Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: peternakantropika_ejournal@yahoo.com

email: jurnaltropika@unud.ac.id

e-journal

FAPET UNUD

Universitas

Udayana

e-Journal

PENGARUH LEVEL ENERGI DAN PROTEIN RANSUM

TERHADAP KECERNAAN RANSUM PADA BABI BALI JANTAN LEPAS SAPIH

Utama, I A.P.P, I K. Sumadi dan I P.A. Astawa

Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar Email: aguspalguna27@gmail.comHp: 098792808061

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh level energi dan protein ransum terhadap kecernaan ransum pada babi bali jantan lepas sapih.Penelitian ini dilakukan di kandang peternak yang terletak di Jalan Taman Wedasari, Banjar Batuparas, Desa Padangsambian Kaja, Denpasar Barat, Denpasar. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan,dimana tiap unit penelitian menggunakan 1 ekor babi bali jantan lepas sapih. Perlakuan yang digunakan yaitu: ransum dengan level Energi Metabolis (EM) (kkal/kg)/ Protein Kasar (PK) (%) yaitu 2800/16 (ransum A); 2950/18 (ransum B); 3100/20 (ransum C); dan 3250/22 (ransum D). Variabel yang diamati adalah koefisien cernabahan kering, koefisien cerna energi, koefisien cerna protein kasar, koefisien cerna lemak kasar, koefisien cerna serat kasar, dan koefisien cerna bahan organik. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan analisis sidik ragam, dan apabila diperoleh nilai yang berbeda diantara perlakuannya (P<0,05) akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncans.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan level energi 3100 kkal/kg dan protein 20% memberikan hasil yang terbaik dari ke empat perlakuan terhadap koefisien cerna ransumpada babi bali jantan lepas sapih.

Kata Kunci: Babi bali, energy, koefisien cerna, protein, ransum

THE EFFECT OF ENERGY AND PROTEIN LEVEL IN RATION TO THE GROWTH OF BALI WEANED MALE PIG

ABSTRACT

This study was aimed to investigate the effect of level energy and protein ration on nutrient digestibility of bali weaned male pig. This study was done at jalan Taman Wedasari, Banjar Batuparas, village Padangsambian Kaja, Denpasar Barat, Denpasar, using 12 male weaned pigs. The design of the study is a completely randomized design (CRD) with four treatments and tree replications. The treatments were ration with a level ofMetabolizable Energy (ME) (kcal/kg)/ Crude Protein (CP) (%) ie 2800/16 (Ration A); 2950/18 (Ration B); 3100/20 (Ration C); and 3250/22 (Ration D). Variable observed were dry weight digestibility coefficient, energy digestibility coefficient,crude protein digestibility coefficient, crude lipid digestibility coefficient,crude fiber digestibility coefficient, andorganic materials digestibility coefficient. Data obtained was analyzed by variance analyzis, and if the values obtained are

e-Journal

different among treanments (P<0,05) will be followed by the least significant difference test of Duncan. The study showed that the ration with 3100 kcal/kg energy and 20% protein level gave the best result on bali weaned male pig.

Keyword: Bali weaned male pig, energy, digestibility coefficient, protein, ration

PENDAHULUAN

Kebutuhan masyarakat di Bali akan daging sebagai sumber protein hewani dari tahun ke tahun mengalami peningkatan seiring bertambahnya jumlah penduduk, pendapatan perkapita dan kesadaran masyarakat akan pentingnya bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Salah satu jenis daging yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat di Bali adalah daging babi.Selain untuk di konsumsi, ternak babi erat kaitannya juga dalam ritual keagamaan oleh umat Hindu.Menurut laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statisktik Provinsi Bali 2013, pemotongan ternak babi di Bali dari tahun ketahun meningkat. Tahun 2010 jumlah pemotongan babi sebanyak, 1.589.882 ekor, tahun 2011 sebanyak 1.608.361 ekor dan tahun 2012 sebanyak 1.780.055 ekor meningkat 10,67% dari tahun 2011.

