e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science email: [email protected]

Submitted Date: March, 3, 2019

Accepted Date: March, 26, 2019


Editor-Reviewer Article;: A.A.Pt. Putra Wibawa & Eny Puspani

KOMPOSISI KIMIA DAN SIFAT FISIK RANSUM SAPI BALI DI PENAMPUNGAN TERNAK DESA NONGAN KECAMATAN RENDANG KABUPATEN KARANGASEM

Sudarmin, B. F., N. N. Suryani., N. P. Mariani

PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana

E-mail: [email protected] - Telp: 081239103547

ABSTRAK

Erupsi Gunung Agung yang terjadi pada bulan Agustus sampai Desember 2017 menyebabkan diungsikannya ternak ke penampungan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan komposisi kimia dan sifat fisik ransum sapi bali sebelum dan sesudah di penampungan ternak. Tahap pertama adalah melakukan survey pada peternak pada bulan Januari sampai April 2018 untuk mendapatkan informasi terkait komposisi botani pakan yang diberikan sebelum dan sesudah ternak berada di penampungan serta sampling bahan pakan (hijauan dan konsentrat). Tahap kedua adalah melaksanakan analisis sampel ransum di laboratorium dari bulan Mei sampai Juni 2018. Ransum sebelum dan sesudah di penampungan dibuat berdasarkan hasil survey kepada peternak. Variabel yang diamati komposisi kimia ransum meliputi bahan kering (%), bahan organik (%), protein kasar (%), serat kasar (%), lemak kasar (%) dan gross energi (kkal/kg) serta sifat fisik ransum meliputi densitas (g/ml), daya serap air (%), dan daya larut air (%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi kimia ransum sapi bali yang diberikan sesudah di penampungan ternak dilihat berdasarkan kandungan protein dan energi masing-masing sebesar 14,32% dan 3890 kkal/kg. Sifat fisik ransum yang meliputi densitas, daya serap air, dan daya larut air sesudah di penampungan ternak lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum di penampungan ternak. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia ransum sesudah ternak berada di penampungan berdasarkan kandungan protein lebih rendah dan kandungan energinya lebih tinggi, sedangkan sifat fisik ransum sapi bali lebih tinggi sesudah ternak berada di penampungan.

Kata kunci: komposisi kimia, densitas, daya serap air, daya larut air, sapi bali

CHEMICAL COMPOSITION AND PHYSICAL CHARACTERISTICS OF BALI CATTLE RATION FED AT NONGAN EVACUATION ZONES RENDANG DISTRICT KARANGASEM REGENCY

ABSTRACT

Mount Agung eruption, August to December 2017, caused bali cattle to be evacuated. This study aims to compare the chemical composition and physical characteristics of Bali cattle rations before and after in evacuation zones. The first phase was a survey conducted in January to April 2018 on farmers to collect information about botanical composition fed


before and after in evacuation zones and sampling feed ingredients (forages and concentrates). The second phase was to analysis in the laboratory from May to June 2018. The ration was made based on observation in evacuation zones and tabulation of data from the questionnaire result. The research variables were chemical compositionof ration ie: dry matter (%), organic matter (%), crude protein (%), crude fiber (%), ether extract (%) and gross energy (kcal/kg) and physical characteristics ie: bulk density (g/ml), water holding capacity (%), and water solubility (%) of the ration. Results showed thatthe chemical composition given after in evacuation zone based on the protein and energy were 13.32% and 3890 kcal/kg. Physical characteristics of ration which includes bulk density, water holding capacity, and water solubility are higher after in evacuation zones. In conclusion, chemical composition based on lower protein and higher energy after in evacuation zones, physical characteristics of ration after in evacuation zone was higher than before.

Keywords: chemical composition, bulk density, water holding capacity, water solubility, bali cattle

PENDAHULUAN

Sapi bali merupakan sumber daya genetik asli Indonesia, dibudidayakan masyarakat karena sistem pemeliharaannya mudah dan mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu dibandingkan dengan sapi potong lain yang berkembang di Indonesia.Keunggulan sapi bali dibandingkan sapi lainnya adalah mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan (Masudana, 1990), dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah (Sastradipradja, 1990), memiliki fertilitas dan conception rate yang sangat baik (Oka dan Darmadja, 1996), serta kualitas daging tinggi dengan persentase lemak yang rendah (Bugiwati, 2007).

