PENGARUH PEMBERIAN KULTUR BAKTERI SELULOLITIK RUMEN KERBAU DALAM RANSUM MENGANDUNG 10% AMPAS TAHU TERHADAP PENAMPILAN ITIK BALI JANTAN UMUR 0-8 MINGGU
on

e-journal FAPET UNUD
e-Journal

Universitas Udayana
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science email: peternakantropika_ejournal@yahoo.com email: jurnaltropika@unud.ac.id
PENGARUH PEMBERIAN KULTUR BAKTERI SELULOLITIK RUMEN KERBAU DALAM RANSUM MENGANDUNG 10% AMPAS TAHU TERHADAP PENAMPILAN ITIK BALI JANTAN UMUR 0-8 MINGGU
Wicaksana, I. K. A, I. G. N. G. Bidura Dan I. A. P. Utami
Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar E-mail: Andikawicaksana72@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari pemberian kultur bakteri selulolitik rumen kerbau pada ransum yang mengandung 10% ampas tahu terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu. Itik yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik bali jantan umur 1 hari sebanyak 54 ekor dengan rata-rata bobot badan yang sama. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, yaitu ransum tanpa ampas tahu sebagai kotrol (A), ransum dengan 10% ampas tahu (B), ransum dengan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau (C). Setiap perlakuan terdiri dari enam ulangan dan masing-masing ulangan menggunakan tiga ekor itik bali jantan dengan berat homogen sehingga terdapat 18 unit percobaan dan jumlah keseluruhan itik yang digunakan sebanyak 54 ekor. Variabel yang diamati yaitu bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, konsumsi air minum dan Feed Convertion Ratio (FCR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum dengan 10% ampas tahu dan ransum dengan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum itik bali umur 0-8 minggu. Ransum dengan 10% ampas tahu dan ransum dengan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum dan air minum itik bali umur 0-8 minggu. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian 10% ampas tahu tanpa atau dengan 0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum itik bali jantan umur 0-8 minggu.
Kata kunci: ampas tahu,bakteri selulolitik, itik bali jantan, penampilan
THE EFFECT OF CULTURE BACTERIA CELLULOLYTIC RUMEN OF BUFFALO IN RATIONS CONTAINING 10% DREGS TOFU ON PERFORMANCE OF BALI DUCK MALE AGED 0-8 WEEKS
ABSTRACT
This research aims to know the extent of the effect of bacteria cellulolytic rumen of buffalo in rations containing 10% dregs tofu on performance of bali duck male aged 0-8 weeks. Complete Randomized Design (CRD) methode used with three treatments, namely rations without dregs tofu as

kotrol (A), rations with 10% dregs tofu (B), rations with 10% dregs tofu + 0.20% culture bacteria cellulolytic rumen of buffalo (C). Each treatment consisted of six replicates each repeat use three bali duck males age one day weighing homogeneous so there are 18 unit experiment and the total number of ducks that used as many as 54 tail. The variable were observed in this research is the final body weights, increase of body weight, consumption of rations, drinking water consumption and Feed Convertion Ratio (FCR). The results showed that rations with 10% dregs tofu and rations with 10% dregs tofu + 0.20% culture bacteria cellulolytic rumen of buffalo show the result can increase the weight of the final body, increase of body weights and FCR bali duck 0-8 weeks. rations with 10% dregs tofu and rations with 10% dregs tofu + 0.20% culture bacteria cellulolytic rumen of buffalo show the result were not can increase the consumption of rations and drinking water to the bali duck 0-8 weeks. From the results it can be concluded that the giving of 10% dregs tofu without or with a 0.20% culture bacteria cellulolytic rumen of Buffalo can increase weight of the final body, increase of body weights and efficient use of rations bali duck males aged 0-8 weeks
Key words: bacteria selulolitik, dregs tofu, bali duck male, performance
PENDAHULUAN
Di Indonesia ternak itik merupakan ternak unggas yang potensial untuk dikembangkan.