Pemeliharaan ternak babibali di Bali masih secara tradisional, yaknipemeliharaan dan pemberian ransumyang apa adanya sesuai dengan ketersediaan pakan yang ada. Padahal kualitas dan kuantitas pakan merupakan salah satu faktor yang penting serta menentukan tingkat keuntungan yang dapat diraih peternak. Parakkasi (1983) menyatakan bahwa 55-85% dari seluruh biaya produksi adalah biaya ransum, maka perlu dipelajari penggunaan bahan-bahan pakan yang mempunyai potensi dan produksi yang tinggi, mudah didapat dan harganya relatif murah untuk ransum ternak.

Babi adalah ternak monogastric dan bersifat prolific (banyak anaktiap kelahiran), pertumbuhannya cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Oleh karena itu suatu hal yang perlu diperhatikan ialah kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan serta pemberian ransumdengan perhitungan yang benar. Hal ini disebabkan karena, konversi terhadap ransumyang sangat bagus, sehingga apabila pemeliharaannya baik, maka laju pertumbuhannya akan baik pula.Babi termasuk hewan yang memiliki alat pencernaan

e-Journal

sederhana, yang tidak mampu mencerna ransum yang kadar serat kasarnya tinggi (Bargner et al., 1985). Sehubungan dengan hal tersebut babi harus diberikan ransum yang serat kasarnya rendah, dan kandungan energinya yang cukup tinggi. Dalam menyusun ransum kita harus mengetahui : 1) Susunan zat-zat di dalam makanan. 2) Bahan makanan yang biasa diberikan kepada babi.3) Kebutuhan gizi oleh ternak dan teknik pemberian makanan dan jumlah yang diberikan.

Ransum adalah campuran dari beberapa bahan pakan yang disediakan bagi ternak serta menyediakan semua zat makanan yang dibutuhkan untuk memberi makan ternak selama 24 jam (Anggorodi, 1994). Konsumsiransum sangat dipengaruhi oleh berat badan dan umur ternak. Hafes dan Dyer (1969) menyatakan bahwa konsumsi ransum akan semakin meningkat dengan meningkatnya berat badan ternak. Jumlah ransum yang dikonsumsi juga akan bertambah dengan bertambahnya umur ternak.Temperatur juga dapat mempengaruhi jumlah konsumsi ransum harian. Pada temperatur yang tinggi ternak akan mengurangi konsumsi ransum (Devendra dan Fuller,1979). Tingginya kandungan serat kasar dalam ransum akan mempengaruhi daya cerna dan konsumsi ransum sekaligus mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum (Tillman et al., 1998).Sihombing (2006) menyatakan jumlah konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh tingkat energi dan protein ransum. Kandungan protein dan energi yang sama dalam ransum akan menghasilkan jumlah konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata.

Kecernaan zat makanan didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut dicerna oleh hewan, apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1998).Prinsip dari penentuan kecernaan zat-zat makanan adalah dengan menghitung banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi kemudian dikurangi dengan banyaknya zat-zat makanan yang dikeluarkan melalui feses (Ranjhan, 1980).Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan adalah laju perjalanan makanan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik atau ukuran bahan penyusun ransum, komposisi kimiawi ransum dan pengaruh dari perbandingan zat makanan lainnya.

e-Journal

Keperluan nutrisi pada babi bali belum banyak dilakukan penelitian, sehingga peternak masih mencoba-coba dalam pemberian ransum. Pemberian ransum pada peternakan tradisional babi bali belum memperhitungkan kebutuhan nutrien yang sebenarnya, seperti pemberian ransum apa adanya, atau di beri ransum komersial yang sebenarnya diperuntukan untuk babi ras (tipe pedaging). Keperluan nutrien pada babi bali terutama level energi dan protein serta bagaimana kecernaan terhadap ransum sangat perlu diteliti sehingga nantinya kebutuhan nutrien yang tepat dari segi kualitas dan kuantitas terpenuhi dapat menunjang produktivitas yang optimal.

MATERI DAN METODE

Materi

Babi

Babi yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi bali jantan lepas sapih dengan berat antara 10 – 14 kg sebanyak 12 ekor yang di beli dari pengepul babi bali di Banjar Pegending, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung.