Pemeliharaan sapi di Bali umumnya bersifat tradisional dengan pemberian pakan hijauan tergantung ketersediaan pada saat itu serta kualitas pakan hijauan dan kandungan nutrien yang masih rendah. Pemenuhan kebutuhan ternak akan nutrien yang cukup dan seimbang penting diperhatikan, karena hal ini merupakan salah satu faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi ternak (Setiana, 2000). Potensi genetik ternak yang tinggi, apabila tidak diimbangi dengan pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan nutriennya, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Kondisi ini nantinya dikhawatirkan memberikan respons kurang menguntungkan terhadap performa pertumbuhan ternak.

Erupsi (letusan) Gunung Agung telah mengakibatkan kerugian yang besar terhadap kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya, terutama sapi bali. Berdasarkan data sementara yang dihimpun oleh Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) BPBD Provinsi Bali, terdapat lima kabupaten yang dijadikan sebagai lokasi penampungan ternak, yakni kabupaten Klungkung, Buleleng, Karangasem, Gianyar, dan Bangli. Total dari penampungan yang tersebar di setiap daerah adalah 65 posko, pada setiap penampungan terdapat sekitar 150 ekor ternak sapi bali.

Diungsikannya ternak ke penampungan berdampak pada kualitas maupun kuantitas pakan yang diberikan sebelum dan sesudah ternak diungsikan ke penampungan ternak. Pakan yang diberikan selama di penampungan ternak, yakni rumput gajah (Pennisetum purpureum),

kaliandra (Caliandra callothyrsus), pucuk tebu (Saccharum officinarum), dan konsentrat. Dalam sistem produksi ternak ruminansia, pakan hijauan mutlak diperlukan baik secara kualitas maupun kuantitas yang diikuti dengan pemberian konsentrat dengan tujuan meningkatkan konsumsi dan pemenuhan kebutuhan nutrien.

Untuk mengetahui kualitas dari suatu bahan pakan dapat dilaksanakan melalui pengujian bahan pakan. Pengujian ini dapat dilakukan melalui pengujian komposisi kimia ransum (bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), dan gross energy (GE)) serta sifat fisik dari suatu bahan pakan (densitas, daya larut air, dan daya serap air).

Komposisi kimia pada bahan pakan penyusun ransum dapat dilaksanakan melalui analisis proksimat. Menurut Tillman et al. (1993), analisis proksimat didasarkan pada komposisi susunan kimia serta kegunaannya. Selain komposisi kimia, sifat fisik bahan bahan pakan penyusun ransum juga dapat dijadikan sebagai indikator penilaian terhadap kualitas ransum. Sifat fisik yang bervariasi dapat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi dan kecernaan pakan. Menurut Suryani et al. (2015), densitas ransum mengindikasikan keambaan, semakin rendah denisitas suatu bahan pakan maka semakin amba pakan tersebut. Secara morfologi pakan yang baik adalah pakan dengan permukaan yang tidak kasar, tidak busuk atau berjamur, dan bau tidak tengik. Dengan memperhatikan kondisi fisik pakan, secara tidak langsung juga memperhatikan kualitas dari pakan yang akan diberikan kepada ternak.

Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengkaji perbedaan komposisi kimia dan sifat fisik ransum sebelum dan sesudah sapi bali diungsikan ke penampungan ternak Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan komposisi kimia dan sifat fisik ransum sapi bali sebelum adanya erupsi Gunung Agung dan sesudah berada di penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem. Pengambilan data dilakukan dalam dua tahap yaitu survei kepada peternak dilokasi penampungan ternak dan analisis di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Penelitian lapangan menggunakan metode survey, dimana proses pengambilan data dengan menggunakan kuesioner (25 kuesioner), wawancara langsung dengan peternak, dan pengamatan secara langsung di lokasi penampungan ternak Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Selanjutnya akan dilakukan sampling bahan pakan (hijauan dan konsentrat) untuk dianalisis.Analisis yang dilakukan terdiri atas komposisi kimia ransum (BK, BO, PK,SK, LK, dan GE) serta sifat fisik (densitas, daya larut air, dan daya serap air) serta. Ransum disusun berdasarkan pengamatan di penampungan ternak dan tabulasi data hasil kuesioner.