Upaya optimalisasi usaha peternakan itik bali dilakukan dalam rangka membantu suplai pemenuhan kebutuhan daging nasional yang terus mengalami peningkatan seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kesadaran pentingnya protein hewani bagi pertumbuhan dan kesehatan tubuh. Data konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia hanya mencapai angka 4,48% sementara angka rata-rata konsumsi protein hewani untuk negara Asia sekitar 20%. Diperkirakan bahwa untuk tahun 2016, suplai kebutuhan protein hewani berasal dari unggas sebesar 70%, terdiri dari ayam ras, ayam buras, itik dan bangsa unggas lainnya (Dirjenak, 2016).
Di Bali umumnya pemeliharaan itik dilakukan secara tradisional (ekstensif), namun dengan terbatasnya penggembalaan sebagai akibat dari pemakaian pestisida oleh petani, banyak itik yang mati akibat keracunan. Maka, pemeliharaan secara ekstensif bergeser menjadi pemeliharaan secara intensif. Pada pemeliharaan secara intensif, kendala utama yang dihadapi adalah tingginya biaya pakan, yaitu kira-kira 60%-70% dari biaya produksi (Rasyaf, 1988). Untuk menyiasatinya, perlu dilakukan suatu terobosan dengan menambahkan ampas tahu dan kultur bakteri selulolitik pada ransum sehingga terjadi peningkatan efisiensi penggunaan ransum.
Ampas tahu merupakan limbah pembuatan tahu yang masih mengandung protein dengan asam amino lisin dan metionin, serta kalsium yang cukup tinggi. Kandungan serat kasar pada
ampas tahu masih tinggi sekitar 19,94% sehingga menjadi faktor pembatas penggunaannya dalam ransum unggas (Mahfudz, 2006). Oleh karena itu, untuk memberdayakan ampas tahu perlu diberi perlakuan dan salah satunya adalah dengan bioteknologi probiotik (Bidura, 2007). Penggunaan probiotik dalam ransum ternyata dapat meningkatkan daya cerna, sehingga zat-zat pakan lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertumbuhan maupun produksi (Barrow, 1992). Menurut Mahfudz (2006) penggunaan ampas tahu terfermentasi ragi oncom pada level 10%, 15% dan 20% dalam ransum ayam pedaging nyata meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan efisiensi penggunaan ransum.
Fraksi selulosa merupakan komponen yang paling besar sebagai penyusun dinding sel ampas tahu, yaitu sekitar 40-50% yang sangat sulit bahkan tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan itik.Agar dapat digunakan, maka selulosa terlebih dahulu harus diuraikan menjadi senyawa dengan berat molekul rendah seperti mono,di dan tri sakarida. Degradasi tersebut melibatkan kompleks enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba yaitu endo-beta-glucanase dan beta glucosidase (Wainwright, 2002),.
Berdasarkan hal tersebut, pemanfaatan mikroba selulolitik yang berasal dari rumen kerbau sebagai inokulan pendegradasi serat pada ampas tahu sebelum diberikan pada ternak itik sangat menarik untuk diamati. Hal ini dimungkinkan karena mikroba cairan rumen kerbau ternyata mempunyai aktivitas selulolitik yang paling tinggi dibandingkan dengan mikroba selulolitik lainnya seperti rayap, feses gajah dan sapi (Prabowo et al., 2007). Menurut Sudirman (2011), disamping sumber mikroba yang menentukan aktivitas pencernaan serat, juga sangat ditentukan oleh tepatnya dosis inokulum mikroba, keseragaman jenis dan populasi mikroba yang digunakan. Pemberian kultur mikroba cairan rumen kerbau pada itik diharapkan dapat menimbulkan efek sinergistik antara spesies mikroba rumen kerbau dengan mikroba saluran pencernaan itik, sehingga dapat menyebabkan kemampuan mencerna itik terhadap pakan serat meningkat. Bidura et al, (2014) telah berhasil mengisolasi kultur bakteri selulolitik unggul 1 dengan kode B6 yang dapat digunakan sebagai sumber probiotik.
Suplementasi 0,20%-0,40% kultur bakteri selulolitik isolat rumen kerbau nyata dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransumpada itik (Siti et al., 2016). Penambahan 10% ampas tahu dan 0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau pada ransum diharapkan dapat meningkatkan proses pencernaan pada ternak unggas sehingga tersedia sumber energi yang lebih tinggi untuk meningkatkan
penampilan itik bali. Sehubungan dengan itu maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian bakteri selulolitik rumen kerbau dalam ransum mengandung 10% ampas tahu terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari pemberian kultur bakteri selulolitik rumen kerbau pada ransum yang mengandung 10% ampas tahu terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Dajan Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali.Penelitian dilapangan dilaksanakan pada tanggal 24 April sampai 6 Juni 2015.
