e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: peternakantropika@yahoo.com

Submitted Date: Juny 4, 2019                                                  Accepted Date: Juny 26, 2019

Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita & Dsk P. M. A. Candrawati

Kualitas Kimia Daging Babi Landrace Persilangan yang Dilayukan Secara Tradisional dalam Waktu yang Berbeda

Armini. N M. A., N L. P Sriyani, dan T. I. Putri

PS. Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

E-mail: ariarmini98@gmail.com No.Telp. 087861331629

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas kimia daging babi yang telah melewati proses pelayuan secara tradisonal. Penelitian ini menggunakan daging babi landrace pada potongan komersial Loin pada otot Longgisimus dorsi. Pelayuan dilaksanakan pada ruang terbuka dengan suhu ruang 280C-290C. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan yaitu daging segar yang tanpa dilayukan (P0), daging segar yang dilayukan selama 8 jam (P1), daging segar yang dilayukan selama 16 jam (P2), dan daging segar yang dilayukan selama 24 jam (P3). Variabel yang diamati ialah kadar air, kadar protein, kadar lemak dan kadar abu. Analisis data menggunakan sidik ragam (Anova) dan uji jarak Duncan. Hasil analisis proksimat pada daging babi landrace yang telah mengalami proses pelayuan secara tradisional pada suhu ruang berdasarkan bahan segar menunjukkan bahwa penurunan kadar air, kadar protein, dan kadar abu secara signifikan tetapi pada kadar lemak daging mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu lama waktu pelayuan secara tradisional pada suhu ruang menurunkan kadar air, kadar protein dan kadar abu daging babi landrace, sedangkan kadar lemak mengalami peningkatan yang tidak berbeda.

Kata kunci: pelayuan tradisional, daging babi , kualitas kimia

Chemical Quality of Landrace Cross Meats Traditionally Used in Different Times

ABSTRACT

This study aims to determine the chemical quality of pork that has through the waking process traditionally. This study used landrace pork on commercial pieces of Loin in the Longgisimus dorsi muscle. Withering is carried out in open spaces with room temperature 280C-290C. The design used was a Completely Randomized Design (CRD) with four treatments and four replications, such as fresh meat that was not aging (P0), meat aging during 8 hours (P1), meat aging during 16 hours (P2), and meat aging during 24 hours (P3). The variables that observed are water content, protein content, fat content and ash content. The analysis data is using variance (ANOVA) and Duncan distance test. The proximate analysis of landrace pork meat which has traditionally undergone a process of withering at room temperature based on fresh ingredients shows that a significant decrease in moisture content, protein content and ash but in meat fat levels has increased although not significant.


The conclusion of this study is the traditional length of time at room temperature decreases water content, protein content and ash content of landrace pork, while fat content did not increased different enhancement.

Keywords: tradisional withering, pork, chemical quality

PENDAHULUAN

Latar belakang

Ternak babi merupakan salah satu penghasil daging yang cukup produktif dan memiliki berbagai keuntungan dibandingkan dengan ternak lainnya. Menurut Anderson (2000) menyatakan bahwa keuntungan beternak babi yaitu memiliki pertumbuhan yang cepat, mampu beranak banyak (6-14 ekor), dapat beranak 2 kali dalam setahun bahkan 5 kali dalam 2 tahun. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2014) menyatakan bahwa ternak babi di Indonesia yang merupakan sumber protein hewani berupa daging mampu menyediakan sebanyak 10,43% dari produksi total daging di Indonesia. Dilihat dari data tersebut maka produksi ternak babi dapat ditingkatkan demi memenuhi kebutuhan akan daging di Indonesia. Kawasan pengembangan ternak babi umumnya berada di permukiman masyarakat Hindu di pulau Bali. Jenis babi yang dikembangkan adalah babi lokal (babi bali) dan babi landrace. Daging babi yang beredar di pasar-pasar tradisional pada umumnya daging babi landrace persilangan.

