e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: [email protected]

Submitted Date: April 29, 2019                                                 Accepted Date: May,27, 2019

Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita & P. M. A. Candrawati

Produksi Telur Ayam Isa Brown Pasca Vaksinasi dengan Kandidat Vaksin Egg Drop Syndrome (EDS) Diberi Jumlah Ransum yang Berbeda

Heppi. N. W. A. L., G. A. M. K. Dewi, dan I. K. A. Wiyana

PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

E-mail: [email protected] Telp: 087761449872

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi telur ayam Isa Brown umur 18-22 minggu pasca vaksinasi dengan kandidat vaksin egg drop syndrome (EDS) dan diberi ransum komersial dalam jumlah berbeda. Penelitian dilaksanakan di Farm Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Bukit Jimbaran selama 4 minggu. Materi penelitian yang digunakan ayam petelur Isa Brown umur 18 minggu. Rancangan penelitian yang digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan yaitu tanpa divaksinasi dengan kandidat vaksin dan diberi ransum komersial 80 g (R0), tanpa divaksinasi dengan kandidat vaksin dan diberi ransum komersial 84 g (R1), pasca vaksinasi dengan kandidat vaksin dan diberi ransum komersial 80 g (R2), dan pasca vaksinasi dengan kandidat vaksin dan diberi ransum komersial 84 g (R3), masing-masing perlakuan menggunakan 5 ulangan setiap ulangan terdiri dari 3 ekor ayam. Variabel yang diamati adalah produksi telur harian, berat telur, indeks bentuk telur, konsumsi ransum, konversi ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi telur harian perlakuan R3 meningkat dan konsumsi ransum perlakuan R2 menurun (P<0,05) dibandingkan perlakuan R0 dan R1, tetapi berat telur, indeks bentuk telur, dan konversi ransum pada perlakuan R0, R1, R2, R3 tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ayam Isa Brown pasca vaksinasi kandidat vaksin EDS mampu meningkatkan produksi telur harian dan menurunkan konsumsi ransum tetapi tidak mempengaruhi berat telur, indeks bentuk telur, dan konversi ransum.

Kata kunci : kandidat vaksin egg drop syndrome (EDS), Isa Brown, produksi telur, ransum komersial

Production of Isa Brown Chicken Post-Vacination with Candidate of Egg Drop Syndrome (EDS) Vaccine Given Different Amount of Ration

ABSTRACT

This study aims to determine the production of Isa Brown chicken eggs aged 18-22 weeks after vaccination with egg drop syndrome (EDS) vaccine candidates and given different amounts of commercial rations. The research was conducted at the Faculty of Animal Husbandry Teaching Farm Cage, University of Udayana Bukit Jimbaran for 4 weeks. The research material used by Isa Brown laying hens aged 18 weeks. The research design used Completely Randomized Design (CRD) consisting of 4 treatments, namely without vaccination with vaccine candidates and given 80 g (R0) commercial ration, without being vaccinated with vaccine candidates and given commercial ration 84 g (R1), after vaccination with candidates vaccine and given 80 g of commercial ration (R2), and after vaccination with vaccine candidates and given commercial rations 84 g (R3), each treatment used 5


replications each replication consisting of 3 chickens. The variables observed were hen day production, egg weight, egg shape index, feed consumption, feed convertion ration. The results showed that the daily treatment of R3 egg production increased and the treatment feed consumption R2 decreased (P<0,05) compared to treatments R0 and R1, but egg weight, egg shape index, and feed convertion ratio of treatments R0, R1, R2, R3 did not significantly different (P>0,05). Based on results of the study it can be concluded that Isa Brown's chicken after vaccination of EDS vaccine candidates was able to increase hen day production and reduce feed consumption but did not affect egg weight, egg shape index, and feed convertion ration.

Keywords: egg drop syndrome (EDS) vaccine candidate, Isa Brown, egg production, commercial rations

PENDAHULUAN

Ayam petelur saat ini banyak dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia baik sebagai peternakan industri maupun peternakan rakyat, salah satunya adalah strain Isa Brown. Perkembangan penduduk yang pesat serta diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan telur mendorong peternak untuk terus membudidayakan ayam petelur. Pada saat ini ayam petelur yang banyak dibudidayakan umumnya adalah breed unggul yang memiliki tingkat produksi telur tinggi (Kencana et al., 2017). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 menunjukkan terjadi peningkatan populasi ternak ayam ras petelur setiap tahunnya dari total 111.417 juta ekor pada tahun 2009 hingga mencapai 166.722 juta ekor pada tahun 2017.

