e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: peternakantropika@yahoo.com

Submitted Date: April 16, 2019

Accepted Date: May,9, 2019


Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita & I Wayan Wirawan

Pengaruh Penyimpanan Terhadap Kualitas Telur Itik

Warmana, I W. G. T., G. A. M. K. Dewi, dan I W. Wijana P S Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar E-mail : Wayantata147@gmail.com Telpon/Hp 087888245380

ABSTRAK

Telur merupakan produk yang mudah mengalami kerusakan dan penurunan kualitas akibat masuknya mikroba ke dalam telur selama penyimpanan, oleh karena itu dilakuakan penelitian penyimpanan telur itik selama 21 hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas telur itik yang disimpan di dataran tinggi Bedugul. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 3 butir telur, sehingga telur yang digunakan sebanyak 60 butir telur itik. Variabel yang diamati yaitu kualitas eksterior dan interior telur, kualitas eksterior telur meliputi bobot telur dan indeks bentuk telur, kualitas interior telur meliputi tebal kerabang, berat kerabang, pH, warna kuning telur, dan (HU) Haugh Unit. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata (P<0,05) pada interior yaitu pada berat kerabang, warna kuning telur, dan HU telur, sedangkan terhadap bobot telur, indeks bentuk telur, tebal kerabang, pH menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Dapat disimpulkan bahwa perlakuan tanpa penyimpanan 0 hari, dan pada penyimpanan 7, 14, dan 21 hari pada telur itik secara interior mengalami penurunan kualitas pada berat kerabang, warna kuning telur, Haugh Unit (HU) namun telur masih layak dikonsumsi hingga lama penyimpanan 21 hari dalam suhu ruang serta masih menunjukkan nilai grade AA dan cemaran mikroba masih dibawah Standar Nasional Indonesia (SNI).

Kata Kunci: Telur itik, kualitas telur itik, lama waktu penyimpanan telur. dataran tinggi

The Effect of Storage on The Quality of Ict Eggs

ABSTRACT

Eggs are a product that easily prevents and reduces the quality of microbial entry into eggs during storage, therefore a study of duck egg storage was carried out for 21 days. This study discusses the length of storage of the quality of duck eggs stored on the Bedugul plateau. The design used was a completely randomized design (CRD) with 4 preparations and 5 replications, and each replication consisted of 3 eggs, so that the eggs used were 60 duck eggs. The variables discussed were exterior quality and egg interior, exterior quality of eggs given egg weight and egg shape index, thick egg interior quality, eggshell, pH, egg yolk color,


and (HU) Haugh Unit. The results showed significant differences (P <0.05) in the interior, namely eggshell weight, egg yolk color, and HU eggs, whereas the egg weight, egg shape index, shell thickness, pH showed no significant difference (P> 0, 05). Can be removed as a setting without 0 days storage, and at 7, 14, and 21 days storage on interior duck eggs improve quality on eggshell weight, egg yolk color, Haugh Unit (HU) and eggs at room temperature and still show AA grade values and microbial contamination is still below the Indonesian National Standard (SNI).

Keywords: Duck eggs, duck egg quality, egg storage time, plain high

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur itik adalah salah satu pilihan sumber protein hewani yang memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna, bergizi tinggi, dan harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Telur itik dapat dikonsumsi seperti sebagai telur asin dan dapat digunakan sebagai sarana upakara (daksina). Di Bali telur itik perlu disimpan sebelum digunakan saat upacara agama sampai setelah upacara agama, sehingga telur itik dapat tersimpan sampai 1 bulan.

Telur memiliki kelemahan yaitu sifatnya cepat rusak, baik berupa kerusakan fisik, kerusakan kimia dan kerusakan yang diakibatkan oleh mikroba. Sifat mudah rusak tersebut disebabkan kulit telur mudah pecah, retak dan tidak dapat menahan tekanan mekanis yang besar. Semakin tua umur telur, maka diameter putih telur akan melebar sehingga indeks putih telur semakin kecil. Perubahan ini disebabkan pertukaran gas antara udara luar dengan isi telur melalui pori-pori kerabang telur dan penguapan air akibat dari lama penyimpanan, suhu, kelembaban dan porositas kerabang telur (Yuwanta, 2010)

Menurut Kurtini (1997) dan Yuwanta (2010), warna kerabang berkaitan dengan ketebalan kerabang dan berpengaruh pada kualitas telur. Muchtadi (1992), Hintono (1997), dan Priyadi (2002) menunjukan bahwa lama simpan berpengaruh terhadap penurunan kualitas telur. Waktu penyimpanan yang semakin lama menyebabkan pori-pori semakin besar dan rusaknya lapisan mukosa, air, gas, dan bakteri lebih mudah melewati kerabang tanpa ada yang menghalangi sehingga penurunan kualitas dan kesegaran telur semakin cepat terjadi (Muchtadi, 1992). Semakin bertambahnya umur telur, mengakibatkan putih telur mengencer dan akan bercampur dengan kuning telur, hal ini diakibatkan oleh kenaikan pH pada putih telur karena hilangnya CO2 yang lebih lanjut serabut-serabut ovomucin berbentuk jala akan rusak dan pecah (Hintono, 1997).

