In Vitro Digestibility and Fermentation Products From Rice Straw Silage with Rumen Liquid Addition
on

e-journal
FAPET UNUD
e-Journal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: peternakantropika@yahoo.com
Submitted Date: Juny 13, 2019
Accepted Date: Juny 26, 2019
Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita & A. A. P. Putra Wibawa
Kecernaan In Vitro dan Produk Fermentasi dari Silase Jerami Padi yang Dibuat dengan Penambahan Cairan Rumen
Saputra, I K. T. A., A. A. A. S. Trisnadewi, dan I G. L. O. Cakra.
Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar Email: komangtrsinaa@gmail.com HP. 081246246716.
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kecernaan in vitro dan produk fermentasi dari pembuatan silase jerami padi dengan penambahan cairan rumen.Pembuatan silase dilakukan di Desa Sidemen, Kabupaten Karangasem, dan analisis silase dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana selama enam (6) bulan, dari bulan Juni 2018 sampai dengan Desember 2018. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan A (jerami padi tanpa cairan rumen), perlakuan B (jerami padi+ 50 ml cairan rumen steril/kg jerami), perlakuan C (jerami padi + 25 ml cairan rumen segar/kg jerami + 25 ml cairan rumen steril/kg jerami), dan perlakuan D (jerami padi + 50 ml cairan rumen segar/kg jerami). Variabel yang diamati adalah kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, pH, NH3 (Amonia), dan VFA (volatile fatty acid).Hasil penelitian menunjukkan setiap variabel kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, NH3, dan VFA pada perlakuan A, B, C, dan D berbeda nyata (P<0,05), sedangkan untuk nilai pH tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan cairan rumen pada pembuatan silase jerami padi meningkatkan kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, NH3 (amonia), VFA, dan tidak mempengaruhi nilai pH.
Kata kunci: silase jerami padi, cairan rumen, kecernaan in vitro, prodak fermentasi
In Vitro Digestibility and Fermentation Products From Rice Straw Silage with Rumen Liquid Addition
ABSTRACT
This study aims to determine in vitro digestibility and fermentation products from making rice straw silage with rumen liquidaddition.Silage making conducted in Sidemen Village, Karangasem Regency, and silage analysis was carried out at the Animal Nutrition and Feed Laboratory, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University for six (6) months, from June 2018 to December 2018.The design used completely randomized design (CRD) with four treatments and four replications the treatments were A (rice straw without rumen liquid), B (rice straw + 50 ml sterile rumen liquid/kg straw), C (rice straw + 25 ml fresh rumen liquid/kg straw + 25 ml sterile rumen fluid/kg straw), D (rice straw + 50 ml fresh rumen liquid/kg straw).Variables observed were dry matter digestibility, organic matter digestibility, pH, NH3, and VFA. The results showed that dry matter digestibility, organic

matter digestibility, NH3, and VFA in treatments A, B, C, and D were significantly different (P<0,05), whereas for pH values not significantly different (P>0,05). It can be concluded that rumen liquid addition of making rice straw silage could increase the dry metter digestibility, organic matter digestibility, NH3and VFA and not affected the pH value.
Keywords: rice strawsilage, rumen liquid, in vitro digestibility, fermentation products
PENDAHULUAN
Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan.Ketersediaan hijauan pakan ternak semakin terbatas karena semakin menyusutnya lahan bagi pengembangan produksi hijauan akibat penggunaan untuk keperluan pangan, tempat pemukiman, dan pembangunan industri.Dalam upaya menekan biaya pakan perlu dilakukan usaha mencari sumber bahan baru yang lebih murah, mudah didapat, bergizi baik tetapi tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, sehingga perlu digali potensi bahan yang banyak tersedia serta memanfaatkan limbah hasil pertanian.Secara umum limbah hasil pertanian dan perkebunan cukup tersedia di berbagai daerah Indonesia, namun potensi limbah tersebut untuk digunakan sebagai pakan ternak belum dikembangkan secara optimal.
Dalam upaya meningkatkan nilai gizi dari pakan ternak yang umum dilakukan adalah dengan membuat hijauan kering (hay), penambahan urea (amoniasai), dan awetan hijauan (silase) (Hanafi, 2008).Silase merupakan salah satu bentuk konservasi (pengawetan) hijauan pakan.Prinsip pembuatan silase adalah menghentikan kontak antara hijauan dengan oksigen, sehingga dalam keadaan anaerob bakteri asam laktat dapat tumbuh dengan mengubah karbohidrat mudah larut menjadi asam laktat (Heinritz, 2011).
