ISSN 2722-7286

Jurnal

FAPET UNUD


Jurnal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: jurnaltropika@unud.ac.id

Submitted Date: May 25, 2023

Accepted Date: September 3, 2023


Editor-Reviewer Article: Eny Puspani & A.A. Pt. Putra Wibawa

PENGGANTIAN RANSUM KOMERSIAL DENGAN MAGGOT TERHADAP KECERNAAN NUTRIEN BROILER

Dewi, N. K. S. P., I P. A. Astawa, dan I G. Mahardika

PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail: padmara.dewi019@student.unud.ac.id Telp: +6287701433870

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan ulat maggot dalam ransum terhadap kecernaan broiler. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan dan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana selama 3 bulan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas empat perlakuan dan empat ulangan, setiap ulangan berisi empat ekor broiler. Perlakuan yang diberikan adalah broiler yang diberi pakan tanpa penambahan maggot (P0/kontrol); Broiler yang diberi 5% maggot sebagai pengganti 5% pakan komersial (P1); Broiler yang diberi 10% maggot sebagai pengganti 10% ransum komersial (P2) dan Broiler yang diberi 15% maggot senagai pengganti 15% ransum komersial (P3). Variabel yang diamati adalah kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan serat kasar dan kecernaan protein kasar. Hasil penelitian menunjukan bahwa broiler yang diberi perlakuan P1, P2, dan P3 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap KcBK, KcBO, KcSK dan KcPK dengan P0. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggantian ransum komersial dengan maggot memberikan hasil yang sama terhadap kecernaan nutrien pada broiler.

Kata kunci: broiler, ulat maggot, kecernaan nutrien

REPLACEMENT OF COMMERCIAL RATIONS WITH Hermetia illucens FOR BROILER NUTRIENT DIGESTIBILITY

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of adding Hermetia illucens in the ration on broiler digestibility. This research was conducted in Nyitdah Village, Kediri District, Tabanan Regency and at the Animal Feed and Nutrition Laboratory, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University for 3 months. The research design used was a completely randomized design (CRD) consisting of four treatments and four replications, each replication containing four broilers The treatment given was broilers which were fed without the addition of Hermetia illucens (P0/control); broilers given 5% Hermetia illucens as a substitute for 5% commercial feed (P1); broilers given 10% Hermetia illucens as a substitute for 10% commercial feed (P2) and broilers are given 15% Hermetia illucens as a substitute for 15% commercial feed (P3). The variables observed were dry matter digestibility, organic matter

digestibility, crude fiber digestibility and crude protein digestibility. The results showed that broilers treated with P1, P2, and P3 showed results that were not significantly different (P>0.05) from KcBK, KcBO, KcSK and KcPK with P0. Based on the results of this study it can be concluded that replacing commercial rations with Hermetia illucens gives the same results on nutrient digestibility in broilers.

Keywords: broiler, Hermetia illucens, nutrient digestibility

PENDAHULUAN

Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dan perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat terhadap khasiat gizi untuk kesehatan serta pertumbuhan manusia, tuntutan kebutuhan sumber gizi hewani juga terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Keadaan tersebut akan memicu pengembangan jenis- jenis ternak sumber daging selaku pemasok kebutuhan daging masyarakat. Salah satu tipe ternak yang sanggup menyediakan kebutuhan daging secara cepat yakni broiler. Broiler merupakan salah satu tipe ternak unggas yang mempunyai laju pertumbuhan sangat cepat, sebab bisa dipanen pada usia 5 minggu. Kelebihan ayam broiler yaitu pertumbuhannya yang cepat dan efisien dalam memanfaatkan pakan serta harga produk yang relatif terjangkau, sehingga membuat permintaan pasar ayam broiler di Indonesia ayam cukup tinggi (Bidura, 2007). Penampilan ayam pedaging yang bagus bisa dicapai dengan sistem peternakan inten;sif modern yang bercirikan penggunaan bibit unggul, pakan bermutu, dan perkandangan yang mencermati aspek kenyamanan serta kesehatan ternak (Nuriyasa, 2003).

Produksi broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: bibit, pakan, dan manajemen. Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kebutuhan ternak karena mempengaruhi produktifitas dan pembentukkan sel-sel jaringan tubuh pada hewan. Pakan komersial merupakan pakan yang sering diberikan pada broiler padahal biaya pakan tersebut bisa mencapai 60-70% dari biaya produksi (Sudrajat, 2000). Pemberian pakan pada ternak unggas harus seekonomis mungkin untuk mengurangi biaya produksi. Pemanfaatan pakan lokal dapat mengurangi biaya produksi maupun sebagai pakan alternatif dilaporkan mampu menggantikan pakan komersial ternak unggas (Depawole et al., 2020).

Alternatif bahan pakan yang banyak dimanfaatkan oleh peternak yang harganya lebih murah dibandingkan dengan pakan komersial adalah maggot. Pemanfaatan alternatif bahan pakan berbasis serangga lebih produktif ketimbang dengan pemanfaatan sumber pakan

komersial. Oleh sebab itu, saat ini studi pakan yang berkembang diarahkan untuk menemukan sumber bahan pakan berbasis serangga. Serangga mempunyai daya guna konversi pakan yang besar serta bisa dipelihara secara terus menerus. Sumber bahan pakan berbasis serangga tidak menyaingi bahan pangan manusia, sehingga sangat sesuai apabila digunakan selaku bahan pakan ternak, terutama unggas termasuk broiler.

