PENURUNAN NYERI DAN DISABILITAS DENGAN INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUES (INIT) DAN MASSAGE EFFLEURAGE PADA MYOFASCIAL TRIGGER POINT SYNDROME OTOT TRAPESIUS BAGIAN ATAS
on
ISSN : 2302-688X
Sport and Fitness Journal
Volume 1, No. 1 : 60 – 71, Juni 2013
PENURUNAN NYERI DAN DISABILITAS DENGAN INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUES (INIT) DAN MASSAGE EFFLEURAGE PADA MYOFASCIAL TRIGGER POINT SYNDROME OTOT TRAPESIUS BAGIAN ATAS
By :
Veni Fatmawati
Program Studi Fisiologi Olahraga Universitas Udayana
ABSTRAK
Myofascia Trigger Point Syndrome (MTrPs) merupakan kumpulan titik picu nyeri yang terdapat pada otot muskuloskeletal. Faktor yang memperkuat dan pemicu munculnya MTrPs adalah adanya kontraksi otot yang berlangsung secara kontinu, sikap tubuh yang kurang baik, posisi atau gerakan tubuh yang salah dan penataan peralatan kerja yang kurang sesuai yang berakibat pada pola kerja yang tidak ergonomis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh integrated neuromusculer inhibition techniques (init) dan massage effleurage terhadap penurunan nyeri dan disabilitas pada myofascial trigger point syndrome otot trapesius bagian atas. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 34 orang yang diambil secara acak sederhana di masyarakat wilayah kerja Puskesmas 2 Kartosuro, Surakarta. Jumlah sampel masing-masing kelompok adalah 17 orang. Kelompok-1 diberikan integrated neuromusculer inhibition techniques dan kelompok-2 diberikan massage effleurage. Data berupa skala NDI diambil sebelum dan sesudah perlakuan. Kemudian data yang diperoleh diuji beda menggunakan bantuan program komputer SPSS versi 15.0. Hasil analisis data dengan paired sampel t-test menunjukkan bahwa pada subjek kelompok 1 sebelum perlakuan 48,35±6,68, sesudah perlakuan 25,94±5,87 dengan p sebesar 0,000 (p < 0,05). Sedangkan kelompok 2 hasil sebelum perlakuan 47,53±5,17, sesudah terapi 28,00±8,91 dengan p sebesar 0,000 (p < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelatihan integrated neuromusculer inhibition techniques (init) dan massage effleurage tidak ada perbedaan dalam menurunkan nyeri dan disabilitas pada myofascial trigger point syndrome otot trapesius bagian atas.
Kata Kunci: MTrPs, INIT, Massage effleurage
THE DECREASING PAIN AND DISABILITY WITH INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUES (INIT ) AND MASSAGE EFFLEURAGGE IN MYOFACIAL TRIGGER POINT OF UPPER TRAPEZIUS MUSCLE
Oleh :
Veni Fatmawati
Program Magister of Sport Physiology Udayana University
ABSTRACT
Myofascia Trigger Point Syndrome (MTrPs) is trigger point muscle happens in musculoskeletal. Factors which strengthen and trigger the emerge of MTrPs are the muscle contraction which happens continuously, poor body position, wrong body position or movement, poor occupation activity and 60
unsuitable workplace arrangement that affect the unergonomic work behavior. The objective of this reseacrh is to reveal the effectivity of integrated neuromuscular inhibition techniques (init ) and massage efflurage in decreasing pain and disability in myofasial trigger point of upper trapesius muscle. The subjects this research are 34 people which are taken randomly in Puskesmas 2 Kartosuro, Surakarta with 17 samples of each group. Group 1 is integrated neuromuscular inhibition techniques (init ) and group 2 is massage efflurage. The data used in this research is NDI scale taken before and after therapy. The data collected is processed by using differential test through computer base of SPSS 15.0 version. The data analysis by using paired sample t-test, in group 1 the data resulted before therapy is 48,35±6,68 and the data resulted after therapy is 25,94±5,87 with p = 0,000 (p < 0,05). Whereas in group 2, the resulted before therapy is 47,53±5,17 and the data resulted before therapy is 28,00±8,91 with p = 0,000 (p < 0,05). To conclude, based on the data resulted in this research, integrated neuromuscular inhibition techniques (init ) and massage effleurage are there is no difference decrease pain and disability in myofascial trigger point of upper trapezius muscle.
