Nutrition Consomption, Dry Matter and Dry Weight Digestability of Bali Cattle Ration in Evacuation Zone At Nongan Vilage, Karangasem
on
e-journal
FAPET UNUD
e-Journal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: May 30, 2019 Accepted Date: Juny 11, 2019
Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita & Dsk P. M. A. Candrawati
Konsumsi Nutrien, Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Ransum Sapi Bali Di Posko Penampungan Ternak Desa Nongan Kabupaten
Karangasem
Dwipayana, I K. B., N. N. Suryani, I. G. Mahardika.
Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana
Email: [email protected] Hp. 085738179616
ABSTRAK
Erupsi gunung agung yang terjadi pada bulan Agustus sampai Desember 2017 menyebabkan banyak ternak sapi diungsikan. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan pakan ternak yang berkualitas baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi nutrien, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik ransum ternak di posko penampungan ternak akibat erupsi gunung agung. Penelitian dilakukan dua tahap, yaitu tahap pertama survei lapangan untuk mengetahui jenis pakan yang diberikan dan tahap kedua dilakukan di laboratorium untuk mengetahui kecernaan pakan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa kualitas ransum di posko penampungan ternak lebih baik dari sebelumnya. Konsumsi ransum, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik selama di penampungan lebih tinggi dari sebelum di penampungan.
Kata kunci: konsumsi nutrien, kecernaan, bahan kering, kecernaan bahan organik, sapi bali.
Nutrition Consomption, Dry Matter and Dry Weight Digestability of Bali Cattle Ration in Evacuation Zone At Nongan Vilage, Karangasem
ABSTRACT
Eruption of Mount agung, happened in August until December 2017 caused many cattle were evacuated. This causes difficulty to get good quality feedder. This research aims to know the nutrient consumption, dry matter and organic matter digestibility of bali cattle rations in area shelter livestock due to the eruption of Mount Agung. Research carried out two stages, i.e. the first phase of field survey to find out the type of the given feed and the second phase was conducted in the laboratory to find out the digestibility of dry matter and organic matter of feed. Results of the research showed, the quality of rations in the livestock shelter area better than ever. Consumption of rations, the digestibility of dry matter and digestibility of organic matter during at the area shelter are higher than before.
Kata kunci: Nutrient intake, dry matter and organic matter digestibility, Bali cattle
PENDAHULUAN
Sapi bali merupakan plasma nutfah asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali, yang memiliki banyak keunggulan, sehingga banyak dipelihara oleh peternak khususnya di Provinsi Bali daerah Karangasem. Beberapa keunggulan dari sapi bali adalah daya adaptasi cukup baik pada lingkungan buruk (Zulkharnaim et al., 2010), fertilitasnya tinggi mencapai 80-82% dengan kualitas daging tinggi dan persentase lemak yang rendah (Bugiwati, 2007), serta tahan terhadap caplak dan cacing (Suatha dan Sampurna, 2010). Sapi bali juga menjadi salah satu komoditas sapi pedaging yang paling diminati yaitu sebesar 32,31% dibandingkan dengan sapi lokal lainnya (PSPK, 2011). Guntoro (2006) melaporkan bahwa sapi bali menjadi pemasok kebutuhan daging di Indonesia sebesar 26%.
Sebagian besar sistem pemeliharaan sapi di Indonesia masih belum memperhatikan kandungan nutrisi yang dibutuhkan ternak khususnya didaerah Karangasem. Pada umumnya pakan yang diberikan pada ternak di daerah Karangasem masih mengandalkan hijauan (rumput-rumputan dan legum) tanpa memperhatikan kandungan nutrien dari pakan tersebut. Untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia, pakan hijauan mutlak diperlukan baik jenis dan ketersediannya secara kuantitatif maupun kualitatif serta diikuti dengan suplementasi konsentrat guna meningkatkan konsumsi dan memenuhi kebutuhan nutrisi. Pakan hijauan lokal segar yang umum diberikan kepada ternak menurut Chuzaemi et al. (1997) adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), gamal (Gliricidia) dan kaliandra (Calliandracallothyrsus).
