Health Profile of Etawah Crossbreds Given Probiotics at Smallholder Farms in Kampung Bugis, Desa Serangan, Bali
on

e-journal
FAPET UNUD
e-Journal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: Mayl 2, 2019 Accepted Date: May,27, 2019
Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita & I W. Wirawan
Profil Kesehatan Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Probiotik pada Peternakan Rakyat di Kampung Bugis, Desa Serangan, Bali
Bambar, M.M., L. Doloksaribu dan I.G.A.A. Putra
PS Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Denpasar, Bali.
E-mail: [email protected],Telpon: +6285238459246,
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis penyakit yang umum terjadi khususnya infeksi endoparasit yang mempengaruhi profil kesehatan kambing yang dipelihara di Kampung Bugis Desa Serangan, Bali. Data diperoleh melalui observasi langsung, wawancara peternak kambing secara formal terstruktur serta wawancara informan kunci yang dilakukan dari bulan Juli hingga September 2018. Hanya tiga peternak yang masih memelihara kambing di Serangan dan dua dari peternak tersebut terlibat dalam study ini. Masing-masing peternak memelihara kambingnya dengan sistem kandang kelompok dan memberikan hijauan ±10% dari berat badan/ekor/hari kepada kambing namun hanya satu peternak memberikan tambahan campuran probiotik dengan air minum yang diberikan secara ad libitum. Parameter yang diamati yaitu pemeriksaan tinjadan skor FAMACHA©. Skor FAMACHA©kambing dalam kelompok Kontrol 1,00 ± 0,00 adalah nyata lebih rendah dari pada kambing dalam kelompok Perlakuan 1,11 ± 0,04 (P<0.05), namun kedua kelompok mengindentifikasikan kambing sehat dan tidak menderita anaemia. Haemonchus contortus sp., Ostertagia sp., dan Fasciola sp. adalah jenis cacing yang terdapat pada saluran pencernaan kambing yang dipelihara di Desa Serangan, Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat infestasi cacingberada pada standar infeksi ringan yaitu 37,5% dan 33.3% untuk Perlakuan tanpa probiotik dan probiotik secara berurut. Disimpulkan, pemberian probiotik pada campuran air minum cendrung menurunkan paparan infeksi endoparasit pada kambing yang dipelihara di Desa Serangan.
Kata kunci: Profil kesehatan, infeksi, endoparasit, probiotik.
Health Profile of Etawah Crossbreds Given Probiotics at Smallholder Farms in Kampung Bugis, Desa Serangan, Bali ABSTRACT
The purpose of this study was to identify the common types of disease, particularly endoparasitic infection that affected the health profile of goats rearing in Kampung Bugis, Serangan Village, Bali. Data was collected through direct observations, structured formal household interviews, and key informant interviews that were conducted from July to September 2018. Each of the two farmers housed their goats in group housing system and fed forage of approximately 10% of body weights of goat/head/day, but only one goat farmer added a mixture of probiotic with drinking water ad libitum. Parameters observed were faecesand FAMACHA©scores. FAMACHA©score of goats in Control group 1.00 ± 0.00 was significantly lower than those of goats in Treatment group 1.11 ± 0.04 (P<0.05), however,

both groups were indentified as heathly and not suffering from anaemia. Haemonchus contortus sp., Ostertagia sp., and Fasciola sp., were types of worm found in the digestive tract of goats reared in Serangan Village, Bali. Results of this study showed that the worm infestation rate was of mild infection i.e. 37.5% and 33.3% for non probiotic and probiotic treatment.To sum up, providing a mixture of probiotic with drinking water ad lib tended to reduce the endoparasitic infection in goats reared in Serangan Village.
Keywords: Health profile, infection, endoparasites, probiotics.
PENDAHULUAN
Kesehatan kambing sangat penting, karena bila tatalaksana kesehatan kambing diabaikan akanmenyebabkan rendahnya produktivitas kambing sekaligus kerugian seperti pertambahan berat badan harian rendah,dewasa kelamin atau umur berahi pertama tertunda, daya reproduksi terganggu, efisiensi pakan rendah, dan kematian ternak (Bahriet al., 2004).ciri-ciri kambing sehat adalah lincah, aktif, rasa ingin tahu terhadap lingkungannya dan kepala tegak, tubuh berdiri tegak dengan keempat kaki, berespon terhadap lingkungannya. Selain itu, kambing sehat terlihat dari bulu mengkilap, bercahaya, mata terang dan lubang hidung bersih dan suhu tubuh normal berkisar antara 38,6oC hingga 40,6oC dengan rataan 39,3oC(Harwood, 2006).