Ternak Itik
Jenis itik yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik bali jantan umur 1 hari dengan berat rata-rata 47,91 ± 1,04 gram sebanyak 54 ekor itik yang diperoleh dari peternak.
Kandang dan Perlengkapan
Tipe kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang battery colony bertingkat sebanyak 18 petak kandang dengan ukuran panjang 100 cm, lebar 50 cm dan tinggi 40 cm. Kandang terbuat dari bilah-bilah bambu dengan jarak antara celah-celah bambu 2 cm serta dilengkapi dengan tempat pakan yang terbuat dari pipa paralon dan tempat air minum dari plastik. Pada bagian bawah kandang dialasi dengan lembaran plastik untuk menampung kotoran yang jatuh sehingga mudah untuk dibersihkan.
Kultur Bakteri Selulolitik
Kultur bakteri yang digunakan pada penelitian ini diproduksi menggunakan isolat bakteri selulolitik unggul 1 atau isolat bakteri terbaik hasil penelitian Bidura et al, (2014) yang diisolasi dari limbah isi rumen kerbau dengan kode B-6 yang ditumbuhkan dengan media padat.
Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan kapasitas 3000 gram kepekaan 10 gram, timbangan tricle brand kapasitas 5000 gram kepekaan 0,1 gram, ember plastik dan alat-alat tulis.
Ransum dan Air Minum
Ransum yang diberikan disusun berdasarkan Scott et al., (1982). Bahan penyusun ransum terdiri dari jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, kacang kedelai, tepung ikan, minyak kelapa, mineral mix, ampas tahu dan kultur bakteri selulolitik sesuai dengan komposisi masing-masing perlakuan. Air minum diberikan adlibitum yang diperoleh dari perusahaan air minum setempat. Komposisi bahan pakan penyusun ransum dan kandungan nutrisi bahan pakan dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 berikut ini.
Tabel 1.Komposisi pakan dalam ransum untuk itik umur 0-8 minggu | |||
Bahan Pakan |
Perlakuan1) | ||
A |
B |
C | |
Jagung Kuning |
54,00 |
51,60 |
51,60 |
Dedak Padi |
11,20 |
13,50 |
13,30 |
Bungkil Kelapa |
12,80 |
8,50 |
8,50 |
Kacang Kedelai |
8,50 |
3,00 |
3,00 |
Tepung Ikan |
12,70 |
12,20 |
12,20 |
Minyak Kelapa |
0,30 |
0,70 |
0,70 |
Mineral Mix |
0,50 |
0,50 |
0,50 |
Ampas Tahu |
- |
10,00 |
10,00 |
Kultur Bakteri Selulolitik |
- |
- |
+ 0,20 |
Total |
100 |
100 |
100 |
Keterangan:
1. Ransum tanpa ampas tahu sebagai kontrol (A), ransum dengan 10% ampas tahu (B), dan ransum dengan 10% ampas tahu + 0,20% kultur bakteri selulolitik (C).
Ampas Tahu
Ampas tahu yang digunakan diperoleh dari industri rumah tangga pembuatan tahu di daerah Sesetan, Denpasar Selatan.
Kultur Bakteri Selulolitik
Kultur bakteri selulolitik yang digunakan pada penelitian ini diproduksi menggunakan isolat bakteri selulolitik unggul 1 atau isolat bakteri terbaik hasil penelitian Bidura tahun 2014 yang diisolasi dari limbah isi rumen kerbau, dengan kode B-6 yang ditumbuhkan pada medium padat, yaitu 150 gram molase, 15 gram urea, 5 gram jeruk nipis, 5 gram vitamin multi mineral, 400 gram dedak padi dan air. Bakalan kultur selanjutnya diinkubasi selama 1 minggu dalam kondisi anaerob dengan suhu 37oC, setelah proses inkubasi dilanjutkan dengan proses
pelleting dan pengeringan bertingkat menggunakan suhi 35oC-34oC selama 3-4 hari, sehingga kadar air produk ±15%. Kutlur bakteri yang telah jadi siap dimanfaatkan pada kegiatan
penelitian selanjutnya.
