ISSN 2722-7286

Jurnal

FAPET UNUD


Jurnal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: [email protected]

Submitted Date: May 26, 2022

Accepted Date: January 3, 2023


Editor-Reviewer Article : I Made Mudita & Eny Puspani

PENGARUH PENGGANTIAN SEBAGIAN RANSUM KOMERSIAL DENGAN RANSUM NON KOMERSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR ISA BROWN

Fikgiannisa, V. T., A. A. P. P. Wibawa, dan I P. A. Astawa

PS. Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: [email protected] , Tlp. +62 821-3129-7375

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh penggantian sebagian ransum komersial dengan ransum non komersial terhadap produktivitas ayam petelur isa brown. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan menggunakan 10 ekor ayam pada tiap-tiap ulangan. Keempat perlakuan tersebut adalah P0 : ayam diberikan ransum komersial PL241, P1 : ayam diberikan ransum non komersial (komposisi 1), P2 : ayam diberikan ransum non komersial (komposisi 2), dan P3 : ayam diberikan ransum non komersial (komposisi 3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh penggantian sebagian ransum komersial dengan ransum non komersial terhadap produktivitas ayam petelur isa brown mendapatkan hasil yang sama pada konsumsi ransum di semua perlakuan, pada perlakuan P1 mendapatkan hasil Hen Day Production (HDP), berat telur total, berat telur rata-rata, dan konversi ransum yang sama dengan perlakuan P0. Kemudian pada perlakuan P2 dan P3 mendapatkan hasil Hen Day Production (HDP), berat telur total, dan berat telur rata-rata yang lebih rendah dibandingkan perlakuan P0, sedangkan pada konversi ransum mendapatkan hasil yang lebih tinggi daripada perlakuan P0. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ransum non komersial 1 (P1) dapat digunakan sebagai pakan alternatif dilihat dari hasil penelitian yaitu mendapatkan hasil pada konsumsi ransum, Hen Day Production (HDP), berat telur total, dan berat telur rata-rata, dan konversi ransum yang sama dengan ransum komersial P0, sehingga dengan penggantian sebagian ransum komersial dengan ransum non komersial terhadap produktivitas ayam petelus isa brown perlakuan ransum non komersial P1 ini sangat cocok untuk digunakan.

Kata kunci: Ayam Petelur Isa Brown, Ransum non komersial, Produktivitas.

THE EFFECT OF REPLACEMENT OF COMMERCIAL RATIO WITH NON-COMMERCIAL RATIO ON LAYER PRODUCTIVITY ISA BROWN

ABSTRACT

This study aims to determine how the effect of partial replacement of commercial rations with non-commercial rations on the productivity of laying hens isa brown. The design used in this study was a completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 4 replications using 10 chickens in each replication. The four treatments were P0: chickens were given a commercial ration PL241, P1: chickens were given non commercial rations (composition 1), P2: chickens were given non-commercial rations (composition 2), and P3: chickens were given non-commercial rations (composition 3). The results showed that the effect of partial replacement of commercial rations with non-commercial rations on the productivity of laying hens was a brown got the same results on feed consumption in all treatments, in treatment P1 the results of Hen Day Production (HDP), total egg weight, average egg weight, and the same ration conversion as the P0 treatment. Then in treatment P2 and P3 the results of Hen Day Production (HDP), total egg weight, and average egg weight were lower than P0 treatment, while the ration conversion got higher results than P0 treatment. based on the results of the study it can be concluded that non-commercial ration 1 (P1) can be used as an alternative feed seen from the results of the study, namely getting results on ration consumption, Hen Day Production (HDP), total egg weight, and average egg weight, and ration conversion which is the same as the commercial P0 ration, so that by partially replacing the commercial ration with a non-commercial ration on the productivity of laying hens isa brown, the P1 non-commercial ration treatment is very suitable for use.

Keywords: Isa Brown Laying Hens, Non-Commercial, Productivity.

PENDAHULUAN

Ayam petelur pada umumnya merupakan salah satu penghasil protein hewani yang cepat dan relatif murah jika dibandingkan dengan yang lainnya. Telur memiliki kelebihan yaitu kandungan gizi yang tinggi dan memiliki harga yang relatif murah dibandingkan dengan sumber protein yang lainnya (Idayanti et al., 2009). Namun keberhasilan produktivitas ayam petelur ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kualitas pullet, manajement pemeliharaan, dan pakan. Pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak baik dari segi kualitas dan kuantitasnya sangat menentukan produktivitas tlur yang dihasilkan. Nilai standar produktivitas ayam ayam petelur dapat ditentukan oleh konsumsi ransum, hen day production (HDP), konversi ransum dan mortalitas.