Penyakit umum yang terjadi pada kambing yang dipelihara di peternakan berskala kecil di daerah tropikal pada umumnya adalah diare (Mowlem, 2011), keracunan, kembung (bloat) (Jayakrushnaet al., 2011; Sunitaet al., 2011; dan Hart, 2016), penyakit kuku, kudis (scabies) (Manurunget al., 1990), aborsi (Melladoet al., 2004).Penyakit pada kambing dapat berakibat kematian atau kerugian yang mengakibatkan produktivitas kambing rendah (Sing dan Prasad, 2008). Penyakit parasit yang sering menjadi permasalahan pada ternak kambing namun sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit cacingan yang disebabkan oleh cacing saluran pencernaan (gastrointestinal). Parasit cacing saluran pencernaan merupakan masalah utama yang menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak khususnya ruminansia kecil. System FAMACHA© adalah metode yang praktis penggunaannya dalam pengidentifikasi ruminansia kecil akan kebutuhan pengobatan anti helmintik skala peternakan. Warna membrane mukosa bagian bawah mata, merefleksikan level dari anaemia yang diderita ruminansia kecil (Papadopouloset al., 2013).Desa Serangan berada di Kecamatan Denpasar Selatan, sekitar 10 kilometer ke arah Selatan dari pusat kota Denpasar. Data Biro Pusat Statistik Bali (BPS-Bali, 2018)melaporkan bahwa jumlah kambing di Kodya Denpasar adalah 302 ekor sebagai populasi terkecil di Provinsi Bali atau kurang dari 1% dari 65.045 total populasi kambing Bali di tahun 2015. Saat observasi pada awal Mei 2015 jumlah kambing
yang dimiliki belasan peternak di Desa Serangan sebanyak 500 ekor (Doloksaribu, L. 2018, pers. Comm. 21 Februari). Namun pada awal Februari 2018 jumlah kambing yang tersisa dan hanya dimiliki oleh tiga peternak di Kampung Bugis sebanyak 75 ekor atau 15% dari total populasi 2015 (Sakban. 2018, pers. comm. 14 Februari).
Masyarakat di Kampung Bugis, Serangan telah kehilangan hak atas kepemilikan tanah tempat tinggalnya (Anonymous, 2012) dan hal ini menyebabkan mereka tidak lagi menanam pakan hijauan untuk kambingnya. Selain berkurangnya ketersediaan pakan hijauan untuk kambing, persoalan lain adalah ternak kambing hanya dikandangkan pada malam hari, sementara dari pagi hingga sore, kambing merumput bebas di lapangan atau sekitar perkampungan. Hal ini memungkinkan kambing terpapar infeksi endoparasit.
Ketiga peternak kambing memberikan pakan hijauan yang tumbuh sekitar Desa Serangan dan tidak pernah memberikan konsentrat komersial. Salah seorang dari ketiga peternak, selain memberikan pakan hijauan juga memberikan tambahan campuran probiotik dengan air minum kepada kambing yang dipeliharanya. Diharapkan manfaat pemberian campuran probiotik dengan air minum inidapat mengurangi tingkat infestasi cacing, memperbaiki kualitas pemberian pakan oleh karena probiotik berfungsi mempertahankan flora pencernaan yang normal, untuk menurunkan gangguan pencernaan serta meningkatkan stamina, kesehatan sekaligus produktivitas dapat tercapai (Apáset al., 2010; Gerekováet al., 2011; Baruaet al., 2015; dan Le, 2017).
Informasi tentang profil peternakan kambing yang dipelihara oleh masyarakat di Kampung Bugis Desa Serangan, Bali belum dipublikasi khususnya profil kesehatan kambing, apakah terpapar infeksi endoparasit?Oleh karena itu, penelitian profil kesehatan kambing PE yang dipelihara oleh peternak skala kecil di Kampung Bugis, Desa Serangan, Provinsi Bali penting dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis penyakit yang umum terjadikhususnya infeksi endoparasit yang mempengaruhi profil kesehatan kambing yang dipelihara di Kampung Bugis Desa Serangan, Bali.