Keywords: MTrPs, INIT, Massage Efflurage
PENDAHULUAN
Nyeri leher juga menyebabkan tingkat morbiditas yang cukup tinggi yang berakibat terjadinya penurunan produktivitas kerja dan aktiviitas sehari-hari. Berbagai jenis pekerjaan dapat mengakibatkan nyeri leher terutama selama bekerja dengan posisi tubuh yang salah sehingga membuat leher berada dalam posisi tertentu dalam jangka waktu lama seperti pekerja yang sepanjang hari hanya duduk bekerja dengan komputer dan pekerja yang sering menggunakan beban yang berat (David, 1991).
Aktivitas kerja berlebihan akan menimbulkan efek kepada pekerja, seperti keluhan pada sistem otot (musculoskeletal) berupa keluhan rasa sakit, nyeri, pegal-pegal dan lainnya pada sistem otot (musculoskeletal) tendon, pembuluh darah, saraf dan lainnya yang
disebabkan oleh aktivitas kerja. Berdasarkan lokasi keluhan yang sering timbul pada pekerja adalah nyeri punggung, nyeri leher, nyeri pada pergelangan tangan, siku dan kaki (Departemen Kesehatan, 2004).
Pusat Kesehatan Kerja menyatakan tiga pertimbangan utama terjadinya gangguan leher pada waktu kerja, yaitu(1) beban pada struktur leher dalam waktu yang lama berkaitan dengan tuntutan yang tinggi dari pekerjaan dan kebutuhan stabilisasi daerah leher dan bahu dalam bekerja, (2) secara psikologis pekerjaan dengan konsentrasi tinggi, tuntutan kwalitas dan kwantitas secara umum mempengaruhi otot leher, (3) discus dan sendi pada leher sering mengalami perubahan degeneratif yang prevalensinya meningkat sesuai umur (Departemen Kesehatan, 2004).
Level yang paling ringan hingga yang berat akan mengganggu konsentrasi dalam
bekerja, menimbulkan kelelahan dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas. Untuk itu diperlukan suatu upaya pencegahan dan minimalisasi timbulnya keluhan pada muskuloskeletal di lingkungan kerja. Karena pencegahan tersebut akan memberikan manfaat seperti penghematan biaya, meningkatkan produktivitas, kualitas kerja serta meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan kepuasan kerja karyawan (Davied, 1991).
Menurut Rohmat (2000) Sindrom nyeri myofascial merupakan salah satu dari nyeri muskuloskeletal yang umum terjadi dan hampir 95% orang pernah mengalami nyeri myofascial. Sindrom myofascial trigger Point adalah sebuah spot kecil yang hiperiritasi, memusat, yang timbul di dalam taut band otot skeletal yang mengalami cidera atau beban kerja yang berlebihan dan terus menerus (statis). Penekanan spot ini menimbulkan nyeri setempat dan memberikan nyeri rujukan yang spesifik beserta fenomena otonomik dan disfungsi motorik dan sensoris (Ward, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Dommerholt, et al (2006) menunjukkan keluhan-keluhan nyeri yang dialami oleh klien banyak berhubungan dengan Trigger Points. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Simons (2002) mengatakan bahwa 98% kondisi nyeri terdapat pada musculoskeletal yang berasal dari otot yang sering mengacu pada Fibromyalgia
Syndrome (FS) dan Myofascial Trigger Point Syndrome (MTrPs) yang terdapat dalam serabut otot.
Simons (2002) menunjukkan bahwa 13 orang pada 8 daerah otot yang diteliti hanya satu orang yang tidak memiliki Trigger Point, 12 orang memiliki Trigger Point pada 8 daerah otot dengan penyebaran yang berbeda-beda. Melihat hal tersebut ternyata setiap orang sesungguhnya memiliki potensi Trigger Points baik bersifat aktif maupun pasif (laten). Penelitian yang dilakukan oleh Gerwin, et al (2004) terhadap 1504 sampel yang dipilih secara random dengan usia 30-60 tahun ditemukan 37% pria dan 65% wanita mengalami nyeri sindroma miofasial yang terlokalisir.