Di Indonesia ada beberapa jenis train yaitu strain ayam petelur lohman brown, Strain petelur hyline brown, dan strain petelur isa brown. Ayam petelur isa brown adalah jenis ayam Fikgiannisa, V. T., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 1 Th. 2023 : 146 – 158 Page 147

petelur yang dikembangkan oleh Institute de Selection Animale (ISA) di Perancis yang dikembangkan sejak tahun 1978. Ayam isa brown adalah jenis ayam petelur yang banyak diternakkan di Indonesia karena kekebalan tubuh, daya tahan, serta produktivitas yang tinggi dan pertumbuhan yang baik menjadi suatu kelebihan dari ayam jenis ini (Ardiansyah et al., 2013). Ayam petelur ini mempunyai tahap periode pertumbuhan dari fase starter, fase grower, dan fase layer. Ayam petelur di fase layer adalah ayam dewasa yang sedabng menjalani masa bertelur atau masa produksi (Purwaningsih, 2014).

Manajemen ransum pada peternakan ayam petelur sangat berpengaruh besar terhadap produktivitas telur namum memiliki harga ransum yang relatif mahal dan meningkat setiap tahunnya. Manajemen pemeliharaan dan kandungan nutrisi ransum yang baik memiliki peranan yang sangat penting terhadap produksi dan pertumbuhan ternak tersebut (Pamungkas et al., 2013; Ambara et al., 2013). Pada faktor pemberian ransum, ternak dapat tumbuh dengan cepat dan dapat bertelur sesuai dengan kemampuannya, namun ayam petelur umumnya sangat sensitif dengan perubahan kualitas ransum yang diberikan dan akan berpengaruh pada produktivitas telur begitupun pada perubahan suhu, dan lingkungan. Umumnya para peternak ayam petelur menggunakan ransum komersial yang praktis untuk digunakan dan tersedia dimana-mana sehingga mudah untuk diperoleh namun harganya yang relatif mahal.

Ransum komersial adalah campuran dari beberapa bahan pakan yang sudah disusun dengan formulasi tertentu dan, disusun sesuai dengan kebutuhan ternak sesuai dengan fasenya. Ransum komersial memiliki beberapa keunggulan seperti komposisi kandungan nutrisi yang sudah sesuai dengan kebutuhan ternak, mudah di dapatkan, tersedia dimanamana, dan lebih praktis. Namun ransum komersial memiliki harga yang relatif lebih mahal dibandingan dengan ransum non komersial. Sehingga pada penelitian ini pembuatan ransum non komersial merupakan solusi yang tepat terhadap harga ransum komersial yang relatif lebih mahal agar lebih menghemat biaya produksi karena biaya produksi dan pemeliharaan 70% dipengaruhi oleh biaya pakan. Ransum non komersial adalah ransum yang dicampur sendiri dengan komposisi tertentu sesuai keinginan dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan ternak serta harganya yang lebih murah dibandingkan dengan ransum komersial. Mampioper et al. (2008) dengan menyusun formulasi ransum menggunakan ketersediaan bahan pakan lokal sangatlah penting untuk mengurangi ketergantungan dari peternak akan penggunaan ransum komersial. Dengan membuat ransum sendiri memiliki potensi tersedianya sumber

ransum yang melimpah dengan harga bahan penyusun ransum yang lebih terjangkau seperti jagung, tepung ikan dan dedak padi yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk lebih menghemat biaya ransum. Menurut Suberkti (2012) menyusun ransum ayam petelur harus memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh ayam tersebut adalah hal yang paling penting. Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian pengaruh penggantian sebagian ransum komersial dengan ransum non komersial terhadap produktivitas ayam petelur isa brown.

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan, yaitu mulai dari persiapan, pengambilan data hingga analisis data yang dilakukan dari 10 Oktober 2021 - 10 Januari 2022.

Ayam Petelur

Ayam petelur yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam petelur jenis isa brown yang berumur 70 minggu sebanyak 160 ekor, pada penelitian ini terdapat 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan 10 ekor ayam pada tiap-tiap ulangan yang diproduksi oleh PT. Charoen PokPhand, tbk.