METODE PELAKSANAAN
Kambing Peranakan Etawah (PE)
Tigapuluh tujuh kambing yang dipelihara oleh dua dari tiga peternak yang masih beternak kambing di Kampung Bugis Desa Serangan digunakan dalam penelitian ini.Masing-masing peternak memelihara kambingnya dengan sistem kandang kelompok yang memiliki para-para yang terbuat dari bambu setinggi 75 cm di atas lantai tanah. Sebanyak 13 ekor
kambing dari berbagai status fisiologi yaitu cempe betina/jantan prasapih, betina/jantan pascasapih, betina/jantan muda, betina bunting, laktasi kering dan jantan dewasa diberikan hanya pakan hijauan sebanyak 10% dari total berat badan keseluruhan kambing setiap pagisebagai Kontrol. Sementara 24 ekor kambing, selain diberikan pakan hijauan sebanyak 10% dari total berat badan keseluruhan setiap hari, juga diberikan campuran antara probiotik dan air minum secara ad libitumsebagai Perlakuan.
Tempat dan Waktu Kegiatan
Kampung Bugis, Desa Serangan terletak 5 km selatan Kota Denpasar adalah lokasi penelitian ini. Desa Serangan terletak antara 8o36’56” hingga 8o42’01” selatan dan 115o10’23” hingga 115o16’27” timur dengan iklim pesisir pantai laut lepas. Desa Serangan memiliki rataan temperatur 27,3oC, kelembaban relatif 81%, rataan curah hujan tahunan 2.026 mm dan rataan kecepatan angin 7 knots (Bali Meteorology Biro, 2018).Pelaksanaan kegiatan selama 15 minggu, dari bulan Juli hingga September 2018 yaitu tujuh minggu pertama sebagai periode adaptasi dan delapan minggu berikutnya sebagai periode pengumpulan data.
Metode Pelaksanaan
Prosedur purposive sampling menurut Bryman (2016) diadopsi untuk memastikan bahwa penyeleksian petani adalah mengacu kepada peternak kambing. Sebuah metode survei berdasarkan questionnaire terstruktur dan observasi langsung dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Jumlah para peternak kambing dan kambing-kambingnya diseleksi secara acak di Kampung Bugis.
Penelitian ini dilakukan selama 15 minggu yaitu tujuh minggu pertama sebagai periode adaptasi dan delapan minggu berikutnya sebagai periode pengumpulan data. Pemeriksaan skor FAMACHA© kambing pada kedua peternak dilakukan tiga kali dengan selang waktu dua minggu dan pada minggu ketujuhdiberikan kepada kelompok ternak Perlakuan campuran antaraprobiotik dengan air minum.Setelah tujuh minggu pertama tersebut, 24 kambing yang mendapatkan pakan hijauan dan probiotik, maupun 13 kambing yang hanya mendapatkan pakan hijauan ditimbang sebanyak empat kali dengan selang waktu dua minggu. Tinja individual dari peternakan Kontrol dan Perlakuan diperiksa pada hari ke-56.
Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalahpemeriksaanendoparasit (cacing), dan skor FAMACHA©.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan endoparasit (cacing)
Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa tingkat infeksi cacing masing-masing adalah
37,5% dan 33,3% untuk perlakuan tanpa probiotik dan probiotik secara berurut (Tabel 1).
Tabel 1. Persentase infestasi endoparasit kambing yang dipelihara di Desa Serangan.
Pemeriksaan tinja (endo-parasit)
Status Gigi Umur (Tahun) |
Jumlah kambing infestasi (n) |
Jumlah kambing (n) |
Persentase infestasi (%) | |||
Ko |
T1 |
Ko |
T1 |
Ko |
T1 | |
I0=0 – 1 tahun |
0 |
1 |
2 |
11 |
0 |
9,1 |
I1=2 tahun |
1 |
2 |
2 |
2 |
50 |
100 |
I2=3 tahun |
-- |
-- |
-- |
-- |
-- |
-- |
I3=4 tahun |
2 |
2 |
3 |
2 |
66,7 |
100 |
I4=5 tahun |
-- |
1 |
-- |
2 |
-- |
50 |
Ompong =6 tahun |
0 |
0 |
1 |
1 |
0 |
0 |
Total |
3 |
6 |
8 |
18 |
37,5 |
33,3 |
Keterangan: Ko: pakan hijauan (Kontrol); Ti: pakan hijauan + probiotik (Perlakuan).