Manajemen pemeliharaan dan manajemen kesehatan pada ayam petelur di Indonesia yang baik mutlak diperlukan untuk optimalisasi produksi ayam petelur. Berbagai gangguan kesehatan pada ayam petelur dapat mengakibatkan penurunan produksi telur. Salah satu penyakit yang dapat mengakibatkan penurunan produksi pada ayam petelur adalah penyakit egg drop syndrome (EDS) (Kencana, 2012). Penyakit Egg drop syndrome (EDS) disebabkan oleh Adenovirus dari familia Adenoviridae. Virus EDS termasuk ke dalam goup III Avian Adenovirus (Dhinakar et al., 2001). Penyakit EDS menyerang ayam petelur umur 25-32 minggu dengan gejala klinis yang menonjol berupa penurunan produksi telur yang bervariasi mulai 5% sampai 50% yang berlangsung selama 6-7 minggu (Murtidjo, 1992). Penyakit EDS pada ayam broiler ditemukan pada umur lima sampai enam minggu, tetapi bersifat subklinis (Kencana, 2012).

Menurut Suresh et al. (2013) penyakit EDS adalah penyakit pada ayam petelur dapat menyebabkan penurunan produksi telur hingga mencapai 40%. Selanjutnya penyakit EDS dapat berlangsung selama 4 sampai 10 minggu yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi pada peternakan unggas. Virus EDS menular lewat droplet dan feses ayam

terinfeksi (Kencana, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Kencana et al. (2017) telah berhasil mengkarakterisasi enam isolat lapang EDS dari ayam petelur yang dicurigai terkena EDS berasal dari Bogor, Medan, dan Surabaya. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit EDS. Salah satu cara untuk mencegah penyakit EDS adalah dengan melakukan vaksinasi ayam sebelum masa bertelur (umur 14-16 minggu) dengan menggunakan vaksin inaktif (Kencana, 2012). Vaksin inaktif konvensional EDS pertama kali dikembangkan pada tahun 1977 (Baxendale et al., 1980). Vaksinasi bertujuan untuk membentuk antibodi spesifik terhadap virus EDS.

Disisi lain ransum juga memiliki peranan penting dalam meningkatkan produksi telur. Harmayanda et al. (2016) menyatakan bahwa ransum komersial merupakan gabungan dari beberapa bahan yang disusun dengan formulasi tertentu yang sudah dihitung berdasarkan kebutuhan industri dan energi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ternak. Ransum komersial mengandung zat-zat makanan seperti: protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, yang dibutuhkan oleh ayam petelur. Kebutuhan protein ayam petelur fase layer adalah lebih dari 14% pada umur lebih dari 16 minggu dengan energi metabolis 2900 kkal/kg (SNI, 2008). Isa Brown Commercial Layers (2011) menyatakan bahwa kebutuhan konsumsi ransum pada masa kritis awal bertelur yaitu umur 18 sampai 26 minggu membutuhkan konsumsi ransum sebanyak 80 gram sampai 112 gram. Kartadisastra (1994) menyatakan bahwa apabila ransum yang diberikan kurang dari kebutuhannya, ayam akan mudah terserang penyakit, terjadi penurunan berat badan, serta dapat menimbulkan sifat kanibal, sebaliknya apabila ransum yang diberikan melebihi kebutuhannya, ayam cenderung menjadi gemuk dan berlemak, akhirnya produksi telur menurun dan pemberian ransum menjadi tidak efisien.

Berdasarkan hal diatas maka akan dilakukan penelitian produksi telur ayam Isa Brown pasca vaksinasi dengan kandidat vaksin egg drop syndrome (EDS) diberi jumlah ransum yang berbeda.

MATERI DAN METODE

Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Farm Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran. Penelitian ini berlangsung selama 4 minggu mulai dari 19 November-17 Desember 2018. Produksi telur Ayam Isa Brown dihitung pada umur ayam 18-22 minggu.

Materi Penelitian

Ayam petelur

Penelitian ini menggunakan ayam petelur Isa Brown dengan umur 18 minggu dengan berat badan 1.554,80±2,28 gram. Ayam petelur Isa Brown yang digunakan dalam penelitian dibeli dari peternak di Kota Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali.