Kandang

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah sistem kandang baterai coloni yang dibuat permanen dari kawat sebanyak 80 petak. Setiap petak kandang ini dibuat dengan ukuran panjang 35 cm, lebar 30 cm, tinggi depan 37 cm, dan tinggi belakang 30 cm. Semua petak kandang terletak pada sebuah bangunan dengan atap asbes dan alas beton. Setiap deret kandang dilengkapi dengan tempat pakan yang terbuat dari pipa paralon dan tempat minum otomatis (nipple). Bagian bawah kandang dengan alas beton ditaburi serbuk gergaji kayu guna untuk mengurangi bau kotoran ayam dan untuk mempermudah pada saat pembersihan kotoran ayam tersebut.

Ransum

Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum komersial jenis piala (PL241) dan Ransum Konvensional yaitu jagung, dedak padi, tepung ikan, mineral, Konsentrat (KLK) dan Pakan Broiler 1. Komposisi kandungan bahan penyusun ransum adalah seperti pada Tabel 1 dan kandungan zat gizi ransum perlakuan pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi kandungan penyusunan ransum ayam ras petelur.

Ransum (%)

Ransum Perlakuan1)

P0

P1

P2

P3

Piala (PL 241)

100

30

29

28

Konsentrat (KLK)2)

-

10

9

8

Pakan Broiler 13)

-

10

9

8

Jagung

-

30

31,6

32,7

Dedak Padi

-

10

11

12

Tepung ikan

-

9,5

10

11

Mineral

-

0,5

0,4

0,3

TOTAL

100

100

100

100

Keterangan :

1. P0 = Ransum komersial atau ransum piala produksi PT. JAPFA COMFEED INDONESIA, Tbk. (PL 241)

P1 = Ransum non komersial 1

P2 = Ransum non komersial 2

P3 = Ransum non komersial 3

2. Konsentrat (KLK) produksi PT. JAPFA COMFEED INDONESIA Tbk.

3. Pakan Broiler 1 produksi PT. JAPFA COMFEED INDONESIA Tbk.

Tabel 2. Kandungan zat gizi ransum perlakuan

Kandungan zat gizi ransum                     Ransum Perlakuan

P01)

P12)

P2

P3

Standar3)

Energi termetabolis (kkal/kg)

2900

2825

2802

2723

2900

Protein kasar (%)

18,5

18,9

17,9

17,9

18,5

Lemak kasar (%)

3

5

7

5

5 – 10

Serat kasar (%)

6

4

7

9

4 – 9

Ca (%)

4

4

4

4

3,5 – 4

Abu (%)

14

10

12

13

14

Fosfor (%)

0,45

0,5

0,48

0,45

0,45-0,5

Air (%)

12

10

9

9

12

Keterangan :

1. Perlakuan P0 berdasarkan brosur PT. JAPFA COMFEED INDONESIA Tbk.

2. Ransum perlakuan P1,P2,P3 analisa proksimat Lab nutrisi dan makanan ternak Sudirman, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

3. Standar Scott et al., (1982)

Peralatan

A.    Timbangan Digital

Penelitian ini menggunakan timbangan digital dengan kapasitas 1 kg yang digunakan untuk menimbang telur ayam setiap harinya selama melakukan penelitian dan digunakan untuk menimbang sisa ransum yang telah diberikan pada ayam.

  • B.    Egg Tray

Penelitian ini juga menggunakan egg tray yang bahannya terbuat dari karton yang berkapasitas 30 butir. Egg tray ini digunakan untuk meletakkan telur ayam dari kandang sesuai dengan perlakuannya.

  • C.    Alat Tulis

Alat tulis digunakan untuk mencatat semua data yang diperoleh selama penelitian seperti berat telur, konsumsi ransum, dan lain sebagainya.

Rancangan Penelitian

Rancangan yang dilakukan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan menggunakan 10 ekor ayam pada tiap-tiap ulangan. Keempat perlakuan tersebut adalah Perlakuan P0: ayam diberikan ransum komersial, Perlakuan P1: ayam diberikan ransum non komersial (komposisi 1), Perlakuan P2: ayam diberikan ransum non komersial (komposisi 2), Perlakuan P3: ayam diberikan ransum non komersial (komposisi 3).

Pemberian Ransum dan Air Minum

Ransum diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari serta air minum diberikan secara ad libitum, setiap pemberian ransum harus dicatat pada saat pemberian dan sisa ransum untuk mengetahui jumlah ransum yang dikonsumsi.