Menurut Soeparno (2009) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang bisa dimakan serta tidak mengganggu kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging yang umumnya dikonsumsi dan dipasarkan di Indonesia adalah daging sapi, domba, ayam, itik, ikan, babi dan lain sebagainya, namun khususnya untuk di daerah Bali sebagaian besar masyarakatnya mengkonsumsi daging babi disamping untuk dikonsumsi juga untuk memenuhi kegiatan upacara keagamaan. Hal ini menyebabkan cukup tingginya permintaan daging babi di Bali yang ditunjukkan dengan peningkatan kebutuhan daging babi mencapai 4% per tahun (BPS, 2014). Mengkonsumsi daging dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena kandungan gizinya lengkap, sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi.

Kualitas daging diartikan sebagai sejumlah sifat yang menentukan daging itu yang berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Daging yang baik dapat ditentukan dari kualitas fisik daging meliputi: daya ikat air, susut mentah, susut masak, warna dan pada mikrobiologi daging meliputi keberadaan mikroorganisme pada daging sedangkan kualitas kimia meliputi

kandungan nutrien daging yaitu kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu. Judge et al (1989) menyatakan bahwa komposisi kimia daging babi mentah adalah 72% air, 20,2% protein, 6,8% lemak kasar, dan 1% abu. Komposisi kimia daging dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor genetik (jenis kelamin, jenis otot, individu ternak), faktor lingkungan (nutrisi dan pakan ternak), dan faktor fisiologis (proses sebelum dan sesudah penyembelihan).

Daging yang dipasarkan di luar negeri pada umumnya telah mengalami pelayuan (aging) terlebih dahulu sehingga diperoleh mutu terbaik. Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku (-1,5oC). Tujuan pelayuan adalah untuk memperoleh lapisan luar daging yang lebih kering sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar bisa ditahan (Komariah dan Surajudin, 2005). Menurut Lawrie (1979) pada pelayuan daging terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan keempukkan daging meningkat, tetapi sebaliknya water holding capacity (WHC) daging menurun yang mengakibatkan cooking lost meningkat. Lama pelayuan daging sebelum dibekukan akan meningkatkan jumlah cairan daging segar, yang akan menyebabkan terjadinya penurunan kandungan gizi daging karena sebagian zat-zat dalam daging ikut terlarut dalam cairan daging (Lawrie, 1979; Judge et al.,1989). Saat hewan disembelih dagingnya masih lunak (pre rigor) dan belum mengalami kekakuan otot. Setelah itu, terjadi proses kekakuan otot (rigor mortis). Pada fase pascarigor selama penyimpanan karkas dalam waktu tertentu pada suhu di atas titik beku (-1,5oC), daging menjadi empuk kembali, dan hal ini dikenal sebagai proses pelayuan (Hadiwiyoto, 1983). Pelayuan dibagi menjadi dua tipe, yaitu pelayuan pada suhu rendah atau cooler conditioning pada kisaran suhu 0-50C, dan pelayuan suhu tinggi atau high temperature conditioning pada kisaran suhu 15-400C (Pearson dan Dutson, 1985). Pelayuan secara tradisional adalah sebuah proses penyimpanan daging yang dilakukan di masyarakat dan di pasar dengan cara menggantung daging dengan bantuan besi ataupun tali dari bambu pada suhu ruang sedangkan pelayuan secara moderen adalah sebuah proses penyimpanan daging yang dilakukan oleh industri-industri besar dengan suhu dan waktu yang telah ditentukan dan disimpan di dalam ruangan khusus.

Di Bali pelayuan pada karkas babi tidak umum dilaksanakan di pasaran atau di rumah potong hewan, namun secara tidak disengaja daging babi yang ada di desa-desa sekitar daerah Bali saat ada kegiatan keagamaan dan yang dipasarkan terutama di pasar-pasar tradisional mengalami proses pelayuan dengan cara digantung pada suhu kamar, namun waktu atau

lamanya tidak tentu, sehingga dampak dari pelayuan ini terhadap kualitas kimia atau kandungan nutrien belum diketahui secara pasti.