Data mengenai komposisi kimia ransum sapi bali sebelum dan sesudah ternak berada di penampungan dianalisis secara deskriptif sedangkan data mengenai sifat fisik ransum sapi bali sebelum dan sesudah ternak berada di penampungan dianalisis dengan uji t (t test) menggunakan SPSS for windows versi 24 (Priyatno, 2016).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Kimia Ransum

Komposisi kimia ransum adalah salah satu indikator untuk mengetahui kualitas bahan pakan. Menurut Jaelani dan Firahmi (2007), efisiensi suatu proses penanganan, pengolahan, dan penyimpanan dalam industri pakan membutuhkan informasi terkait komposisi kimia dan nilai nutrisi dari suatu bahan pakan sehingga kerugian penanganan bahan pakan dapat terhindar.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara 25 orang peternak di penampungan Desa Nongan Kecamatan Rendang, pakan ternak yang diberikan sebelum terjadinya erupsi adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), kaliandra (Caliandra callothyrsus), gamal (Gliricidia sepium), daun nangka (Artocarpus heterophyllus), dan ketela pohon (Manihot esculenta). Banyaknya variasi hijauan tanpa konsentrat yang diberikan sebelum terjadinya erupsi disebabkan oleh pakan hijauan yang lebih mudah didapatkan dan harga konsentrat yang cukup mahal. Pakan yang diberikan saat berada di penampungan adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), kaliandra (Caliandra callothyrsus), pucuk tebu (Saccharum officinarum), dan konsentrat. Pemberian hijauan yang lebih sedikit disebabkan oleh sulitnya peternak mendapatkan pakan hijauan dengan kualitas yang baik pasca erupsi gunung agung. Sesudah erupsi ternak diberikan 1 kg konsentrat yang merupakan donasi dari pemerintah daerah Karangasem. Menurut Prawiradiputra (2011) kondisi lahan pascaerupsi tidak begitu menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, termasuk rumput dan leguminosa pakan.

Protein kasar yang terkandung dalam ransum sapi bali sesudah ternak diungsikan ke penampungan 8,96% lebih rendah (Tabel 1) dari ransum sapi bali yang diberikan sebelum di penampungan ternak. Hal ini disebabkan oleh jumlah dan komposisi botani hijauan pakan yang diberikan lebih sedikit pada ternak. Tingginya kadar protein kasar sebelum ternak berada di penampungan, disebabkan oleh ransum yang diberikan mengandung leguminosa (kaliandra dan gamal) yang merupakan sumber protein kasar, sedangkan sesudah ternak berada di penampungan sumber protein kasar hanya berasal dari kaliandra. Pemberian konsentrat selama di penampungan ternak sebanyak 1 kg tidak mempengaruhi jumlah protein kasar di dalam ransum. Sesuai dengan pendapat Rangkuti (2011), bahwa kadar protein kasar yang tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis bahan pakan. Hasil penelitian Marianiet al. (2015) terhadap sapi bali jantan dengan berat badan awal 201,33 kg yang diberi ransum dengan kandungan protein kasar sebesar 14,74% menghasilkanKCBK sebesar 62,48%, KCBO sebesar 68,37%, dan pertambahan bobot badan (PBB) 0,55 kg/e/hari. Tabel 1. Komposisi kimia ransum sapi bali sebelum dan sesudah di penampungan ternak Desa

NonganKecamatan Rendang

(a) Sebelum di penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang

Komposisi ransum

Jumlah segar (kg)

Bahan kering (%)

Protein kasar (%)

Serat kasar (%)

Lemak kasar (%)

Bahan organik (%)

Gross energi (kkal/kg)

Rumput gajah

25,00

61,21

6,34

18,85

4,17

50,63

2166,94

Kaliandra

3,00

17,90

5,65

4,80

2,63

16,68

776,74

Gamal

2,00

9,76

2,51

1,30

0,39

8,94

463,68

Daun nangka

3,00

9,37

1,17

1,87

0,41

7,03

337,36

Ketela

0,30

1,76

0,06

0,09

0,01

1,70

87,85

Total

33,30

100,00

15,73

26,91

7,62

84,97

3832,57

(b)