Hal ini menunjukkan tingkat infeksi cacing berada pada standar infeksi ringan (<50%) (Levine,1990).Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan 80% dan 100% pervelensi nematode hasil penelitian Purwaningsihet al. (2017) ataupun 51,9% dan 51,4% pervelensi nematode hasil penelitian Mukti et al. (2014). Hal ini disebabkan parasit cacing tidak mampu berkembang pada iklim Desa Serangan yang memiliki iklim pesisir dengan temperatur 27,30C, kelembaban relatif 81%, curah hujan tahunan 22.026 mm serta kecepatan angin 7 knots (Bali Meteorology Biro, 2018.www.bmkg.go.id)sesuai pendapat Mukti et al., 2014; dan Purwaningsih et al., 2017.
Selain itu, pemberian pakan hijauan berupa mangrove (Rihzopora stylosa),waru (Hibiscus tiliaceus), gamal (Glicidia sepium) mengandung anti helmintik yang dapat mencegah dan mengurangi infestasi cacing (Kunstatinah et al., 2008).Pakan hijauan yang diberikan secara cut and carry yang dipotong setelah jam 8 pagijuga dapat mencegah infestasi cacing. Hal ini sesuai dengan pendapat Jones (1993) yang dikutip Doloksaribu (2017) yang melaporkan bahwa sekitar 80% dari parasit hidup pada 5 cm pertama di atas tanah dari tumbuhan. Oleh karena itu, pemotongan pakan hijauanpada ketinggian tersebut serta ketika
matahari yang bersinar kuat akan mengurangi risiko infeksi cacing. Tingkat infestasi ini dapat juga dicegah dengan pemberian probiotik (Le, 2017). Hal ini disebabkan probiotik berpengaruh positif bagi kesehatan yakni memperbaiki dan mempertahankan flora saluran pencernaan untuk menurunkan gangguan metabolism dan meningkatkan kesehatan dan produktivitas serta meningkatkan sistem imun baik pada ruminasia sebelum dan sesudah disapih(Castilloet al., 2011 dan Le, 2017).
Jumlah kambing yang terinfestasi cacingpada Kontrol adalah tiga ekor kambingsementara enam ekor kambing pada Perlakuan(Tabel 1). Hal ini disebabkan tatalaksana pemeliharaan yang kurang baik dan sesuai pendapatTolistiawaty et al. (2016) yang menyatakan bahwakandang yang kotor dan becek adalah salah satu cara yang menyebabkan kambing terinfestasi cacing. Tatalaksana pemeliharaan kambing oleh masyarakat Kampung Bugis khususnya tatalaksana perkandangan masih bersifat tradisional dimana kambing-kambing hanya dikandangkan pada malam hari dan pakan diberikan secara cut and carry, serta sistem kandang kelompokterutama kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan kondisi kambing kurang sehat, bulu sekitar pantat kotor, kurus dan banyak tinja yang lembek berserakan di lantai kandang. Selain itu, kotoran yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang mengundang lalat dan juga memungkinkan larva nematoda berkembang di dalamnya terutama pada saat kulit ternak bersentuhan dengan kotoran, memungkinkan beberapa larva cacing dapat masuk ke dalam tubuh ternak. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Sodiq (2001) yang menyatakan bahwa kebersihan kandang yang tidak terjaga dapat menjadi sumber infeksi cacing. Selain itu, daerah Serangan saat turun hujan dapat menyebabkan kelembaban yang tinggi, menyebabkan cacing parasit berkembangbiak dengan cepat sesuai dengan pendapat Sambodo dan Tethool (2012).
Hasil penelitian inimenunjukkan bahwa kambing terinfestasi secara campuran oleh beberapa jenis cacing seperti Haemonchus contortus sp., Ostertagia sp., dan Fasciolasp. dan Haemonchus contortus sp. adalah jumlah terbanyak yang menginfestasi kambing di Desa Serangan(Tabel 2). Tingkat infestasi campuran ini dapat terjadi diduga karena kurang efisiennya metode kontrol kesehatan dan pemeliharaan yang diterapkan masih semi intensif. Kambing dikeluarkan dari kandang dan diumbar di pekarangan pada pagi sampai sore hari, setelah itu kambing-kambing dikandangkan pada malam hari. Berdasarkan survey lokasi kandang berada di tengah permukiman warga, serta kondisi kandang agak lembab karena tidak terpapar sinar matahari. Selain itu, kambing tersebut memakan sampah atau memakan rumput yang terkontaminasi larva cacing.