Kualitas luar telur, intensitas warna kerabang menjadi faktor pembatas di tingkat konsumen. Umumnya konsumen lebih suka memilih warna kerabang yang terang hanya karena faktor kebiasaan. Sampai saat ini informasi mengenai kondisi telur itik pada warna kerabang tertentu yang tersimpan mulai dari tingkat peternak sampai konsumen belum terungkap baik kualitas eksterior dan interior telur itik yang disimpan di daerah dataran tinggi Bedugul. Oleh karena itu, maka penting dilakukan penelitian untuk mengkaji kualitas telur itik yang disimpan selama 21 hari di daerah dataran tinggi Bedugul.

Daerah Bedugul merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki suhu mencapai 18-22o C dan kelembaban 70-88 %. Pada suhu yang dingin telur biasanya lebih awet dan kerusakan pada telur lebih kecil. Hal ini sesuai dengan literatur yang ada bahwa suhu dingin dapat memperlambat aktivitas mikroba pembusukan yang tumbuh sehingga proses pembusukan pada telur dapat dihambat (Anonim, 1975). Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penyimpanan telur itik selama 21 hari di daerah dataran tinggi Bedugul untuk mengamati kualitas internal telur.

Bedugul adalah sebuah daerah pegunungan yang mempunyai udara yang sejuk dengan pemandangan yang indah terletak di kabupaten Tabanan, Bali. Bedugul terletak di ketinggian ± 1240 m di atas permukaan laut dan mempunyai temperature ± 18o C pada malam hari dan ± 22o C pada siang hari. Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penyimpanan telur itik selama 21 hari di daerah dataran tinggi Bedugul.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dataran tinggi Bedugul, Laboratorium Ternak Unggas Universitas Udayana Denpasar, Bali. Penelitian ini berlangsung selama 4 minggu mulai dari persiapan sampai dengan analisis Laboratorium.

Telur

Telur yang digunakan adalah telur itik Bali berjumlah 60 butir telur itik yang diperoleh dari peternakan intensif di daerah Kediri, Tabanan, Bali. Umur telur diambil dengan umur yang sama dan bobot telur yang seragam 66,32-66,63.

Peralatan penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah a) Rak telur digunakan untuk menaruh telur, b) Timbangan elektrik digunakan untuk menimbang telur, c) Jangka sorong digunakan untuk mengukur panjang dan lebar telur, panjang dan lebar putih telur, serta diameter kuning telur, d) Thermometer dan hygrometer digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban ruangan selama penyimpanan telur, e) Mikrometer buatan AMES, USA digunakan untuk mengukur ketebalan kulit telur, f) Egg yolk colour fan digunakan untuk menentukan nilai warna kuning telur, g) pH meter digunakan untuk menetukan pH telur, h) Egg Multitester EMT 7300 digunakan untuk mengukur warna kuning telur, nilai kuning telur dan tinggi putih telur.

Pengambilan dan penyiapan sampel

Telur itik yang digunakan dalam penelitian ini disimpan di daerah dataran tinggi Bedugul, Baturiti, Tabanan pada suhu kamar. Selanjutnya telur akan dibawa ke Laboratorium untuk dicari datanya sesuai dengan variabel yang diamati.

Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 4 perlakuan dengan 5 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 3 butir telur, sehingga jumlah telur yaitu 60 butir. Perlakuan yang diberikan adalah P0: Telur yang tanpa penyimpanan 0 hari, P1: Telur yang disimpan selama 7 hari, P2: Telur yang disimpan selama 14 hari, dan P3: Telur yang disimpan selama 21 hari. Telur yang disimpan selama 21 hari. Seluruh telur disimpan pada suhu kamar di daerah dataran tinggi Bedugul, Kecamatan Baturiti, Tabanan.

Variabel yang diamati

  • 1.    Kualitas eksternal yang meliputi:

  • a)    Berat telur, berat telur didapatkan dengan cara menimbang telur sebelum dipecahkan dengan menggunakan timbangan digital yang dinyatakan dalam gram.