Maggot (Hermetia illucens) merupakan salah satu serangga yang sifat dan nilai gizinya telah dipelajari secara intensif (Cickova et al., 2015). Maggot merupakan sumber pakan yang sangat baik untuk produksi broiler dan memiliki efek positif pada penambahan berat badan dan kecernaan (Teguia et al., 2002). Komponen pakan yang berasal dari serangga mengandung protein yang cocok untuk pertumbuhan ternak. Protein yang terkandung dalam serangga lebih ekonomis, alami, dan ramah lingkungan, mengurangi polusi yang dapat merusak ekosistem baik tumbuhan maupun hewan (Pradana, 2021). Serangga secara umum memiliki sistem kekebalan bawaan (innate immune system) yang telah berkembang dengan baik. Karakteristik biologis ini membuat maggot kaya akan berbagai jenis Antimikrobial peptide (AMP) yang memiliki aktivitas hambat terhadap berbagai jenis mikroorganisme patogen. Pemanfaatan maggot utuh sebagai Antibacterial Peptides (ABPs) mampu memperbaiki konversi pakan dan morfologi saluran pencernaan pada ternak babi. Mikroflora dalam saluran pencernaan memegang peranan penting terhadap produktivitas dan kesehatan ternak terkait dengan morfologi saluran pencernaan, penyerapan nutrisi, patogenitas dan imunitas. Broiler membutuhkan protein yang baik untuk pembentukan daging yang lebih lembut dibandingkan unggas lainnya.

Nilai manfaat suatu ransum ditunjukkan oleh kecernaan ransum, baik kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar, dan nutrisi lainnya. Jika kecernaan rendah maka nilai manfaat juga rendah, sebaliknya apabila kecernaan tinggi maka nilai manfaatnya juga tinggi (Fitasari et al., 2016). Kecernaan pakan yang tinggi dapat dicapai jika saluran pencernaan ternak optimal untuk pencernaan dan penyerapan nutrisi. Upaya penggantian ransum komersial dengan maggot akan lebih memberikan nilai guna apabila diketahui nilai kecernaannya. Nilai kecernaan perlu diketahui untuk mencapai efisiensi penggunaan pakan dalam ransum yang diberikan.

Pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa penambahan maggot dalam ransum ayam joper menunjukkan hasil yang nyata untuk performa ayam. Hasil yang optimal

disarankan menggunakan maggot tidak lebih dari 10% bahan pakan yang digunakan (Rizkinta, 2020). Rambet (2015) menyebutkan bahwa hasil penelitian mengindikasikan bahwa tepung maggot dapat digunakan sampai dengan 100% menggantikan tepung ikan dalam ransum broiler tanpa adanya efek negatif terhadap kecernaan bahan kering, energi, dan protein. Kecernaan bahan kering dalam penelitian Rambet (2015) berkisar antara 57,96 – 60,42%. Angka kecernaan bahan kering tersebut masih berada pada kisaran kecernaan bahan kering broiler sebagaimana rekomendasi Blair et al. (1990), dimana kecernaan bahan kering broiler fase finisher berkisar pada angka 50 – 80%. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk meneliti penggantian ransum komersial dengan maggot pada pakan sebagai sumber protein untuk kecernaan broiler.

MATERI DAN METODE

Materi

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat yaitu yang pertama di Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali dan yang kedua di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang berlangsung selama 3 bulan.

Broiler

Penelitian ini menggunakan 64 ekor broiler berumur satu hari (DOC) produksi PT. Charoen Phokpand Indonesia Tbk dengan bobot badan yang homogen dan tidak membedakan jenis kelamin (unisex).

Ransum dan air minum

Ransum yang diberikan pada penelitian ini adalah ransum komersial S11 (umur 11-21 hari), dan S12 (umur 22-35 hari) yang diproduksi oleh PT. Charoen Phokphand Indonesia, Tbk. Pemberian ransum dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari yaitu pada pukul 08:00 Wita dan pukul 16:00 Wita. Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum yang bersumber dari PDAM dengan tempat air minum yang digunakan terbuat dari plastik dengan kapasitas 3 liter yang berada pada setiap unit kandang. Sebelum pemberian air minum dilakukan pembersihan pada tempat air minum. Ransum yang diberikan sesuai dengan komposisi bahan penyusun ransum yang sudah tertera pada tabel. Kandungan nutrient ransum starter dan finisher masing – masing disajikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 1. Komposisi ransum fase starter broiler umur 11-21 hari

Ransum

P0

P1

P2

P3

S11

100%

95%

90%

85%

Maggot

0%

5%

10%

15%

Total

100%

100%

100%

100%

Keterangan :