Kandang

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang battery tiap unit berukuran 56 x 60 cm. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum serta lampu untuk penerangan pada malam hari. Dinding dan alas kandang terbuat dari bahan bambu dan atap menggunakan asbes dan pada bagian bawah kandang diberi alas plastik sebagai tempat menampung kotoran ayam agar nantinya mudah untuk dibersihkan.

Alat Penelitian

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan digital kapasitas 210 g dengan tingkat ketelitian 0,001 g untuk menimbang ransum dan berat telur, spuit injeksi digunakan untuk menampung cairan vaksin yang diinjeksikan, egg tray dengan kapasitas 30 butir yang digunakan sebagai tempat untuk menaruh telur sesuai dengan kode perlakuan, jangka sorong dengan ketelitian 0,01 mm yang digunakan untuk mengukur panjang dan lebar telur, dan peralatan tulis dan label digunakan untuk menulis data yang didapatkan, dan label digunakan untuk menandai telur ayam Isa Brown.

Bahan Penelitian

Ransum yang Digunakan

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum komersial PAR-L1 produksi PT.Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Susunan bahan baku yang digunakan adalah jagung kuning, soy bean meal (SBM), meat bone meal (MBM), corn gluten meal (CGM), palm olein, Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum komersial PAR-L1 untuk ayam petelur produksi dari PT.Japfa Comfeed Indonesia Tbk

Parameter

Standar (%)

Energi metabolis (kkal/kg)

2900

Protein

17-19

Lemak

3-11

Serat kasar

5-6

Kalsium

3,5

Fosfor

0,45

Sumber: PT.Japfa Comfeed Indonesia Tbk

Metode Penelitian

Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 5 ulangan setiap ulangan terdiri dari 3 ekor ayam petelur Isa Brown sehingga total ayam yang akan digunakan sebanyak 60 ekor. Keempat perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: R0: Ayam Isa Brown tanpa divaksinasi dengan kandidat vaksin EDS dan diberi ransum 80 g/hari, R1: Ayam Isa Brown tanpa divaksinasi dengan kandidat vaksin EDS dan diberi ransum 84 g/hari, R2: Ayam Isa Brown pasca vaksinasi dengan kandidat vaksin EDS dan diberi ransum 80 g/hari, dan R3: Ayam Isa Brown pasca vaksinasi dengan kandidat vaksin EDS dan diberi ransum 84 g/hari Prosedur Penelitian

Penempatan ayam petelur Isa Brown dalam penelitian ini menggunakan teknik pengacakan lengkap. Langkah awal dengan melakukan penimbangan berat badan awal ayam Isa Brown kemudian dicari rata-rata berat awal dan standar deviasinya, ayam yang digunakan adalah ayam dengan berat badan yang masuk dalam kisaran berat badan rata-rata.

Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dan 5 ulangan sehingga terdapat 20 unit kandang perlakuan. Setiap unit kandang diisi 3 ekor ayam petelur Isa Brown sehingga penelitian ini menggunakan ayam petelur Isa Brown sebanyak 60 ekor, dan setiap unit kandang diberi kode sesuai perlakuan pada setiap ulangan serta diberi sekat untuk memastikan ketiga ekor ayam mendapat ransum dengan jumlah yang sama. Penempatan ayam disetiap kandang dilakukan dengan pengacakan sehingga di setiap unit kandang penelitian tidak ada perbedaan yang nyata. Pengambilan telur dilakukan setiap hari sesuai kode perlakuan selama penelitian berlangsung, kemudian dicari produksi telur hariannya (hen day production), telur ditimbang menggunakan timbangan digital untuk mencari berat telur selama penelitian serta diukur panjang dan lebar telur menggunakan jangka sorong untuk mendapatkan indeks bentuk telur selama penelitian, konsumsi ransum dihitung dari jumlah ransum yang diberikan dikurangi ransum sisa yang dihitung selama penelitin dan FCR dihitung dengan perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan berat telur selama penelitian.

Pemberian Ransum dan Air Minum

Pemberian ransum pada penelitian ini akan dilakukan 2 kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 08.00 wita dan pada sore hari pukul 16.00 wita, sedangkan untuk pemberian air minum diberikan secara ad-libitum. Sebelum ransum diberikan terlebih dahulu ditimbang

untuk memudahkan pencatatan jumlah ransum dikonsumsi selama penelitian. Ransum komersial diberikan selama berlangsungnya penelitian berdasarkan perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Jumlah ransum yang diberikan dibagi menjadi dua yaitu setengah dipagi hari dan setengah disore hari.