  • b)    Indeks bentuk telur, indeks bentuk telur adalah hasil bagi antara lebar dan panjang telur kemudian dikalikan 100 (Houghes, 1974).

  • 2.    Kualitas internal yang meliputi:

  • a)    Tebal kerabang telur, ketebalan kerabang telur diukur dengan menggunakan micrometer yang memiliki ketelitian 0,001 mm. pengukuran tebal kulit telur dilakukan dengan cara memecahkan telur terlebut dahulu dan membersikan bagian dalam kulit telur tersebut dan selajutnya ambil bagian karang telur lalu diukur.

  • b)    Berat kerabang telur, telur yang sudah dipecahkan kemudian kerabang ditimbang dengan timbangan digital.

  • c)    pH, putih dan kuning telur dicampur ke dalam gelas ukur kemudian diaduk hingga merata dan lalu diukur dengan pH meter.

  • d)    Warna kuning telur, nilai warna kuning telur ditentukan dengan menggunakan mesin Egg Multitester EMT 7300.

  • e)    Haugh Unit (HU) telur, Untuk menghitung Haugh Unit telur ditimbang beratnya lalu dipecahakan secara hati-hati dan diletakkan ditempat yang tersedia pada mesin Egg Multitester EMT 7300. Jika manual ketebalan putih telur (dalam mm) diukur dengan Micrometer. Bagian putih telur yang diukur dipilih antara pinggir kuning telur dan pinggir putih telur (Sudaryani, 2003) Kemudian dihitung Haugh Unit dengan rumus :

HU = 100 log(H+7,57-1,7 W0,37)

Keterangan:

HU   = Haugh Unit

H     = Tinggi Putih Telur Kental

W    = Berat Telur

Penentu kualitas telur berdasarkan haugh unit menurut standar United State Departement of Agriculture (USDA) adalah sebagai berikut:

Nilai haugh unit lebih dari 72 digolongkan grade/kualitas AA

Nilai haugh unit antara 60-72 digolongkan grade/kualitas A;

Nilai haugh unit antara 31-60 digolongkan grade/kualitas B; dan

Nilai haugh unit kurang dari 31 digolongkan grade/kualitas C

Analisis data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis ragam, apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) diantar perlakuan, maka dialanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1994)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian pengaruh telur itik yang disimpan selama 21 hari di daerah dataran tinggi Bedugul dapat dilihat di Tabel 1

Tabel 1 Kualitas telur (yang disimpanan selama 21 hari di daerah dataran tinggi

Bedugul terhadap kualitas telur itik)

Variabel

P0

Perlakuan1)

P1

P2

P3

SEM2)

Kualitas Eksternal:

Bobot Telur (g)

66.48 a3)

66.50 a

66.44 a

66.56 a

0.098

Indeks Bentuk Telur (%)

74.90 a

74.16 a

76.20 a

73.92 a

0.708

Kualitas Internal:

Berat Kerabang (g)

8.53 a

8.42 b

8.47 b

8.24 b

0.052

Tebal Kerabang (mm)

0.414 a

0.432 a

0.429 a

0.418 a

0.009

pH

7.94 a

7.85 a

7.70 a

7.86 a

0.141

Warna kuning

11.84 a

13.94 b

12.61 a

12.19 a

0.279

Haugh Unit

81.67 a

79.57 b

77.68 c

77.88 d

0.299

Keterangan:

1) P0 = Telur itik yang tanpa penyimpanan 0 hari

P1 = Telur itik yang disimpan selama 7 hari

P2 = Telur itik yang disimpan selama 14 hari

P3 = Telur itik yang disimpan selama 21 hari

2) SEM: “Standard Error of the Treatment Means”

3) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05).

Bobot Telur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot telur itik yang tanpa penyimpanan 0 hari (kontrol) adalah 66.484 g (Tabel 1). Bobot telur pada penyimpanan 7 hari dan 21 hari memiliki rataan 0.02% dan 0.11% lebih tinggi dibandingkan kontrol sedangkan bobot telur pada penyimpanan 14 hari memiliki rataan 0.07% lebih rendah dibandingkan kontrol, bobot telur pada penyimpanan 7 hari memiliki rataan 0,10% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 21 hari, tetapi secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05).

Indeks bentuk telur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks bentuk telur itik yang tanpa penyimpanan 0 hari (kontrol) adalah 74.898 (Tabel 1). Indeks bentuk telur pada penyimpanan 7 hari dan 21 hari memiliki rataan 0.99%, dan 1.30% lebih rendah dibandingkan kontrol sedangkan indeks bentuk telur pada penyimpanan 14 hari memiliki rataan 1,71% lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan indeks bentuk telur pada penyimpanan 7 hari memiliki rataan 0,31% lebih tinggi dibandingkan penyimpanan 21 hari, tetapi secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05).