1. P0 sebagai kontrol

2. P1 ransum S11 ditambah 5% ulat maggot

3. P2 ransum S11 ditambah 10% ulat maggot

4. P3 ransum S11 ditambah 15% ulat maggot

Tabel 2. Komposisi ransum fase finisher broiler umur 22-35 hari

Ransum

P0

P1

P2

P3

S12

100%

95%

90%

85%

Maggot

0%

5%

10%

15%

Total

100%

100%

100%

100%

Keterangan :

1. P0 sebagai kontrol

2. P1 ransum S12 ditmabah 5% ulat maggot

3. P2 ransum S12 ditambah 10 % ulat maggot

4. P3 ransum S12 ditambah 15% ulat maggot

Tabel 3. Kandungan nutrient pada ransum starter

Komponen

Perlakuan(3)

Standar(2)

P0(1)

P1

P2

P3

Energi (kkal/kg)

3200

3227,75

3255,50

3283,25

Min 2900

Protein (%)

19,50

20,68

21,87

23,05

Min 19

Serat Kasar/SK (%)

4,00

5,833

5,766

6,649

Maks 6.0

Abu (%)

7,00

7,48

7,96

8,44

Maks 8.0

Kalsium Ca (%)

0,90

1,123

1,346

1,569

0.90-1.20

Fospor P (%)

0,60

0,614

0,628

0,642

Min 0.40

Keterangan:

1) Brosur makanan ternak Broiler PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk.

2) Standar nutrient menurut SNI (2006).

3) Perlakuan terdiri atas:

P0 sebagai kontrol

P1 ransum S12 ditambah 5% ulat maggot

P2 ransum S12 ditambah 10% ulat maggot

P3 ransum S12 ditambah 15% ulat maggot

Tabel 4. Kandungan nutrient pada ransum finisher

Komponen

P0(1)

Perlakuan(3)

Standar(2)

P1

P2

P3

Energi (kkal/kg)

3200

3227,75

3255,50

3283,25

Min 2900

Protein (%)

18,50

19,975

21,45

22,925

Min 18

Lemak Kasar/LK (%)

5,00

6,15

7,3

8,45

Maks 8.0

Serat Kasar/SK (%)

5,00

5,833

6,666

7,499

Maks 6.0

Abu s(%)

7,00

7,48

7,96

8,44

Maks 8.0

Kalsium Ca (%)

0,90

1,123

1,346

1,569

0.90-1.20

Fospor P (%)

0,60

0,614

0,628

0,642

Min 0.40

Keterangan:

1) Brosur makanan ternak Broiler PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk.

2) Standar nutrient menurut SNI (2006).

3) Perlakuan terdiri atas:

P0 sebagai control

P1 ransum S12 ditambah 5% ulat maggot

P2 ransum S12 ditambah 10% ulat maggot

P3 ransum S12 ditambah 15% ulat maggot

Maggot

Ulat maggot yang digunakan adalah ulat maggot kering yang dibeli dari peternak dengan harga Rp. 35.000/kg. Sebelum maggot dicampurkan pada ransum, maggot dihancurkan hingga berbentuk crumble. Adapun kandungan nutrisi pada ulat maggot tertera pada Tabel 5.

Kandang dan perlengkapan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang dengan sistem “postal”. Petak kandang memiliki ukuran Panjang 0,5m, lebar 0,5 m, dan tinggi 0,5 m dengan atap dari asbes. Masing-masing sekat terbuat dari triplek dan diisi 4 ekor broiler serta dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Tempat pakan dan air minum terbuat dari plastik dengan kapasitas air minum 1 liter dan pakan 1 kg yang berada dalam petak kandang. Penempatan tempat pakan dan air minum berada dalam kandang dengan cara digntung. Penerangan kandang menggunakan lampu penerangan dan berfungsi untuk menjaga suhu kandang agar tetap hangat. Pada bagian bawah kandang dilapisi dengan kapur dan ditutupi sekam padi dan dilapisi plastik atau koran dan dilepas pada umur 7 hari serta dilakukannya penebaran sekam setiap tiga hari sekali.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer sebagai pengukur suhu, ember, kain sebagai penutup kandang, pisau, nampan, talenan, timbangan analitik, koran sebagai alas kandang dan alat tulis untuk mencatat data yang diperoleh serta alat-alat laboratorium selama penelitian.

Tabel 5 Kandungan nutrisi maggot

Kandungan Nutrisi2)

Jumlah

Energi

3755 kkal/kg

Protein Kasar

48%

Bahan Kering

14%

Serat Kasar

5,89%

Lemak Kasar

31,76%

Kadar Air

86%

Abu

10,03%

Kandungan Mineral1)

Jumlah

P

0,88%

K

1,16%

Ca

5,36%

Mg

0,44%

Mn

348 ppm

Fe

776 ppm

Zn

271 ppm

Kandungan Asam Amino Esensial1)

Jumlah

Methionone

0,83%

Lysine

2,21%

Isoleucine

2,61%

Histidene

1,51%

Phenyllalanine

0,96%

Valine

2,23%

I-Arginine

1,77%

Threonine

1,41%

Trypyopan

0,59%

Sumber: 1) Newton et al. (2005)

2) Odesanya et al. (2011)

Metode

Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Tiap ulangan menggunakan 4 ekor broiler dengan berat yang homogen, sehingga total broiler yang digunakan adalah sebanyak 64 ekor. pemberian ransum S11 dilakukan selama 10 hari tanpa diberikan maggot, pada hari ke-11 sampai 21 diberikan S11 dengan ditambahkan ransum perlakuan:

P0 tanpa penambahan ulat maggot sebagai kontrol ;

P1 ransum dengan penggantian 5% pakan komersial dengan 5% maggot ;

P2 ransum dengan penggantian 10% pakan komersial dengan 10% maggot ;

P3 ransum dengan penggantian 15% pakan komersial dengan 15% maggot.