Variabel Penelitian

1.    Pengukuran produksi telur harian/hen day production (%)

Produksi telur harian adalah produksi telur dalam suatu kelompok ayam petelur yang didasarkan atas persentase produksi telur dengan jumlah ayam petelur yang hidup selama pencatatan. Produksi telur harian dihitung setiap hari dengan membagi jumlah telur yang dihasilkan dengan jumlah ayam dikalikan 100%.

  • 2.    Berat telur (g/butir)

Berat telur dihitung dengan menimbang setiap telur yang dihasilkan selama penelitian.

  • 3.    Pengukuran indeks bentuk telur

Indeks bentuk telur diperoleh dari pembagian antara lebar telur yang diukur dengan panjang telur dikalikan 100 yang dihasilkan selama penelitian.

  • 4.    Konsumsi ransum

Konsumsi ransum diperoleh dari jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum sisa yang dihitung selama penelitian.

  • 5.    Feed Convertion Ratio (FCR)

FCR dihitung dengan perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan jumlah berat telur selama penelitian.

Analisis Data

Pada penelitian ini data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (Anova), apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi telur harian (hen day production)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi telur harian (hen day) perlakuan R0, R1, R2, R3 sebesar 28,16%, 29,90%, 27,65%, 35,43% (Tabel 2). Rataan Hen day perlakuan R1 lebih tinggi 5,87% dari R0, secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) , R2 lebih rendah 1,84% dari R0 dan 7,53% dari R1, secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan

perlakuan R3 lebih tinggi 20,52% dibandingkan R0 secara statistik berbeda nyata (P<0,05), perlakuan R3 lebih tinggi 15,61% dibandingkan R1 secara statistik berbeda nyata (P<0,05), dan R3 lebih tinggi 21,96% dibandingkan R2 secara statistik berbeda nyata (P<0,05).

Berat telur

Berat telur ayam Isa Brown perlakuan R0 sebesar 49,38 g dan R1, R2, R3 masing-masing 49,90 g, 49,56 g, 50,62 g (Tabel 2). Berat telur ayam Isa Brown pada perlakuan R1, R2, dan R3 memiliki rataan lebih tinggi masing-masing 1,04%, 0,36%, dan 2,45%

dibandingkan R0, secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan perlakuan R1 lebih tinggi 0,68% dibandingkan R2 tidak berbeda nyata (P>0,05), perlakuan R1 lebih rendah 1,42% dibandingkan R2 tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan perlakuan R2 lebih rendah 2,09% dibandingkan R3 secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).

Indeks bentuk telur

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks bentuk telur ayam Isa Brown (R0) sebesar 78,31 (Tabel 2). Ayam Isa Brown pada perlakuan R1, R2, dan R3 menghasilkan rataan indeks bentuk telur lebih tinggi masing-masing 1,94%, 0,71%, dan 1,67%

dibandingkan R0, secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan perlakuan R1 lebih tinggi 1,24% dibandingkan R2 tidak berbeda nyata (P>0,05), perlakuan R1 lebih rendah 0,28% dibandingkan R3 tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan perlakuan R2 lebih rendah 0,97% dibandingkan R3 secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Konsumsi ransum

Konsumsi ransum ayam Isa Brown perlakuan R0, R1, R2, R3 berturut-turut yaitu 2.253,44, 2.352,00, 2.230,23, 2.350,15 g/ekor (Tabel 2). Rataan konsumsi ransum perlakuan R1 lebih tinggi 4,19% dibandingkan R0, R2 lebih rendah 1,03% dibandingkan R0, R3 lebih tinggi 4,12% dibandingkan R0 secara statistik berbeda nyata (P<0,05), perlakuan R2 lebih rendah 5,18% dibandingkan R1, R3 lebih tinggi 5,10% dibandingkan R2 secara statistik menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), sedangkan rataan konsumsi ransum R3 lebih rendah 0,08% dibandingkan R1, tetapi secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05).

FCR (Feed Convertion Ratio)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai FCR ayam Isa Brown perlakuan R0 sebesar 3,08 (Tabel 2). Rataan FCR ayam Isa Brown pada perlakuan R1, R2, dan R3 memiliki rataan lebih rendah masing-masing 12,30%, 1,59%, dan 13,89% dibandingkan R0, secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan perlakuan R1 lebih rendah

10,87% dibandingkan R2 tidak berbeda nyata (P>0,05), rataan perlakuan R1 lebih tinggi 1,81% lebih tinggi dibandingkan R3 tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan rataan perlakuan R2 lebih tinggi 12,50% lebih tinggi dibandingkan R3 secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).