Sesudah di penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang

Komposisi ransum

Jumlah segar (kg)

Bahan kering (%)

Protein kasar (%)

Serat kasar (%)

Lemak kasar (%)

Bahan organik (%)

Gross energi (kkal/kg)

Rumput gajah

20,00

37,31

3,86

11,49

2,54

30,86

1320,93

Kaliandra

5,00

22,73

7,18

6,10

3,33

21,18

986,43

Konsentrat

1,00

14,07

2,30

1,53

1,21

13,99

591,36

Pucuk tebu

2,00

25,89

0,97

0,57

1,52

23,37

991,47

Total

28,00

100,00

14,32

19,68

8,60

89,40

3890,19

Serat kasar yang terkandung dalam ransum sapi bali sesudah ternak diungsikan ke penampungan 26,87% lebih rendah dari ransum sapi bali yang diberikan sebelum ternak diungsikan ke penampungan. Kandungan serat kasar yang lebih rendah dipengaruhi oleh jumlah dan komposisi botani pakan yang diberikan. Sebelum ternak berada di penampungan, ransum didominasi oleh pemberian hijauan yang merupakan pakan dengan kandungan serat kasar tinggi. Selama ternak berada di penampungan, jumlah dan variasi hijauan lebih sedikit dengan penambahan konsentrat sebanyak 1 kg. Konsentrat adalah bahan pakan yang tinggi kadar zat – zat makanan seperti protein atau karbohidrat dan rendah kadar serat kasar (Priyono, 2008). Hal ini juga didukung oleh data densitas ransum sesudah di penampungan 8,88% lebih tinggi dibandingkan dengan densitas ransum sebelum ternak berada di penampungan (Tabel 2). Hasil penelitian terhadap sapi bali jantan dengan berat badan awal 201,33 kg serta kandungan serat kasar ransum 17,58% menghasilkan KCBK sebesar 62,48%, KCBO sebesar 68,37%, dan PBB 0,55 kg/e/hari (Mariani et al., 2015).

Lemak kasar yang terdapat dalam ransum sapi bali sesudah ternak berada di penampungan 12,86% lebih tinggi dari ransum yang diberikan sebelum ternak berada di penampungan Desa Nongan Kecamatan Rendang.Peningkatan kandung lemak yang dihasilkan menunjukkan bahwa penambahan konsentrat dan pucuk tebu dapat mempengaruhi kandungan lemak pada bahan pakan. Berdasarkan hasil penelitian Mariani et al. (2015), sapi bali jantan dengan berat badan awal 201,33 kg serta diberi ransum dengan kandungan lemak kasar 3,67% menghasilkan KCBK sebesar 62,48% , KCBO sebesar 68,37%, dan PBB 0,55 kg/e/hari.

Kandungan bahan organik yang terdapat dalam ransum sapi bali sesudah ternak di penampungan 5,21% lebih tinggi dari ransum sapi bali yang diberikan sebelum ternak berada di penampungan. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar bahan kering pada pemberian konsentrat dan pucuk tebu selama ternak berada di penampungan. Menurut Tripuratapini et al. (2015) kandungan bahan organik suatu bahan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kandungan bahan kering. Lebih lanjut menurut Amrullah (2003), kandungan bahan organik suatu bahan pakan tergantung pada komponen lainnya seperti bahan kering dan abu. Dengan tingginya kandungan bahan kering pada perlakuan juga ikut mempengaruhi tingginya kandungan bahan organik.

Kandungan energi yang terdapat pada ransum sapi bali sesudah di penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang 1,50% lebih tinggi dari ransum sapi bali yang diberikan sebelum ternak berada di penampungan. Kandungan energi ransum sapi bali yang lebih tinggi sesudah di penampungan ternak, disebabkan oleh jenis dan komposisi bahan pakan yang diberikan. Selama di penampungan ternak, peternak memberikan variasi pakan yang lebih sedikit namun ditambahkan dengan pemberian konsentrat. Konsentrat memiliki

kandungan serat kasar rendah, tingkat energi yang tinggi, dan mudah dicerna oleh ternak. Penelitian yang dilakukan terhadap sapi bali jantan dengan berat badan awal 201,33 kg dan kandungan energi ransum 3747 kkal/kg menhasilkan KCBK sebesar 62,48%, KCBO sebesar 68,37%, dan PBB 0,55 kg/e/hari (Mariani et al., 2015).