Selain itu, faktor lingkungan dapat mempengaruhi produktivitas ternak seperti bencana alam yang salah satunya terjadi di daerah Karangasem yaitu Erupsi Gunung Agung. Disana masih terjadi kekurangan nutrisi pada ternak, karena lahan pertanian tempat tumbuhnya hijauan pakan sebagai kebutuhan utama ternak tercemar oleh abu vulkanik yang berdampak juga pada sektor peternakan.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, (2017) melaporkan bahwa, peternakan sapi di Kabupaten Karangasem tersebar di 8 kecamatan yaitu Rendang, Kubu, Bebandem, Abang, Selat, Seraya, Manggis, Karangasem. Dari 8 kecamatan tersebut, populasi sapi berjumlah sebanyak 127.755 ekor, khusunya di Kecamatan Rendang berjumlah sebanyak 32.672 ekor yang tersebar di 6 desa. Dinas Pertanian Kabupaten Karangasem mengklaim sudah berhasil mengevakuasi 28.500 ekor ternak milik masyarakat di sekitar Gunung Agung. Ternak yang diungsikan pada posko pengungsian ternak yang tersebar 43 titik tempat pengungsian ternak, khususnya di posko
penampungan ternak di Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem jumlah ternak yang di tampung sebanyak 32.651 ekor. Erupsi Gunung Agung tidak hanya berdampak pada sektor pertanian saja, sektor peternakan juga terkena dampak negatifnya terutama dalam ketersediaan bahan hijaun pakan karena perkebunan tumbuhan hijauan pakan ternak terkena abu panas yang menyebabkan hijauan pakan mengalami kerusakan.
Berdasarkan penjajagan awal pada posko penampungan sementara ternak di Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Karangasem umumnya pakan yang diberikan pada ternak sebelum diungsikan berupa hijauan seperti rumput gajah, kaliandra, daun nangka, dan ketela rambat. Pada saat ternak diungsikan umumnya ternak mendapatkan pakan berupa pakan hijauan kering seperti, pucuk tebu serta pakan tambahan (konsentrat), dan vitamin. Maka dari itu ternak yang ada disekitar Gunung Agung mengalami komposisi pakan hijauan yang diberikan sebelum diungsikan dan selama diungsikan terjadi perbedaan.
Pakan dalam usaha ternak sapi sangat penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan produksi ternak. Sebanyak 70% dari makanan ternak ruminansia adalah hijauan (Nitis et al., 1992). Pakan hijauan lokal segar yang umum diberikan kepada ternak yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum), gamal (Gliricidia) dan kaliandra (Calliandra callothyrsus). Rumput gajah berfungsi sebagai sumber energi, gamal dan kaliandra sebagai sumber protein, sehingga ketersediaan pakan baik dari segi kuantitas, kualitas dan secara berkesinambungan sepanjang tahun perlu diperhatikan (Chuzaemi et al., 1997). Kecernaan nutrien adalah salah satu cara untuk menentukan kualitas suatu bahan pakan. Pakan yang dapat diserap oleh tubuh ternak yaitu bagian dari pakan yang tidak disekresikan dalam bentuk feses. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu, komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (Mc Donald et al., 2002).
Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui jenis bahan pakan yang diberikan, proporsi penyusun ransum, konsumsi nutrien ransum, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik sebelum di pengungsian dan selama berada di pungungsian.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan 2 tahap yaitu tahap I adalah survey di posko penampungan ternak Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten karangasem. Penelitian lapangan
menggunakan 25 kuisioner untuk mendapatkan data tentang beberapa hal antara lain, jenis kelamin, umur dan pakan (hijauan dan konsentrat) yang diberikan pada ternak sebelum dan saat di posko penampungan ternak. Data yang didapat akan ditabulasi agar mendapatkan jenis bahan pakan yang diberikan, proporsi penyusun ransum, konsumsi inutrien ransum (BK,BO,PK,LK,SK, dan energi). Berdasarkan komposisi ini dilanjutkan dengan penelitian II di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana untuk menganalisis kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum (In vitro) sapi bali sebelum dan saat di penampungan.