Pengacakan

Pengacakan dilakukan pada saat penelitian dimulai, untuk mendapat berat badan broiler yang homogen, maka sebanyak 100 ekor broiler ditimbang untuk mencari bobot badan rata-rata dan standar deviasinya, broiler yang akan digunakan adalah yang memiliki kisaran bobot badan rata-rata ± standar deviasinya sebanyak 64 ekor. Kemudian broiler akan disebar secara acak pada unit kandang yang berjumlah 16 unit kandang dengan jumlah broiler pada setiap unit yaitu 4 ekor.

Pemeliharaan

Sebelum DOC (Day Old Chick) masuk dilakukan persiapan kandang dan perlatan kandang setra sanitasi kandang terlebih dahulu. Pada awal kedatangan DOC, akan dilakukan penimbangan terlebih dahulu untuk mengetahui bobot awal DOC. Kemudian DOC diberikan larutan air gula pada tempat minum untuk meningkatkan energi pada ayam dan kemudian diganti menggunakan air biasa setelah 4 jam. Kemudian pada tempat pakan dimasukan campuran ransum sesuai dengan perlakuan. Pada dua minggu pertama pada setiap kandang dihidupkan lampu berdaya 15W selama 24 jam, sedangkan setelah dua minggu, lampu hanya dihidupkan pada malam hari saja. Pengontrolan pemberian pakan dan air minum dilakukan setiap hari. Pencegahan penyakit

Sistem biosecurity dilakukan pada awal penelitian yaitu dengan cara menyemprotkan formaldehyde keseluruh kandang. Penyemprotan formaldehyde dilakukan dua minggu sebelum broiler dimasukan ke kandang. Broiler dimasukan pertama kali ke kandang diberikan air gula sebelum pemberian vitamin yang digunakan adalah vita chicks. Pemberian vitamin dilakukan secara terjadwal.

Pengukuran kecernaan

Pengambilan data kecernaan dilakukan dengan metode koleksi total bersamaan dengan pengambilan sampel ransum. Koleksi total dilakukan pada akhir percobaan dengan mengambil waktu selama tujuh hari berturut-turut. Prosedur pengambilan sampel ekskreta sebagai berikut: sampel diambil sebanyak 200 gr setiap harinya lalu dikeringkan dibawah sinar matahari. Selanjutnya sampel dikumpukan dan dikomposit kemudian diambil sub sampel, berdasarkan perlakuan masing-masing sebanyak 100 - 200 gr. Sub sampel dibawa ke laboratorium untuk

dianalisis. Prosedur analisis penentuan Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO), Protein Kasar

(PK) dan Serat Kasar (SK) sesuai dengan metode “Assosiation of Official Analytic Chemist” (A.O.A.C., 1990).

Variabel yang diamati

Variabel yang akan diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  • 1.    Kecernaan Bahan Kering

Kecernaan bahan kering merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas ransum. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya (Afriyanti, 2008). Prinsip kerjanya yaitu air akan menguap apabila dipanaskan. Dengan pemanasan dalam jangka tertentu pada suhu diatas titik didih maka air akan menguap semuanya. Dengan menghitung pengurangan berat setelah dipanaskan kadar air dapat diketahui, atau dengan menimbang berat setelah pemanasan maka kadar bahan kering dapat diketahui. Penentuan bahan kering (BK) dapat dilakukan dengan menimbang berat sampel setelah pemanasan. Penentuan bahan kering sampel dapat dilakukan dengan cara mengeringkan sampel dengan oven selama 3 jam pada suhu 105 - 110 oC sampai bobot tetap lalu dinginkan dalam desikator selama 30 menit, timbang sebagai berat konstan cawan. Kedalam cawan masukkan sampel sebanyak 1 - 2 g, timbang sebagai bobot awal lalu tentukan bobot konstan cawan dan sampel dengan jalan oven selama 9 - 12 jam pada suhu 105 - 110 oC, dinginkan dalam desikator selama 30 menit dan timbang sebagai bobot akhir. Untuk meyakinkan bobot konstan oven lagi seperti diatas selama 2 jam pada suhu 135oC + 2 oC, kemudian timbang.