Sifat Fisik Ransum

Sifat fisik bahan penyusun ransum merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kecernaan bahan pakan. Sifat fisik bahan pakan berperan penting dalam pengendalian proses pengolahan. Melalui uji sifat fisik maka pengendalian sifat fisik pakan sertapencampuran secara homogen dapat tercapai. Berdasarkan hasil penelitian, sifat fisik (densitas, daya serap air, dan daya larut air) ransum sapi bali sebelum dan sesudah berada di penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Sifat fisik ransum sapi bali sebelum dan sesudah ternak di penampungan ternak

Desa Nongan Kecamatan Rendang

Variabel

Perlakuan1)

SN1

SN2

Densitas (g/ml)

0,2276a ± 0,00677

0,2478b ± 0,00915

Daya Serap air (%)

323,8520a ± 26,71319

378,9548a± 35,73270

Daya Larut air (%)

24,5806a ± 5,15169

31,2018a ± 17,19051

Keterangan:

1) Perlakuan SN1: Ransum sapi bali sebelum di penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang Perlakuan SN2: Ransum sapi bali sesudah di penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang

2) Angka dengan superskrip huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata

Hasil penelitian terhadap densitas ransum sapi bali sebelum dan sesudah ternak berada di penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang menunjukan hasil berbeda nyata (P<0.05) (Tabel 2). Densitas ransum sapi bali sebelum dan sesudah di penampungan ternak masing masing sebesar 0,23 g/ml dan 0,25 g/ml. Hasil ini menunjukan densitas ransum sapi bali sesudah ternak berada di penampungan 8,88% lebih tinggi dari sebelum ternak dipindahkan ke lokasi penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang.Densitas yang lebih tinggi menunjukkan ransum sapi bali yang diberikan selama di penampungan memiliki tingkat keambaan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh penambahan pemberian pucuk tebu dan konsentrat yang terbukti mampu meningkatkan densitas ransum.

Tingginya densitas ransum sesudah ternak berada di penampungan dipengaruhi oleh variasi pemberian hijauan yang lebih sedikit, hijauan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi, semakin rendah kandungan serat kasarnya maka semakin tinggi densitas ransum. Hal ini didukung oleh hasil penelitian kadar serat kasar selama ternak berada di penampungan 26,87% lebih rendah dari sebelum ternak berada di penampungan (Tabel 1). Hasil penelitian Amiroh (2008) menunjukkan penambahan pemberian pucuk tebu yang dikombinasikan dengan hijauan terbukti mampu meningkatkan densitas ransum. Selanjutnya berdasarkan penelitian Suryani et al. (2015), pemberian rumput gajah sebanyak 45% di dalam ransum,

dapat menurunkan densitas ransum. Densitas yang tinggi dapat meningkatkan kapasitas ruang penyimpanan, sehingga semakin banyak volume ruang yang dibutuhkan untuk penyimpanan (Syarifudin, 2001). Ransum yang memiliki tingkat keambaan yang tinggi mampu memberikan sensasi kenyang yang lebih cepat, sehingga mampu membatasi konsumsi pada ternak.

Daya serap air menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0.05) (Tabel 2), ransum sapi bali sebelum dan sesudah di penampungan memiliki daya serap air masing-masing sebesar 323,85% dan 378,95%. Hasil ini menunjukan daya serap ransum sapi bali sesudah ternak berada di penampungan 17,01% lebih tinggi dari sebelum ternak berada di penampungan ternak di Desa Nongan Kecamatan Rendang. Hal ini disebabkan oleh perbedaan susunan pakan yang diberikan memiliki kemampuan daya serap air berbeda-beda. Pendapat ini mengacu pada Haroen et al. (2006) yang menyatakan perbedaan kemampuan pakan dalam menyerap air juga disebabkan oleh perbedaan sifat higroskopis bahan. Daya serap air ransum sapi bali yang tinggi selama ternak berada di penampungan menunjukkan semakin mudah mikroorganisme menembus partikel pakan, sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Suryani et al. (2018) yang menunjukan tingginya digestible organic matter in the rumen (DOMR) dan microbial protein synthesis (MPS) yang masing-masing sebesar 4161,81% dan 832,6 g.