Data hasil penelitian lapangan dan data konsumsi nutrien ransum sebelum dan saat di penampungan dianalisis secara deskriptif sedangkan kecernaan BK dan BO ransum sebelum dan saat di penampungan dianalisis dengan analisis komparatif uji t (t test) menggunakan SPSS for Windows versi 24.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jenis bahan pakan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan yang diberikan sebelum dan selama di penampungan mengalami perbedaan jenis dan jumlah (Tabel 1). Jenis bahan pakan yang diberikan sebelum dan selama di penampungan salah satunya rumput gajah. Pemberian rumput gajah sebelum penampungan diberikan 25kg/e/h, sedangkan selama di penampungan 20kg/e/h. Kaliandra yang diberikan sebelum di penampungan 3kg/e/h dan selama di penampungan lebih tinggi yaitu 5kg/e/h.
Tabel 1 Jenis bahan yang di berikan sebelum dan selama di penampungan
dalam bentuk segar (kg/e/h)
Pemberian (segar, kg/e/h)
NO Bahan
Sebelum penampun Selama penampungan
1 |
Rumput gajah |
25,00 |
20,00 |
2 |
Kaliandra |
3,00 |
5,00 |
3 |
Gamal |
2,00 |
0,00 |
4 |
Daun nangka |
3,00 |
0,00 |
5 |
Ketela |
0,30 |
0,00 |
6 |
Konsentrat |
0,00 |
1,00 |
7 |
Pucuk tebu |
0,00 |
2,00 |
Total |
33,30 |
28,00 |
Perbedaan pemberian juga terlihat pada jenis bahan pakan gamal. Selama dipenampungan tidak diberikan gamal, namun sebelum penampungan pemberian gamal 2kg/e/h. Sejalan dengan gamal ketela juga tidak diberikan selama di penampungan. Ketela hanya diberikan pada sebelum ternak dipenampung sebanyak 0,30kg/e/h. Selama di penampungan ternak mendapatkan pakan seperti pucuk tebu sebanyak 2kg/e/h. Selain itu selama di penampungan ternak diberikan pakan penguat seperti konsentrat sebanyak 1kg/e/h (Tabel 1).
Proporsi bahan penyusu ransum
Hasil perhitungan menunjakkan bahwa proporsi penyusun ransum sebelum dan selama di penampungan terdapat perbedaan (Tabel 2).
Tabel 2 Proporsi penyusun ransum dalam bahan kering (%) sebelum dan selama di
Penampungan
No |
Bahan |
Pemberian dalam bentuk BK (%) | |
Sebelum penampungan |
Selama penampungan | ||
1 |
Rumput gajah |
61,21 |
37,31 |
2 |
Kaliandra |
17,90 |
22,73 |
3 |
Gamal |
9,76 |
0,00 |
4 |
Daun nangka |
9,37 |
0,00 |
5 |
Ketela |
1,76 |
0,00 |
6 |
Konsentrat |
0,00 |
14,07 |
7 |
Pucuk tebu |
0,00 |
25,89 |
Total |
100,00 |
100,00 |
Sebelum ternak berada di penampungan proporsi dalam bahan pakan meliputi rumput gajah 61,21%, kaliandra 17,90%, gamal 9,76%, daun nangka 9,37%, ketela 1,76 %. Selama di penampungan ternak tidak diberikan gamal, daun nangka dan ketela, namun diberikan pucuk tebu dan konsentrat. Proporsi bahan penyusun ransum selama di penampungan adalah rumput gajah 37,31%, kaliandra 22,73%, konsentrat 14,07%, dan pucuk tebu 25,89%.