Variabel

1.    Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dikonsumsi setiap hari. Dapat dihitung dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan ransum sisa.

Konsumsi ransum = ransum yang diberikan - ransum sisa

  • 2.    Hen Day Production (HDP)

Produksi telur harian adalah membandingkan produksi telur yang diperoleh dengan jumlah ayam yang hidup. Persentase produksi telur dihitung dengan rumus berikut : HDP = produksi telur yang diperoleh per hari / jumlah ayam × 100%.

  • 3.    Berat Telur Total

Berat telur total dapat dihitung dengan menimbang telur dari jumlah telur total yang dihasilkan setiap hari. Timbangan yang digunakan yaitu dengan ketelitian 0,001g.

  • 4.    Berat Telur Rata-rata

Berat telur rata-rata adalah rata-rata berat telur yang dihasilkan ayam selama penelitian.

Berat telur rata-rata dapat diperoleh dari total berat telur pada 4 perlakuan tiap ulangan / jumlah telur.

  • 5.    Konversi Ransum

Konversi ransum adalah banyak ransum yang dihabiskan untuk menghasilkan produksi telur setiap kilogram (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Rumus konversi ransum :

Konversi ransum = ransum yang dikonsumsi (kg) / bobot telur (kg).

Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda. Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian konsumsi ransum, Hen Day Production (HDP), berat telur total, berat telur rata-rata dan konversi ransum pada ayam petelur yang diberikan ransum komersial dan ransum non komersial dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil produktivitas ayam petelur yang diberikan ransum komersial dan

ransum non komersial

Variabel

P0

Perlakuan1)

P1        P2

P3

SEM2)

Konsumsi Ransum (g/ekor/30hari)

3540,00a3)

3502,50a

3555,00a

3562,50a

16,49

HDP (%)

87,08a

87,83a

84,59bc

83,92c

0,69

Berat Telur Total (g/ekor/30hari)

1637,43ab

1655,51a

1589,89b

1527,53c

19,20

Berat Telur Rata-Rata (g/butir)

62,68a

62,84a

62,64a

60,68b

0,53

Konversi Ransum

2,16bc

2,12c

2,24ab

2,34a

0,03

Keterangan :

1.   P0 = Ransum komersial atau ransum piala produksi PT. JAPFA COMFEED INDONESIA, Tbk. (PL

241)

P1 = Ransum non komersial 1

P2 = Ransum non komersial 2

P3 = Ransum non komersial 3

2.    SEM “ Standar Error Of The Treatment Means

3. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai konsumsi ransum yang diperoleh adalah 3540,00 g/ekor/30hari pada perlakuan ransum komersial (P0) sebagai kontrol, 3502,50 g/ekor/30hari pada perlakuan ransum non komersial 1 (P1), 3555,00 g/ekor/30hari pada perlakuan ransum non komersial 2 (P2), dan 3562,50 g/ekor/30hari pada perlakuan ransum non komersial 3 (P3) (Tabel 3). Secara statistik pada konsumsi ransum mendapatkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Pengaruh yang tidak nyata ini dipengaruhi oleh kandungan energi dalam ransum