Daya serap air adalah kemampuan partikel bahan pakan untuk mengikat air. Hal ini menyebabkan partikel bahan kering tidak terlarut menjadi jenuh, kemudian partikel tersebut mengembang dan akan lebih mudah didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga meningkatkan laju pengosongan rumen. Daya serap air yang tinggi akan menyebabkan pakan lebih terbuka terhadap serangan bakteri rumen. Sebaliknya, jika daya serap air rendah, pakan tersebut sukar dimasuki bakteri rumen sehingga kecernaan pakan juga menjadi rendah (Suhartati et al., 2004). Menurut Siregar (2008) terdapat korelasi positif antara sifat fisik dan komposisi kimia bahan pakan, terutama antara daya serap air partikel pakan dengan fraksi serat (NDF, ADF, hemiselulosa, dan selulosa). Perbedaan daya mengikat air pada berbagai bahan pakan dapat mempengaruhi volume dan laju aliran digesta dalam rumen (Robertson dan Easwood, 1981).

Daya larut air menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (P>0.05) (Tabel 3.2). Daya larut air sebelum dan sesudah ternak berada di penampungan ternak masing-masing sebesar 24,58% dan 31,20%. Daya larut suatu bahan pakan mempengaruhi kecepatan degradasi bahan pakan tersebut. Daya larut air ransum sapi bali sesudah ternak berada di penampungan 26,94% lebih tinggi dari sebelum ternak dipindahkan ke penampungan ternak Desa Nongan Kecamatan Rendang. Hal ini disebabkan oleh jumlah dan komposisi botani pakan yang

diberikan. Bahan penyusun ransum sebelum ternak berada di penampungan didominasi oleh pemberian rumput gajah yang memiliki kandungan serat kasar tinggi dan tidak mudah dicerna. Pemberian rumput gajah di penampungan ternak diimbangi dengan pemberian konsentrat, konsentrat memiliki kandungan serat kasar rendah yang mudah dicerna. Daya larut air ransum sapi bali yang tinggi selama ternak berada di penampungan menunjukkan semakin banyak BO yang mudah larut dalam cairan rumen (Suryani et al., 2018).

Tingginya daya larut pada ransum sapi bali berhubungan erat dengan daya serap air yang dimiliki juga cukup tinggi. Bahan pakan yang mudah larut akan lebih mudah didegradasi di dalam rumen. Bahan kering pakan dapat dibedakan menjadi fraksi terlarut dan fraksi tidak terlarut. Fraksi terlarut sebagian besar didegradasi di dalam rumen (Nocek, 1988). Fraksi bahan kering tidak terlarut dapat didegradasi pada kecepatan yang berbeda dan laju pengosongan rumennya tergantung pada sifat fisik dan komposisi kimia dari partikel pakan tersebut (Ramanzin et al., 1994).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwakomposisi kimia ransum sapi bali yang diberikan sesudah di penampungan ternak dilihat berdasarkan kandungan protein lebih rendah dan kandungan energinya lebih tinggi, dibandingkan dengan sebelum di penampungan. Kandungan protein dan energi ransum sebelum di penampungan ternak masing-masing 15,73% dan 3832 kkal/kg serta sesudah di penampungan ternak masing-masing 14,32% dan 3890 kkal/kg.Sifat fisik ransum yang meliputi densitas, daya serap air, dan daya larut air sesudah di penampungan ternak lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum di penampungan ternak.

SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi kimia dan sifat fisik ransum sapi bali di penampungan ternak lain akibat terjadinya erupsi gunung agung serta perlu diadakannya penelitian yang berkaitan dengan pengaruh pemberian ransum sapi bali terhadap produktivitas sapi bali selama di penampungan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Rektor Universitas Udayana dan Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, M.S selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Amiroh, I. 2008. Pengaruh Wafer Ransum Komplit Limbah Tebu Dan Penyimpanan Kualitas Sifat Fisik. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Penerbit Satu Gunung Budi, Bogor.