Tabel 2.Kandungan zat makanan dalam ransum itik umur 0-8 minggu1) | ||||
Kandungan Zat Makanan |
Perlakuan2) |
Standar3) | ||
A |
B |
C | ||
Energi Termetabolis (Kkal) |
2901 |
2901 |
2897,45 |
2900 |
Protein Kasar (%) |
18 |
18 |
18 |
18 |
Lemak (%) |
6,76 |
6,53 |
6,51 |
5-104) |
Serat kasar (%) |
4,89 |
6,22 |
6,20 |
3-54) |
Kalsium (%) |
1,04 |
1,09 |
1,10 |
1,00 |
Fosfor (%) |
0,62 |
0,66 |
0,66 |
0,45 |
Arginin (%) |
1,51 |
1,52 |
1,53 |
1,14 |
Sistein (%) |
0,34 |
0,36 |
0,36 |
0,36 |
Glisin (%) |
1,13 |
1,17 |
1,17 |
0,27 |
Histidin (%) |
0,48 |
0,50 |
0,50 |
0,45 |
Isoleusin (%) |
0,97 |
1,02 |
1,02 |
0,91 |
Leusin (%) |
1,77 |
1,81 |
1,82 |
1,36 |
Lisin (%) |
1,30 |
1,36 |
1,37 |
1,14 |
Metionin (%) |
0,44 |
0,44 |
0,44 |
0,45 |
Penilalanin (%) |
0,94 |
0,98 |
0,97 |
0,73 |
Treonin (%) |
0,82 |
0,85 |
0,86 |
0,73 |
Triptophan (%) |
0,21 |
0,23 |
0,23 |
0,20 |
Tirosin (%) |
0,69 |
0,71 |
0,71 |
0,73 |
Valin (%) |
1,02 |
1,04 |
1,05 |
0,73 |
Keterangan :
1. Dihitung berdasarakan tabel konsumsi zat makanan menurut Scott et al. (1982)
2. Ransum tanpa ampas tahu sebagai kontrol (A), ransum dengan 10% ampas tahu (B), dan
ransum dengan 10% ampas tahu + 0,20% kultur bakteri selulolitik (C).
-
3. Standar Scott et al. (1982)
-
4. Standar Morisson (1961)
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, yaitu ransum tanpa ampas tahu sebagai kontrol (A), ransum dengan 10% ampas tahu (B), ransum dengan 10% ampas tahu dan 0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau (C). Setiap perlakuan terdiri dari enam ulangan dan masing-masing ulangan menggunakan tiga ekor itik bali jantan dengan berat homogen sehingga terdapat 18 unit percobaan dan jumlah keseluruhan itik yang digunakan sebanyak 54 ekor.
Prosedur Penelitian
Dari 100 itik, diambil sampel secara acak sebanyak 50 ekor untuk ditimbang dan dicari berat rata-rata.Berat rata-rata tersebut dipakai untuk membuat kisaran berat badan ± 5%. Itik yang digunakan adalah itik yang mempunyai berat badan yang masuk dalam kisaran berat badan yang dibuat. Kemudian itik disebar secara acak pada masing-masing petak kandang yang jumlahnya 18 buah dan setiap petak kandang diisi tiga ekor itik, sehingga mendapatkan 54 ekor itik yang memiliki bobot badan yang relatif homogen.
Sebelum itik dimasukkan ke dalam kandang, terlebih dahulu kandang dibersihkan dan disemprot menggunakan antiseptik agar kuman yang ada disekitar kandang hilang.
Ransum ditimbang untuk mengetahui konsumsi ransum, yaitu dihitung dengan menimbang jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan sisa ransum yang dihitung setiap minggu.
Penyusunan Ransum
Penyusunan ransum dilakukan dengan cara menimbang masing-masing bahan penyusun ransum sesuai dengan kebutuhannya. Penimbangan dimulai dari bahan yang komposisinya paling banyak, kemudian ditebarkan secara merata dan berbentuk lingkaran di atas lantai. Kemudian dilanjutkan dengan menimbang bahan yang lain dan ditumpuk diatas bahan yang komposisinya paling banyak hingga komposisinya paling sedikit. Bahan yang sudah ditumpuk kemudian diaduk secara merata hingga menjadi homogen, kemudian dimasukkan kedalam ember plastik untuk kemudian diberikan kepada ternak.