hampir sama dan kandungan nutrisinya yang sama. Konsumsi ransum pada ayam petelur pada perlakuan P1 tergolong sangat baik dengan nilai rata-rata 118,5 g/ekor/hari. Hendrix Genetics Company (2011), menyatakan bahwa konsumsi ransum ayam petelur isa brown adalah 112 g/ekor/hari, yang artinya pada ayam petelur yang diberikan ransum non komersial pada perlakuan P1 memerlukan lebih sedikit ransum untuk memproduksi sebuah telur. Jumlah nutrisi yang berbeda pada ransum akan mempengaruhi produktivitas telur yang dihasilkan. Sesuai dengan pernyataan Rasyaf (2008), kebutuhan akan protein ayam petelur fase layer sebesar 17-18%. Untuk memenuhi kebutuhan pokok dan produksi telur yang optimal, dalam ransum harus tersedia; protein, energi, vitamin, mineral, dan air yang cukup. Sejalan dengan pernyataan (Sultoni et al., 2006) bahwa tinggi rendahnya kandungan energy ransum dapat mempengaruhi banyak sedikitnya konsumsi ransum.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai Hen Day Production (HDP) yang diperoleh adalah 87,08% pada perlakuan (P0) sebagai kontrol, 87,83% pada perlakuan ransum non komersial 1 (P1), 84,59% pada perlakuan ransum non komersial 2 (P2), dan 83,92% pada perlakuan ransum non komersial 3 (P3) (Tabel 4.1). Secara statistik pada Hen Day Production (HDP) mendapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Nilai Hen Day Production (HDP) dalam penelitian ini mendapatkan hasil yang sama antara perlakuan ransum komersial (P0) dan perlakuan ransum non komersial (P1) dimana hal ini dipengaruhi oleh konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata antara perlakuan (P>0,05) sehingga ransum non komersial (P1) akan lebih efisien penyerapannya untuk meningkatkan produksi telur perhari. Rataan Hen Day Production (HDP) yang tinggi memiliki nilai konversi ransum yang rendah, dengan pemberian ransum non komersial 1 (P1) memberikan pengaruh yang baik terhadap pemenuhan nutrisi pada ransum terutama kandungan protein. (Sultoni et al., 2006) menyatakan bahwa protein ransum yang dikonsumsi akan dipecah menjadi asam amino dan diserap oleh tubuh untuk disusun menjadi protein jaringan dan telur.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai berat telur total yang diperoleh adalah 1637,43 g/ekor/30hari pada perlakuan (P0) sebagai kontrol, 1655,51 g/ekor/30hari pada perlakuan ransum non komersial 1 (P1), 1589,89 g/ekor/30hari pada perlakuan ransum non komersial 2 (P2), dan 1527,53 g/ekor/30hari pada perlakuan ransum non komersial 3 (P3). Sedangkan nilai berat telur rata-rata yang diperoleh adalah 62,68 g/butir pada perlakuan (P0) sebagai kontrol, 62,84 g/butir pada perlakuan ransum non komersial 1 (P1), 62,64 g/butir pada perlakuan ransum non komersial 2 (P2), dan 60,68 g/butir pada perlakuan ransum non

komersial 3 (P3) (Tabel 3). Berat telur total dan berat telur rata-rata pada perlakuan ransum non komersial 1 (P1) mendapatkan hasil yang sama dengan ransum komersial (P0) sebagai kontrol, sedangkan pada perlakuan ransum non komersial 2 (P2) dan ransum non komersial 3 (P3) mendapatkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (P0) sebagai kontrol hal ini disebabkan oleh kandungan protein dalam ransum non komersial P2 dan P3 belum memenuhi standar kebutuhan ayam petelur isa brown dimana protein dalam ransum akan berperan dalam proses pembentukan telur. Secara statistik pada berat telur total dan berat telur rata-rata mendapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) dimana hal ini dipengaruhi oleh kualitas bagian dalam telur yang lebih cenderung mengikuti pola pertambahan berat telur, semakin meningkat berat telur semakin meningkat pula bagian-bagian dalam telur, hal ini di pengaruhi oleh zat nutrisi yang terkadung dalam ransum dan kesehatan (Sumayani et al., 2019). Saputra et al. (2016) menyatakan bahwa konsumsi ransum juga menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi bobot telur. Sesuai dengan pernyataan (Anggorodi, 1995), besarnya telur dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah umur, makanan yang dikonsumsi setiap hari, sifat genetik, obat-obatan, dan tingkat dewasa kelamin. Faktor makanan yang mempengaruhi besar telur adalah protein yang cukup dalam pakan. Berat telur juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya yaitu genetik, besar ayam, tahapan produksi, umur, dan nutrisi (Campbell et al., 2003). Ayam isa brown yang sudah berumur tua, maka fungsi biologis dan organ dalam tubuhnya akan menurun sehingga dapat menyebabkan penyerapan yang kurang optimal. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh (Hafez, 2000) produksi telur dari tahun ke tahun akan cenderung menurun seiring bertambahnya umur ayam tersebut. Albana (2014) menyatakan bahwa produksi telur yang tinggi berbanding terbalik dengan nilai konversi ransum.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai konversi ransum yang diperoleh adalah 2,16 pada perlakuan ransum komersial (P0) sebagai kontrol, 2,12 pada perlakuan ransum non komersial 1 (P1), 2,24 pada perlakuan ransum non komersial 2 (P2), dan 2,34 pada perlakuan ransum non komersial 3 (P3) (Tabel 3.). Konversi ransum pada perlakuan ransum non komersial (P1) mendapatkan hasil lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum komersial (P0) sebagai kontrol, sedangkan pada perlakuan ransum non komersial 2 (P2) dan perlakuan ransum non komersial 3 (P3) mendapatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P0). Secara statistik pada konversi ransum mendapatkan hasil yang berbeda berbeda nyata (P<0,05) dimana hal ini dipengaruhi oleh kandungan nutrisi ransum