Tabel.2 Jenis dan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) per ekor, dan frekuensi infeksi nematoda pada berbagai umur kambing PE di Desa Serangan, Bali.
Perlakuan Jenis cacing |
Umur Kambing PE (tahun) | ||||||||||||
<1 thn |
<2 thn |
<4-6 thn |
Total | ||||||||||
n |
Frek |
TTGT n |
Frek |
TTGT |
n |
Frek |
TTGT |
n |
Frek |
TTGT | |||
Ko |
Ostertagia sp. |
2 |
0 |
0 |
2 |
1 |
40 |
4 |
2 |
80 |
8 |
3 |
66,7 |
Fasciola sp. |
2 |
0 |
0 |
2 |
0 |
0 |
4 |
1 |
10 |
8 |
1 |
10 | |
Ti |
Ostertagia sp. |
11 |
1 |
40 |
2 |
1 |
40 |
5 |
2 |
100 |
18 |
4 |
70 |
H.contortus sp. |
11 |
0 |
0 |
2 |
2 |
140 |
5 |
2 |
60 |
18 |
4 |
100 | |
Keterangan: Ko: pakan hijauan (Kontrol); Ti: |
pakan hijauan + |
probiotik (Perlakuan); Status |
gigi I0 |
: 1 tahun, I1=2 | |||||||||
tahun, I2=3 tahun, I3=4 tahun, I4 |
5 tahun, dan ompong |
=6 tahun |
Jumlah jenis cacing ini masih dalam kisaran banyaknya tingkat infeksi dari hasil penelitian Yuswandi (2015). Hal ini disebabkan jenis cacing ini yang mampu hidup pada kelembaban yang tinggi (Subektiet al., 1996). Tingkat infestasi cacing lebih dominan terjadi pada kambing dewasa (Tabel 1). Umur kambing yang terinfestasi cacing pada penelitian ini masih dalam kisaran umur kambing hasil penelitian Purwaningsih et al. (2017) yaitu pada kambing dewasa umur 2 hingga 6 tahun. Namun umur ini lebih tua daripada yang dilaporkan oleh Rendiet al. (2018) yaitu <1 tahun. Hal ini disebabkan status fisiologi kambing di Desa Serangan paling banyak betina dan jantan muda, induk bunting, induk laktasi, induk kering dan jantan dewasa. Selain itu kekebalan tubuh kambing dewasa menurun karena jenis cacing yang terinfeksi mampu menginfeksi kambing dewasa (Symons, 1989).
Skor FAMACHA©
Skor FAMACHA©kambing dalam kelompok Kontrol 1,00 ± 0,00 adalah nyata lebih rendah dari pada kambing dalam kelompok Perlakuan 1,11 ± 0,04, namun kedua kelompok mengindentifikasikan kambing sehat dan tidak menderita anaemia. Hal ini terlihat dari warna merah pekat dari membrane mukosa bagian bawah mata kambing dan sesuai dengan angka 1 pada skor FAMACHA©walaupunkambing terinfeksi Haemonchus contortus sp., Ostertagia sp., dan Fasciolasp.(Tabel 3). Namun taraf infeksi masih di bawah ambang untuk membuat kambing menderita anemia. Hal ini sesuai dengan pendapat Ejlertsenet al. (2006)
menyatakan bahwa standard skor FAMACHA© 1 sampai 5 dimana kategori warna mukosa mata diobservasi yaitu warna merah dengan kategori klinis 1 maka ternak sehat, warna pink adalah warna peringatan untuk peternak memperhatikan kebersihan peternakan dan warna © putih skor 5 ternak terinfeksi cacing secara akut. Nilai ini masih dalam kisaran FAMACHA© 1,1 ± 0,0 pada kambing yang dipelihara di kabupaten Jembrana (Doloksaribuet al., 2018).
Hal ini menjadi perhatian oleh karena sistem pemeliharaan kambing di Kampung Bugis yang dilepas bebas berkeliaran termasuk bebas akses ke tempat sampah.