Kadar bahan kering dihitung dengan rumus:

Berat sebelum oven – berat setelah oven

Kadar air     =                                         x 100%

Berat sampel

Berat sampel setelah oven

Kadar bahan kering =                               x 100%

Berat sampel Penghitungan koefisien cerna dapat dilakukan sebagai berikut:

Kecernaan bahan kering (KCBK)

Konsumsi bahan kering – Bahan kering ekskreta

KCBK =                                       x 100%

Konsumsi bahan kering

  • 2.    Kecernaan Bahan Organik

Bahan organik akan teroksidasi secara sempurna menjadi produk gas bila dibakar pada suhu tinggi. Sisa yang tertinggal adalah abu dengan warna putih keabu-abuan. Sisa pembakaran ditimbang sebagai kadar abu. Warna sisa pembakaran kadang-kadang biru bila banyak unsur tembaga, dan hijau bila banyak unsur besi. Unsur mineral dalam abu adalah dalam bentuk oksida, sulfate, chlorida, phospate, silica, dan dapat menempel pada cawan porcelin. Penentuan bahan organik (BO) sampel dilakukan dengan cara menentukan berat konstan cawan dengan cara masukkan cawan ke dalam tanur selama 1 jam pada suhu 500 OC lalu dinginkan pada desikator selama 30 menit. Setelah itu timbang berat cawan kosong dan masukkan sampel 1-2 g lalu masukkan sampel dalam tanur listrik selama 3 jam pada suhu 500 OC, setelah itu dinginkan dalam desikator selama 30 menit selanjutnya timbang berat cawan + abu.

Kadar abu =


Berat abu

Berat sampel


x 100%


Penghitungan koefisien cerna dapat dilakukan sebagai berikut:

Kecernaan bahan organik (KCBO)

KCBO =


Konsumsi bahan organik — Bahan organik ekskreta Konsumsi bahan organik

  • 3.    Kecernaan Serat Kasar

Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin yang sebagian besar tidak dapat dicerna unggas dan bersifat sebagai pengganjal atau bulky (Wahju, 2004). Prinsip kerja kecernaan serat kasar yaitu setiap zat yang dapat larut dalam larutan asam lemah dan basa lemah dalam prosedur ini dapat dihilangkan. Yang tinggal dalam saringan adalah serat kasar dan abu. Serat kasar akan terbakar dalam tanur sehingga serat kasar didapat dari berat sebelum dan sesudah dibakar. Penentuan serat kasar (SK) sebagai berikut: timbang 1 g sampel ke dalam gelas piala tinggi 600 ml, tambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N, letakkan di atas penangas atau hot plate lalu didihkan selama 30 menit ,

tambahkan 25 ml NaOH 1,5 N dan terus didihkan selama 30 menit. Siapkan kertas saring bebas abu yang telah dikeringkan bersama cawan porselin dalam oven 105 - 110 OC, catat beratnya lalu saring dengan bantuan pompa vakum, lalu cuci berturut-turut dengan : Aquadest panas 50 ml, H2SO4 0,3 N 50 ml, Aquadest panas 50 ml , Alkohol 25 ml dan aceton 25 ml. Pindahlan kertas saring yang berisi residu ke dalam cawan porselin lalu keringkan dalam oven 105 - 110 OC selama 1 - 3 jam, timbang dan catat bobot tetapnya. Lanjutkan dengan pengabuan pada 400 – 600 oC selama 1 – 3 jam, didinginkan dalam desikator dan timbang (P.A.Astawa, 2017)

%Serat Kasar =


c — d — b

a


x 100%


Keterangan (a) Berat sampel g

Penghitungan koefisien cerna dapat dilakukan sebagai berikut:

Kecernaan serat kasar (KCSK)

konsumsi serat kasar — serat kasar ekskreta

KCSK =--:---—--:--- x 100%

konsumsi bahan serat kasar

  • 4.    Kecernaan Protein Kasar

Ikatan nitrogen suatu bahan akan dipecah dan diikat oleh asam sulfat pekat dalam bentuk amonium sulfat. Dalam suasana basa amonium sulfat akan melepas amonianya dan ditangkap oleh larutan asam. Dengan jalan titrasi kandungan nitrogen dapat diketahui.

Dasar reaksi:

katalis


(NH4)2SO4

2 NH4OH+ Na2SO4

NH3 + H2O

(NH4)3BO3

3 NH4Cl + H3BO3


Sampel +  H2SO4

(NH4)2SO4 + 2 NaOH

NH4OH

3 NH3 + H3BO3

(NH4)3BO3 + 3 HCl

Kadar protein kasar (PK) ditentukan dengan metode semi mikro "Kjeldahl" yang terbagi atas tiga fase yaitu:

  • a.    Fase destruksi : pada fase destruksi dapat dilakukan dengan cara memasukkan 1 g sampel kedalam labu kjeldahl lalu tambah 2 butir tablet katalis, masukkan 1 butir butiran gelas dan tambah 15 –20 ml asam sulfat pekat, destruksi dalam suhu rendah sampai asap hilang dan sampai jernih. Lanjutkan pemanasan 15 menit lagi, bilas dan pindahkan secara kuantitatif ke labu ukur 50 ml.

  • b.    Fase destilasi : panaskan alat destilasi markham sampai tertampung 25 ml cairan lalu masukkan 5 ml cairan destruksi, tambah 10 ml natrium hidroksida 50%. Tampung dengan 5 ml asam borak 2% yang sudah dicampur dengan indikator ( 1 L asam borak 2% + 20 ml 0,1% Brom Chresol Green + 4 ml 0,1% Metyl Red ), destilasi sampai tertampung 25 ml lalu bilas ujung kondensor.