Berat kerabang telur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat kerabang telur itik yang tanpa penyimpan 0 hari (kontrol) adalah 8,534 (Tabel 1). Panjang telur pada penyimpanan 7 hari, 14 hari dan 21 hari memiliki rataan 1.38%, 0.80%, dan 3.42% lebih rendah dibandingkan kontrol sedangkan berat kerabang telur pada penyimpanan 7 hari dan 21 hari memiliki rataan 0.59% dan 2.64% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 14 hari, sedangkan berat telur pada penyimpanan 7 hari memiliki rataan 2,07% lebih tinggi dibandingkan penyimpanan 21 hari, secara statistik menunjukan hasil berbeda nyata (P<0,05).

Tebal kerabang telur

Hasil penelitian menunjukan bahwa tebal kerabang telur itik yang tanpa penyimpanan 0 hari (kontrol) adalah 0.4144 (Tabel 1). Tebal kerabang telur pada penyimpanan 7 hari, 14 hari, dan 21 hari memiliki rataan 4.07%, 3.49%, dan 0,96% lebih tinggi dibandingkan kontrol sedangkan tebal kerabang telur pada penyimpanan 14 hari dan 21 hari memiliki rataan 0.60% dan 3.15% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 7 hari, sedangkan tebal kerabang telur pada penyimpanan 21 hari memiliki rataan 2.56% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 14 hari, tetapi secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05).

pH telur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH telur itik yang tanpa penyimpanan 0 hari (kontrol) adalah 7.938 (Tabel 1). Panjang telur pada penyimpanan 7 hari, 14 hari, dan 21 hari memiliki rataan 1.06%, 2.69% dan 1.03% lebih rendah dibandingkan kontrol sedangkan pH telur pada penyimpanan 7 hari dan 14 hari memiliki rataan 0.02% dan 1.68% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 21 hari, sedangkan pH telur pada penyimpanan 14 hari memiliki rataan 1,65% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 7 hari, tetapi secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05).

Warna kuning telur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna kuning telur itik yang tanpa penyimpanan 0 hari (kontrol) adalah 11.840 (Tabel 1). Warna kuning telur pada penyimpanan 7 hari, 14 hari, dan 21 hari memiliki rataan 15.06%, 6.15, dan 2,85% lebih tinggi dibandingkan kontrol sedangkan warna kuning telur pada penyimpanan 14 hari dan 21 hari memiliki rataan 9.50% dan 12.57% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 7 hari, sedangkan warna kuning telur pada penyimpanan 21 hari memiliki rataan 3.39% lebih tinggi dibandingkan penyimpanan 14 hari, secara statistik menunjukan hasil berbeda nyata (P<0,05).

Haugh Unit telur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Haug Unit telur itik yang tanpa penyimpanan 0 hari (kontrol) adalah 81.672 (Tabel 1). Nilai Haugh Unit telur pada penyimpanan 7 hari, 14 hari dan 21 hari memiliki rataan 2.58%, 4.89% dan 7,09% lebih rendah dibandingkan kontrol tidak berbeda nyata, sedangkan Haugh Unit telur pada penyimpanan 14 hari dan 21 hari memiliki rataan 2.37% dan 4.63% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 7 hari, sedangkan Haugh Unit telur pada penyimpanan 21 hari memiliki rataan 2,32% lebih rendah dibandingkan penyimpanan 21 hari, secara statistik menunjukan hasil berbeda nyata (P<0,05). Pembahasan

Bobot telur

Hasil dari pengaruh lama penyimpanan telur terhadap bobot telur secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena ruang penyimpanan telur tertutup dan ventilasi udara yang cukup dan suhu kamar stabil rata-rata 180C dengan kelembaban 80%. Jull (1987) menyatakan bobot telur merupakan sifat fenotip yang dapat diwariskan maka telur yang dihasilkan dari setiap unggas mempunyai bentuk yang khas sesuai dengan bentuk dan besar alat reproduksinya, sehingga penyimpanan 7 hari, 14 hari dan 21 hari telur itik di daerah Bedugul tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan bobot telur. Kehilangan berat sebagian besar disebabkan oleh penguapan air terutama pada bagian albumen, dan sebagian kecil penguapan gas-gas seperti CO2, NH3, N2, dan sedikit H2S akibat degradasi komponen protein telur (Kurtini et al., 2011).