MATERI DAN METODE

Daging babi

Penelitian ini menggunakan daging babi pada potongan komersial Loin pada otot Longissimus dorsi. Babi yang digunakan Babi Landrace umur 6 bulan dengan berat 100-125 kg, babi yang memiliki berat tersebut biasanya dipotong dan dijual di pasar-pasar tradisional. Alat dan bahan yang digunakan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah neraca analitik, cawan porselin, oven, desikator, tanur listrik untuk analisis kadar abu, labu lemak dan soxhlet untuk analisis kadar lemak, labu kjeldahl untuk analisis kadar protein, erlenmeyer, pipet tetes, pinset, nampan dan zat-zat kimia yang akan digunakan pada penelitian ini adalah asam sulfat pekat, n-hexane, natrium hidroksida, asam klorida, tablet katalis dan alat tulis untuk mencatat hasil yang diperoleh selama penelitian.

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di dua laboratorium yaitu Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Kampus Sudirman. Penelitian ini menggunakan analisis proksimat dan dilaksanakan selama 3 bulan (Januari-Maret 2019) mulai dari persiapan sampai analisis data. Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan lama pelayuan dan masing-masing perlakuan terdiri dari empat ulangan. Perlakuan lama pelayuan yang akan dicoba pada penelitian ini adalah : Perlakuan 0 (Kontrol) : Daging segar (tidak dilayukan)

Perlakuan 1          : Daging segar yang dilayukan selama 8 jam

Perlakuan 2         : Daging segar yang dilayukan selama 16 jam

Perlakuan 3          : Daging segar yang dilayukan selama 24 jam

Setelah dilakukan pelayuan pada suhu ruang (28-290C) maka akan dilanjutkan dengan uji kualitas kimia di Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Variabel yang diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini sebagai berikut :

  • 1.    Kadar air

Penetapan kadar air daging (%), diawali dengan cawan kosong dioven pada suhu 105-110OC selama 30 menit setelah itu dimasukkan ke dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang sehingga diperoleh bobot W1. Selanjutnya ke dalam cawan dimasukkan ± 35 gram sampel sehingga didapat bobot W2. Cawan yang telah berisi sampel dioven pada suhu 105-110OC selama 18-24 jam, diambil dan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, selanjutnya ditimbang sehingga diperoleh W3.

Perhitungan kadar air (%) dengan rumus :

(W2 - Wl) - (W3 - Wl)

Kadar Air (%) = ---------------------- X 100% v '        W2 - Wl

  • 2.    Kadar protein

Kadar protein daging (%) dihitung dengan menggunakan metode semi mikro kjeldahl (ICW), diawali dengan menimbang sampel ± 3 gram dan dimasukkan ke dalam labu kjedahl lalu ditambahkan 1 tablet katalis dan 1 butiran gelas, kemudian ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat dan didestruksi. Setelah selesai tidak ada proses pengenceran akan tetapi semuanya didestilasi. Destilasi sampel dengan alat destilasi ICW (Ivan, Clack, White), yang sebelumnya telah ditambahkan 25 ml natrium hidroksida 50% perlahan-lahan. Lalu tampung 20 ml dengan asam borak 2% yang sudah dicampur dengan indikator, destilasi selesai bila sudah tertampung 50 ml kemudian melakukan titrasi pada sampel dengan asam khlorida 0,1 N sampai titik akhir titrasi.

Perhitungan kadar protein (%) dengan rumus :

0,1 x (ml titrasi sampel — titrasi blanko) x 14 x 6,25

Kadar Protein =-------------------------------------------- x 100% mg sampel

  • 3.    Kadar lemak

Kadar lemak (%) dapat dicari dengan memasukkan sampel ke dalam timbel atau kertas saring sebanyak ± 1-2 gram, hilangkan kandungan airnya dengan mengovenkan selama ± 9 jam pada suhu 105-110OC. Kemudian dinginkan dalam desikator selama 30 menit dan timbang berat timbel atau kertas saring yang telah ditambahkan sampel. Masukkan sampel ke alat soxhlet dan isi labu lemak dengan n-hexane secukupnya lalu di ekstrasi selama ± 4 jam. Timbel kemudian diambil dan dikeringkan selama 3 jam dalam oven dengan suhu 105-110OC. Setelah di oven didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu timbang berat timbel atau kertas saring dengan sampel setelah diekstrasi.