yang diberikan, berat telur yang dihasilkan selama penelitian juga relatif lebih tinggi pada perlakuan ransum non komersial 1 (P1), selain itu dapat dipengaruhi juga oleh umur dan jenis ternak serta ransum yang digunakan. Dalam hal ini hasil konversi ransum yang berbeda nyata (P<0,05) juga karena ransum yang diberikan antar perlakuan adalah ransum dengan kandungan Energi Metabolisme (EM), Protein Kasar (PK), Serat Kasar (SK), mineral, dan feed suplement yang tidak sama. Berdasarkan hasil penelitian konversi ransum mendapatkan hasil terendah pada perlakuan ransum non komersial 1 (P1) dengan nilai 2,12. Tinggi rendahnya nilai konversi ransum tergantung keseimbangan nutrisi dan kandungan serat kasar dalam ransum. Pada perlakuan ransum non komersial P2 dan P3 memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan ransum komersial P0 dan ransum non komersial P1 hal ini menyebabkan kurang efisiennya penyerapan nutrisi dalam ransum sejalan dengan pernyataan (Bidura et al., 1996) bahwa peningkatan serat kasar memyebabkan laju aliran ransum dalam saluran pencernaan meningkat. Parameter terbaik untuk menilai mutu ransum adalah dengan melihat efisiensi penggunaan ransum tersebut, semakin rendah nilai konversi ransum maka semakin efisien dalam mengubah ransum menjadi telur, ransum yang efisien diperoleh dari kandungan nutrien yang seimbang seperti kandungan; protein, mineral, vitamin energi, Ca, dan P. Selaras dengan pernyataan Sultoni et al. (2006) bahwa fungsi dari perhitungan konversi ransum adalah untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan. Konversi ransum erat kaitannya dengan konsumsi ransum, bobot telur dan biaya produksi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian penggantian sebagian ransum komersial dengan ransum non komersial terhadap produktivitas ayam petelur isa brown dapat disimpulkan bahwa mendapatkan hasil yang sama pada konsumsi ransum di semua perlakuan, pada perlakuan P1 mendapatkan hasil Hen Day Production (HDP), berat telur total, berat telur rata-rata, dan konversi ransum yang sama dengan perlakuan P0. Kemudian pada perlakuan P2 dan P3 mendapatkan hasil Hen Day Production (HDP), berat telur total, dan berat telur rata-rata yang lebih rendah dibandingkan perlakuan P0, sedangkan pada konversi ransum mendapatkan hasil yang lebih tinggi daripada perlakuan P0.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa penggantian sebagian ransum komersial dengan ransum non komersial yang dapat digunakan sebagai pakan alternatif ternak adalah ransum non komersial 1 (P1) karena dapat dilihat dari hasil penelitian yaitu

mendapatkan hasil pada konsumsi ransum, Hen Day Production (HDP), berat telur total, dan berat telur rata-rata, dan konversi ransum yang sama dengan ransum komersial P0, sehingga dengan penggantian sebagian ransum komersial dengan ransum non komersial ini dapat digunakan untuk menekan harga ransum komersial yang relatif lebih mahal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir I Nyoman Gde Antara, M. Eng, IPU, Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir I Nyoman Tirta Ariana, MS., IPU. Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt., MP.,IPM., ASEAN Eng. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Albana, FH. I. 2014. Produktivitas Ayam Ras Dan Arab Menghasilkan Telur Omega-3 Yang Dipelihara Di Kandang Koloni Dan Individu. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Dan Teknologi Peternakan. Institute Pertanian Bogor.

Ambara, A. A., I. N. Suparta dan I. M. Suasta. 2013. Performan Itik Cili (Persilangan Itik Peking Itik Bali) Umur 1-9 Minggu Yang Diberi Ransum Komersial Dan Ransum Buatan Dibandingkan Itik Bali. Jurnal Peternakan Tropika. 1(1): 20- 33.

Anggorodi, R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Anggitasari dan Septiani. 2016. Pengaruh Beberapa Jenis Pakan Komersial Terhadap Kinerja Produksi Kuantitatif dan Kualitatif Ayam Pedaging. Buletin Peternakan, Volume 40 (3) : 187-196.