Galur atau jenis itik berpengaruh terhadap bobot telur, yang menunjukkan adanya pengaruh genetik terhadap bobot telur. Bobot telur dipengaruhi oleh gen yang terdapat pada bagian akhir kromosom 4 dan 2 (Tuiskula-Haavisto et al, 2002). Faktor genetik akan berpengaruh pada periode pertumbuhan ovum dan kemampuan ovum mengovulasikan yolk (kuning telur), sehingga akan berpengaruh pada yolk yang dihasilkan, semakin tinggi besar

yolk yang diproduksi, maka bobot telur yang dihasilkan akan semakin tinggi dan sebaliknya (North dan Bell, 1990). Pakan juga sangat berpengaruh terhadap bobot telur, karena pakan yang kandungan nutriennya seimbang dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan itik akan menghasilkan bobot telur yang standar. Stadellman dan Kotteril (1995) menyatakan besar telur dapat dipengaruhi oleh tingkat protein dalam ransum. Ransum dengan protein rendah akan menyebabkan pembentukan kuning telur yang kecil sehingga telur yang dihasilkan akan kecil dan demikian sebaliknya.

Indeks bentuk telur

Hasil dari pengaruh lama penyimpanan terhadap indeks bentuk telur secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena telur yang digunakan berasal dari jenis itik, dan pakan yang sama, sehingga mempunyai bentuk telur yang sama, karena dari bentuk telur kita dapat mengetahui nilai indeks bentuk telur. Menurut Indratiningsih (1996), nilai indeks telur merupakan antara lebar dan panjang telur. Rumus untuk mencari indeks bentuk telur adalah perbandingan antara lebar (diameter) telur dengan panjang telur dikalikan 100. Nilai indeks telur akan mempengaruhi penampilan dari telur itu sendiri. Nilai indeks telur yang ideal berkisar 70-74%.

Menurut Yuwanta (2010), indeks telur akan menurun secara progresif seiring bertambahnya umur. Pada peneluran indeks telur berkisar 77% dan pada akhir peneluran 74%. Bentuk dan indeks telur dikendalikan oleh factor genetic (Bell dan Weaver, 2002). Menurut Pilliang (1992) dan Septiawan (2007), bentuk telur dipengaruhi oleh lebar tidaknya diameter uterus. Semakin lebar diameter uterus, maka bentuk telur yang dihasilkan cendrung bulat dan apabila diameter uterus sempit, maka bentuk telur yang dihasilkan cenderung lonjong.

Berat kerabang telur

Hasil dari pengaruh lama penyimpanan terhadap berat kerabang telur secara statistik menunjukan hasil berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan pada penyimpanan 7 hari,14 hari dan 21 hari, pori-pori kerabang telur sudah mulai melebar dan banyak, sehingga luas permukaan telur akan semakin kecil yang dapat menyebabkan penurunan berat kerabang telur secara nyata. Semakin luas pori-pori dan luas permukaan yang semakin kecil pada kerabang telur, maka dapat mengurangi berat kerabang telur sehingga dapat menyebabkan penguapan CO2 dan H2O melalui pori-pori selama penyimpanan, berakibat penurunan kualitas internal telur semakin cepat (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Menurut Oguntunji dan Alabi (2010), kualitas kerabang telur dipengaruhi oleh sifat genetik, kalsium dalam ransum, hormon, lingkungan, dan manajemen pemeliharaan. Berat dan tebal kerabang merupakan variabel yang menentukan kualitas kerabang telur. Kekuatan kerabang berkaitan dengan suplai kalsium yang diperoleh saat pembentukan kerabang (Jacob et al., 2009), Mineral banyak terdapat dalam cangkang telur adalah Kalsium. Defisiensi kalsium dapat menyebabkan kerabang telur menjadi tipis dan produksi akan menurun (Anggorodi, 1985). Kerabang telur merupakan pertahanan utama bagi telur terhadap kerusakan selama transportasi dan masa penyimpanan, sehingga kualitasnya menjadi salah satu indikator penting dari kualitas telur baik dari segi berat maupun ketebalannya.