Konsumsi nutrien ransum
Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi kecendrungan konsumsi nutrien yang lebih baik selama ternak berada di penampungan. Konsumsi BK ransum sapi bali sebelum di penampungan adalah 5,12 kg/e/h. Setelah Erupsi Gunung Agung, konsumsi BK ransum sapi bali selama berada di penampungan adalah 6,72 kg/e/h (Tabel 3)
Tabel 3 Konsumsi nutrien ransum sebelum dan selama di penampungan.
No |
Konsumsi nutrien |
Jumlah konsumsi masing-masing nutrien | |
Sebelum penampungan |
Selama penampungan | ||
1 |
Bahan kering (kg/e/h) |
5,12 |
6,72 |
2 |
Bahan organik (kg/e/h) |
4,35 |
5,67 |
3 |
Protein kasar (g/e/h) |
805,67 |
962,34 |
4 |
Serat kasar (g/e/h) |
1378,52 |
1776,37 |
5 |
Lemak kasar (g/e/h) |
390,07 |
578,32 |
6 |
Energi (kkal/e/h) |
19630,81 |
26150,27 |
Selain perbedaan konsumsi pada bahan kering, perbedaan juga terlihat pada konsumsi bahan organik, protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan energi. Konsumsi bahan organik sebelum di penampungan adalah 4,35 kg/e/h dan selama di penampungan adalah 5,67kg/e/h. Konsumsi protein kasar, selama di penampungan 19,45% lebih tinggi dari sebelum ternak di penampungan. Konsumsi protein sebelum dan selama di penampungan masing-masing didapat 805,67g/e/h dan 962,34g/e/h. Sebelum dipenampungan konsumsi serat kasar adalah 1378,52g/e/h dan selama di penampungan 1776,37g/e/h. Konsumsi serat kasar selama di penampungan 28,86% lebih tinggi dari sebelum di penampungan. Konsumsi lemak kasar selama di penampungan adalah 48,26% lebih tinggi dari sebelum di penampungan. Konsumsi lemak kasar sebelum dan selama di penampungan masing masing 390,07g/e/h dan 578,32g/e/h. Sebelum ternak sapi berada di penampungan konsumsi energi adalah 19630,81 kkal/e/h, dan selama berada di penampungan konsumsi energi menjadi 26150,27kkal/e/h.
Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum
Kecernaan ransum sapi bali sebelum dan selama di Posko Penampungan Ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kecernaan ransum sapi bali sebelum dan selama di penampungan
Variabel |
Perlakuan (%) | |
SN1 |
SN2 | |
KCBK |
66,58a |
71,73b |
KCBO |
73,40a |
76,24a |
Keterangan :
1) Perlakuan SN1: Ransum sapi bali sebelum di Posko Penampungan Ternak Desa
Nongan Kecamatan Rendang
-
2) Perlakuan SN2: Ransum sapi bali selama di Posko Penampungan Ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang
-
3) Angka dengan superskrip huruf yang sama pada garis yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata.