Perhitungan kadar lemak (%) dengan rumus :

, ' berat kertas saring sebelum — setelah diekstrasi Kadar Lemak (%) = ------------------------------------- 100%

berat sampel

  • 4.    Kadar abu

Penetapan kadar abu (%) menggunakan tanur, cawan porselin yang akan digunakan sebelumnya telah ditentukan berat konstannya dengan cara memasukkan ke dalam tanur selam 2-3 jam pada suhu 500OC, dinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu timbang cawan kosong tersebut. Kemudian masukkan sampel 1-2 gram dan bakar dalam tanur selama 3-6 jam pada suhu 500OC sampai menjadi abu yang ditandai oleh warna putih keabu-abuan tanpa ada bintik-bintik hitam kemudian dinginkan dalam desikator dan timbang berat cawan serta abu.

Perhitungan kadar abu (%) dengan rumus :

, berat abu

Kadar Abu (%) = ----------- 100%

berat sampel

Analisis statistik

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila hasil analisis pengamatan menunjukkan respon perlakuan berbeda nyata (P<0,05), maka akan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1989) dengan bantuan program SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar air, kadar protein, kadar abu dan kadar lemak dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kualitas kimia daging babi yang dilayukan secara tradisional dalam waktu yang berbeda

Perlakuan

Variabel

P0

P1

P2

P3

SEM

kadar air

73,35

72,04

71,93

69,04

0.32

kadar protein

22,64

21,06

20,89

18,86

0.27

Kadarlemak

3,77

3,93

4,04

4,14

0.16

Kadarabu

1,40

1,32

1,27

1,19

0.02

Keterangan:

- PO  : Daging segar (tidak dilayukan)

- P1   : Daging segar yang dilayukan selama 8 jam

- P2   : Daging segar yang dilayukan selama 16 jam

- P3   : Daging segar yang dilayukan selama 24 jam

-SEM : “ Standard Error of the Treatment Means ”

Kadar air

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor lama pelayuan menurunkan kadar air daging babi landrace.Rataan kadar air daging babi landrace yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada diagram berikut.

KadarAir

74

72

70

68

66


73,3

—g 72,04 71,93

Illi

Ojam 8jam 16 jam 24 jam

  • □ Lama Waktu Pelayuan Daging Secara Tradisional

Gambar 1. Diagram kadar air daging babi landrace yang dilayukan secara tradisional

Kadar air daging tertinggi pada perlakuan tanpa pelayuan, selanjutnya menurun berurutan sampai pada pelayuan 24 jam (Tabel 1, Gambar 1). Hal ini disebabkan karena selama proses pelayuan terjadi penguapan dari komponen daging termasuk air dan gas-gas. Penurunan kadar air daging, dipengaruhi oleh kondisi penempatan daging, temperatur dan kelembaban selama proses pelayuan. Semakin lama proses pengeluaran air ini berlangsung menyebabkan banyak air yang keluar dalam bentuk air bebas sehingga mempermudah proses penguapan air dan semakin lama waktu pelayuan menyebabkan kadar air dalam daging menurun (Corzo and Gomez 2004). Selanjutnya menurut Soeparno (2009) melaporkan bahwa selama proses pelayuan terjadi penurunan kadar air hal ini dapat disebabkan oleh daya ikat air (air yang tertahan didalam daging) dan penurunan pH daging.

Desrosier (1969), melaporkan bahwa penguapan bahan pangan akibat dehidrasi, yang mana dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban dalam lingkungan penempatan bahan pangan. Browning et al. (1990) menyatakan bahwa kadar air daging dapat dipengaruhi oleh kadar lemak, tingginya akumulasi kadar lemak daging dapat melonggarkan ikatan struktur jaringan daging dan banyak air yang bebas, sehingga pada daging yang mengandung kadar lemak tinggi cederung mengandung kadar air yang rendah.

Kadar Protein

Hasil analisis statistik menunjukkan rata-rata kadar protein kasar (crude protein) daging babi landrace mengalami penurunan selama proses pelayuan (Tabel 1, Gambar 2). Rataan kadar protein daging babi landrace yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada diagram berikut.