Pemberian Ransum dan Air Minum
Ransum dan air minum diberikan ad libitum. Ransum diberikan dua kali sehari, yaitu pada pagi hari dan sore hari dengan cara mengisi setengah bagian dari tempat pakan untuk menghindari tercecernya ransum pada saat itik makan. Penambahan air minum dilakukan setiap air minum habis dan penggantian air minum dilakukan setiap pagi dan sore hari untuk menghindari timbulnya penyakit.
Pencegahan Penyakit
Untuk mencegah timbulnya penyakit, sebelum itik dimasukkan ke dalam kandang, terlebih dahulu kandang disemprot menggunakan antiseptik. Itik yang baru tiba diberikan larutan gula dengan perbandingan air dan gula 2:1 serta diberikan vitamin (Vitachick) dengan
dosis 1 gram/ 1 liter air diberikan selama 3 hari berturut-turut untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
• Bobot badan akhir: bobot badan akhir dihitung dengan cara menimbang bobot badan itik pada akhir penelitian. Sebelum penimbangan terlebih dahulu itik dipuasakan kurang lebih 12 jam untuk memperoleh bobot tubuh kosong.
-
• Pertambahan bobot badan: pertambahan bobot badan itik dihitung setiap minggu dengan cara mengurangi berat badan yang didapat pada saat penimbangan dengan berat badan yang diperoleh pada penimbangan sebelumnya.
-
• Konsumsi ransum: konsumsi ransum dihitung dengan penimbangan jumlah ransum yang diberikan dikurangi sisa ransum yang dihitung setiap minggu.
-
• Konsumsi air minum: konsumsi air minum diukur menggunakan gelas ukur. Pengukuran dilakukan setiap hari.
-
• FCR (Feed Convertion Ratio): FCR diperoleh dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan itik dalam satuan waktu tertentu.
Analisis Statistik
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam. Apabila hasilnya berbeda nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) menurut Steel dan Torrie (1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pertambahan bobot badan pada itik selama delapan minggu penelitian. Pertambahan bobot badan itik A adalah 1084,32 g/ekor/8 minggu, itik B dan C adalah 1249,22 g/ekor/8 minggu dan 1271,90 g/ekor/8 minggu (Tabel 3). Rataan pertambahan bobot badan itik pada perlakuan B dan C masing-masing 15,21% dan 17,30% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan itik perlakuan A. Pertambahan bobot badan itik perlakuan C adalah 1,82% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan itik perlakuan B. Hasil penelitian menunjukkan bahwa itik yang diberi ransum dengan penambahan 10% ampas tahu nyata dapat meningkatkan bobot badan Wicaksana et al. Peternakan Tropika Vol. 4. No. 1 Th. 2016: 220 -233 Page 227
akhir dan pertambahan bobot badan itik bali jantan dibandingkan dengan itik yang tidak diberikan ampas tahu. Bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan itik juga signifikan meningkat pada pemberian ransum dengan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik. Bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan meningkat pada ransum dengan 10% ampas tahu dan ransum dengan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik sejalan dengan jumlah ransum yang dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Moritz et al. (2002) yang menyatakan bahwa salah satu yang mempengaruhi besar kecilnya pertambahan bobot badan adalah konsumsi ransum dan terpenuhinya kebutuhan zat makanan. Dilaporkan oleh Wahyono (2002), bahwa penambahan kultur bakteri yang berperan sebagai probiotik dapat menstimulasi sintetis enzyme pencernaan sehingga meningkatkan utilisasi nutrisi. Dilaporkan juga oleh Yu et al. (2008), bahwa penambahan probiotik kedalam ransum dapat meningkatkan produksi enzym B-glukanase di semua segmen saluran pencernaan dan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Hasil penelitian sesuai dengan yang dilaporkan oleh Bidura (2012) mendapatkan bahwa, suplementasi kultur Saccharomyces spp.G-7 diisolasi dari ragi tape dalam ransum basal nyata dapat meningkatkan berat badan akhir dan pertambahan berat badan itik. Peningkatan tersebut disebabkan probiotik dalam ransum dapat meningkatkan kecernaan zat-zat makanan sehingga kebutuhan ternak akan zat makanan dapat terpenuhi, khususnya protein untuk nutrisi protein tubuh sehingga berat badan meningkat. Hal senada juga disampaikan oleh Siti et. al (2016) bahwa suplementasi 0,20%-0,40% kultur bakteri selulolitik isolat rumen kerbau nyata dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, dan efisiensi penggunaan ransum pada itik.