Banyaknya jenis limbah pertanian, salah satu yang dapat digunakan sebagai silase yaitu jerami padi.Jerami padi merupakan produk samping tanaman padi yang tersedia dalam jumlah yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan produk samping pertanian lainnya dan terdapat hampir di setiap daerah di Indonesia.Ketersediaan jerami padi dalam jumlah yang cukup melimpah ini merupakan peluang besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan dan sumber energi bagi ternak ruminansia. Namun, pemanfaatan jerami padi sebagai pakan memiliki faktor pembatas, yaitu tingginya serat kasar dan rendahnya kandungan nitrogen (Weimer et al., 2003). Serat kasar yang tinggi menghalangi proses hidrolisis oleh enzim mikroba di dalam rumen, sehingga menurunkan tingkat kecernaan (Tang et al., 2008). Nilai kecernaan bahan kering jerami padi hanya mencapai 35-37% dan kandungan protein kasarnya hanya sekitar 34%, padahal temak ruminansia membutuhkan bahan hijauan pakan dengan nilai kecernaan minimal 50-55% dan kandungan protein kasar sekitar 8% (Thalib et al., 2000).
Cairan rumen mengandung berbagai mikroorganisme baik bakteri, fungi maupun protozoa (Kamra, 2005). Cairan rumen sapi bali juga potensial dimanfaatkan sebagai inokulan kaya nutrisi mudah larut, mikroba dan enzim pendegradasi serat (Mudita et al., 2012).
Metode kecernaan in vitro adalah suatu metode pendugaan kecernaan secara tidak langsung yang dilakukan di laboratorium dengan meniru proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan ruminansia. Kelebihan teknik in vitro diantaranya adalah degradasi dan fermentasi pakan terjadi di dalam rumen dapat diukur secara cepat dalam waktu relatif singkat, biaya ringan, jumlah sampel yang dievaluasi lebih banyak dan kondisi terkontrol.Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan memberikan arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicerna ke dalam saluran pencernaan. Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien tertentu pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrien untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak (Yusmadi, 2008).
Orskov (1988) menyatakan bahwa antara proses fermentasi dengan produksi protein mikroba saling ketergantungan. Hasil akhir fermentasi tersebut berupa volatile fatty acid (VFA) dan gas metana yang kemudian akan bergabung dengan nitrogen bukan protein (NBP) ke dalam sel mikroba. Fermentasi protein menghasilkan produk akhir NH3 yang sangat penting untuk sintesis protein di dalam rumen.NH3 dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba. Sumber amonia selain dari protein juga berasal dari NPN (Non Protein Nitrogen) dan garam-garam amonium dapat digunakan untuk sintesis protein mikroba (Arora, 1989) dan kondisi tersebut tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen makanan, kecepatan absorbsi amonia dan asam-asam amino, kecepatan aliran bahan keluar dari rumen, kebutuhan mikroba akan asam-asam amino dan jenis fermentasi rumen berdasarkan jenis makanan.
Berdasarkan dari permasalahan di atas maka dilakukan penelitian dengan judul kecernaan in vitro dan produk fermentasi dari pembuatan silase jerami padi dengan penambahan cairan rumen.
MATERI DAN METODE
Alat dan bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan silase adalah jerami padi, molasses, pollard, dan cairan rumen.
Alat-alat yang diperlukan dalam pembuatan silase antara lain timbangan, terpal sebagai alas mencampur silase, pisau untuk memotong bahan silase, papan sebagai alas pemotong, kantong plastik sebagai pembungkus bahan silase, toples dengan tutup sebagai silo, dan isolasi sebagai perekat toples dan tutup agar tidak ada udara yang masuk.