Dalam penelitian Nurmianto (1996) kasus trigger point banyak ditemukan pada pekerja kantoran, musisi, dokter gigi, operator komputer dan jenis profesi lain. Hal ini menurut Donmerholt, et al (2006) terjadi karena aktivitas kerjanya menggunakan Low Level Muscle Exertion. Salah satu resiko yang terkena pada aktivitas tersebut pada kelompok otot ektensor leher dalam hal ini otot trapesius bagian atas.
Tanda khas MTrPs adalah penurunan kekuatan otot yang berlangsung tiba-tiba, hal ini secara klinis berkaitan dengan Trigger Point (TP) dalam otot. Jika TP dilatenkan secara instan maka kekuatan otot akan kembali pulih, hal ini diduga akibat inhibisi komponen motorik
yang reversibel berasal dari level medulla spinalis (Gerwin, et al, 2004).
Menegakkan diagnosis MTrPs pada otot trapesius bagian atas meliputi anamnesis, inspeksi, palpasi flat dan palpasi pincer, ketukan, tes gerak dasar, tes khusus, lingkup gerak sendi (LGS), tes nyeri dan disabilitas dengan Neck Disability Index Questionnare yaitu suatu pengukuran dengan 10 seksi yang meliputi intensitas nyeri, perawatan diri, aktifitas mengangkat, membaca, keluhan sakit kepala, konsentrasi, bekerja, mengendarai, tidur dan rekreasi.
Pemeriksaan tambahan berupa faktor predisposisi MTrPs berasal dari mekanis, sistemik dan psikologi atau bahkan mungkin dari penyakit penyerta lainnya. Dimungkinkan tingkat keberhasilan tidak akan maksimal jika tidak melihat faktor yang memungkinkan, serta memastikan bahwa keluhan tersebut benar-benar akibat dari aktivasi TP.
Janda (1993) menyatakan dengan palpasi yang tersistemik akan bisa membedakan antara spame otot dan myofascial taut band walaupun tanpa tenderness otot adalah tanda utama dalam membedakan antara MTrPs dengan gangguan otot lainnya, pada tenderness yang muncul akibat MTrPs tidak bisa muncul tanpa keberadaan taut band.
Taut band akan dirasakan sebagai kekerasan yang abnormal dari sebuah atau
beberapa serabut otot saat dipalpasi. Trigger point dalam sebuat taut band akan bisa dirasakan dengan tehnik flat palpation maupun pincer palpation otot yang dapat terindentifikasi. Jika ditemukan Trigger Point maka langkah selanjutnya dilakukan tes untuk melihat atau menimbulkan LTR pada taut band dengan cara mengetuk tegak lurus pada Trigger Point dengan ketukan memantul (Gemmell, et al, 2008).
Modalitas Fisioterapi sangat berguna dalam upaya penanganan kondisi MTrPs pada otot trapesius bagian atas, diantaranya adalah modalitas massage dan terapi Integrated Neuromusculer Inhibition Techniques (INIT).
Modalitas massage ini dapat mempercepat pengosongan dan pengisian cairan sehingga memperlancar sirkulasi dan pembebasan sisa-sisa pembakaran, memperlancar penyajian nutrisi sehingga mempercepat proses pemulihan terhadap otot yang mengalami cedera. Selain itu massage dapat membantu penyebaran traumatic-effusion dan suplai darah terhadap jaringan, menghilangkan atau mencegah terjadinya perlengketan scar tissue akibat adanya cairan yang disebut traumatic exudate yang dapat menyebabkan melekatnya serabut otot satu sama lain dan menimbulkan penebalan (thickening).
Menurut Hollis (1998) Massage secara umum dibedakan menjadi empat teknik yaitu: stroking, effleurage, friction, dan vibration
.Teknik stroking ini merupakan sebuah teknik manipulasi gosokan yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan tangan. Sedangkan teknik Effleurage adalah suatu pergerakan stroking dalam atau dangkal, effleurage pada umumnya digunakan untuk membantu pengembalian kandungan getah bening dan pembuluh darah di dalam ekstrimitas tersebut. Effleurage juga digunakan untuk memeriksa dan mengevaluasi area nyeri dan ketidak teraturan jaringan lunak atau peregangan kelompok otot yang spesifik.