Tabel 3.Pengaruh pemberian kultur bakteri selulolitik rumen kerbau pada ransum mengandung 10% ampas tahu terhadap penampilan itik bali umur 0-8 minggu
Variabel |
Perlakuan1) |
C |
SEM2) | |
A |
B | |||
Bobot Badan Awal (g/ekor) |
48,02a |
47,95a |
47,77a |
1,04 |
Bobot Badan Akhir (g/ekor/8 |
1132,33a3) |
1297,17b |
1319,67c |
5,12 |
minggu) Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/8 |
1084,32a |
1249,22b |
1271,90c |
4,90 |
minggu) Konsumsi Ransum (g/ekor/8 minggu) |
5959,67a |
6013,83a |
5967,67a |
26,68 |
Konsumsi Air Minum (liter/ekor/8 |
14,90a |
15,09a |
15,04a |
0,07 |
minggu) Feed Convertion Ratio (FCR) |
5,50c |
4,81b |
4,69a |
0,03 |
Keterangan:
-
1. Itik yang diberi ransum tanpa ampas tahu sebagai kontrol (A), itik yang diberi ransum dengan 10% ampas tahu (B), dan itik yang diberi ransum dengan 10% ampas tahu + 0,20% kultur bakteri selulolitik (C).
-
2. SEM: Standard Error of The Treatment Means
-
3. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Banyaknya ransum yang dikonsumsi selama delapan minggu penelitian itik perlakuan A adalah 5959,67 g/ekor/8 minggu, sedangkan itik perlakuan B mengkonsumsi ransum 6013,83 g/ekor/8 minggu dan itik perlakuan C mengkonsumsi ransum 5967,67 g/ekor/8 minggu (Tabel 3). Rataan konsumsi ransum itik perlakuan B dan C berturut-turut 0,91% dan 0,13% berbeda tidak nyata (P>0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan itik perlakuan A. Konsumsi ransum pada itik perlakuan C adalah 0,77% berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan dengan itik perlakuan B. Rataan konsumsi ransum selama delapan minggu pemeliharaan berkisar antara 5959,67 sampai 5967,67 g/ekor/8 minggu (Tabel 3). Penambahan 10% ampas tahu dan penambahan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik dalam ransum tidak berbeda nyata meningkatkan konsumsi ransum. Hal ini disebabkan karena semua perlakuan diberikan ransum yang memiliki kandungan protein dan energi termetabolis yang sama. Ternak unggas mengkonsumsi ransum pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan akan energinya. Seperti dilaporkan oleh Wahyu (1997), faktor utama yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah kandungan energi metabolis dan ternak akan berhenti makan apabila kebutuhan akan energi sudah terpenuhi walaupun tembolok belum penuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1994) bahwa, tingkat energi didalam ransum menentukan jumlah pakan yang dikonsumsi dan sebagian besar pakan yang dikonsumsi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Apabila kandungan energi dalam ransum tinggi maka konsumsi pakan akan turun dan sebaliknya apabila kandungan energi ransum rendah maka konsumsi pakan akan naik guna memenuhi kebutuhan akan energi. Pada penambahan probiotik diduga bahwa mikroorganisme yang menguntungkan dalam saluran pencernaan sangat berperan dalam mengoptimalkan konsumsi ransum, sehingga penyerapan zat-zat nutrisi berlangsung dengan sempurna (Scott et al., 1982). Dilaporkan juga oleh Bidura (2012) , probiotik dalam saluran pencernaan dapat menekan bakteri E.Coli dan kadar gas amonia, sehingga ternak menjadi nyaman. Dalam keadaan nyaman maka ternak akan meningkatkan konsumsi pakan maupun air minumnya.