Tempat dan waktu penelitian
Pembuatan silase dilakukan di Desa Sidemen, Kabupaten Karangasem, dan analisis silase dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana selama enam (6) bulan. Dari bulan Juni sampai dengan Desember 2018
Pembuatan silase
Pembuatan silase dilakukan dengan cara, jerami padi dipotong-potong dengan ukuran 3-5 cm dan di atasnya ditaburkan 10% pollar dan 10% molassesdari total berat jerami padi yang digunakan, serta cairan rumen sesuai dengan perlakuan yang diberikan.Campur potongan jerami padi dengan pollard, molasses dan cairan rumen secara merata, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dimampatkan sehingga tercipta keadaan anaerob dan plastik diikat erat.Selanjutnya ditempatkan dalam toples dengan penutup, toples disegel menggunakan isolasi dan ditempatkan di tempat yang sejuk dan tidak terkena cahaya matahari.Silase jerami padi difermentasi selama tiga minggu, kemudian dilakukan pengamatan kercernaan in vitro dan produk fermentasi dari silase jerami padi.
Analisis laboratorium
Sampel silase yang telah diambil dianalisis secara in vitro mencari kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, NH3, VFA total, dan pH.
Rancangan percobaan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Empat perlakuan silase yaitu perlakuan
A =jerami padi tanpa cairan rumen
B =jerami padi + 50 ml cairan rumen steril/kg jerami
C = jerami padi + 25 ml cairan rumen steril/kg jerami + 25 ml cairan rumen segar/kg jerami
D = jerami padi + 50 ml cairan rumen segar/kg jerami
Silase dibuat dengan menggunakan aditif 10% molases dan 10% pollar. Trisnadewi et al., (2017)
Peubah yang diamati
Peubah yang diamataiterdiri atas
-
1. kecernaan bahan kering dan bahan organik silase
-
2. produk fermentasi rumen: pH, kadar NH3 dan VFA total cairan rumen.
Prosedur penelitian
-
1. Pembuatan inokulan pada analisis in vitro
Pembuatan inokulan untuk penentuan in vitro adalah sebagai berikut:larutan buffer dari 17,42 gram CH3COOH dan 4,10 gram CH3COONa. 17,42 gram CH3COOH dilarutkan pada aquades sampai volume 125 ml pada temperatur kamar, kemudian 4,10 gram CH3COONa dilarutkan dengan aquades sampai volume 25ml pada labu ukur kemudian dikocok sampai homogen. Langkah selanjutnya mencampur larutan CH3COOH dan CH3COONa sampai homogen.
Larutan pepsin dibuat dengan 2,5 gram pepsin dalam gelas erlenmeyer, kemudian ditambahkan HCL 0,1 N sampai volume 1250ml. campuran pepsin dan HCL 0,1 N tersebut selanjutnya diaduk dengan “magnetic stirrer”. Mulut labu Erlenmeyer ditutup dengan kertas alumunium foil.Setelah larutan pepsin homogen maka larutan pepsin siap untuk digunakan. Larutan inokulan dibuat dengan mengambil 2,5 liter yang telah disaring dengan kain muslim yang pada kondisi 39- 40oC. Selanjutnya dicampurkan ke dalam larutan buffer di atas, aduk sampai rata, dipertahankan pada suhu 39- 40oC dalam pemanas air.
-
2. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik in vitro (KcBK dan KcBO)
Pengamatan fermentasi secara in vitro dilakukan dalam dua waktu pengamatan yang berbeda yaitu 4 jam dan 48 jam. Metode yang digunakan adalah menurut Minson dan MC Leod Method (1972) yang dimodifasi. Cara kerja untuk menentukan kecernaan in vitro yaitu sampel sebanyak 0,2500 g ditambah 25 ml cairan rumen buffer MCDougall dengan suhu 40o C, selanjutnya diinkubasi dalam shakerbath dengan suhu 40o C selama 4jam dan 48 jam. Setiap jam digoyangkan dan dikeluarkan anginnya. Setelah lama waktu inkubasi yang ditentukan, selanjutnya dikeluarkan dan dipusingakan pada 3500 rpm selama 10 menit. Substratakan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan supernatant yang bening berada dibagian atas. Diambil supernatan untuk dianalisis NH3, VFA total dan pH. Substrat yang
tersedia digunakan untuk analisi kecernaan bahan kering dan bahan organik pada tahap berikutnya. Residu hasil sentrifuge pada kecepatan 3500 rpm selama 10 menit ditambahakan 25 ml larutan pepsin 1:10.000 dengan konsentrasi 0,2% dalam HCL 0,1 N, kemudian diinkubasi lagi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan prosedur yang sama seperti diatas sampai pencucian. Setelah pencucian berakhir, dipindahkan secara kualitatif residu ke dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya. Diuapkan dalam forced draught oven sampai ±12 jam dan dipindahkan ke oven bahan kering selama 9 jam, didinginkan dalam desikator dan timbang. Kemudian dilanjutkan pembakaran ke dalam tanur sampai diperoleh bobot abu. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum dapat dihitung dengan rumus:
BK sampel (g)— BK residu (g)—BK residu blanko (g') %KCBK = x100%
BK sampel (g)
BO sampel (g) — BO residu (g') %KCBO = x100%
BO sampel(g)
-
3. pH Cairan Rumen
Nilai pH ( tingkat keasaman) dalam penelitian ini menggunakan alat pH meter. Alat tersebut sebelum digunakan distandarisasi dengan mencelupkan probe kedalam larutan standar Buffer hingga menunjukan nilai pH = 7, setelah itu masukan probe kedalam sampel, kemudian amati nilai pH dari sampel tersebut.
