau, itik bali jantan, komposisi fisik karkas.

The Effect of Green Bean Sprout Peels Flour on Physical Carcasses Composition of Male Bali Duck Aged of 8 Weeks

ABSTRACT

The study aimed to determine the effect of green bean sprout peels flour on the physical carcass composition of male bali duck age of 8 weeks has been carried out at the Sesetan Farm Faculty of Animal Husbandry, Udayana University, located at Jalan Raya Sesetan, for 8 weeks. The experimental design used a Completely Randomize Design (CRD) consisting of three treatments, namely: ducks fed ration without green bean sprout peels flour (P0), ducks fed ration contain 6% green bean sprout peels flour (P1), ducks fed ration contain 12% green


bean sprout peels flour (P2). Each treatment consisted of five replications and each replication used three male bali ducks aged of 3 days with an average body weight of 42.90 g ± 1.98 g. The variables observed were slaughter weight, carcass weight, carcass percentage, meat percentage, bone percentage, and percentage of subcutaneous fat including skin. The results showed that ducks fed ration contain 6% green bean sprout peels flour (P1) and ducks fed ration contain 12% green bean sprouts peels flour (P2) were statistically not significantly different (P> 0.05) with treatment without green been sprout peels flour (P0) on slaughter weight, carcass weight, carcass percentage, and physical carcass composition of male male bali ducks aged of 8 weeks.. Based on the results of this study it can be concluded that the giving of 6% to 12% green bean sprout peels flour gives the same results with control, covering : slaughter weight, carcass weight, carcass percentage, and physical carcass composition of male male bali ducks aged of 8 weeks.

Keywords: Green bean sprout peels flour, male bali duck, physical carcass composition.

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kebutuhan akan daging sebagai sumber protein hewani telah mengalami peningkatan dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai gizi protein hewani bagi pertumbuhan dan kesehatan. Salah satu hasil ternak yang memiliki protein yang cukup tinggi yaitu daging itik. Daging itik merupakan salah satu sumber alternatif penghasil daging selain ayam pedaging, ayam kampung dan ayam petelur yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Selain karena harganya yang terjangkau daging itik mengandung berbagai zat gizi yang cukup tinggi serta memiliki cita rasa yang unik. Di kutip dari USDA oleh Andoko dan Sartono (2013) menunjukan kandungan gizi yang terdapat pada daging itik cukup tinggi antara lain kandungan protein 23,4%, lemak 11,2%, dan nilai energi 21.000 kkal/kg.

Terbukti dengan berkembangnya restoran yang menyediakan berbagai menu olahan daging itik seperti betutu, bebek panggang atau bebek goreng. Daging itik di Bali juga sangat diperlukan untuk kelengkapan upacara agama dan adat istiadat (Nitis, 2006). Menurut Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan (2016) dinyatakan bahwa produksi daging itik di Bali pada tahun 2015 sekitar 364 ton dan pada tahun 2016 mengalami peningkatan sekitar 378 ton. Meningkatnya kebutuhan daging itik setiap tahunnya menunjukkan bahwa itik mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai sumber alternatif penghasil daging.

Permasalahan yang sering menjadi kendala oleh peternak itik di Bali yakni biaya ransum. Menurut Parakkasi (1999) jumlah biaya ransum berkisar 55-85% dari seluruh

pengeluaran biaya produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dicari bahan ransum lain yang murah, mempunyai nilai nutrisi yang cukup baik, terjamin ketersediaannya, dapat dimanfaatkan oleh ternak, dan tidak bersaing dengan manusia. Salah satu jenis bahan pakan yang dapat digunakan adalah kulit kecambah kacang hijau. Kulit kecambah kacang hijau adalah limbah dari pembuatan kecambah kacang hijau atau tauge, yang ketersediaannya cukup banyak. Setiap 1 kg kacang hijau dapat menghasilkan + 5 kg tauge, sedangkan 20 – 40 % merupakan kulit kecambah kacang hijau (Yulianto, 2010). Semakin banyak pembuatan tauge maka semakin banyak limbah yang dihasilkan yaitu kulit kecambah kacang hijau (Surya, 2010). Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2015) jumlah produksi kacang hijau di Provinsi Bali pada tahun 2015 sebanyak 516 ton sehingga limbah kulit kecambah kacang hijau didapatkan sebanyak 51,6 ton.