Konsumsi air minum selama delapan minggu penelitian pada itik perlakuan A adalah 14.90 liter/ekor/8 minggu, sedangkan itik perlakuan B dan C sebanyak 15,09 liter/ekor/8 minggu dan 15,04 liter/ekor/8 minggu (Tabel 3). Rataan konsumsi air minum itik perlakuan B dan C masing-masing 1,31% dan 0,94% berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan itik perlakuan A. Konsumsi air minum itik perlakuan C adalah 0,37% berbeda tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan dengan itik perlakuan B.Konsumsi air minum meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi ransum. Itik mengkonsumsi air minum dua kali lebih besar dari jumlah pakan yang dikonsumsi.Hal ini sesuai dengan pendapat Ensminger (1990) yang menyatakan bahwa pada umumnya unggas mengkonsumsi air minum dua kali lebih besar dari jumlah pakan yang dikonsumsi, karena air minum berfungsi sebagai pelarut dan alat transportasi zat-zat makanan untuk disebarkan ke seluruh tubuh serta untuk memudahkan dalam pencernaan makanan sehingga dibutuhkan lebih banyak air daripada makanannya. Menurut Wahyu (2004) konsumsi air minum pada unggas dipengaruhi oleh jenis dan jumlah ransum yang dikonsumsi, suhu lingkungan, serta besar kecilnya tubuh ternak. Dalam penelitian yang dilakukan ini, jenis ransum, suhu lingkungan dan bobot badan itik yang dipelihara homogen sehingga yang mempengaruhi konsumsi air minum itik adalah jumlah ransum yang dikonsumsi.
Rataan angka FCR selama delapan minggu penelitian pada itik perlakuan A adalah 5,50 sedangkan itik perlakuan B dan C adalah 4,81 dan 4,69 (Tabel 3). Rataan FCR pada perlakuan B dan C masing-masing 14,18% dan 17,15% berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan itik perlakuan A. Angka FCR pada itik perlakuan C adalah 2,60% berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan itik perlakuan B. Feed Convertion Ratio (FCR) merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran tentang tingkat efisiensi penggunaan ransum. Semakin rendah angka FCR, maka semakin tinggi tingkat efisiensi penggunaan ransum (Anggorodi, 1994). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa penambahan 10% ampas tahu dan 0,20% kultur bakteri selulolitik nyata dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum. Hal ini dikarenakan kultur bakteri selulolitik sebagai sumber probiotik dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim pencernaan unggas, sehingga ransum akan teremulsi dan lebih memudahkan proses pencernaan. Probiotik dapat mengubah pergerakan mucin dan populasi mikroba di dalam usus halus, sehingga keberadaannya dapat meningkatkan fungsi dan kesehatan usus, memperbaiki komposisi mikroflora pada sekum,
serta meningkatkan penyerapan zat makanan (Mountzouris et al., 2010). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Sudiastra (1999) yang menyatakan bahwa suplementasi probiotik dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum. Hal senada juga disampaikan oleh Bidura et. al (2014) yang melaporkan bahwa penggunaan bakteri selulolitik yang diisolasi dari rumen kerbau dapat berperan sebagai sumber probiotik serta mampu meningkatkan kandungan nutrisi dan kecernaan ampas tahu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian 10% ampas tahu tanpa atau dengan 0,20% kultur bakteri selulolitik nyata dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum itik bali jantan pada umur 0-8 minggu.
Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan kepada peternak itik bali bahwa penambahan kultur bakteri selulolitik rumen kerbau kedalam ransum dapat meningkatkan pertumbuhan itik bali dan efisiensi penggunaan ransum.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Ir. I Gusti Nyoman Gede Bidura, MS, ibu Ir. Ida Ayu Putri Utami, M.Si, bapak Dr. Drh. I Gusti Agung Arta Putra, M.Si, ibu Ir. Tjokorda Istri Putri, MP dan Dr. Dewi Ayu Warmadewi, S.Pt.,M.Si. yang telah membantu penulis dari awal penelitian sampai akhir penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta
Barrow, P.A. 1992. Probiotics of The Chickens. In Probiotics The Scientific basis (by Roy Fuller). First Edition. Chapman an Hall. London, Hal 225-250
Bidura, I.G.N.G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. UPT Penerbit Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I.G. N. G. 2012. “Pemanfaatan Khamir Saccharomyces Cerevisiae yang Diisilasi dari Ragi Tape untuk Tingkatkan Nulai Nutrisi Dedak Padi dan Penampilan Itik Bali Jantan” Disertasi Program Doktor Pascasarjana, Universitas Udayana.