-
1. NH3(Amonia)
Konsentrasi NH3 (amonia), ditentukan dengan metode phenolhypochlorite (Solarzano, 1969).Metode dalam penentuan ammonia ini berdasarkan pada reaksi warna yang ditentukan oleh jumlah ammonia dalam cairan (larutan) yang dapat dibaca dengan mata atau dengan Spectrophotometer. Tahap pengerjaannya adalah sebagai berikut: semua peralatan yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dan diatas sesuai dengan prosedur kerja. Filtrat dari residu pencernaan fermentasi in vitro ditampung dalam botol sampel dan ditetesi asam sulfat pekat sebanyak 3 tetes, kemudian diencerkan 100 kali dengan menggunakan aquades. Selanjutnya ambil 5 ml ke dalam tabung spekto lalu secara berturut turut ditambah 0,3 ml larutan Fenol 10%, 0,2 ml larutan natrium nitroprusside 0.5% dan 0,5 ml larutan
pengoksidasi. Kemudian reaksi warna dibaca sebagai absorbansi yang dilakukan 5 menit setelah penambahan larutan oksidasi dengan menggunakan Spectrophotometer pada panjang gelombang 640 nm.
Konsentrasi NH3 dihitung berdasarkan hasil regresi dari larutan standar dengan rumus
y = mx + b
Keterangan :
y = Hasil dalam ppm NH3
m = Slope, sudut kemiringan
x = Hasil pembacaan dalam absorban
b = Intercept, garis perpotongan
5. VFA (volatile fatty acid)
Konsentrasi VFA total dilakukan dengan teknik destilasi uap (General Laboratory Procedure,1996). Sebanyak 5 ml supernatan sampel cairan rumen dimasukan ke dalam tabung destilasi yang dipanaskan dengan air mendidih dalam labu penyuling. Tutup rapat tabung dengan segera setelah ditambahakan 1 ml larutan H2SO4 15%, maka VFA akan terdesak oleh uap air panas yang melewati tabung pendingin terkondenasi dan selanjutnya akan ditampung dalam tabung Erlenmeyer yang sebelumnya telah diisi NaOH 0,5 N hingga mencapai volume 100-300 ml. kemudian ditambahkan 2-3 tetes indicator phenolptalin untuk selanjutnya ditambahkan titrasi dengan HCl 0.5 N. Proses titrasi diakhiri pada saat terjadinya titik awal perubahan warna merah muda menjadi bening, namun sebelum itu dilakukan titrasi blanko terhadap 5 ml NaOH. Kadar VFA total dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
VFA Total = (b – s) × N HCl ×1000 / mM
Keterangan:
b = Volume titrasi blanko (ml)
s = Volume titrasi sampel (ml)
N = Normalitas larutan HC
Analisi data
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, apabila nilai rataan perlakuan berpengaruh nyata pada peubah, dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1991)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil dari penelitian kecernaan in vitro dan produk fermentasi dari silase jerami padi yang dibuat denganpenambahan cairan rumen disajikan pada Table 1
Tabel 1 Kecernaan in vitro dan produk fermentasi dari silase jerami padi.