Tebal kerabang telur

Hasil dari pengaruh lama penyimpanan terhadap tebal kerabang secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena tebal kerabang telur borkolerasi dengan berat kerabang telur. Semakin besar berat kerabang telur, maka telur akan mempunyai kerabang yang lebih tebal. Telur yang mempunyai kerabang yang tebal akan memperlambat penguapan CO2 dan H2O melalui pori-pori telur selama penyimpanan, sehingga penurunan kualitas internal telur semakin lama dan telur masih mempunyai kualitas yang baik (Romanoff dan Romanoff, 1963). Dan juga bisa dipengaruhi oleh kecukupan gizi ternak, kesehatan ternak, manajemen pemeliharaan, serta kondisi lingkungan peternakan. Sofwah (2007) menyatakan bahwa unggas betina dewasa hanya bisa menyimpan sejumlah tertentu kalsium kedalam kerabang telur dan jumlah tersebut dipengaruhi juga oleh genetik serta umur. Hal tersebut berarti bahwa meningkatnya level kalsium dalam pakan belum tentu juga akan meningkatkan kualitas kerabang telur. Sesuai dengan umur unggas, ukuran telur bertambah jika sejumlah kalsium yang konstan terdistribusi keseluruhan permukaan telur. Perubahan berat telur dan umur dari induk unggas dapat mempengaruhi kualitas kerabang telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiradimadja, et al. (2010). Bahwa kadar kalsium ransum dan kadar fosfor dalam ramsum berpengaruh pada ketebalan kerabang. Ketebalan kerabang juga jangan dibawah ±0,33 yang akan menyebabkann kerabang mudah pecah.

Hargitai et al. (2011) menyatakan tebal tipisnya kerabang telur dipengaruhi oleh strain unggas, umur induk, pakan, stres dan penyakit pada induk. Salah satu yang mempengaruhi kualitas kerabang telur adalah umur unggas, semakin meningkat umur unggas kualitas kerabang semakin menurun, kerabang telur semakin tipis, warna kerabang semakin memudar, dan berat telur semakin besar (Yuwanta, 2010). Anonimous (2011) menyatakan masalah kerabang telur tipis dan lembek bisa bersumber dari nutrisi ataupun karena infeksi penyakit.

Pada kerabang telur terdapat pori-pori telur pada bagian tumpul memiliki jumlah pori-pori per satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan pori-pori bagian yang lain (Kurtini et al., 2011).

pH telur

Hasil dari pengaruh lama penyimpanan terhadap pH telur secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena waktu penyimpanan hingga 21 hari pada suhu kamar tidak memberikan peluang terhadap mikroba untuk merombak protein maupun lemak pada telur itik. Berbeda dengan kelembaban, semakin tinggi suhu maka CO2 yang hilang lebih banyak, sehingga menyebabkan pH albumen meningkat dan kondisi kental albumen menurun (Indratiningsih, 1984). Penyimpanan dapat meningkatkan nilai pH telur. Meningkatnya nilai pH telur terjadi karena penguraian senyawa NaHCO3 menjadi NaOH dan CO2. NaOH yang dibentuk akan diurai menjadi Na+ dan OH- sedangkan CO2 yang dibentuk akan menguap, sehingga meningkatkan pH albumen. Peningkatan pH tersebut akan membentuk ikatan kompleks ovomucin-lysozyme yang menyebabkan kondisi albumen menjadi encer (Budiman dan Rukmiasih, 2007).

Menurut Rizal et al. (2012) pH albumen meningkat karena disebabkan oleh lepasnya CO2 melalui pori-pori cangkang. Putih telur yang mempunyai pH meningkat menjadi basa selain disebabkan oleh menguapnya CO2, juga disebabkan karena putih telur dibagian yang kental mengalami pengenceran yang akhirnya akan merembes ke kuning telur. Suhu pada penyimpanan telur dapat mempengaruhi pH. Menurut Agustina et al (2013), suhu dapat mempengaruhi pH putih dan kuning telur. Semakin tinggi suhu maka CO2 yang hilang lebih banyak sehingga menyebabkan pH putih dan kuning telur meningkat.

Warna kuning telur

Hasil dari pengaruh lama penyimpanan terhadap warna kuning telur secara statistik menunjukan hasil berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena semakin lama penyimpanan yang diberikan maka berpengaruh terhadap kualitas warna kuning telur. Peningkatan nilai warna kuning telur selama penyimpanan disebabkan oleh kemampuan metabolisme yang ada di dalam kuning telur mempengaruhi nilai kuning telur. Selama proses penyimpanan telur mengalami pengenceran dari putih telur ke kuning telur yang mengakibatkan perenggangan membran veteline, sehingga volume kuning telur menjadi lebih besar yang mengakibatkan warna kuning telur menjadi pucat (Yamamoto et al., 2007). Pada saat penyimpanan telur, akan terjadi migrasi H2O dari putih telur ke kuning telur. Pada penelitian ini hal tersebut sudah terjadi. Hal ini diduga karena migrasi H2O dari putih telur ke

kuning telur sudah besar sehingga keadaan kuning telur sudah berubah dan mempengaruhi warna kuning telur.