  • c.    Fase titrasi: Titrasi hasil destilasi dengan asam khlorida 0,1 N sampai titik akhir titrasi.

0,1 x ( ml titrasi sampel — ml titrasi blanko ) x 14 x 6,25 x 10

------------7----------x 100%

mg sampel

Keterangan :

Normalitas asam titrator                      : 0,1

mg equivalen nitrogen                       : 14

faktor protein                                  : 6,25

pengenceran hasil destruksi 50/5              : 10 kali

ml untuk titrasi sampel                      : ........ml

ml untuk titrasi blanko                        : ........ml

kadar protein kasar (%)                     : ........%

Penghitungan koefisien cerna dapat dilakukan sebagai berikut:

Koefisien cerna protein kasar (KCPK)

Konsumsi protein – Protein feses

KCPK =                                        x 100%

Konsumsi protein

Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian penggantian ransum komersial dengan maggot sebanyak 5% (P1), 10% (P2), dan 15% (P3) tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh penambahan ransum komersial dengan maggot terhadap kecernaan

broiler

Variabel

Perlakuan1) (%)

SEM2)

P0

P1

P2

P3

KcBK

70,42a3)

77,29a

76,77a

76,83a

3,06

KcBO

69,2a

77,42a

72,13a

71,91a

2,40

KcSK

38,00a

30,53a

32,78a

32,80a

2,49

KcPK

70,02a

77,36a

76,66a

73,29a

2,83

Keterangan:

1.  P0: Ayam yang diberikan ransum tanpa penambahan ulat maggot

P1: Ayam yang diberi 95% ransum komersial ditambah 5% ulat maggot

P2: Ayam yang diberi 90% ransum komersial ditambah 10% ulat maggot

P3: Ayam yang diberi 85% ransum komersial ditambah 15% ulat maggot

2. SEM: “Standard Error of the Treatment Mean”

3. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05)

Kecernaan bahan kering (KcBK)

Hasil penelitian penambahan maggot pada ransum broiler menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dari broiler pada perlakuan P0 (kontrol/tanpa penambahan maggot) adalah 70,42 % (Tabel 6), rataan kecernaan bahan kering broiler yang mendapatkan 5% maggot pada ransum (P1), 10% maggot (P2), dan 15% maggot (P3) masing-masing 9,76%, 9,02% dan 9,10% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan ayam tanpa pemberian maggot pada ransum (P0). Kecernaan bahan kering ayam dengan pemberian 10% maggot (P2) memperoleh hasil sebesar 0,67% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan pemberian maggot 5% maggot (P1), dan pemberian 15% maggot (P3) memperoleh hasil sebesar 0,67% tidak berbeda nyata (P>0.05) lebih rendah dibandingkan pemberian maggot 5% maggot (P1), dan pemberian 15% maggot memperoleh hasil sebesar 0,60% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian maggot 5% (P1). Kecernaan bahan kering dengan penambahan 15% maggot (P3) memperoleh hasil 0,08% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan broiler yang mendapatkan 10% maggot (P2).

Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah kandungan zat- zat makanan yang dapat diserap tubuh. Bahan pakan terdiri dari dua komponen utama yaitu air dan bahan kering (Saelan et al., 2019). Rerata kecernaan bahan kering broiler selama penelitian berturut-

turut dari P0, P1, P2 dan P3 adalah 70,42; 77,29; 76,77; dan 76,83% (Tabel 6). Hasil analisis menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering keempat macam perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Penggantian ransum komersial dengan maggot terhadap kecernaan bahan kering masih memberikan hasil yang sama. Hal tersebut disebabkan karena pakan komersial S11 dan S12 yang digunakan memiliki formulasi ransum yang sudah baik dan penggantian 5%, 10% dan 15% masih bisa mempertahankan kecernaan bahan kering karena suplai nutriennya bisa seimbang. Banyaknya kandungan bahan kering yang dicerna berhubungan dengan banyaknya kandungan nutrien yang terserap. Tillman et al., (1998) mengemukakan bahwa bahan kering yang diekskresikan dalam feses merupakan zat-zat makanan yang tidak diserap tubuh.

Kecernaan bahan organic (KcBO)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik pada perlakuan ransum tanpa penambahan maggot (P0) adalah 69,2% (Tabel 6). Rataan kecernaan bahan organik dengan penambahan 5% maggot (P1), 10% maggot (P2) dan 15% (P3) masing-masing 11,88%, 4,23% dan 3,92% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandngkan broiler tanpa penambahan maggot pada ransum (P0). Kecernaan bahan organik broiler dengan pemberian 10% maggot (P2) dan 15% maggot (P3) memperoleh hasil sebesar 6,83% dan 7,12% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan dengan broiler yang diberi 5% maggot (P1). Kecernaan bahan organik dengan penambahan 15% maggot (P3) memperoleh hasil 0,31% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan broiler yang mendapatkan 10% maggot (P2).