Variabel |
A |
Perlakuan(1) |
SEM(2) | ||
B |
C |
D | |||
Kecernaan bahan kering (KcBK) (%) Kecernaan bahan organik (KcBO) (%) |
45,59c (3) |
47,30b |
48,61ba |
49,20a |
0,22 |
49,67c |
53,53b |
54,65b |
58,05a |
0,95 | |
pH |
6,64a |
6,83a |
6,56a |
6,72a |
0,20 |
NH3(mM) |
5,84b |
7,25a |
7,82a |
8,29a |
0,42 |
VFA (mM) |
24,04c |
29,33b |
33,44a |
35,00a |
1.07 |
Keterangan:
1. A = Silase jerami padi tanpa cairan rumen (kontrol), B = Silase jerami padi + 50 ml cairan
rumen steril/kg jerami, C = Silase jerami padi + 25 ml cairan rumen segar + 25 ml cairan rumen steril/ kg jerami, D = Silase jerami padi + 50 ml cairan rumen segar/ kg jerami SEM: “Standard Error of the Treatment Means”
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Kecernaan bahan kering (KcBK)
Hasil kecernaan bahan kering (KcBK) dari silase jerami padi perlakuan A (kontrol) yaitu 45,59% (Tabel 1). Perlakuan A mempunyai rata-rata lebih rendah dari perlakuan B, C, dan D sebesar 3,75% ; 6,62% ; dan 7,90%, secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Perlakuan B lebih rendah dari perlakuan D sebesar 4,02% (P<0,05). Perlakuan B dan C serta perlakuan C dan D mempunyai rata-rata berbeda tidak nyata (P>0,05).
Kecernaan bahan organik ( KcBO )
Hasil kecernaan bahan organik (KcBO) dari silase perlakuan A (kontrol) yaitu 49,67% (Tabel 1). Perlakuan A mempunyai rata-rata KCBO lebih rendah dari perlakuan B, C, dan D sebesar 7,77% ; 9,45% ; dan 16,26%, secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Perlakuan D lebih tinggi dari perlakuan B dan C sebesar 7,78% dan 5,85% (P<0,05). Perlakuan B dan C mempunyai rata-rata berbeda tidak nyata (P>0,05).
Nilai pH
Rata-rata nilai pH dari silase jerami padi perlakuan A (kontrol) yaitu 6,64 (Tabel 1). Perlakuan A mempunyai nilai pH yang lebih rendah dari perlakuan B dan D sebesar 2,86% dan 1,20% serta lebih tinggi dari perlakuan C sebesar 1,20% dan secara statistik antar perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05).
NH3(Amonia)
Hasil NH3 dari sisalse jerami padi dimana perlakuan A (kontrol) yaitu 5,84 mM (Tabel 1). Perlakuan A mempunyai rata-rata NH3 lebih rendah dari perlakuan B, C, dan D sebesar 24,14% ; 33,90% ; dan 41,95%, secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Perlakuan B, C, dan D mempunyai rata-rata yang berbeda tetapi tidak nyata (P>0,05).
VFA (Volatile fatty acid)
Rata-rata nilai VFA dari sisalse jerami padi didapatkan nilai perlakuan A (kontrol) yaitu 24,04 mM (Tabel 1). Perlakuan A mempunyai rata-rata VFA lebih rendah dari perlakuan B, C, dan D sebesar 22,00% ; 39,10% ; dan 45,59%, secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Perlakuan B lebih rendah dari perlakuan D sebesar 19,33 % (P<0.05). Perlakuan C dengan D mempunyai rata-rata berbeda tidak nyata (P>0,05).