Kandang dan perlengkapan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang permanen dengan ukuran kandang panjang x lebar = 2 m x 0,65 m, dan diperlukan sebanyak 12 petak kandang yang dilengkapi dengan tempat ransum dan tempat air minum. Kemiringan lantai kandang adalah 5º. Atap kandang terbuat dari asbes, sedangkan lantai kandang, tempat pakan, dan tempat air minum terbuat dari beton.

Alat penelitian

Adapun alat yang di gunakan dalam penelitian itu adalah:

  • 1.    Timbangan badan yang berfungsi untuk menimbang bahan ransum dan bobot badan babi.

  • 2.    Timbangan salter kapasitas 10 kg yang berfungsi untuk menimbang bahan ransum

e-Journal

  • 3.    Alat tulis yang berfungsi untuk mencatat hasil dan sebagainya

  • 4.    Sekop untuk mengambil feses

  • 5.    Ember besar empat buah sebagi tempat ransum

  • 6.    Ember kecil sebagai tempat untuk membawa ransum dan feses

  • 7.    Plastik lembaran sebagai alas untuk mencampur pakan

Ransum

Ransum merupakan campuran dari beberapa bahan pakan ternak yang dalam menyusunnya ditentukan kebutuhan hidup dan produksi dari ternak itu sendiri. Ransum yang diberikan sebagai perlakuan pada babi bali jantan lepas sapih adalah ransum dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 2800/16 (ransum A); 2950/18 (ransum B); 3100/20 (ransum C); dan 3250/22 (ransum D).

Tabel 1. Komposisi bahan penyusun ransum perlakuan

Komposisi

Perlakuan

A         B        C        D

Jagung Kuning (%)

Konsentrat CP 551 (%)

Polard (%)

Minyak Sawit (%)

Vitamin/Mineral (%)

40            41           46           38

18            26           34           44

41              30            15            11

-                2              4              6

1                         1                      1                      1

Jumlah

100            100          100          100

Tabel 2. Kandungan nutrien ransum perlakuan

Komposisi


Perlakuan

A        B        C       D


e-Journal

Protein (%)

16

18

20

22

Energi Metabolis (Kkal/kg)

2800

2950

3100

3250

Kalsium (%)

0,61

0,83

1,06

1,35

Phospor (%)

0,71

0,79

0,90

0,98

Serat Kasar (%)

7,59

6,91

5,99

5,75

Lemak Kasar (%)

3,61

5,90

7,51

9,45

Harga/kg

Rp 4.730,-

Rp 5.210,-

Rp 5.690,-

Rp 6.250,-

Keterangan : Hasil analisis dari perhitungan

A = Ransum babi bali jantan lepas sapih dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 2800/16

B = Ransum babi bali jantan lepas sapih dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 2950/18

C = Ransum babi bali jantan lepas sapih dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 3100/20

D = Ransum babi bali jantan lepas sapih dengan ME (kkal/kg) /CP (%) yaitu 3250/22

Metode

Tempat dan lama penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan di kandang babi milik I Made Gede Wijaya SPt., MP yang terletak di Jalan Taman Wedasari, Banjar Batuparas, Desa Padangsambian Kaja, Denpasar Barat, Denpasar.

Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan yaitu ransum dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 2800/16 (A), ransum dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 2950/18 (B), ransum dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 3100/20 (C), dan ransum dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 3250/22 (D) (Tabel 2). Masing-masing perlakuan diulang 3 kali, sehingga dalam penelitian ini digunakan babi bali jantan lepas sapih sebanyak 4 x 3 = 12 ekor.

Pengacakan babi

Pengacakan babi yang dilakukan adalah dengan menimbang ke 12 ekor babi yang digunakan dalam penelitian dan kemudian di cari berat rata-rata dan simpangan berat babi dan dipilih secara acak, sehingga berat babi dari masing-masing perlakuan tidak jauh beda. Dalam

e-Journal

satu perlakuan terdapat 3 petak kandang, dengan total kandang sebanyak 12 petak kandang. Pada setiap pintu kandang diberikan kode untuk masing-masing perlakuan yang digunakan.