Tabel 2. Produksi telur harian (hen day production), berat telur, indeks bentuk telur, konsumsi ransum, FCR ayam Isa Brown pasca vaksinasi egg drop syndrome dan diberi ransum komersial

Variabel

Perlakuan1)

SEM3)

R0

R1

R2

R3

Produksi telur harian/Hen day production (%)

28,16a

29,90a

27,65a

35,43b2)

0,77

Berat telur (g/butir)

49,38a

49,90a

49,56a

50,62a

0,75

Indeks bentuk telur

78,31a

79,86a

78,87a

79,64a

0,58

Konsumsi ransum (g/ekor)

2.253,44b

2.352,00c

2.230,23a

2.350,15c

5,39

Feed convertion ratio/FCR

2,52a

2,21a

2,48a

2,17a`

0,13

Keterangan :

1) R0 : Ayam Isa Brown tanpa divaksinasi dengan kandidat vaksin EDS dan diberi ransum komersial 80 g

R1 : Ayam Isa Brown tanpa divaksinasi dengan kandidat vaksin EDS dan diberi ransum komersial 84 g

R2 : Ayam Isa Brown pasca vaksinasi dengan kandidat vaksin EDS dan diberi ransum komersial 80 g R3 : Ayam Isa Brown pasca vaksinasi dengan kandidat vaksin EDS dan diberi ransum komersial 84 g 2) Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05), dan superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

3) SEM (Standard eror of the treatment means)

Rataan produksi telur harian (hen day production) pada perlakuan R0, R1, R2, secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan perlakuan R3 meningkatkan produksi telur harian (hen day production) sebesar 20,52% dari R0, 15,16% dari R1, dan 21,96% dari R2 (P<0,05) (Gambar 1). Hal ini disebabkan oleh pemberian jumlah ransum yang berbeda dan kondisi fisiologis ternak lebih baik dengan vaksinasi EDS karena didalam vaksin inaktif EDS mengandung oil adjuvant yang secara perlahan-lahan mampu meningkatkan titer antibodi dalam tubuh ayam untuk melindungi antigen dari perusakan oleh respon imun sehingga saluran reproduksi dan saluran pencernaan ayam menjadi lebih sehat dan dapat bekerja dengan baik. Kondisi ayam yang sehat menyebabkan nutrisi pada ransum dapat dicerna dengan efisien selain untuk pertumbuhan badan dan bulu tetapi juga dalam memproduksi telur. Hal ini terlihat bahwa R3 memberikan produksi telur yang lebih tinggi dibandingkan R0, R1, R2 dalam hal ini jumlah ransum yang diberikan dan vaksinasi EDS sangat mempengaruhi produksi telur. Sejalan dengan penelitian Setiawati et al. (2016) bahwa hen day production yang tinggi umumnya diiringi dengan pemberian pakan yang mencukupi

kebutuhan hidup pokok dan produksi telur. Utomo (2017) menambahkan bahwa perbedaan tinggi rendahnya produksi telur ayam ras dipengaruhi beberapa faktor, antara lain; genetik, kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan, dan kesehatan ternak. Sultoni et al. (2006) menyatakan bahwa kondisi kesehatan ayam dan tingkat stress pada ayam juga berpengaruh pada hasil produksi. Apabila ayam pada kondisi sakit atau mendapat cekaman stress dapat menyebabkan produksi telur menurun begitupun sebaliknya apabila ayam dalam kondisi sehat maka produksi telur juga meningkat. Penurunan maupun peningkatan produksi telur juga tergantung dari lingkungan, kualitas ransum, pemberian ransum, strain, dan faktor manajemen (Charoen Pockpand, 2005).