Bugiwati, S. R. A. 2007. Pertumbuhan dimensi tubuh pedet jantan sapi bali di Kabupaten

Bone dan Barru Sulawesi Selatan. Jurnal Sains dan Teknologi Vol 7 (1): 103-108.

Haroen, W. K, S. Ligia, dan S. Maman. 2006. Pemanfaatan limbah padat berserat industri kertas sebagai bahan pembuat partisi di IKM. J. Penelitian Ilmu Hayati. Vol. 42 (1): 29-34.

Jaelani, A. dan N. Firahmi. 2007. Kualitas sifat fisik dan kandungan nutrisi bungkil inti sawit dari berbagai proses pengolahan crude palm oil (CPO). Al ‘Ulum 33 (3): 1-7.

Mariani N. P; I. G. Mahardika, S. Putra dan I. B. G. Partama. 2015. Protein dan energi ransum yang optimal untuk tampilan sapi bali jantan. J. Veteriner. Vol. 17(4): 634-640.

Masudana, I. W. 1990. Perkembangan Sapi Bali di Bali dalam 10 Tahun Terakhir. Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar, Bali.

Nocek, J. E. 1988. In situ and other methods to estimate ruminal protein and energy digestibility. A Review J. Dairy Sci. 71: 20-51.

Oka, I. G. L. dan D. Darmadja. 1996. History and Development of Bali Cattle. Proceedings seminar on bali cattle, a special spesies for the dry tropics, held by Indonesia Australia Eastern University Project (IAEUP), 21 September 1996. Udayana University Lodge. Bukit Jimbaran. Bali.

Prawiradiputra, B. R. 2011. Tanaman pakan untuk menunjang rehabilitasi peternakan di lereng gunung merapi. Wartazoa Vol.21(4):35-40.

Priyono, P. 2008. Ilmu Peternakan. http : / /www. Ilmupeternakan. Com / 2008/ 12 /silase.

html [12 Agustus 2016]. Problems and Profits. Febringer. Philadelphia.

Ramanzin, M. Lucia Bailoni and Giocanni Bittante. 1994. Solubility, water holding capacity, and specipic gravity of different concentrates. J. Dairy Sci. 77; 774-781.

Rangkuti, J. H. 2011. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawa (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Robertson, J. A. and M. A. Eastwood. 1981. An examination of factors which many affect the water holding capacity od dietary fiber. Br. J. Nutr. 45;83.

Sastradipradja, D. 1990. Potensial Internal Sapi Bali Sebagai Salah Satu Sumber Plasma Nutfah Untuk Menunjang Pembangunan Peternakan Sapi Potong dan ternak Kerja Secara Nasional. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali. Universitas Udayana, Denpasar.

Setiana, M. G. 2000. Pengenalan Jenis Hijauan Makanan Ternak Unggul. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suhartati, F. M., W. Suryapratama dan S. Rahayu. 2004. Analisis sifat fisik rumput lokal. Animal Production 6 (1): 37-42.

Suryani, N. N, I. G. Mahardika, S. Putra, dan N. Sujaya. 2015. Sifat fisik dan kecernaan ransum sapi bali yang mengandung hijauan beragam. Jurnal Peternakan Indonesia. Vol.17(1): 39-45.

Suryani, N. N., I. W. Suarna, dan I. G. Mahardika. 2018. Effect of Mount Agung eruption on botanical composition and nutritive value of ration fed and rumen performance of Bali cattle in evacuation zones. IOP Publishing.

Syarifudin, U. H. 2001. Pengaruh Penggunaan Tepung Gaplek Sebagai Perekat Terhadap Uji Sifat Fisik Ransum Broiler Bentuk Crumble. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1993. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fak. Peternakan UGM, Yogyakarta.

Tripuratapini, S., I. M. Mudita dan D.P.M.A. Candrawati. 2015. Kandungan bahan kering dan nutrien suplemen berprobiotik yang diproduksi dengan tingkat limbah isi rumen berbeda. J. peternakan tropika Udayana. Vol. 3(1): 105-120.

Sudarmin et al, Peternakan Tropika Vol. 7 No. 1 Th. 2019: 281 – 290

Page 290