Pemberian ransum dan air minum

Ransum yang diberikan dalam bentuk tepung (mash) dengan komposisi ransum terdiri dari konsentrat, jagung, polard, minyak sawit dan mineral dengan komposisi sesuai dengan perlakuan yang sesuai dengan susunan ransum yang telah ditentukan (Tabel 1).Ransum diberikan dua kali sehari yaitu pada pukul 08.00 Wita dan pukul 16.00 Wita secara ad libitum.Sebelum pemberian ransum, dilakukan pembersihan kandang agar ransum yang diberikan tidak tercampur dengan feses babi dan air.Ransum yang diberikan dan sisa ransum ditimbang setiap hari. Konsumsi ransum setiap hari dihitung dengan cara mencari selisih jumlah ransum yang diberikan dikurangi sisa ransum pada hari itu. Tempat ransum diisi hanya setengah dari kapasitas tampung sehingga ransum tidak tercecer, dan juga pemberian air minum diberikan secara ad libitumm.

Penimbangan

Penimbangan babi dilakukan setiap 2 minggu sekali.Sebelum dilakuakn penimbangan babi dipuasakan selama 12 jam.Selama penelitian dilakukan 6 kali penimbangan.

Pengambilan feses

Pengambilan feses dilakukan melalui koleksi total, selama satu minggu. Pengambilan feses dilakukan secara berturut-turut dalam satu minggu pada setiap perlakuan.Selama koleksi total, feses yang dikumpulkan kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari sehingga beratnya konstan.Feses tersebut kemudian digiling halus dan di ambil sebagai sampel untuk dilakukan analisis proksimat. Ransum dari masing-masing perlakuan juga dilakukan pengambilan sampel seperti halnya dengan feses untuk dilakukan analisis proksimat.

Variabel Penelitian

e-Journal

Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu

Penentuan koefisien cerna bahan kering

K-F

KCBK =---xl 00%

K

Keterangan:

KCBK = Koefisien cerna bahan kering (%)

K    = Konsumsi ransum (g)

F     = Jumlah feses (g)

Penentuan koefisien cerna energi

Koefisien cerna energi dapat dihitung dengan rumus

KCE = KE - EF x100%

KE

Keterangan:

KCE = Koefisien energi kasar (%)

EF = Konsumsi energi ransum (g)

EF = Jumlah energi feses (g)

Penentuan koefisien cerna protein kasar

Koefisien cerna protein dihitung dengan menggunakan rumus:

KCPK = x-yx 100% x

Keterangan:

KCPK = Koefisien cerna protein kasar (%)

x      = Konsumsi protein ransum (g)

y      = jumlah protein feses (g)

Penentuan koefisien cerna lemak

e-Journal

Koefisien cerna lemak dihitung dengan menggunakan rumus

_ a -b

KCL = — x 100% a

Keterangan :

KCL =Koefisien cerna lemak (%)

a     = Konsumsi lemak ransum (g)

b     = Jumlah lemak dalam feses (g)

Penentuan koefisien cerna serat kasar

Koefisien cerna serat kasar dapat dihitung dengan rumus

A-B

KCSK =----xl 00%

A

Keterangan:

KCSK = Koefisien cerna serat kasar (%)

A    = Konsumsi serat kasar ransum (g)

B     = Jumlah serat kasar feses (g)

Penentuan koefisien cerna bahan organik

Koefisien cerna bahan organik dapat dihitung dengan menggunakan rumus.

RO-R

KCBO =-----x100%

BO

Keterangan:

KCBO = Koefisien cerna bahan organik (%)

BO = Konsumsi bahan organik ransum (g)

B     = Jumlah bahan organik feses (g)