Pembahasan
Kecernaan bahan kering silase jerami padi perlakuan A (kontrol) mempunyai nilai rata-rata paling rendah, sedangkan perlakuan D mempunyai nilai rata-rata paling tinggi. Secara statistik terdapat perbedaan nyata antara perlakuan A dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Hal ini disebabkan penambahan cairan rumen pada pembuatan silase jerami padi dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dari silase jerami padi tersebut yang kemungkinan karena penambahan cairan rumen pada silase jerami padi mampu mengurangi kandungan serat kasar (lignin, selulosa dan hemiselulosa) pada silase jerami padi.Dengan menurunnya kandungan serat kasar pada silase jerami padi dapat meningkatkan kandungan protein kasar pada silase jerami padi. Penambahan cairan rumen pada pembuatan silase jerami padi meningkatkan kandungan protein kasar sehingga akan berpengaruh terhadap kecernaan silase tersebut. Wahju (1997) melaporkan bahwa semakin tinggi kandungan protein di dalam pakan, maka konsumsi protein makin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai kecernaan bahan pakan tersebut. Sutrisno (1993) mengungkapkan bahwa penggunaan isi rumen sebagai starter dalam proses pembuatan fermentasi jerami padi, ternyata memberikan hasil yang baik berupa peningkatan protein, penurunan lignin dan silika pada jerami padi. Adanya fungi dalam cairan rumen berperan penting dalam proses degradasi serat pakan dengan membentuk koloni pada jaringan pada selulosa pakan sehingga sel pakan akan menjadi lebih terbuka dan mudah untuk didegradasi oleh enzim bakteri rumen (Firkins et al., 2006)
Kecernaan bahan organik silase jerami padi perlakuan A (kontrol) mempunyai nilai paling rendah, sedangkan perlakuan D mempunyai nilai paling tinggi. Secara statistik terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan D dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Dengan penambahan cairam rumen pada pembuatan silase jerami padi dapat membantu proses degradasi serat kasar yang terkandung pada silase jerami padi. Hal ini disebabkan cairan rumen yang mengandung banyak mikroba rumen salah satunya yaitu bakteri lignoselulolitik dan fungi yang dapat membantu degradasi serat kasar yaitu lignin dan selulosa yang terkandung dalam jerami padi, sehingga degradasi secara sempurna polimer tersebut (lignin dan selulosa) dapat meningkatkan kualitas dari silase jerami padi tersebut. Mudita et al. (2009), menyatakan mikroba pendegradasi serat banyak terdapat pada saluran pencernaan khususnya dalam rumen ternak ruminansia (kambing, sapi, maupun kerbau). Balch dan Campling (1962) dan Dougherty et al. (1965), mengemukakan bahwa ransum yang lebih tinggi nilai gizinya mempunyai koefisien nilai cerna zat makanan yang lebih baik dan lebih palatable.
Penambahan cairan rumen pada pembuatan silase jerami padi perlakuan C mempunyai nilai pH yang paling rendah sedangkan perlakuan B mempunyai nilai pH yang paling tinggi, namun secara statistik berbeda tidak nyata antar semua perlakuan (Tabel 1). Hal ini menunjukkan pemberian perlakuan penambahan cairan rumen dalam pembuatan silase jerami padi tidak mempengaruhi nilai pH pada sampel dimana seluruh sampel silase mempunyai kisaran pH normal yaitu 6,56 – 6,83. Mudita et al.(2009) mendapatkan pemberian ransum yang berbeda yaitu ransum dengan fermentasi dan tanpa terfermentasi pada sapi bali tetap menghasilkan pH rumen relatif sama dalam kisaran nornal, pH 6,0 – 6,9. Derajat keasaman (pH) cairan rumen sangat dipengaruhi oleh jenis, kuantitas dan kualitas ransum/pakan yang dikonsumsi, keseimbangan makro danmikro nutrien, ekosistem dan populasi mikroba rumen, serta buffering capacity rumen dari ternak bersangkutan (Arora, 1995).
NH3 (amonia) silase jerami padi yang paling rendah yaitu perlakuan A (kontrol), sedangkan perlakuan D paling tinggi. Secara statistik terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan A dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Hal ini karena fermentasi cairan rumen yang mengandung banyak mikroba rumen salah satunya yaitu bakteri selulolitik yang membantu mendegradasi serat kasar dalam proses fermentasi silase jerami padi sehingga kandungan serat kasar pada silase jerami padi mengalami penurunan, dengan menurunnya kandungan serat kasar pada silase jerami padi akan meningkatkan persentase nutrien lain salah satunya yaitu protein kasar.Purnomohadi (2006) melaporkan bahwa penggunaan bakteri
selulolitik yang diisolasi dari cairan rumen sapi dalam proses fermentasi jerami padi ternyata dapat meningkatkan mutu jerami padi terlihat dari perubahan nutrisinya. Bahan kering jerami mengalami menurun dari 91,29% menjadi 81,53% dan kadar serat dari 37,10% menjadi 31,17%. Sebaliknya kadar protein kasarnya meningkat dari 4,10% menjadi 9,01%. Peningkatan kandungan protein kasar akan mengakibatkan produsi NH3 meningkat. Arora (1995) mengungkapkan protein kasar yang masuk ke dalam rumen akan dipecah menjadi amoniak atau NH3. McDonald et al. (2002) juga berpendapat bahwa kandungan protein pakan yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan peningkatan konsentrasi NH3 di dalam rumen.Selain mampu meningkatkan kandungan protein kasar, penambahan cairan rumen juga dapat meningkatkan kecernaan dari silase jerami padi, dengan meningkatnya kecernaan dapat juga meningkatkan nilai ammonia NH3.Hristov et al. (2004) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 rumen cenderung lebihbesar pada ternak yang diberi pakan dengan tingkat kecernaan proteinyang lebih tinggidibanding dengan pemberian pakan dengan tingkat kecernaan yang rendah.