Kecernaan bahan organik adalah kecernaan yang terdiri atas kecernaan karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Hasil penelitian kecernaan bahan organik broiler yang diberi penambahan maggot dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 6, terlihat bahwa rataan nilai kecernaan bahan organik pada penelitian ini berkisar antara 69,2 – 77,42%. Kecernaan bahan organik ransum dengan penggantian P1, P2, dan P3 memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan ransum P0. Hal ini membuktikan bahwa penggantian ransum komersial dengan maggot sampai taraf 15% memberikan hasil yang sama terhadap kecernaan bahan organik. Sutardi (1980) melaporkan bahwa peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi rendahnya kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik dipengaruhi oleh kecernaan dari komponen bahan organik,

yaitu protein, karbohidrat (BETN dan serat kasar) dan lemak. Guna mencapai daya cerna bahan organik yang optimal, nilai nutrien dari komponen bahan organik harus disesuaikan dengan kebutuhan ternak itu sendiri (Mangisah et al., 2006).

Kecernaan serat kasar (KcSK)

Rataan persentase kecernaan serat kasar pada broiler yang mendapat perlakuan ransum tanpa maggot (P0) adalah 38,00% (Tabel 6). Rataan persentase kecernaan serat kasar broiler yang mendapat perlakuan penambahan 5% maggot (P1), 10% maggot (P2) dan 15% maggot (P3) berturut-turut adalah 19,66%, 13,74% dan 13,68% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan broiler tanpa penambahan maggot (P0). Kecernaan serat kasar broiler dengan penambahan 10% maggot (P2) memperoleh hasil 13,74% tidak berbeda nyata (P>0.05) lebih rendah dibandingkan broiler yang diberi 5% maggot (P1) sedangkan serat kasar broiler dengan penambahan 15% maggot (P3) memperoleh 13,68% tidak berbeda nyata (P>0.05) lebih rendah dibandingkan broiler dengan 5% maggot (P1). Persentase kecernaan serat kasar broiler dengan penambahan 15% maggot (P3) memperoleh hasil 0,06% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan broiler yang memperoleh 10% maggot (P2).

Hasil penelitian kecernaan serat kasar broiler dengan penambahan maggot dalam ransum komersial dapat dilihat pada Tabel 6, terlihat nilai rataan kecernaan serat kasar pada penelitian ini berturut-turut dari P0, P1, P2, dan P3 adalah 38,00%, 30,53%, 32,78% dan 32,80%. Hasil analisis memperlihatkan bahwa penambahan maggot dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kecernaan serat kasar. Daya cerna serat kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktifitas mikroorganisme. Pada penelitian ini memberikan hasil yang sama terhadap kecernaan serat kasar disebabkan oleh kadar serat dalam pakan yang melebihi 5%. Kartadisastra (1994) menyebutkan bahwa penggunaan maksimum serat kasar dalam ransum broiler tidak lebih dari 5%. Jika persentase serat kasar berlebih dalam ransum maka akan menghambat penyerapan zat-zat makanan dalam tubuh broiler sehingga penelitian ini masih memberikan hasil yang sama terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Pada maggot mengandung senyawa antinutrisi yang disebut zat kitin yang mampu mengikat nutrien sehingga nutrien tidak dapat larut menjadi senyawa yang sulit diserap oleh sistem pencernaan broiler.

Kecernaan protein kasar (KcPK)

Hasil penelitian kecernaan protein kasar broiler yang mendapatkan perlakuan tanpa penambahan maggot (P0) adalah 70,02% (Tabel 6). Kecernaan protein kasar broiler yang mendapat penambahan 5% maggot (P1) dan 15% maggot (P3) memperoleh hasil 10,48% dan 4,67% tidak berbeda nyata (P>0.05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa penambahan maggot (P0). Sedangkan perlakuan penambahan 10% maggot (P2) memperoleh hasil 0,90% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan perlakuan tanpa penambahan maggot (P0). Persentase kecernaan protein kasar broiler yang mendapat penambahan 10% maggot (P2) memperoleh hasil yang sama dengan penambahan 5% maggot (P1) dan 15% maggot (P3) memperoleh hasil sebesar 5,26% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan perlakuan penambahan 5% maggot (P1). Hasil persentase kecernaan protein kasar dengan penambahan 15% maggot (P3) memperoleh hasil 4,40% tidak berbeda nyata (P>0.05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan penambahan 10% maggot (P2).

Hasil penelitian kecernaan protein kasar broiler yang diberi penambahan maggot dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 6, terlihat bahwa rataan nilai kecernaan protein kasar pada penelitian ini berkisar antara 70,02 – 77,36%. Hasil analisis penambahan maggot dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kecernaan protein kasar. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu tingkat pemberian pakan, spesies hewan, suhu, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi pakan, kandungan serat kasar bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran pencernaan meskipun tidak konsisten. Dalam penelitian ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil yang sama terhadap kecernaan protein yaitu kandungan serat kasar dalam pakan dan zat antinutrisi dalam pakan. Dalam setiap perlakuan juga mengandung komposisi nutrien yang sama walaupun ada sedikit peningkatan protein namun dalam batas non signifikan. Menurut Ranjhan (1980) kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam ransum namun Rambet et al., (2016) menerangkan bahwa protein merupakan bagian bahan organik sehingga apabila koefisien cerna bahan organik meningkat maka koefisien cerna protein kasar juga akan meningkat, begitu juga sebaliknya. Guna mencapai daya cerna protein yang optimal, nilai nutrisi dari protein harus disesuaikan dengan kebutuhan ayam itu sendiri.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggantian ransum broiler dengan maggot sampai dengan 15% memberikan hasil yang sama terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan serat kasar dan kecernaan protein kasar.