Analisis Data

e-Journal

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan nyata (P≤0,05), analisis akan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan’s (Steel dan Torrie, 1988)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa koefisien cerna bahan kering dan koefisien cerna energi pada babi bali jantan lepas sapih yang mendapat perlakuan A dengan energi 2800 kkal/kg dan protein 16% lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B, C, dan D, dan secara statistik berbeda nyata. Koefisien cerna bahan keringyang semakin tinggi dari ke empat perlakuan tersebut disebabkan karena pengaruh kandungan energi dan protein ransum pada setiap perlakuan semakin meningkat (Tabel 2). Pada koefisien cerna bahan kering perlakuan B, C, dan D mempunyai koefisien cerna bahan kering yang lebih tinggi masing-masing 1,35%, 3,27%, dan 2.06% dibandingkan dengan perlakuan A (81,25%). Pada perlakuan A yang di beri ransum dengan kandungan energi 2800 kkal/kg dan protein 16% memperoleh koefisien cerna bahan kering yang paling terendah yaitu 81,25%, sedangkan pada perlakuan C dengan kandungan energi 3100 kkal/kg dan protein 20% memperoleh koefisien cerna bahan kering paling tinggi yaitu 83,91% (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena kandungan serat kasar paling tinggi pada ransum A (lampiran 1). Kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum akan menurunkan kecernaan bahan kering dan akan meningkatkan gerak laju digesta dalam saluran pencernaan sehingga ransum tidak dapat dicerna dengan baik. Kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum ternak monogastrik susah untuk dicerna. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ravindran et al. (1984) yang menyatakan gerak laju digesta yang lebih cepat pada ransum dengan kadar serat kasar yang tinggi menyebabkan kontak atau akses enzim-enzim ke dalam ransum berkurang. Lebih tingginya kandungan serat di dalam ransum akan menyebabkan menurunnya koefisien cerna bahan kering, bahan organik dan serat kasar pada babi.

Tabel 3.Koefisien cerna nutrien pada babi bali jantan lepas sapih

e-Journal

Variabel

2

Perlakuan2

SEM3

A

B

C

D

Koefisien Cerna Bahan Kering (%)

81,25a

82,35b

83,91d

82,92c

0,005

Koefisien Cerna Energi (%)

79,94a

81,53b

82,93d

82,19c

0,574

Koefisien Cerna PK (%)

80,93a

85,49b

87,49c

85,59b

0,044

Koefisien Cerna LK (%)

86,38a

91,46bc

92,40c

91,35b

0,306

Koefisien Cerna SK (%)

54,90a

61,14b

71,96c

61,01b

0,636

Koefisien Cerna BO (%)

82,91a

85,22c

85,24d

84,16b

0,003

Keterangan:

1. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05)

2. Perlakuan:

A = Ransum babi bali jantan lepas sapih dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 2800/16 B = Ransum babi bali jantan lepas sapih dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 2950/18 C = Ransum babi bali jantan lepas sapih dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 3100/20 D = Ransum babi bali jantan lepas sapih dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 3250/22

3. “ Standard Error of the Treatment Means ˮ (SEM)

Koefisien cerna energi yang mendapat perlakuan A (79,94%) menunjukan koefisien cerna energi yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan B (81,53%), C (82,93%) dan D (82,19%) (Tabel 3). Hal ini menunjukan bahwa ternak babi masih kekurangan energi didalam ransum maka ternak babi akan terus makan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1994) yang menyatakan kandungan energi ransum secara umum akan mengontrol jumlah konsumsi. Babi akan menyesuaikan konsumsi ransum sesuai dengan tingkat energi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi babi. Pada perlakuan A koefisien cerna energi rendah karena kandungan serat kasar tinggi sehingga energi yang berada pada ransum berserat tinggi susah di cerna. Namun pada perlakuan D mengalami penurunan koefisien cerna energi dari perlakuan C, hal ini disebabkan karena penggunaan minyak yang tinggi pada perlakuan D. Penggunaan minyak yang tinggi dalam ransum akan mengganggu pencernaan, sehingga ransum akan bersifat laksatif yang akibatnya energi langsung keluar dan tidak tercerna dengan baik. Penurunan koefisien cerna energi juga disebkan oleh faktor palatabilitas dari pada ternak babi.Frank et al. (1983) menyatakan walaupun konsumsi di pengaruhi tinggkat energi dalam ransum, tetapi keragaman jumlah