90

HenDayProduction           BeratTeIur           IndeksBentukTeIur

■ RO BRl BR2 BR3

Gambar 1. Grafik Produksi telur harian (hen day production), berat telur, dan indeks bentuk telur ayam Isa Brown pasca vaksinasi egg drop syndrome dan diberi ransum komersial dalam jumlah yang berbeda selama penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan R1, R2 dan R3 memiliki rataan berat telur lebih tinggi dibandingkan R0, tetapi secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 1). Berat telur yang tidak berbeda disebabkan oleh jenis dan umur ayam sama, selain itu ayam Isa Brown yang digunakan mempunyai berat badan homogen sehingga berat telur yang dihasilkan tidak jauh berbeda serta jenis ransum komersial yang digunakan sama dan didukung dengan adanya nilai FCR yang sama sehingga pasokan nutrisi yang didapatkan ternak relatif sama mengakibatkan berat telur yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Hal ini sejalan dengan penelitian Utomo (2017) Berat telur selain dipengaruhi oleh sifat genetik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, ransum, umur dan berat ayam, jenis ransum dan berat ayam yang relatif sama menyebabkan hasil berat telur tidak berbeda

nyata. Hartono dan Kurtini (2015) bahwa berat ayam dan berat telur mempunyai korelasi positif, ayam dengan bobot yang lebih berat memproduksi telur yang lebih berat dibandingkan ayam dengan bobot tubuh yang ringan. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa telur dihasilkan dari induk ayam muda lebih kecil dibandingkan dengan telur yang dihasilkan dari induk yang lebih tua. Anggorodi (1995) menambahkan bahwa besarnya telur dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk sifat genetik, tingkat dewasa kelamin, umur, dan ransum sehari-hari.

Indeks bentuk telur yang didapatkan pada perlakuan R0, R1, R2, dan R3, secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 1). Hal ini disebabkan umur ayam dan jenis ternak yang digunakan sama selain itu ransum yang diberikan sama sehingga nutrisi yang didapatkan ayam sama dalam pembentukkan telur, dalam penelitian ini indeks bentuk telur yang dihasilkan yaitu berkisar antara 78,31-79,86. Indeks telur yang dihasikan selama penelitian baik. Dirgahayu et al. (2016) menyatakan telur yang dihasilkan ayam ras strain Isa Brown dominan berbentuk conical atau lonjong dengan indeks telur kurang dari 80. Menurut Soeparno et al. (2011), bentuk telur tergantung pada umur ayam, musim dalam setahun, dan ransum. Elvira et al. (1994) menambahkan bahwa bentuk telur dipengaruhi oleh sifat genetik, bangsa, juga dapat disebabkan oleh proses-proses yang tejadi selama pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus.

Hasil penelitian menunjukkan konsumsi ransum perlakuan R2 lebih rendah 1,03% dibandingkan R0, secara statistik berbeda nyata (P<0,05), sedangkan R1 dan R3 didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 2). Hasil yang berbeda nyata pada perlakuan R2 ini disebabkan oleh kondisi fisiologis ternak yang lebih baik terutama pada bagian saluran pencernaan dan saluran reproduksi nya dapat berfungsi dengan baik setelah divaksinasi dengan kandidat vaksin EDS sehingga kebutuhan nutrisi ternak dapat terpenuhi untuk kebutuhan pokok (maintenance) dan memproduksi telur. Meskipun konsumsi ransum pada perlakuan R2 rendah tetapi mampu memberikan produksi telur yang sama dengan R0, dalam hal ini erat kaitannya dengan pemberian vaksinasi EDS karena dengan vaksinasi ayam menjadi lebih sehat. Ayam yang sehat meskipun dengan konsumsi yang rendah nyatanya mampu memanfaatkan nutrisi yang terkandung dalam ransum selain untuk pertumbuhan badan dan bulu tetapi juga untuk memproduksi telur. Pada perlakuan R1 dan R3 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata hal ini disebabkan oleh pemberian jumlah ransum yang sama mampu memberikan kesehatan pada ternak sehingga ransum yang diberikan dapat digunakan ayam secara efisien untuk kebutuhan pokok dan memproduksi sejumlah telur, pada perlakuan R3 memberikan produksi telur yang tinggi dibandingkan R1, dikarenakan perlakuan R3