Warna kuning telur juga dipengaruhi oleh Xantophill dalam ransum yang dikonsumsi itik saat dipelihara, sebagai mana dikatakan oleh Sudaryani (2003) warna kuning telur yang baik berkisar 9-12. Argo dan Mangisah (2013) menyatakan warna kuning telur salah satunya dipengaruhi oleh kandungan xanthopyl, betacaroten, klorofil dan cytosan dari ransum. Adanya perbedaan warna kuning telur ini diduga disebabkan oleh perbedaan kemampuan metabolisme dalam mencerna ransum dan perbedaan dalam menyerap pigmen xantophyl dalam ransum. Warna kuning telur diakibatkan oleh kemampuan setiap unggas dalam mendeposisikan xanthophyll kedalam kuning telur (Solomon, 1997). Scott et al (1968) yang menyatakan bahwa warna kuning telur mempunyai variasi dan intensitas yang berbeda tergantung kandungan xanthophyl dalam pakan dan kemampuan genetik unggas dalam menyerap dan mendeposisikan xanthophyl dari pakan ke dalam kuning telur.

Haugh Unit telur

Hasil dari pengaruh lama penyimpanan terhadap Haugh Unit telur secara statistik menunjukan hasil berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan oleh adanya penguapan gas CO2 yang menyebabkan putih telur kental menjadi encer. Hal ini sesuai dengan pendapat Jazil et al (2013) semakin lama penyimpanan nilai Haugh Unit akan semakin menurun. Hal tersebut terjadi akibat adanya penguapan air dan gas seperti CO2 yang menyebabkan putih telur kental dan encer.

Menurut Tugiyanti dan Iriyanti (2012) kualitas telur dapat diukur berdasarkan nilai Haugh Unit, yaitu diukur berdasarkan tingginya albumen, semakin tinggi nila Haugh Unit, semakin tinggi putih telur, semakin bagus kualitas telur tersebut dan menunjukan bahwa telur masih baru atau segar. Nilai HU sangat tergantung pada kesegaran telur, kesegaran telur dapat dilihat dari tinggi putih telur. Semakin lama umur telur maka kualitas telur akan semakin menurun (Romanoff dan Romanoff, 1963).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyimpanan telur itik selama 7, 14, dan 21 hari di daerah dataran tinggi Bedugul mengalami penurunan kualitas pada berat kerabang telur, warna kuning telur, dan nilai (HU) Haugh unit, tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot telur, indeks bentuk telur, tebal kerabang, dan pH telur, dan

kualitas telur itik tetap memiliki kualitas baik dan masih layak dikonsumsi setelah disimpan selama 21 hari (dengan Grade AA).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar masyarakat di daerah Bedugul dapat menyimpanan telur itik selama 21 hari, karena tidak mengalami kerusakan dan telur itik masih layak dikonsumsi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp,S (K) dan dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bapak Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS atas pelayanan administrasi dan fasilitas Pendidikan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1985, Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT Gramedia Jakarta

Agustina, N, Imam, T Dan Djalal, R. 2013. Evaluasi sifat putih telur ayam pasteurisasi ditinjau dari pH, kadar air, sifat emulasi, dan daya kembang angel cake. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 23 (2): 6-13.

Anonimous. 2011. Telur dan Problematikanya. https:// info. Anonim. co. id/index. php/ artikel/ layer/ penyakit/ telur- dan- problematikanya. Diakses pada tanggal 15 Mei 2015.

Anonim, 1975. Pengawetan Telur. Dalam: Berkas lembaran petunjuk latihan teknologi makanan. Yogyakarta: Pendidikan Guru Pertanian PGP. Kejuruan Teknologi Makanan, Hal. 59-60.

Argo. L, B. dan Mangisah. 2013. Kualitas fisik telur ayam arab petelur fase I dengan berbagai level azolla microphylla. Animal Agricultural Journal. Vol. 2 No 1: 445-457.

Bell, D. D., and W. D. Weaver. 2002. Commercial chicken meat and egg production. 5 th edition. Springer science and business media. Inc, New York.

Budiman, C. dan Rukmiasih. 2007. Karakteristik putih telur itik tegal. Jurnal seminar nasional peternakan dan veteriner. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Hargitai, R., R. Mateo, and J. Torok. 2011. Shell thickness and pore density in relation to shell colouration female characterstic, and enviromental factors in the collared flyctcher ficedula albicolis. J. Ornithol.152:579-588.