Volatile fatty acid (VFA) mempunyai peranan ganda, yaitu sebagai sumber energi bagi ternak dan sumber kerangka karbon bagi pertumbuhan protein mikroba (Sutardi et al., 1980). Penambahan cairan rumen pada pembuatan silase jerami padi mendapatkan hasil dimana perkanuan A (kontrol) mempunyai nilai paling rendah, sedangkan perlakuan D mempunyai nilai paling tinggi. Secara statistik terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan A dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Hal ini disebabkan oleh inokulan cairan rumen yang mengandung banyak mikroba rumen salah satu jenisnya yaitu bakteri selulolitik rumen yang mempunyai peran yang sangat penting dalam perombakan serat kasar yang banyak terkandung pada jerami padi yaitu salah satunya selulosa yang akan dirombak menjadiVolatile fatty acid (VFA). Jadi penambahan cairan rumen kedalam silase jerami padi dapat meningkatkan nilai VFA karena selulosa yang terkandung dalam jerami padi dapat dirombak menjadi VFA oleh bakteri selulolitik yang terkandung dalam cairan rumen. Bakteri selulolitik rumen dalam bentuk kultur murni terbukti dapat merombak selulosa menjadi VFA (Madigan et al., 1997). Russel et al (1988) mengungkapkan pemberian ransum yang bersifat lebih mudah terfementasi atau fermentable akan mengakibatkan produksi VFA berlangsung dalam waktu yang lebih cepat. Arora (1995), mengemukakan bahwa ada tiga tahap dalam proses terbentuknya VFA yang pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Tahap kedua dengan melakukan proses glikolisis yaitu hasil dari produk dari tahap pertama akan mengalami pencernaan yang menghasilkan piruvat.
Piruvat selanjutnya akan diubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari asetat, butirat dan propionat. Proses pembentukan VFA berawal dari proses fermentasi karbohidrat di dalam rumen.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan cairan rumen padapembuatan silase jerami padi adalah : meningkatkan kecernaan bahan kering, dan kecernaan bahan organic, meningkatkan produk fermentasi yaitu NH3 (amonia), VFA (Volatile fatty acid), dan tidak mempengaruhi nilai pH, sampel yang paling baik yaitu sampel yang mendapat penambahan cairan rumen segar.
Saran
Berdasarkan data hasil penelitian yang didapatkan dapat disarankan kepada peternak jika ingin membuat silase jerami padi lebih baik menambahkan cairan rumen kedalammya karena dapat meningkatkan kecernaan silase jerami padi tersebut.
UCAPAN TRIMAKASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, M.S atas pelayanan administrasi dan fasilitas pendidikan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Terjemahan dari Microbial Digestion In Ruminants. Oleh Retno Murwani. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Balch, C.C and R.C. Cambling. 1962. Regulation of voluntary feed intake in ruminants.
Nutrition Abstracts And Reviews. P. 32; 669.
Dougharty, R.W., R.G. Allen, W. Burroughs., N.L. Jacobson, and A.D. Mc Gillard. 1965. Physiology of Digestion in the Ruminants. Washington, Butterworths.
Hanafi, N. D., 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Medan: USU Repository. Diakses tanggal 20 Juni 2018
Heinritz, S. 2011. Ensiling Suitability of High Protein Tropical Forages and Their Nutritional
Value for Feeding Pigs. Diploma Thesis.University of Hohenheim.Stutgart.