mendapatkan vaksinasi yang mengakibatkan saluran reproduksi dan saluran pencernaan ayam dapat bekerja dengan baik untuk memproduksi telur. Konsumsi ransum menjadi salah satu hal terpenting yang dapat mempengaruhi produksi telur. Didukung dengan pernyataan Kartadisastra (1994) bahwa jumlah pemberian ransum pada ternak dapat mempengaruhi kesehatan ternak dan produksi telur, jika ransum yang diberikan kurang dari kebutuhan ternak maka akan mudah terserang penyakit begitupun sebaliknya jika ransum yang diberikan melebihi kebutuhannya maka ayam cenderung menjadi gemuk yang nantinya akan mempengaruhi produksi telurnya. Tilman et al. (1998) menyatakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk mencukupi hidup pokok dan untuk produksi ternak tersebut. Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum antara lain besar tubuh ayam, aktifitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum (NRC, 1994). Nuraini et al. (2015) bahwa konsumsi yang tinggi harus diimbangi dengan produksi yang tinggi, apabila konsumsi tinggi tetapi produksi rendah maka akan diperoleh nilai konversi yang buruk, sehingga akan menimbulkan kerugian pada peternak. Tinggi rendahnya tingkat konsumsi ransum juga disebabkan adanya perbedaaan kondisi lingkungan, status kesehatan ayam dan ransum (Utomo, 2017).

2400

2300

Konsumsi Ransum


2200

2100

R0 R1 R2 R3

Gambar 2. Grafik konsumsi ransum ayam Isa Brown pasca vaksinasi egg drop syndrome dan diberi ransum komersial dalam jumlah yang berbeda selama penelitian

FCR perlakuan R1, R2, dan R3 memiliki rataan nilai FCR lebih rendah dibandingkan R0, tetapi secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 3). Hasil FCR yang tidak berbeda disebabkan oleh berat telur yang dihasilkan selama penelitian relatif sama, selain itu umur dan jenis ternak serta ransum komersial yang digunakan sama sehingga nilai FCR yang didapat tidak jauh berbeda. Nilai FCR yang didapatkan pada penelitian ini berkisar antara 2,17-2,52. Nilai FCR ini menandakan efisiensi penggunaan ransum yang tinggi, sehingga ransum yang didapatkan oleh ayam telah mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya selain untuk pertumbuhan tetapi juga dalam memproduksi sejumlah telur. Nilai konversi ransum yang didapatkan pada penelitian ini masih berada pada standar konversi

ransum yaitu 2,4-2,5 (Hendrix, 2007). Rasyaf (1994) berpendapat bahwa semakin kecil konversi ransum berarti pemberian ransum semakin efisien, namun jika konversi ransum tersebut membesar, maka telah terjadi pemborosan. Menurut Anggorodi (1995) konversi ransum dipengaruhi beberapa faktor seperti umur ternak, bangsa, kandungan gizi ransum, keadaan temperatur dan keadaan ternak, tatalaksana dan penggunaan bibit yang baik. Lacy dan Vest (2000), menyatakan beberapa faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, kualitas ransum, penyakit, temperatur, sanitasi kandang, ventilasi, pengobatan, dan manajemen kandang, bentuk fisik ransum dan komposisi nutrisi ransum.

R0 R1 R2 R3

Gambar 3.                                                                Grafik feed consumtion

ratio (FCR) ayam Isa Brown pasca vaksinasi egg drop syndrome dan diberi ransum komersial dalam jumlah yang berbeda selama penelitian

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ayam Isa Brown pasca divaksinasi dengan kandidat vaksin egg drop syndrome (EDS) dan diberi ransum komersial 84 g dapat meningkatkan produksi telur harian (hen day production) dan ayam Isa Brown pasca divaksinasi dengan kandidat vaksin egg drop syndrome (EDS) dan diberi ransum komersial 80 g dapat menurunkan konsumsi ransum, tetapi tidak berpengaruh terhadap berat telur, indeks bentuk telur, dan konversi ransum (FCR).

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai dosis vaksin yang diberikan untuk memberikan kesehatan pada ternak terutama saluran reproduksi terhadap pembentukan telur ayam Isa Brown untuk meningkatkan produksi telur dan untuk peternak agar memberikan ransum komersial sebanyak 84 g dan vaksin egg drop syndrome (EDS) dalam meningkatkan produksi telur ayam Isa Brown.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bapak Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS atas pelayanan administrasi dan fasilitas pendidikan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta.

Badan Pusat Statistk (BPS). 2017. Populasi ayam ras petelur menurut provinsi. Direktorat

Jenderal      Peternakan      dan      Kesehatan      Hewan,      Kementan.

https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1031 (diunduh 11 November 2018).

Charoen Pockpand, 2005. Manual Manajemen Layer CP 909R . PT. Charond Pockpand Indonesia, Surabaya.

Baxendale W, Lutticken D, Hein R, Mc Pherson I. 1980. The results of field trials conducted with an inactivated vaccine against the egg drop syndrome 76 (EDS 76). J.Avian Pathology 9:77-91.