Gambar 2. Diagram kadar protein daging babi landrace yang dilayukan secara tradisional

Rataan kadar protein daging babi landrace berkisar 16-22%, yang masih berada dalam rentang keadaan normal protein daging. Menurut Soeparno (2009) melaporkan bahwa proses pelayuan daging sesaat setelah ternak dipotong, menyebabkan perubahan biokimia dalam jaringan, yang mana ikatan struktur miofibril dilonggarkan oleh enzim proteolitik yang berupa protease netral dan katepsin (rusaknya komponen protein miofibril dapat meningkatkan keempukan daging). Kadar protein dari hasil penelitian ini selama proses pelayuan, diduga bahwa penurunan protein daging dipengaruhi oleh turunnya kadar air (Tabel 1, Gambar 1), menurut Lawrie (2003) protein daging berperan dalam pengikatan air daging. Kadar protein daging yang tinggi menyebabkan meningkatnya kemampuan menahan air daging sehingga menurunkan kandungan air bebas, dan begitu sebaliknya. Semakin tinggi jumlah air yang keluar, maka daya mengikat airnya semakin rendah. Daging yang dilayukan akan mempengaruhi komposisi daging yang dihasilkan termasuk protein. Proses pelayuan daging yang terlalu lama menyebabkan weep yang merupakan keluarnya air daging. Air daging yang keluar tentunya disertai dengan keluarnya protein terutama protein yang larut dalam air, proses inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar protein.

Penurunan kadar protein pada daging babi landrace ini karena terjadinya denaturasi protein daging (sarkoplasma dan miofibrilar) pada pelayuan yang diakibatkan oleh penurunan pH yang menyebabkan terjadinya penurunan daya ikat air dan banyaknya air

yang bergabung dengan protein daging yang keluar dari serat daging tetapi tidak mempengaruhi jumlah protein murni yang terdapat dalam daging. Soeparno (2009) bahwa penurunan pH yang cepat, sebagai akibat pemecahan ATP yang cepat, memacu denaturasi protein dan menurunkan daya mengikat air oleh protein daging. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kristiawan “Un-Publish” (Lampiran 5) menyatakan bahwa dalam penelitian pelayuan daging secara tradisional pada suhu ruang, semakin lama daging dilayukan maka pH daging akan menjadi menurun. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soeparno (2009) yang menyatakan bahwa penyimpanan yang terlalu lama juga akan menurunkan daya ikat air dan terjadinya perubahan struktur protein daging.

Kadar Lemak

Hasil analisis statistik menunjukkan rata-rata kadar lemak daging babi landrace tidak mengalami perbedaan dengan ke empat macam perlakuan tersebut (Tabel 1, Gambar 3). Rataan kadar lemak daging babi landrace yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada diagram berikut.

Kadar Lemak

■ Lama Waktu Pelayuan Secara Tradisional

Gambar 3. Diagram kadar lemak daging babi landrace yang dilayukan secara tradisional

Nilai rata-rata kadar lemak daging babi landrace berkisar pada 3,77% - 4,14%, ini menggambarkan bahwa kadar lemak daging babi landrace masih dalam kisaran normal. Menurut Soeparno (2011) kandungan lemak otot sangat bervariasi dapat berkisar antara 1,5% - 13%. Hal ini karena kadar air menurun (Tabel 3.1) dengan semakin lamanya pelayuan, yang menyebabkan isi sel atau kadar gizi lainnya semakin meningkat, walaupun peningkatan kadar lemak tidak berbeda nyata. Terjadinya weep saat proses pelayuan membuat keluarnya air dari dalam daging namun lemak yang terkandung pada daging tidak dapat larut dalam air yang menyebabkan kadar lemak mengalami peningkatan. Dutsont et al. (1974) melaporkan bahwa aktivitas eksterase dalam otot babi menghilang setelah 3 jam postmortem, sebaliknya aktivitas phosphataseasam dipertahankan secara menyeluruh. Lemak daging pada penelitian ini diduga

pada aktivitas phosphatase asam dapat meningkatkan asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) dan asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA). Hal ini sesuai dengan pernyataan Minish dan Fox (1979) bahwa kandungan lemak berkolerasi negatif dengan kadar air daging, semakin tinggi kadar lemaknya maka semakin rendah kandungan airnya. Brewer dan Harbers (1991) menyatakan bahwa terjadinya penurunan kadar air akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi lemak.