Menurut Yulianto (2010) kulit kecambah kacang hijau mengandung energi 2841,67 kkal/kg protein kasar 13,56 %, serat kasar 33,07 %, lemak kasar 0,22%, dan TDN 64,58% sehingga kulit kecambah ini potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak sumber serat. Semakin meningkatnya serat kasar dalam ransum akan menyebabkan penyerapan lemak akan semakin menurun sehingga komposisi fisik karkas menjadi lebih baik. Hal ini didukung dengan pernyataan Samudera dan Hidayatullah (2008) menyatakan bahwa jumlah bantalan dan lemak abdomen itik menurun dengan semakin meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum. Apabila salah satu komponen fisik karkas meningkat maka komponen fisik karkas yang lain akan menurun, semua jaringan ini akan tumbuh berbeda-beda sesuai dengan umur ternak tersebut (Barhiman, 1976).

Aprilianti et al (2017) melaporkan bahwa, penggunaan tepung limbah kecambah kacang hijau dalam ransum sampai taraf 15% belum meningkatkan kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar, dan pertambahan bobot badan pada itik Magelang jantan. Berdasarkan informasi tersebut, maka penelitian ini perlu dilaksanakan untuk mengetahui pemberian tepung kulit kecambah kacang hijau dapat menurunkan lemak sehingga meningkatkan proporsi daging dalam komposisi fisik karkas itik bali jantan umur 8 minggu.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian tepung kulit kecambah kacang hijau dapat menurunkan lemak sehingga meningkatkan proporsi daging dalam komposisi fisik karkas itik bali jantan umur 8 minggu.

MATERI DAN METODE

Itik

Ternak itik yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik bali jantan umur 3 hari sebanyak 45 ekor dengan bobot badan rata-rata 42,90 g ± 1,98 g. Itik tersebut diperoleh dari peternakan itik UD. Erna, Kediri, Tabanan.

Kandang dan perlengkapan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang sistem “Battery Colony” sebanyak 15 unit, yang terbuat dari kayu, bambu, dan kawat jaring. Setiap unit kandang mempunyai ukuran panjang x lebar x tinggi, yaitu 80 cm x 65 cm x50 cm, dengan tinggi kolong 57 cm. Kandang diletakan pada bangunan berukuran 9,70 m x 8,85 m yang mengunakan atap dari genteng dan lantai dari beton. Setiap petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan yang terbuat dari paralon yang dibelah menjadi 2 bagian dan tempat minum terbuat dari botol bekas 1500 ml. Di bawah kandang diletakkan lembaran seng kemudian diberi serbuk gergaji kayu dan abu dapur agar feses yang basah dapat diserap dengan baik. Untuk mengurangi aroma dari feses, kandang dibersihkan setiap 3 hari sekali.

Ransum dan air minum

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini tersusun dari pakan komersial CP 511B dan tepung kulit kecambah kacang hijau. Air minum yang digunakan adalah air yang berasal dari sumur bor ditambah molasis dan gula. Komposisi bahan penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan komposisi nutrien dalam ransum terdapat pada Tabel 2.2.

Tabel 1 Komposisi bahan penyusun ransum penelitian

Bahan (%)

Perlakuan

P0

P1

P2

CP 511B

100

94

88

Tepung kulit kecambah kacang hijau

0

6

12

Total

100

100

100

Keterangan:

P0 : Ransum control tanpa tepung kulit kecambah kacang hijau

P1 : Ransum mengandung 6% tepung kulit kecambah kacang hijau

P2 : Ransum mengandung 12% tepung kulit kecambah kacang hijau

Tabel 2 Komposisi nutrien dalam ransum

Nutrien

Perlakuan 1)

P0

P13)

P23)

Standar2)

Energi metabolis (kkal/kg)

2950

2943,50

2937

Min 2700

Protein kasar (%)

22

21,49

20,99

Min 18

Lemak kasar (%)

5

4,71

4,42

7

Serat kasar (%)

5

6,68

8,36

7

Kalisum (%)

0,90

0,84

0,79

0,9 – 1,2

Fospor (%)

0,60

0,56

0,52

0,6 – 1,0

Keterangan:

1) P0 : Ransum kontrol tanpa tepung kulit kecambah kacang hijau

P1 : Ransum mengandung 6% tepung kulit kecambah kacang hijau

P2 : Ransum mengandung 12% tepung kulit kecambah kacang hijau

2) Standar : Standar Nasional Indonesia (2008)

3) Yulianto (2010)