Saran

Penulis menyarankan agar melakukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang lebih maksimal lagi, sehingga dapat dijadikan acuan pada peternak untuk meningkatkan pendapatannya.

UCAPAN TERIMAKASI

Perkenankan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M. Eng, IPU., Dekan Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Bapak Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS., ASEAN Eng. Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Ibu Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani, S,Pt., MP., IPM., ASEAN Eng. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Blair, G. J,Ensiminger, M. E., dan W. W. Heinemman. 1990. Poultry Meat Feed and Nutrition. 2ndEd The Ensminger Publishing Company, California.

Bidura, I.G.N.G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. UPT. Penerbit Universitas Udayana, Denpasar.

Cickova H,G. L. Newton., R. C. Lacy., M.Kozánek. 2015. The use of fly larvae for organic waste treatment. Waste Manag. 35:68-80.

Depawole, R. R., & Sudarma, M. A. (2020). Pengaruh pemberian level protein berbeda terhadap performans produksi itik umur 2-10 minggu di Sumba Timur. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 15(3), 320-326.

Fitasari, E., Reo, K. dan Niswi, N., 2016. Penggunaan kadar protein berbeda pada ayam kampung terhadap penampilan produksi dan kecernaan protein. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 26 (2), 73–83.

Kartadisastra, H. R. (1994). Management of Chicken Feed. Kanisius. Yogyakarta.

Mangisah, I., Tristiarti, W. Murningsih, M.H. Nasoetion, E.S. Jayanti dan Y. Astuti. 2006. Kecernaan nutrien eceng gondok yang difermentasi denganAspergillus nigerpada ayam broiler. J. Indon. Trop. Anim. Agric., 31(2):124-128.

Newton GL, Sheppard D.C.,Watson D.W., Burtle G.J., Dove C.R. 2005. Using The Black Soldier Fly, Hermetia illucens, As a Value-Added Tool For the Management of Swine. Director of the Animal and Poultry Waste Managmenent Center North Carolina State University, Raleigh, NC.

Nuriyasa, I.M. 2003.Pengaruh Tingkat Kepadatan dan Kecepatan Angin Dalam Kandang Terhadap Indeks Ketidaknyamanan dan Penampilan Ayam Pedaging. Majalah Ilmiah Peternakan, Fakultas Peternakan, Unud. Hal 99-103.

Odesanya, B. O., S. O. Ajayi, B. K. O. Agbaogun, and B. Okuneye. (2011). Comparative evaluation of nutritive value of maggots. Int. J. Sci. Eng. Res. 2(11): 1-5.

P. A. Astawa, 2017. Penambahan Perasan Kunyit (Curcuma domestika Val) Dalam Ransum Terhadap Produkstivitas babi Bali. Disertasi. Prodi S3 Peternakan UNUD.

Pradana, B. 2021. Pemberian Tepung Maggot (black soldier fly) Sebagai Pengganti Tepung Ikan terhadap Karkas Ayam Broiler.

Rambet V., J.F. Umboh, Y.L.R Tulung, dan Y.H.S. Kowel. 2016. Kecernaan protein dan energi ransum broiler yang menggunakan tepung Maggot (Hermetia illucens) sebagai pengganti tepung ikan. Zootec 36(1): 13-22.

Rambet, V., Umboh, J. F., Tulung, Y. L. R., & Kowel, Y. H. S. 2015. Kecernaan protein dan energi ransum broiler yang menggunakan tepung maggot (Hermetia illucens) sebagai pengganti tepung ikan. Zootec, 36(1), 13-22.

Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrion and Feeding Practice In India. New Delhi: Vikan Pub. 3738.

Rizkinta, G. 2020. Pemberian Ulat Maggot BSF Terhadap Performance Ayam Kampung Joper Umur 1 Sampai 90. Kumpulan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas sains dan Tekhnologi, 2(2), 109-109.

Saelan, E., & Nurdin, A. S. (2019). Uji kimia tepung daun kersen (Muntingia calabura) dan implementasinya dalam ransum Ayam Broiler terhadap nilai kecernaan. Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran, 19(2), 108-112.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia. Pustaka Utama, Jakarta.

Sudrajat SD. 2000. Potensi dan prospek bahan pakan lokal dalam mengembangkan industri peternakan di Indonesia. Seminar nasional pada dies NatalisUGM Yogyakarta.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu NutrisiJilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Teguia, A., M. Mpoame, J.A. Okourou Mba. 2002. The production performance of broiler birds as affected by the replacement of fish meal by maggot meal in the starter and finisher diets. Tropicultura.

Tillman, A., Hartadi, H., Reksohadiprodjo, S., Prawirokusumo, S., dan Lebdosoekodjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta.

Dewi, N. K. S. P., Peternakan Tropika Vol. 12 No. 1 Th. 2024: 557 – 575

Page 575