e-Journal

konsumsi dari hari ke hari juga di pengaruhi oleh ternak itu sendiri seperti jenis ternak, umur, palatabilitas dan efesiensi penggunaan ransum.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pada babi bali jantan lepas sapih yang mendapat perlakuan A (80,93%) mempunyai koefisien cerna protein kasar yang lebih rendah di bandingkan dengan perlakuan B (85,49%), C (87,49%) dan D (85,59%) dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Pada perlakuan D mempunyai koefisien cerna protein kasar lebih tinggi 0,12% dari perlakuan B (85,49%)(Tabel 3) dan secara statistik berbeda tidak nyata.Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan energi dan protein pada ransum dapat meningkatkkan koefisien cerna protein kasar. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Tillman et al., 1998), kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein dalam ransum. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ranjhan (1980), kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam ransum. Umumnya ransum yang mengandung protein yang rendah mempunyai kecernaan yang rendah pula, karena ransum berprotein rendah pada umumnya mempunyai serat kasar tinggi yang sulit dicerna oleh babi, begitu juga sebaliknya. Namun pada perlakuan D koefisisen cerna protein kasar mengalami penurunan dari perlakuan C, hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan energi pada perlakuan D yang tertinggi yaitu sebesar 3250 kkal/kg, sehingga babi akan merasakan energinya sudah terpenuhi sebelum protein kasarnya terpenuhi.

Koefisien cerna lemak kasar bahwa pada babi bali jantan lepas sapih yangmendapat perlakuan A (80,93%) lebih rendah di bandingkan dengan perlakuan B (91,46%), C (92,40%) dan D (91,35%) dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Pada perlakuan B mempunyai koefisien cerna lemak kasar lebih tinggi 0,12% dari perlakuan D (91,35%)(Tabel 3), namun secara statistik berbeda tidak nyata. Rendahnya koefisien cerna lemak kasar pada perlakaun A dibandingkan dengan perlakuan B, C dan D disebabkan karena peningkatan level energi dan protein pada setiap perlakuan memberikan pengaruh terhadap kecernaan lemak kasar. Peningkatan koefisien lemak kasar ini di pengaruhi oleh kandungan nutrien ransum dari komposisi bahan yang digunakan. Ransum yang mempunyai kandungan serat kasar tinggi akan menyerap lemak sehingga lemak akan susah dicerna.Hal ini sesuai dengan pendapat

e-Journal

McDonald et al., (1995) yang menyatakan bahwa kecernaan pakan di pengaruhi oleh komposisi kimia pakan dan fraksi pakan berserat. Jika jumlah serat yang terdapat dalam ransum tinggi akan bisa menurunkan koefisien cerna lemak dan derivatnya sehingga penyerapan lemak menjadi berkurang (Bargner et al., 1985).

Pada pencernaan yaitu penguraian bahan makan kedalam nutrien saluran pencernaan sampai dapat diserap dan digunakan oleh jaringan tubuh, adalah suatu seri proses mekanis dan kemis yang dipengaruhi oleh banyak faktor (Anggorodi, 1994). Dari faktor-faktor tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah suhu, laju perjalanan ransum melalui saluran pencernaan, bentuk fisik dari bahan ransum dan komposisi ransum.Koefisien cerna lemak kasar mengalami suatu peningkatan dengan adanya penurunan kandungan nutrien serat kasar pada setiap perlakuan (Lampiran 1). Pada perlakuan D dengan level energi dan protein tertinggi yaitu dengan energi 3250 kkal/kg dan protein 22% mengalami penurunan koefisien cerna lemak kasar sebesar 1,12% dari perlakuan C (92,40%), hal ini disebabkan karena pada perlakaun D tingkat konsumsi ransum lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan C (Lampiran 3). Pada perlakuan D kadar lemak ransum juga paling tinggi, hal ini menyebabkan berkurangnya lemak yang dicerna. Lemak yang tinggi pada ransum menyebabkan laju aliran ransum lebih cepat karena lemak bersifat laksatif.Penurunan koefisien cerna lemak kasar ini juga disebabkan oleh faktor palatabilitas dari pada ternak itu sendiri.Hal ini sesuai dengan pendapat Piliang (2000) yang menyatakan konsumsi ransum dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa koefisien cerna serat kasar dan bahan organik pada babi bali jantan lepas sapih yang mendapat perlakuan A (dengan energi 2800 kkal/kg dan protein 16% lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B, C, dan D (Tabel 3) dan secara statistik berbeda nyata. Koefisien cerna SK dan BO yang berbeda nyata dari ke empat perlakuan tersebut disebabkan karena pengaruh kandungan energi dan protein pada setiap perlakuan semakin meningkat (Tabel 4.1). Semakin meningkatnya protein ransum maka akan meningkatkan koefisien cerna serat kasar. Faktor lain yang menyebabkan koefisien cerna serat