Kecernaan bahan kering sebelum di penampungan adalah 66,58% dan selama di penampungan 71,73%. Analisis statistik kecernaan bahan kering ransum sapi bali menunjukkan tinggi kecernaanya selama ternak berada di penampung (P>0,05) (Tabel 4). Kecernaan bahan organik ransum secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0,05). Kecernaan bahan organik ransum di Posko Penampungan Ternak Desa Nongan, Kecamatan Rendang sebelum dan selama di Posko Penampungan Ternak Desa Nongan, Kecamatan Rendang masing masing mendapatkan hasil yaitu 73,40% dan 76,24%
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terjadi kecendrungan tingkat konsumsi ransum selama di penampungan lebih tinggi dari sebelum penampungan. Konsumsi bahan kering selama di penampungan 31,12% lebih tinggi dari sebelum penampungan. Hal ini dikarenakan tingkat kecernaan selama di penampungan lebih tinggi dari sebelum penampungan (Tabel 4). Tingginya tingkat kecernaan berkolerasi dengan tingkat konsumsi. Menurut McDonald et al. (2002) bahwa kecernaan pakan dan laju digesta pakan mempengaruhi konsumsi ransum. Hasil penelitian ini susuai dengan Sudita (2016) bahwa sapi bali yang diberikan ransum ( rumput gajah 53,63% + broadleaf 5,27%) pada dataran rendah menghasilkan konsumsi tertinggi 7,11kg/e/h dan diikuti kecernaan bahan kering 45,31% paling tinggi.
Sejalan dengan konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik selama di penampungan 30,34% lebih tinggi dari sebelum penampungan. Hal ini karena sebagaian besar komponen bahan kering terdiri dari bahan organik. Menurut Murni et al. (2012) tinggi rendahnya konsumsi bahan organik akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsumsi bahan kering. Erna et al. (2008) melaporkan bahwa pemberian ransum PPG R2 (pakan padat gizi)
sapi bali ( gula lontar 30% + daun lamtoro 24% + daun gamal 17% + dedak fermentasi 15% + tepung ikan 10% + urea 1% + minyak lemuru 1,5% + garam 1,5% + seng 150mg ) mendapatkan konsumsi bahan kering 5,25kg/e/h dan konsumsi bahan organik 4,39kg/e/h paling tinggi dari semua perlakuan.
Sebelum ternak di penampungan konsumsi protein kasar 805,67g/e/h dan selama di penampungan 962,34g/r/h. Faktor yang mempengaruhi konsumsi protein kasar adalah konsumsi bahan kering. Konsumsi bahan kering sebelum di penampungan 5,12kg/e/h dan selama di penampungan 6,72 kg/e/h (Tabel 3). Tingginya konsumsi BK selama di penampungan berkolerasi dengan tingginya konsumsi protein kasar. Konsumsi BK pakan memegang peranan penting, karena menurut Tilllman et al. (1998), dari BK pakan tersebut ternak memperoleh zat - zat nutrisi penting, seperti energi, protein, vitamin dan mineral. Sudita (2016) melaporkan bahwa pemberian ransum ( rumput gajah 53,63% + broadleaf 5,27% ) sapi bali dataran rendah paling tinggi mendapatkan hasil konsumsi bahan kering 7,11kg/e/h. Sejalan dengan tingginya konsumsi BK, konsumsi PK 768,76g/e/h paling tinggi.
Konsumsi serat kasar selama di penampungan lebih tinggi 28,86% selama di penampungan. Tingginya konsumi serat kasar selama di penampungan sejalan dengan tingginya kecernaan BK dan BO selama di penampungan. Kecernaan BK dan BO sebelum penampungan 66,58% dan 73,40% dan selama di penampungan kecernaan BK dan BO adalah 71,73% dan 76,24% (Tabel 4). Penambahan konsentrat selama di penampungan dalam bahan pakan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi. Menurut (Anggorodi, 1990) penambahan makanan penguat atau konsentrat ke dalam pakan ternak juga dapat meningkatkan palatabilitas pakan yang dikonsumsi dan pertambahan berat badan. Penelitian Suryani et al. (2012) melaporkan bahwa sapi bali yang diberikan rumput gajah 45% + jerami padi 0 % + gamal 15% + kaliandra 10% + konsentrat 30% dengan tingkat konsumsi yang tinggi 1741,46 % mendapatkan hasil kecernaan yang tinggi 63,34%.