Bidura, I.G.N.G.,I.D.G.A. Udayana, I.M. Suasta dan T.G.B. Yadna. 1996. Pengaruh tingkat serat kasar ransum terhadap produksi dan kadar kolestrol telur ayam. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan, Unud, Denpasar.

Campbell, N. A., J. B Reece., dan L. G Mitchell. 2003. Biologi. Edisi Kelima. Alih Bahasa; Wasmen. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Freiji, T.S. And N.J. Daghir. 1982. Low protein, amino acid supplemented diet for laying hens. Poultry Science. 61: 1467.

Hafez, E. S. E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th ed. Lea & Febiger, Philadelphia.

Hendrix Genetic Company. 2011. Product Performance. ISA Brown, A Hendrix Genetic Company. https://elisnutri.files.wordpress.com

Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadya. Jakarta.

Lesson, C.R., T.S. Thomas., dan A. A Paparo. 1995. Buku Ajar Histologi. Edisi V. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Lokapirnasari, W. P., Soewarno, Dan Y. Dhammayanti. 2011. Potensi Crude Spirulina Terhadap Protein Efisiensi Rasio Pada Ayam Petelur. Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan Vol. 2, No 2 (38-49).

Nakajima, 1990. Re-Evaluasi of calcium and phosphorus requirement of laying hens foroptimum performance and egg shell quality.

Pamungkas, R., S. Ismoyowati dan S. A Santosa. 2013. Kajian bobot tetas, bobot badan umur 4 dan 8 minggu serta korelasinya pada berbagai itik lokal (Anas plathyrynchos) dan itik Manila (Cairina moscata) jantan. Jurnal Ilmiah Peternakan. 1(2): 488-500.

Rasyaf, M, 2008. Panduan beternak ayam petelur. Jakarta: Penebar Swadaya.

Purwaningsih, D. L. 2014. Peternakan aya ras petelur di kota Singkawang. J. mah. Ars. Universitas Tanjungpura. 2 (2):74-88

Saputra D.R., T. Kurtini, Dan Erwanto. 2016. Pengaruh Penambahan Feed Aditif Dalam Ransum Dengan Dosis Berbeda Terhadap Bobot Telur Dan Nilai Haugh Unit (HU) Telur Ayam Ras. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 4(3): 230-236.

Scott, M. L., M. C. Nesheim and R.J. Young.1982. Nutrition of the Chicken. 3 rd Ed. London: Mc. Grow-Hill Book Co. Inc.

Steel, C. J., dan J. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia, Jakarta.

Sumayani, N. K. E., G. A. M. K. Dewi, dan G. A.Y. Kencana. Kualitas Telur Ayam ISA Brown Umur 18-22 Minggu Pasca Divaksinasi Egg Drop Syndrome dan Diberi Ransum Dalam Jumlah yang Berbeda. Peternakan Tropika Vol. 7 No. 1 Th. 2019: 169 – 184.

Sultoni A., A. Malik dan W. Widodo. 2006. Pengaruh penggunaan berbagai konsentrat pabrik terhadap otimalisasi konsumsi pakan, han day production dan konversi pakan. Jurnal protein. 14(2): 103-107.

Subekti, E. 2012. Pengaruh Penambahan Vitamin C Pada Pakan Non Komersial Terhadap Efisiensi Pakan Puyuh Petelur. Mediagro. 8(1): 1-8.

Sundari, L. C., M. Srilestari dan H. I. Wahyuni. 2004. Komposisi lemak tubuh kelinci yang mendapat pakan pellet dengan berbagai aras lisin. Seminar Nasional dan Veteriner. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Suprijatna, E. 2010. Strategi pengembangan ayam lokal berbasis sumber daya lokal dan berwawasan lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Unggas Lokal ke IV. Semarang (Indonesia): Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. 55-88.

Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Ukachukwu, S. N., S. O. Uzoech and J. N. Obiefuna. 2007. Aspects of growth untuk ransum ayam buras. Balai Penelitian Ternak. Buku III. Ternak Unggas.

Weerden, E.J., J.B. Schutte, and H.L. Bertran. 1984. Comparison of D.L. methionine, D.L. methionine analogue free acid with layers. Poultry Sci. 63: 793- 1799

Fikgiannisa, V. T., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 1 Th. 2023 : 146 – 158     Page 158