Tabel 3.RataanSkor FAMACHA©pada kambing yang dipelihara di Desa Serangan, Bali.
Skor FAMACHA© | |
Status gigi Umur (tahun) |
Ko Ti P Mean ± SEM (n) Mean ± SEM (n) |
Ompong = 6 tahun |
1,00 ± 0,00a (2) 1,03 ± 0,17b(11) <0,05 1,00 ± 0,00a(2) 1,33 ± 0,52b(2) <0.05 -- -- - 1,00 ± 0,00a(3) 1,50 ±0,55b(2) <0.05 -- 1,00 ± 0,00 (2) - 1,00 ± 0,00a (1) 1,00 ± 0,10b (1) <0,05 |
Total |
1,00 ± 0,00a (8) 1,11 ± 0,04b(18) <0,05 |
Keterangan; Ko: pakan hijauan (Kontrol); Ti: pakan hijauan + probiotik (Perlakuan); Rataan di dalam baris yang sama dengan notasi yang berbeda, berbeda secara nyata pada level 0.05.
SIMPULAN
-
1. Kambing yang hanyadilepas bebas di lapangan dan tempat umum terpapar infeksi Haemonchus contortus sp.,Ostertagia sp., dan Fasciola sp.yaitu sebesar 37,5% untuk kelompok kambing yang mendapatkan pakan hijauan serta 33,3% untuk kambing yang mendapatkan pakan hijauan dan probiotik.
-
2. Pemberian probiotik pada campuran air minum dapat menurunkan paparan infeksi endoparasit pada kambing yang dipelihara di Desa Serangan.
SARAN
Peternak kambing di Kampung Bugis Desa Serangan sebaiknya memberi obat anti cacing kepada kambingnya secara reguler sesuai dengan anjuran dokter hewan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterimakasih kepada Bapak Iskandar, Bapak Jamiludin dan Bapak Sakban pemilik peternakan kambing di Kampung Bugis, Desa Serangan atas ijin serta kerjasama yang sangat baik sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. Penetapan Mahkamah Agung nomor 8031/PTT/201 tanggal 22 Maret 2012 Pengadilan Negeri Denpasar, Denpasar.
Apás, A.L., J. Dupraz, R. Ross, S.N. González, and M.E. Arena. 2010. 'Probiotic administration effect on fecal mutagenicity and microflora in the goat's gut', Journal of Bioscience and Bioengineering 110 (5): 537-40.
Bahri,S.R., M.A. Adjid, A. Beriajaya, dan H. Wardhana. 2004. Manajemen Kesehatan Dalam Usaha Ternak Kambing. Balai Penelitian Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.
Barua, R., H.M.A. Al-Masud, M.N. Mahmud, and M.A. Hakim. 2015. 'Assessment of potential probiotic Lactobacillus strains isolated from goat milk', Journal of Pharmacy and Biological Science 10 (4): 9-15.
BPS-Bali 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Statistics Bali Province. Bali in figures'.
Bryman, A. 2016. Social research methods, 5th edn, Oxford University Press, Oxfords New York.
Castillo, N.A., G. Perdigón, andA. de Moreno de LeBlanc. 2011, 'Oral administration of a probiotic Lactobacillus modulates cytokine production and TLR expression improving the immune response against Salmonella enterica serovar Typhimurium infection in mice', BMC Microbiology11 (1): 177.
Doloksaribu, L. 2017. 'Improvement of rearing goats in Bali Province, Indonesia', PhD thesis, The University of Queensland, Queensland, Australia.
Doloksaribu, L., S. Frangestu, I.F. Ramadhani, M.M. Bambar, D.B.B. Heo, dan H.P.S. Yosafat. 2018. Profil dimensi tubuh kambing Peranakan Etawah yang dipelihara di peternakan rakyat di Kampung Bugis, Serangan, Bali. Prosiding Seminar Nasional Himpunan Ilmuan Tumbuhan Pakan Indonesia Ke VII, Banjarmasin, 5-6 November 2018. Hal. 186-195.
Ejlertsen, M., S.M. Githigia, R.O. Otieno, and S.M. Thamsborg. 2006. 'Accuracy of an anaemia scoring chart applied on goats in sub-humid Kenya and its potential for control of Haemonchus contortus infections'.Veterinary Parasitology141(3–4): 291-301.