Bidura, I.G.N.G., Siti, N.W. and I.A.P.Utami. 2014. Isolation of Cellulolytic Bacteria from Rumen Liquit of Buffalo Both as a Probiotics Properties and has Cmc-Ase Activity to Improve Nutrient Quality of Soybean Distillery By-Product as Feed. Int. J. Pure App. Biosci. 2 (5): 10-18
Direktorat Jenderal Peternakan. (2016). Statistik Peternakan 2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Republik Indonesia Jakarta.
Ensminger. 1990. Joint FAO/WHO Expert Consultation on Evaluation of Healt and Nutrition Properties of Probiotics in Food Including Powder Milk with Live Lactic Acid Bacteria. American Cordoba Park Hotel, Cordoba, Argentina.Hammond. 1994. The Effect of Lactobacillus acidophilus on the Production and Chemical Composition of Hen Eggs. Poultry Sci. 75:491-494.
Mahfudz, L. D. 2006. Efektifitas Oncom Ampas Tahu sebagai Bahan Pakan Ayam. Jurnal Produksi Ternak Vol. 8 (2) 108-114
Moritz, J.S., K.J. Wilson, K.R. Cramer, R.S. Beyer, L.J. McKinney, W.B. Cavalcanti, and X. Mo. 2002. Effect of formulation Density, Moisture and Surfactant on Feed Manufacturing, Pellet Quality and Broiler Performance.
Mountzouris K.C., P. Tsitrsikos, I. Palamidi, A. Arvaniti, M. Mohnl, G. Schatzmayr, K. Fegeros. 2010. Effect of Proboitic Inclusion Levels in Broiler nutrition on Growth Performance, Nutrient Digestibility, Plasma Immunoglobulins and Cecal Microflora Composition. Poult Sci. 89,58-67
Morrison, F.B. 1961. Feeds and Feeding, Abridged. 9th. Ed., The Morrison publishing Co., Clington, New York.
Prabowo, A., S. Padmowijoyo, Z. Bachrudin dan A. Syukur.2007. Potensi Selolulitik Campuran dari Ekstrak Rayap, Larutan Feses gajah dan Cairan Rumen Kerbau. J. of The Indonesian Tropical Anim. Agric. 32 (3): 151-158
Rasyaf. 1988. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya: Jakarta.
Scott, M.L.,M.C.Neisheim and R.J.Young. 1982. Nutrition of The Chickens. 2nd Ed. Ithaca, New York: Publish by: M.L. Scott and Assoc.
Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1993. Principles and Procedures of Statistic. 2nd Ed. London: McGraw-Hill International Book Co.
Siti, N.W., I.G.N.G. Bidura, and I.A.P.Utami. 2016. The Effect of Supplementation Culture Cellulolytic Bacteria Isolated from the rumen of Buffalo in the Tofu-Based ration on the Performance and N-Nh3 Concentration in Excreta of Duck. J. Biol. Chem. Research. Vol. 33, No.1. 214-225,2016
Sudiastra, W. 1999.Suplementasi Probiotik dalam Ransum Berprotein Rendah terhadap Penampilan Ayam. Majalah Ilmiah Peternakan Vol. 2(1) : 13-19.
Sudirman. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Feses Kerbau sebagai Pengganti Cairan Rumen. http:www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artukel645
Wahyono, F. 2002. The influence of probiotic on feed consumption, body weight andblood cholesterol level in broiler fed on high saturated or unsaturated fat ration. J.Trop. Anim. Dev 27 : 36-44.
Wahyu, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Penerbit Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Wahyu, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Wainwright, M. 2002. An Introduction to Fungal Biotechnology.John Wiley & Sons Ltd. Baffins Lane, Chichester, West Sussex PO19 IUD, England.
Yu, B., J.R.Liu, F.S. Hsiao and PWS Chiou. 2008. Evaluation of Lactobacillus ReuteriPg4 Strain Expressing Heterologous B-glucanase as a Probiotic in Poultry Diets Basedon Barley. Anim Feed Sci and Tech. 141 : 82-91.
Wicaksana et al. Peternakan Tropika Vol. 4. No. 1 Th. 2016: 220 -233
Page 233
Discussion and feedback