Konsumsi lemak kasar selama di penampungan lebih tinggi 30,64% dibandingkan sebelum di penampungan. Lebih tingginya konsumsi lemak kasar selama di penampungan disebabkan karena kandungan lemak kasar pada ransum selama penampungan lebih tinggi. Disamping itu, konsumsi ransum selama penampungan juga lebih tinggi dari sebelum penampungan. (Tillman et al., 1998) juga menjelaskan bahwa kemampuan ternak ruminansia dalam mengkonsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1) faktor ternak itu sendiri yang meliputi besar tubuh atau bobot badan, potensi genetik, status fisiologis, tingkat produksi dan kesehatan ternak. 2) faktor ransum yang diberikan, meliputi 15 bentuk dan sifat,
komposisi zat-zat gizi, frekwensi pemberian, keseimbangan zat-zat gizi serta kandungan bahan toksik dan anti nutrisi, dan 3) faktor lain meliputi suhu dan kelembaban udara, curah hujan, lama siang atau malam hari serta keadaan ruangan kandang dan tempat minum.
Konsumsi energi selama di penampungan lebih tinggi 26150,27kkal/e/h dari pada sebelum di penampungan 19619kkal/e/h. Tingginya konsumsi energi selama di penampungan disebabkan karena tingginya konsumsi bahan kering selama di penampungan (Tabel 3). Menurut penelitian Suryani et, al. (2012), sapi bali yang diberikan rumput gajah 15% + jerami padi 20% + gamal 25% + kaliandra 10% + konsentrat 30% didapat konsumsi energi 23090,6kkal/e/h paling tinggi dari semua perlakuan. Tingginya konsumsi energi berkolerasi dengan tingginya konsumsi bahan kering 7003,52 kg/e/h paling tinggi dari semua perlakuan.
Kecernaan bahan kering sebelum di penampungan adalah 66,58%, sedangkan selama di penampungan 71,73%. Dilihat dari proporsi bahan penyusun ransum rumput gajah yang diberikan sebelum di penampungan 61,21% dan selama di penampungan 37,31%. Tingginya pemberian rumput gajah menyebabkan kecernaan sebelum penampungan lebih rendah karena rumput gajah mengandung serat kasar yang tinggi. Selain itu penambahan konsentrat selama di penampungan dalam bahan penyusun ransum dapat meningkatkan kecernaan. Perbedaan kecernaan dapat dilihat dari bahan pakan penyusun ransum dan kualitas bahan penyusun ransum yang berbeda. Semakin baik kualitas suatu bahan pakan, maka semakin tinggi pula kecernaan bahan pakan tersebut. Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukkan pakan tersebut kurang mampu mensuplai nutrien untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak (Yusmadi et al., 2008). Menurut penelitian Suryani et al. (2015), pemberian rumput gajah 0% + jerami padi 30% + gamal 30% + kaliandra 10% + konsentrat 30% dapat memberikan KCBK dan KCBO tertinggi 67,78% dan 72,30% dari semua perlakuan. Kecernaaan bahan kering saling berkaitan dengan bahan organik, kecernaan bahan organik sebelum di penampungan dan selama di penampungan didapat hasil masing – masing 73,40% dan 76,24%. Terlihat sebelum penampungan lebih rendah dari pada selama di penampungan ternak. Sutardi (1980) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian terbesar dari bahan kering. Tinggi rendahnya konsumsi bahan organik akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsumsi bahan kering. Hal ini disebabkan karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri dari komponen bahan organik, perbedaan keduanya terletak pada kandungan abunya (Murni et al., 2012). Peranan mikroba didalam rumen juga berpengaruh dalam KCBK dan KCBO. Banyak sedikitnya
mikroba yang ada didalam rumen sangat menentukan tinggi rendahnya kecernaan. Suryani et al. (2018) melaporkan bahwa bahan organik yang dapat dicerna dalam rumen (DOMR) secara signifikan lebih tinggi (P <0,05) dalam ransum sapi bali ketika berada di zona evakuasi ternak di Desa Nongan setelah letusan. Konsumsi protein kasar yang lebih tinggi menghasilkan produksi NH3 yang lebih tinggi. Semakin banyak produksi NH3 ransum setelah letusan Gunung Agung bermanfaat bagi pertumbuhan mikroba rumen dan ini ditunjukkan oleh SPM yang lebih tinggi yaitu 832.36 dibandingkan dengan sebelum erupsi yaitu 663.67 DOMR dan MPS ransum sapi bali di zona evakuasi ternak di Desa Nongan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan DOMR dan MPS sebelum erupsi menjadi 1843,08g dan 368,62g. (Lampiran 1)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
-
1. Konsumsi ransum dan konsumsi nutrien pada saat ternak berada di penampungan lebih tinggi dari sebelum penampungan
-
2. Kecernaan BK dan BO ransum ternak di penampungan lebih tinggi dari kecernaan BK dan BO ransum pada saat sebelum di penampungan.