e-Journal

kasar pada perlakuan A lebih rendah dari babi perlakuan B, C dan D adalah kandungan nutrient serat kasar ransum pada perlakuan B, C an D lebih rendah dari perlakuan A (Lampiran 1). Hal ini sesuai dengan pendapat Astawa (2007) yang menyatakan bahwa kualitas pakan sangat berpengaruh kepada kecernaan, sedangkan untuk kecernaan serat kasar berkolerasi terbalik dengan kecernaan protein dimana semakin baik ransum kandungan serat kasar akan semakin rendah. Semakin buruk ransum, maka kandungan serat kasar tinggi yang akan menyebabkan kecernaan menurun. Ternak babi merupakan ternak monogastrik yang tidak mempunyai kemampuan lebih untuk mencerna serat kasar.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kecernaan bahan organik yang berbeda nyata dari masing-masing perlakuan.Peningkatan kecernaan bahan organik pada setiap perlakuan dipengaruhi oleh kandungan energi dan protein pada setiap perlakuan yang berbeda. Pada ransum D dengan kandungan energi 3200 kkal/kg dan protein 22% memiliki kecernaan bahan organik 1,50% lebih tinggi dibandingkan perlakuan A (82,913%). Bahan organik erat kaitannya dengan bahan kering sebab sebagian bahan kering terdiri atas bahan organik, sehingga hasil kecernaan bahan kering yang diperoleh akan sama pula dengan hasil dari kecernaan bahan organik Sutardi (1980).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan level energi 3100 kkal/kg dan protein 20%, memberikan hasil yang terbaik dari ke empat perlakauan terhadap kecernaan ransum pada babi bali jantan lepas sapih.

Saran

Bagi peternak disarankan dengan penggunaan level energi 3100 kkal/kg dan protein 20% dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam penyusunan ransum guna dalam mendapatkan kecernaan ransum yang baik pada babi bali jantan lepas sapih.Selain itu

e-Journal

disarankan juga untuk para peternak agar menjual babinya dengan system “cawing” agar mendapatkan keuntungan yang lebih. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan lebih banyak ulangan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan akurat mengenai pengaruh level energi dan protein ransum terhadap kecernaan nutrien dalam ransum babi bali.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapankan kepada Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang sudah memberikan fasilitas dan dukungan selama mengikuti perkuliahan. Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang sudah memberikan pengetahuan dan pengalaman selama perkuliahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. UI Press, Jakarta

Anggorodi, R.1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit Pt. Gramedia, Jakarta.

Astawa, I P A. 2007.Kecernaan Nutrien dan Produk Fermentasi Rumen pada Sapi Bali yang Diberi Ransum Kosentrat Berbasis Jerami Padi dengan Suplementasi Vitamin-Mineral Mix.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2013. Bali dalam Angka 2013.

Bargner. H., O. Simon., I. Partridge and U. Bergner., 1970. Influence of fibre on the 15N-labelling of amino acids in the digestive tract of 15N- labeled pigs. Dalam :Proceeding of the 3rd International Seminar on Digestive Physiology In The Pig Compenhagen 16th-18th May., 1985.

Devendra, C. and M.F. Fuller. 1979. Pig Production in The Tropics. Oxford University Press, Oxford, London.

Hafes, E.S.E and I.A. Dyer. 1969. Animal Growth and Nutrition. Lea and febiger, Philaadelphia.

McDonald, P., R.A. Edward , J.F.D. Greenhalgh. And C.A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. ELBS Longman, London

e-Journal

Parakkasi, A. 1983.Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa, Bandung.

Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition In The Tropics. Vikas Publishing House P and T Ltd., New Delhi.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Dapertemen Ilmu Makanan Ternak, IPB.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo.

1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Utama et al. Peternakan Tropika Vol. 4 No. 3 Th. 2016: 529 - 544

Page 544