Gereková, P., Z. Petruláková, and E. Šturdík. 2011. 'Importance of lactobacilli for breadmaking industry'.Acta Chim. Sloy. 4:118-35.
Hart, S.P. 2016. 'Husbandry of dairy animals: Goat: Feeding management', in Reference Module in Food Science, Elsevier.
Harwood, D. 2006. Goat Health and Welfare: A Veterinary Guide, Crowood Press, Marlborough, UK.
Jayakrushna, D., S.S. Behera, and P. Soumyaranjan. 2011. 'Acute bloat in a goat and its surgical management by rumenotomy', Intas Polivet12 (2): 322-4.
Kunstantinah, W., Setyono., N.D. Dono, dan E.R. Ørskov. 2008. Anthelminthic Efficacy of Gliricidia Sepium, Calliandra Calothyrsus, and Artocarpus Heterophyllus by in Vitro Measurement Against Haemanchus Contortus Worm.
Le, O.T. 2017. 'Response of ruminant health and growth to the probiotic Bacillus amyloliquefaciens', PhD thesis, The University of Queensland.
Levine, D. 1990. Edisi Indonesia: Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Original Edition: Textbook of Veterinary Parasitology.
Manurung, J., P. Stevenson, Beriajaya, and M.R. Knox. 1990. 'Use of ivermectin to control sarcoptic mange in goats in Indonesia', Tropical animal health and production22 (3) :206-12.
Mellado, M., R.Valdez, L.M. Lara, and J .E. Garcı́a. 2004. 'Risk factors involved in conception, abortion, and kidding rates of goats under extensive conditions', Small Ruminant Research55(1–3): 191-8.
Mowlem, A. 2011. Goats, Management and welfare of farm animals: UFAW Farm Handbook.
Mukti, T., I.B.M. Oka, dan I.M. Dwinata. 2014. Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Indonesia Medicus Veriner 5(4):330-336.
Papadopoulos, E., E. Gallidis, S. Ptochos, andG.C. Fthenakis. 2013, 'Evaluation of the FAMACHA© system for targeted selective anthelmintic treatments for potential use in small ruminants in Greece', Small Ruminant Research, vol. 110, no. 2–3, pp. 124-7.
Purwaningsih, Noviyanti, dan S. Priyo. 2017. Infestasi Cacing Saluran Pencernaan Pada Kambing Kacang Peranakan Ettawa Di Kelurahan Amban Kecamatan Manokwari Barat Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu 5(1): 8–12.
Rendi, B.S., H. Madi, dan S. Sri. 2018. Pengaruh Infestasi Cacing Saluran Pencernaan Terhadap Bobot Tubuh Kambing Saburai Pada Kelompok Ternak Di Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan2 (1): 14-19.
Singh, B., and S. Prasad. 2008. 'Modelling of economic losses due to some important diseases in goats in India'.Agricultural Economics Research Review, vol. 21 July-December, hal. 297-302.
Sodiq, A. 2001. 'Small ruminant production under village and improved management systems in Indonesia', in Tropenlandwirt, Beiheft 105-10.
Subekti, S., S. Mumpuni, S. Koesdarto,and H. Puspitawati. 1996. Ilmu Penyakit Nematoda, Kedokteran Hewan - Universitas Airlangga Surabaya, Surabaya.
Sunita, C., A. Muralidhara, and B.M. Ravindranath. 2011. 'Ruminal acidosis in small ruminants and its therapeutic management', Intas Polivet12 (2):320-1.
Symons,L.E.A. 1989. Pathophysiology of Endoparasitic Infection (Compare with Ectoparasitic Infestation And Microbal Infection). Academic Press.
Tolistiawaty, I., J. Widjaja, L.T. Lobo, R. Isnawati. 2016. Parasit Gastrointestinal Pada Hewan Ternak di Tempat Pemotongan Hewan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah 12 (2): 71–78.
Williams, J.C., and A. F Loyacano. 2001. Internal parasites of cattle in Lousiana andother Southern States, Agricultural Center Research Studies UnitedStates, United States.
www.bmkg.go.id2018, 'Bali Agency for Meteorology Climatological and Geophysics'.
Yuswandi. 2005.Studi Biologi Larva dan Cacing Dewasa Hemonchus contortus pada Kambing 33: 1.
Bambar et al., Peternakan Tropika Vol. 7 No. 2 Th. 2019: 534- 543
Page 543
Discussion and feedback