Sedangkan yang dimaksud denagn teknik friction adalah sebuah teknik pemijatan yang digunakan untuk memenuhi pergerakan ke serabut, seperti ligament dengan struktur membujur atau gerak lingkar bertujuan untuk melepaskan kekakuan otot dan untuk mengurangi kerusakan jaringan lunak. Adapun teknik vibration adalah gerakan getaran mengendurkan jaringan lembut atas dan tingkatkan peredaran. Vibration dapat menenangkan atau merangsang menurut intensitas dan kecepatan. Vibration pada umumnya digunakan pada otot yang sangat lemah, gas dalam perut, atau luka sambungan spesifik (Hollis, 1998).
Selain menggunakan massage sebagai modalitas fisioterapi dalam menurunkan nyeri leher, terdapat juga Integrated Neuromusculer Inhibition Techniques yang dapat digunakan
memanjangkan atau mengulur stuktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia, tendon, dan ligamen yang memendek secara patologis sehingga dapat meningkatkan linkup gerak sendi (LGS) dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot, atau akibat fibrosis (Sara, 1992).
Menurut Chaitow (2003), Integrated Neuromusculer Inhibition Techniques (INIT ) adalah suatu teknik latihan yang menggabungkan antara motor poin pressur atau ischemic compression, perubahan posisi pasif dan aktif secara bertahap dengan memfasilitasi antagonis dan latihan ini diberikan pada kondisi nyeri leher lokal tanpa disertai gangguan neurologis serta terbukti efektif mengobati syndrom myofascial.
Melihat latar belakang tersebut dilakukan penelitian dengan judul Pelatihan integrated neuromuskuler inhibition techniques (INIT) dan massage effleurage efektif menurunkan nyeri dan disabilitas pada myofascial trigger point syndrome otot trapesius bagian atas.
MATERI DAN METODE
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja masyarakat Puskesmas 1 dan 2 Kartosuro. Penelitian dilakukan pada bulan maret dan april 2012 dengan rancangan quasi experiment dengan pre and post-test terhadap dua
kelompok.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mengeluh nyeri Miofascial Triger Point Syindrome otot Trapesius bagian atas yang telah dilakukan pemeriksaan. Pengambilan sampel diambil secara randomisasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan peneliti hingga jumlahnya memenuhi yang ditargetkan.
Subjek penelitian berdasarkan rumus Pocock berjumlah 34 orang, yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, masing-masing terdiri dari 17 orang.
Data yang diperoleh yaitu :
Penilaian nyeri dan disabilitas pada leher dapat diukur dengan Neck Disability Index Questionnare yaitu suatu quisioner subyektif dengan mengukur dengan 10 seksi yang meliputi intensitas nyeri, perawatan diri, aktifitas mengangkat, membaca, keluhan sakit kepala, konsentrasi, bekerja, mengendari, tidur dan rekreasi dengan setiap seksi terdiri dari 5 pertanyaan dengan skor 50. Tiap seksi di skor dalam skala 0-5 dan hasil yang dapat diberikan pada skala 0-50. Skoring dilakukan dengan cara TKAF = Total Skor / 50 x 100%. Pengukuran dilakukan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan baik sebelum maupun sesudah
intervensi
•Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan SPSS For Window versi 17, langkah-langkah sebagai berikut :
-
• Statistik Diskriptif untuk menggambarkan karakteristik fisik sampel yang meliputi umur, jenis kelamin, dan aktivitas pekerjaan.
-
• Uji komparasi data skor NDI antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan menggunakan uji komparasi parametrik, dengan uji (paired t-test). Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05.
-
• Uji komparasi data (skor NDI sebelum pelatihan) ke dua kelompok dengan menggunakan uji komparasi parametrik (t-independent test). Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05.
-
• Uji komparasi data menurunkan nyeri dan disabilitas pada kedua kelompok dengan menggunakan uji komparasi parametrik (Independent t-test) dan data berdistribusi normal.
HASIL DAN PEMBAHAN
Penelitian dilakukan pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas 1 dan 2 Kartosuro, selain peneliti bekerjasama dengan fisioterapis juga bekerjasama dengan bidan puskesmas,
lokasi mencari populasi di 8 tempat yaitu Posyandu balita 1,2,3,4 di Pabelan dan Gumpang serta Posyandu Lansia 1,2,3,4 di Pabelan dan Gumpang, jumlah populasi 69 orang, sampel yang gugur 35 orang dan yang memenuhi kreteria inklusi sebanyak 34 orang. Dibagi menjadi dua kelompok, kelompok 1 berjumlah 17 orang dengan terapi INIT sedangkan kelompok II berjumlah 17 orang dengan terapi Massage efflurage dan kedua kelompok mendapatkan terapi dasar yang sama yaitu Infra merah.