Saran
Agar ternak tidak mengalami penurunan berat badan, pemeberian makanan tambahan berupa konsentrat dapat diberikan pada ternak sapi yang diungsikan saat terjadi bencana alam gunung berapi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bapak Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS atas pelayanan administrasi dan fasilitas pendidikan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT.Gramedia. Jakarta.
Bugiwati, S. R. A. 2007. Pertumbuhan dimensi tubuh pedet jantan sapi Bali di Kabupaten Bone dan Barru Sulawesi Selatan. Jurnal Sains dan Teknologi vol 7. (1) 103-108.
Chuzaemi, S., Hermanto, Soebarinoto, dan Sudarwati, H. 1997. Evaluasi protein pakan ruminansia melalui pendekatan sintesis protein mikrobia di dalam rumen: Evaluasi kandungan RDP dan UDP pada beberapa jenis hijauan segar, limbah pertanian dan konsentrat. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Hayati (Life Sciences). vol 9. (1). 77-89
Guntoro, S. 2006. Membudidayakan Sapi Bali. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Mcdonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalg and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Longman, London and New York.
Murni, R., Akmal, dan Y. Okrisandi. 2012. Pemanfaatan kulit buah kakao yang difermentasi dengan kapang phanerochaete chrysosporium sebagaipengganti hijauan dalam ransum ternak kambing.Agrinak. Jurnal : Vol. 02. (1). 6-10.
Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau. Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK). 2011. Rilis Akhir PSPK 2011. Kementrian Pertanian-Badan Pusat Statistik.
Suatha I. K. dan I.P. Sampurna, 2010. Pertumbuhan Alometri Dimensi Panjang, dan Lingkar Tubuh Sapi Bali Jantan. Jurnal Veteriner Maret 2010. 11 (1) : 46-51.
Sudarmin B. F. 2019. Komposisi kimia dan sifat fisik ransum sapi bali di penampungan ternak desa nongan kecamatan rendang kabupaten karangasem. sikripsi, Fakultas Peternakan, Universias Udayana, Denpasar.
Suryani, N. N. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Bali Yang Diberi Pakan Hijauan Dengan Jenis dan Komposisi Berbeda. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Suryani, N. N. I. G. Mahardika S. Putra , dan N. Sujaya. 2015. Sifat Fisik dan Kecernaan Ransum Sapi Bali yang Mengandung Hijauan Beragam. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar – Bali. Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2015. Vol 17, (1) : 29-45.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institute Pertanian Bogor.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Yusmadi. 2008. Kajian Mutu dan Palatabilitas Silase dan Hay Ransum Komplit Berbasis Sampah Organik Primer Pada Kambing PE. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Zulkharnaim, Jakaria, and R. R. Noor. 2010. Identification of genetic diversity of growth hormone receptor (GHRAlu I) gene in bali cattle. Media Peternakan 33: 81-8.
Dwipayana et al., Peternakan Tropika Vol. 7 No. 2 Th. 2019: 559- 569
Page 569
Discussion and feedback