Dhinakar R, Sivakumar GS, Sudharsan S, Mohan AC, Nachimuthu K. 2001.Genomic characterization of indian isolates of egg drop syndrome 1976 Virus. J Avian Pathology 30:21-26.

Dirgahayu, F.I, D. Septinova, dan K. Nova. 2016. Perbandingan kualitas eksternal telur ayam ras strain isa brown dan lohmann brownn. JIPT Vol. 4(1): 1-5, Februari 2016.

Elvira S., Soewarno T. Soelcarto dan SS. Mansjoer. 1994. Studi komparatif sifat mutu dan fungsional telur puyuh dan telur ayam ras. Hasil penelitian. Bul. T& dan 1ndwb.l P m , Vd. V no. 3. Tir.

Harmayanda, P.O.A., Rosyidi, D. dan Sjofjan, O.2016. Evaluasi kualitas telur dari hasil pemberian beberapa jenis pakan komersial ayam petelur. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. 7 (1): 25-32.

Hartono. M. Dan T., Kurtini. 2015. Pengaruh Probiotik terhadap Performa Ayam Petelur. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. Vol 15 (3) : 214-219.

Hendrix. 2007. Product performance. Isa-hendrix genetics company. http://www.hendrix-genetics.com (diunduh pada tanggal 14 September 2018).

Isa Brown Commercial Layers. 2011. General Management Guide Commercial Isa Brown. Pondoras

Kartadisastra, H.R. 1994. Pengelolaan Pakan Ayam Kiat Meningkatkan Keuntungan Agribisnis Unggas. Kanisius.Yogyakarta.

Kencana. G.A.Y. 2012. Penyakit Virus Unggas. Udayana University Press. Denpasar. ISBN. 978-602-7776-01- 2. Cetakan pertama Pp: 110-118.

Kencana. G.A.Y., Suartha. I.N., Nurhandayani. A., Syamsidar. 2017. The characteristic of egg drop syndrome virus of medan isolate. J Vet Med Anim Science 1(1): 15-19.

Lacy, M. dan Vest, L.R. 2000. Improving feed conversion in broiler: a guide for growers.http://www.ces.uga.edu/pubed/c:793-W.html. diakses pada tanggal 24 Maret 2019.

Murtidjo, B. A. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius: Yogyakarta.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. Ed Rev ke-9. Washington DC: Academy Pr.

North, M.O. dan D.D Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. Published By Van Nostrand Reinhald. New York.

Nuraini, A., Djulardi dan M. E. Mahata. 2015. Pakan non konvensional fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium dan Neurospora crassa untuk memproduksi telur rendah kolesterol. Laporan Penelitian. Hibah Kompetensi Dikti. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Andalas. Padang.

Rasyaf, M. 1994. Beternak Itik Komersial. Kanisus: Yogyakarta.

Setiawati. T, Afnan. R, Ulupi. N. 2016. Performa produksi dan kualitas telur ayam petelur pada sistem litter dan cage dengan suhu kandang berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan .ISSN 2303-2227. Vol. 04 No. 1 Januari 2016 Hlm: 197203.

Soeparno, R.A. Rihastuti, Indratiningsih, Suharjono Triatmojo. 2011. Dasar teknologi hasil ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Talukder S, T Islam, S Sarker and MM Islam. 2010. Effects of environment on layer performance. J. Bangladesh Agril. Univ. 8(2): 253–258.

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2008. Pakan ayam ras petelur (Layer). Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.

Steel, C.J. and J.H. Torrie.1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia: Jakarta.

Sultoni A., A. Malik Dan W. Widodo. 2006. Pengaruh penggunaan berbagai konsentrat pabrikan terhadap optimalisasi konsumsi pakan, hen day production dan konversi pakan. Jurnal Protein. Vol.14 No.2 (103-107).

Suresh, P., Shoba, K., Rajeswar, J.J. 2013. Incidence of egg drop syndrome- 1976 in Namakkal district, Tamil Nadu, India. Vet. World 6(6):350-353.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiro Kusuma, dan S. Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Utomo, D.M. 2017. Performa ayam ras petelur coklat dengan frekuensi pemberian ransum yang berbeda. Jurnal Aves Vol 11 (2): 23-37, Desember 2017, Jurusan Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Islam Balitar

Heppi et al., Peternakan Tropika Vol. 7 No. 2 Th. 2019: 507- 521

Page 521