Hristov,A.N.,R.P.Etter,J.K.Ropp,and K. L.Gradeen.2004. Effect of dietary crude protein leve and degradability on ruminal and nitrogen.
Firkins, J. L., A. N. Hristov, M. B. Hall, G. A. Varga, and N. R.St-Pierre. 2006. Integration of ruminal Metabolism in Diary Cattel.
Kamra, D. N. 2005. Rumen microbial ecosystem. Special section: microbial diversity. Current Science. 89 (1) : 124-135.Available from: URL:
http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf
Madigan,N.T dan J.M. Martinko. 1997. Brock; Biology of Microorganisms. 8th edition.Pearson Prantice Hall. USA
McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Prentice Hall, New Jersey.
Mudita, I M., I G.L.O.Cakra, AA.P.P.Wibawa, dan N.W. Siti.2009. Penggunaan Cairan Rumen Sebagai Bahan Bioinokulan Plus Alternatif serta Pemanfaatannya dalam Optimalisasi Pengembangan Peternakan Berbasis Limbah yang
BerwawasanLingkungan. Laporan Penelitian Hibah Unggulan Udayana, Universitas Udayana, Denpasar.
Mudita, I.M., I W. Wirawan, A.A.P.P. Wibawa, dan I G. N. Kayana.2012. Penggunaan Cairan Rumen dan Rayap dalam Produksi Bioinokulan Alternatifserta Pemanfaatannya dalam Pengembangan Peternakan Sapi Bali Kompetitif dan Sustainable. Laporan Hibah Penelitian Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Orskov, E.R., 1988. Protein Nutrition in Ruminants.Second Edition. Academic Press Inc.,
San Diego.
Pantaya, D, Nahrowi, dan L.A, Sofyan. 2005. Penambahan enzim cairan rumen pada pakan berbasis wheat pollard dengan proses pengolahan, bogor.
Purnomohadi M. 2006. Peranan bakteri selulotik cairan rumen pada fermentasi jerami padi terhadap mutu pakan. Jurnal Protein. 13 ( 2) :43-48
Russell J.B.,D.B. Wilson. 1988. Potential opportunities and problems for genetically altered rumen microorganisms, J. Nutr. 118 (1988) 271–279.
Solarzano, L., 1969 America Society of Limnology; Oceanography Inc. 14;799-801. On Materials Short Course Small Ruminant Nutrien.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Steel, R. G. and J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedure Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri.PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Sutrisno, C.I., B. Sulistiyanto, Nurwantoro, Sri Mukodiningsih, Tristiarti, S. Widiati, Surahmanto, A.G. Sumantri, Nisyamsuri, Wiluto, dan Ali Djabidi. 1993. Peningkatan Kualitas Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Tahun I/1 Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang.
Tang, S.X., G.O. Tayo, Z.L. Tan, Z.H. Sun, L.X. Shen, C.S. Zhou, W.J. Xiao, G.P. Ren, X.F. Han and S.B. Shen. 2008. Effects of yeast culture and fibrolytic enzyme
supplementation on in vitro fermentation characteristics of low-quality cereal straws. J. Anim. Sci. 86: 11641172.
Thalib, A., J. Bestari, Y. Widiawati, H. Hamid dan D. Suherman. 2000. Pengaruh perlakuan silase jerami padi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya cerna dan ekosistem rumen sapi. JITV 5: 1-6.
Trisnadewi, A. A. A. S., I G. L O. Cakra., dan I W. Suarna. 2017. Acidity, Vollatyl Fatty Acid and Disgestibility In Vitro of Corn Straw Silage as Energy Soure. International Journal of Envirounment, Agriculture and Biotechnology.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke 3. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Weimer, P.J., D.R. Mertens, E. Ponnampalam, B.F. Severin and B.E. Dale. 2003. Fibex-treated rice straw as a feed ingredient for lactating dairy cows. Anim. Feed Sci. Technol. Vol. 103: 41–50.
Yusmadi.2008. Kajian Mutu dan Palatabilitas Silase dan Hay Ransum Komplit Berbasis Sampah Organik Primer pada Kambing PE.Tesis.Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saputra et al., Peternakan Tropika Vol. 7 No. 2 Th. 2019: 647 – 660
Page 660
Discussion and feedback