Tepung kulit kecambah kacang hijau

Kulit kecambah kacang hijau yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pedagang kecambah yang ada di Denpasar. Kulit kecambah kacang hijau yang sudah didapat dijemur di bawah sinar matahari selama kurang lebih 1 hari. Setelah kering kulit kecambah tersebut dipisahkan dengan kecambah yang masih tersisa, kemudian digiling menggunakan blender sampai halus, lalu disimpan di dalam ember tertutup dalam suhu ruangan.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: timbangan elektrik kapasitas 5 kg dengan kepekaan 1 g yang digunakan untuk menimbang berat itik dan bahan-bahan penyusun ransum, baskom dengan ukuran sedang untuk mencampur ransum, kantong plastik untuk tempat perlakuan ransum, gelas ukur 1litter untuk mengukur air minum, lembaran plastik dan nampan diletakan di bawah tempat makan dan minum untuk menampung pakan dan air yang jatuh, talenan dan pisau untuk memotong karkas, alat tulis untuk mencatat setiap kegiatan yang dilaksanakan selama penelitian.

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Farm Sesetan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, yang berlokasi di Sesetan, Denpasar, Bali, selama 8 minggu, mulai dari tanggal 16 Februari sampai 16 April 2019.

Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 5 kali ulangan. Setiap ulangan berisi 3 ekor itik, sehingga total itik yang digunakan adalah 3 x 5 x 3 = 45 ekor. Adapun perlakuan tersebut adalah;

P0: Ransum tanpa tepung kulit kecambah kacang hijau,

P1: Ransum mengandung 6% tepung kulit kecambah kacang hijau,

P2: Ransum mengandung 12% tepung kulit kecambah kacang hijau,

Pengacakan itik

Sebelum penelitian dimulai, untuk mendapatkan berat badan itik yang homogen, maka semua itik sebanyak 65 ekor, ditimbang untuk mencari bobot badan rata-rata (X) dan standar deviasinya. Itik yang digunakan adalah yang memiliki kisaran bobot badan rata-rata ± standar deviasinya (42,90 g ± 1,98 g) sebanyak 45 ekor. Itik tersebut kemudian dimasukan ke dalam 15 unit kandang secara acak dan masing-masing unit diisi 3 ekor.

Pencampuran ransum

Sebelum mencampur ransum terlebih dahulu mempersiapkan alat-alat seperti timbangan, wadah plastik dan baskom yang sudah diberi label perlakuan. Pencampuran ransum dilakukan dengan cara menimbang terlebih dahulu bahan-bahan penyusun ransum. Penimbangan di mulai dari bahan-bahan yang jumlahnya paling banyak, dilanjutkan dengan bahan yang jumlahnya lebih sedikit. Bahan ransum yang sudah ditimbang diratakan diatas lembaran plastik, kemudian dibagi empat bagian. Masing-masing bagian diaduk sampai rata, kemudian dicampur secara silang. Campuran tersebut dijadikan satu dan diaduk sampai homogen. Ransum yang telah homogen dimasukan ke dalam kantong plastik dan diberi kode sesuai perlakuan.

Pemberian ransum dan air minum

Ransum dan air minum diberikan ad libitum (tersedia setiap saat). Penambahan ransum dan air minum diberikan sesuai kebutuhan. Tempat pakan diisi ^4 untuk menghindari ransum tercecer pada saat itik makan.

Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan pada saat itik berumur 8 minggu, Untuk mendapatkan sampel yang homogen, semua itik ditimbang pada setiap perlakuan dan masing-masing ulangan, kemudian dicari berat rata-ratanya. Itik yang digunakan sebagai sampel adalah yang memiliki berat badan mendekati rata-rata dan diambil 1 ekor/unit kandang. Jadi, jumlah itik yang dipotong untuk diuji sesuai variabel sebanyak 15 ekor.

Prosedur pemotongan

Sebelum melakukan penyembelihan/pemotongan, itik terlebih dahulu di puasakan 12 jam, tetapi air minum tetap diberikan, kemudian ditimbang bobot badannya. Pemotongan ternak itik dilakukan dengan memotong vena jugularis dan arteri carotis yang terletak antara

tulang kepala dengan ruas tulang leher pertama USDA (United State Departement of Agriculture 1977). Darah yang keluar di tampung dengan mangkok lalu di timbang beratnya.

Setelah itik dipastikan mati, selanjutnya dilakukan pencabutan bulu dengan cara mencelupkan itik yang sudah mati ke dalam air panas dengan suhu ± 65o C – 75oC, selama ±1 menit untuk mempermudah proses pencambutan bulu. Tahap selanjutnya adalah mencari berat karkas dengan cara memotong bagian kepala, leher, dan kaki serta mengeluarkan organ dalamnya. Setelah karkas didapat, selanjutnya dilakukan pemisahan komponen fisik karkas yang terdiri atas bagian tulang, daging, dan lemak subkutan termasuk kulit, kemudian ditimbang.