Kadar Abu

Hasil analisa penelitian menunjukkan penurunan kadar abu secara berurutan sampai pada proses pelayuan 24 jam (Tabel 1, Gambar 4). Rataan kadar abu daging babi landrace yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada diagram berikut.

Gambar 4. Diagram kadar abu daging babi landrace yang dilayukan secara tradisional

Kadar abu suatu bahan pangan menunjukan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Lawrie (1979) melaporkan bahwa selama pelayuan terjadi pelepasan Ca dan Na dari protein miofibril dan penyerapan K ke dalam protein sarkoplasma sebagai akibat penurunan pH. Kadar abu daging pada penelitian ini selama pelayuan mengalami penurunan, hal ini diduga seperti pernyataan Lawrie (1979). Ca dan Na yang terlarut bersama weep, memungkinkan kadar mineral daging berkurang. Penurunan kadar abu daging, dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban selama proses pelayuan. Soeparno (2009) melaporkan faktor lingkungan terutama feed intake dan kandungan nutrisi bahan pakan juga menentukan kadar abu daging. Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang mudah menguap. Tingginya kandungan abu berarti tinggi pula kandungan unsur-unsur logam dalam bahan pangan atau produk pangan (Sudarmaji et al, 1989).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lama waktu pelayuan secara tradisional pada suhu ruang menurunkan kadar air, kadar protein dan kadar abu daging babi landrace, sedangkan kadar lemak mengalami peningkatan yang tidak berbeda.

Saran

Disarankan saat melakukan pelayuan daging secara tradisional maksimal waktu pelayuan selama 16 jam dan minimal waktu penelitian selama 8 jam, hal ini dikarenakan setelah waktu pelayuan secara tradisional melebihi dari 16 jam akan terjadi perubahan nilai nutrisi daging babi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Dekan FakultasPeternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS., Pembimbing Penelitian, dan seluruh pihak yang membantudalam pelaksanaan hingga penulisan jurnal penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Andreson, L. L. 2000. Pigs. In: Hafez, E.S.E and Hafez, B. (Eds.). Reproduction in Farm Animals.7th Ed. USA: Williams & Wilkins. P. 182-191.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. 2014. Bali Dalam Angka. BPS Provinsi Bali

Browning, M.A., D. Lhuffman, W.R. Egbert and S.B. Jungs. 1990. Physical and compositional characteristic of beef carcass selected for leanness. J. Food Sci. 55:9-14.

Corzo,O , E.R. and Gomez. 2004. Optimization Of Osmotic Dehydration Of Cantaloupe Using Desired Function Methodology. Journal of Food Enginering, 64: 213-219

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Rencana Strategis (Restra) Direktoran Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010-2014.

Dutson, T. R., and Lawrie, R. A. (1974) Realase of lysosomal enzymes during post-mortem conditioning and their relationship to tenderness. J. Food Technol. 9, 43-50

Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Liberty, Yogyakarta.

Judge, M.D.,E.D Aberle, J.C. Forres, H.B. Hendrick and R.A. Markel, 1989. Principles of

Meat Science. 2nded. Kendall/Hunt Publishing Co., Dubuque, Iowa.

Komariah dan Surajudi. 2005. Aneka Olahan Daging Sapi. Agromedia Pustaka.

Lawrie, R. A. 1979. Meat Science,3rd edition. Pregamon Press, Oxford.

Lawrie, R.A., 2003. Ilmu Daging. Universitas Indonesia. Jakarta.

Minish, R.A. dan G. G. Fox. 1979. Beef Production and Management. Publ. Co. Inc. A. Pretice Hall, Reston, London.

Pearson, A. M. and T. R. Dutson. 1985. Advance in Meat Research. Vol. 1. Electrial Stimulation. Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta

Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Steel dan Torrie, 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometri (terjemahan). PT. Gramedia. Jakarta.

Sudarmadji, S; B. Haryono dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.

Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Armini et al., Peternakan Tropika Vol. 7 No. 2 Th. 2019: 587- 598

Page 598