Hintono, A. 1997. Kualitas telur yang disimpan dalam kemasan atmosfer termodifikasi. Jurnal sainteks. Edisi ke-4. Halaman 45-51.

Hughes, R. J. 1974. The Asessment of egg quality. International Training Course in Poult. Husb. Dept. of Agric. NSW

Indratiningsih. 1996. Metode perancangan percobaan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Indratiningsih. 1984. Pengaruh flesh head pada telur ayam konsumsi selama penyimpanan. Laporan penelitian. Universita Gajah Mada. Yogyakarta.

Jacob, J. P., R.D. Miles, dan F.B. Mather. 2009. Egg Quality. Institute of food and algricultural sciences Univercity of Florida, Florida.

Jazil, N., A. Hintono., S, Mulyani. 2013 Penurunan kualitas telur ayam ras dengan intensitas warna coklat kerabang berbeda selama penyimpanan. Jurnal Aplikasi Teknologi pangan Vol. 2 No. 1.

Jull. M.A. 1987. Poultry Husbandry. Tourth td, Mc. Graw Hill Book Company Inc. New York.

Kurtini, T., K. Nova., dan D. Septinova. 2011. Produksi ternak unggas. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Kurtini, T. 1997. Pengaruh Bentuk dan warna kulit telur terhadap daya tetas dan sex ratio. Tesis. Fakultas Pascasarjana Universitas Padjajaran. Bandung

Muchtadi, 1992, Pengolahan Hasil Pertanian II Nabati, Jurusan THP, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

North, M. O. and D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4thEdition. Van Nostrand Rainhold. New York.

Oguntunji, A., O. dan O., M. Alabi. 2010. Influence of high environmental temperature on egg production and shell quality: a review. World’s poultry Science Journal. 66: 739-750.

Pilliang, W. 1992. Peningkatan biovilabilitas dedak padi melalui proses fermentasi dengan aspergillusniger. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan. Balai Peternakan Ciawi, Bogor.

Priyadi, W. 2002. Pengaruh jenis telur dan lama penyimpanan terhadap kualitas internal telur yang diawetkan dengan parafin cair. Skripsi. Fkultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar lampung.

Rizal. B, A. Hintono, Dan Nurwanto. 2012. Pertumbuhan mikroba pada telur pasca pasteurisasi. Anim Agri J,1 (2): 208-218.

Romanoff, A. L. and A. J. Roamnoff. 1963. The avian eggs. John willey and Sons. Inc New York.

Scott, ML, Ascrolli, J and Olson, G 1968, ‘Studies of Egg Yolk Pigmentation, Poultry science, 47 : 863-872

Septiawan, R. 2007. Respon produktivitas dan reproduktivitas ayam kampung dengan umur induk yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut pertanian Bogor. Bogor.

Sofwah R.H 2007, Kerabang telur struktur, komposisi dan faktor yang      mempengaruhi

kualitasnya, Bulletin-CP, Nomor 88/Tahun VIII/Edisi April 2007.

Solomon, E.S. 1997. Egg and Eggshell Quality. Iowa state University. The United State of America.

Stadelman, WJ and Cotterill, OJ 1995, Egg Science and Technology 4th Edition. The Haworth Press, Inc. New York. London. p. 591.

Steel. R.D dan S.H. Torrie. (1994). Pinsip dan prosedur statistic suatu pendekatan biometric. Edisi kedua. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia.

Sudaryani, 2003. Kualitas telur. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tugiyanti, E dan N. Iriyanti. 2012. Kualitas Eksternal Telur Ayam Petelur yang Mendapat Ransum dengan Penambahan Tepung Ikan Fermentasi Menggunakan isolate Prosedur Antihistamin. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman.

Tuiskula-Haavisto M, Honkatukia, M, Vilkki, J, de Koning, DJ, Schulman, NF and MakiTanila, A 2002, Breeding and genetics mapping of quantitative trait loci affecting quality and production traits in egg layers. Poultry Science. 81: 919–927.

Wiradimadja, Rachmat, Handi Burhanuddin, dan Deny Saefulhadjar. 2010. Peningkatan kadar vitamin A pada telur ayam melalui penggunaan daun katuk (Sauropus androgynus L.Merr) dalam ransum (Improvement of vitamin A Conten in chicken egg katuk leaves (Sauropus androgynus L.Merr) Utilization in the diet).

Yamamoto, T., L.R. Juneja, H. Hatta, and M. Kim. 2007. Hen Eggs: Basic and Applied Science. University of Alberta, Canada.

Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press.

Warmana et al., Peternakan Tropika Vol. 7 No. 2 Th. 2019: 415-429

Page 429