Variabel yang diamati

Variabel yang diamati adalah berat potong, berat karkas, persentase karkas dan komposisi fisik karkas itik yang meliputi persentase tulang, daging, dan lemak subkutan termasuk kulit.

  • 1)    Berat potong, didapatkan dengan menimbang semua itik pada setiap unit percobaan, kemudian dirata-rata, dan itik yang dipotong adalah itik yang mempunyai berat badan yang paling mendekati berat badan rata-rata dalam setiap unit kandang.

  • 2)    Berat karkas, didapatkan dengan memisahkan bagian darah, bulu, kepala, leher, kaki, organ dalam kecuali ginjal dan paru-paru, dan saluran pencernaan dari tubuh itik, kemudian ditimbang.

  • 3)    Persentase karkas, didapatkan dari hasil bagi antara berat karkas dengan berat potong (berat potong itik yang dijadikan sampel) dikalikan 100%.

  • 4)    Komposisi fisik karkas, diperoleh dengan menimbang bagian daging, tulang, dan lemak subkutan termasuk kulit dari karkas. Masing-masing komponen karkas tersebut kemudian dibagi dengan berat karkas dan dikalikan 100%.

Analisis statistik

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat potong dan berat karkas pada itik yang diberi ransum mengandung 6% kulit kecambah kacang hijau (P1) dan itik yang diberi ransum mengandung 12% kulit kecambah kacang hijau (P2) memberikan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan itik yang diberi ransum tanpa tepung kulit kecambah kacang hijau (P0) , hal ini disebabkan oleh rata-rata konsumsi ransum pada perlakuan P0, P1, dan P2 yang sama (Lampiran 7), akibatnya zat-zat makanan yang diserap tidak berbeda sehingga menyebabkan pertumbuhan pada itik menjadi sama. Hal ini didukung oleh Wahju (1997) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor bangsa, jenis kelamin, umur, ransum, dan lingkungannya. Berat karkas juga dipengaruhi oleh berat non karkas seperti berat organ dalam, darah, bulu, kepala, kaki, dan saluran pencernaan. Berat organ dalam (berat jantung, hati, proventrikulus, ventrikulus, empedu, dan usus halus) pada perlakuan P1 dan P2 relatif sama dengan perlakuan P0 (Lampiran 7). Hal ini didukung oleh Soeparno (2005) yang melaporkan bahwa karkas sangat ditentukan oleh bobot potong dan bobot bukan karkas.

Persentase karkas itik bali jantan yang mendapat perlakuan P1 dan P2 memberikan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan P0 (Tabel 3.1). Hal ini sangat erat hubungannya dengan berat potong dan berat karkas, semakin tinggi berat potong dan berat karkas maka akan berpengaruh terhadap persentase karkas yang semakin tinggi (Cakra, 1986).

Hasil penelitian menunjukkan persentase daging karkas pada itik bali jantan pada perlakuan P1 sebesar 53,52% dan pada perlakuan P2 sebesar 48,84% secara statistik menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan P0 sebesar 49,65%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsumsi protein dalam ransum yang sama, sehingga menyebabkan persentase daging pada karkas menjadi sama. Hal ini didukung oleh Widuri (2002), bahwa konsumsi protein akan digunakan untuk pertumbuhan dan produksi tubuh ternak, sehingga berpengaruh pada pertambahan bobot tubuh. Card dan Nesheim (1972) menyatakan bahwa konsumsi protein merupakan jumlah protein yang dikonsumsi oleh unggas yang tergantung pada jumlah konsumsi ransum.

Tabel 3. Pengaruh tepung kulit kecambah kacang hijau terhadap komposisi fisik karkas itik bali jantan umur 8 minggu

Variabel

Perlakuan1)

SEM2)

P0            P1           P2

Berat potong (g/ekor)

Berat karkas (g/ekor)

Persentase karkas (%)

Persentase tulang (%)

Persentase daging (%)

Persentase lemak subkutan termasuk kulit (%)

1436,20a3)       1436,00a       1407,80a           14,03

861,00a        829,20a        821,80a           11,40

59,92a          57,69a          58,38a            0,39

23,95a         21,13a          23,51a            0,65

49,65a          53,52a          48,84a            0,60

26,40a         25,35a          27,65a            0,42

Keterangan :

1) P0: Ransum tanpa tepung kulit kecambah kacang hijau

P1: Ransum mengandung 6% tepung kulit kecambang kacang hijau

P2: Ransum mengandung 12% tepung kulit kecambah kacang hijau

2) SEM = “Standard error of the treatment means”

3) Superskrip sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05)

Persentase tulang ketiga perlakuan menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena komponen tulang merupakan komponen karkas yang sifatnya masak dini, seperti yang dilaporkan oleh Rasyaf (1995), bahwa pertumbuhan tubuh yang kemudian membentuk karkas terdiri atas tiga jaringan utama yaitu jaringan tulang yang membentuk kerangka, otot yang membentuk daging dan lemak. Diantara ketiga jaringan itu, yang tumbuh paling awal adalah tulang, kemudian baru diikuti pertumbuhan urat sebagai daging, sedangkan lemak tubuh paling akhir.

Persentase lemak subkutan termasuk kulit pada itik bali jantan yang diberi perlakuan P1 sebesar 25,35% dan perlakuan P2 sebesar 27,65% berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan P0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh konsumsi energi pakan yang sama, apabila ternak mengkonsumsi energi yang berlebihan maka ternak akan menimbun kelebihan energi tersebut dalam bentuk lemak (Scott et al., 1982 dan Wahju, 1997). Selain itu kemungkinan disebabkan juga oleh konsumsi lemak yang sama. Pernyataan diatas didukung oleh Rosebrough et al., (1999) yang menyatakan lemak dalam ransum berpengaruh terhadap pembentukan lemak pada unggas, sehingga menyebabkan persentase lemak subkutan termasuk kulit menunjukkan hasil yang sama.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung kulit kecambah kacang hijau pada level 6% dan 12% memberikan hasil yang sama dengan kontrol,

meliputi : berat potong, berat karkas, persentase karkas, dan komposisi fisik karkas itik bali jantan umur 8 minggu.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir Ida Bagus Gaga Partama, MS dan seluruh responden yang telah bekerja sama dengan baikdalam pengumpulan data selama peneitian ini. Terimakasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu menyelesaikan penlitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Andoko, A., dan Sartono. 2013. Beternak Itik Pedaging. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Tanaman Pangan Kacang Hijau. Bada Pusat Statistik Provinsi Bali, Bali.

Barhiman, S. 1976. Kualitas ayam kampung dan persilangan ayam kampung dengan RIR. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Card, L. E. dan M. C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia.

Cakra, I. G. L. O. 1986. Pengaruh Pemberian Hijauan Versus Top Mix Terhadap Karkas dan Bagian Tubuh Lainnya Pada Ayam Pedaging. Skripsi. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementrian Pertanian. Republik Indonesia. Jakarta.

Nitis. 2006. Peternakan Berwawasan Kebudayaan. Art Foundation, Denpasar.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Cetakan Pertama Penerbit up, Jakarta.

Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Rosebrough, R. W., J. P. Murtry dan R. Vasilatos Youken. 1999. Dietary fat and protein interactions in the broiler. Poultry Sci. 78:992-998.

Samudera, R. dan A. Hidayatullah. 2008. Warna kulit, lemak abdomen, dan lemak karkas itik alabio (Anas Plathyrhincos Borneo) jantan akibat pemberian azolla dalam ransum. Animal Production Vol. 10 (3): 164-167

Scott, M. L., M. C. Nesheim dan R. J. Young. 1982. Nutrition of Chicken 3rd Ed. Scottan Association Inc. West Port, Connecticut.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Tenologi Daging. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2008. Kumpulan SNI Bidang Pakan Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia. Pustaka Utama, Jakarta.

Surya, Ridwan Adi. 2010. Pengaruh Penggunaan Kulit Kecambah Kacang Hijau Dalam Ransum Terhadap Produksi Karkas Kelinci Keturunan Vlaams reus Jantan. Skripsi. Sarjana Peternakan, Fakultas Pertanian, Program Studi Peternakan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

USDA United States Departement of Agriculture, 1977. Poultry Grading Manual. U. S. Government Printing Office. Washington. D. C.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan IV. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Widuri. 2002. Pengaruh suplementasi sumber mineral dalam konsentrat terhadap performans kambing PE yang diberi pakan dasar rumput. Jurnal, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar. Hal.6

Yulianto, J. 2010. Pengaruh Penggunaan Kulit Kecambah Kacang Hijau Dalam Ransum Terhadap Kecernaan Bahan Kering Dan Organik Pada Kelinci Keturunan Vlaams Reus Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Program Studi Peternakan, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.

Putra, R.P.. et al, Peternakan Tropika Vol. 7 No. 1 Th. 2019: 812 – 822

Page 822