Umur subjek yang terlibat dalam penelitian ini, berkisar antara
20-50 tahun. Pada kelompok 1, umur antara 2030 tahun persentase sebesar 29,41 %, umur 3040 tahun persentase sebesar 29,41 % dan umur 40-50 tahun persentase sebesar 41,18 % sedangkan pada kelompok 2 umur antara 20-30 tahun persentase sebesar 0 %, umur 30-40 tahun persentase sebesar 41,18 % dan umur 40-50 tahun persentase sebesar 58,82 %. Rentang umur subjek tersebut menunjukkan bahwa semua subjek tergolong umur yang produktif. Dimana pada umur poduktif justru akan menimbulkan dampak penyakit dikemudian hari jika tidak ditangani secara tepat. Pernyataan tersebut di dukung oleh Hong (2000) pada dasarnya setiap orang memiliki latent myofascial trigger points (MTrPs) 6 bulan setelah orang tersebut lahir. Pada usia 29-60 tahun merupakan masa
produktif sehingga banyak aktifitas yang banyak dilakukan pada usia tersebut dan aktifitas yang banyak serta kecerobohan seseorang dalam melakukan pekerjaan dapat menimbulkan injury, baik ringan ataupun berat, yang memungkinkan orang tersebut terkena myofascial pain syndrome, pernyataan ini didukung juga oleh pernyataannya Eduardo, et al (2009) menyatakan bahwa rata-rata populasi usia yang terkena myofascial pain syndrome antara 27-50 tahun.
Pada penelitian ini data kelompok 1 yaitu subyek laki laki persentase berjumlah 11,77 % dan perempuan 88,23 % sedangkan kelompok 2 yaitu subyek laki laki persentase berjumlah 29,41 % dan perempuan 70,59 %, hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dominan menderita Myofasial Trigger Point Syidrome otot Trapesius Upper. Hal ini didukung oleh pernyataannya Eduardo et al (2009) menyatakan bahwa 54% wanita lebih banyak terkena myofascial pain syndrome dibandingkan pria yang hanya 45%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lofriman (2006) menyatakan bahwa nyeri myofasial syndrome lebih sering terjadi dibandingkan dengan area tubuh lain. Pada penelitan menyatakan bahwa pada 1504 sampel yang dipilih secara random dengan umur 30-60 tahun ditemukan 37% pria dan 65% wanita mengalami nyeri syndrome myofasia yang terlokalisir. Dari
data diatas dapat disimpulkan insiden myofasia lebih banyak pada wanita disbanding laki laki, sering terjadi pada usia antara 20-50 tahun (Lofriman, 2008).
Pada penelitian ini karakter subyek pekerjaan pada kelompok 1 guru sebesar 5,88%, ibu rumah tangga 17,66%, pegawai textil Tivontek 35,29%, penjual makanan 5,88%, pembantu rumah tangga 11,76%, penjaahit 11,76%, petani 5,88% sehingga persentase terbesar pada kelompok 1 bahwa subyek tebesar bekerja sebagai pegawai textil Tivontek. Pada kelompok 2 guru sebesar 5,88%, ibu rumah tangga 11,76%, pegawai textile Tivontek 17,65%, penjual makanan 5,88 %, pembantu rumah tangga 5,88%, penjahit 23,53%, petani 29,41% sehingga persentase terbesar bekerja sebagai petani. Data ini diperkuat menurut Hill (2006) melaporkan bahwa pekerja yang sering mengeluh neck pain adalah pekerja yang biasa bekerja dengan aktivitas mengangkat, menggeser, mendorong seperti mencangkul, menbajak, menulis dll. Penelitian yang dilakukan oleh Palmer, et al(4) di Inggris, Skotlandia, dan Wales pada 12.907 responden berumur 16-64 tahun menunjukkan bahwa orang yang bekerja dengan lengan atas dan bahu lebih dari satu jam per hari serta mereka yang bekerja dengan mengetik, mengangkat, menggunakan alat-alat vibrasi, atau sebagai pengemudi profesional mempunyai hubungan bermakna
dengan timbulnya nyeri leher (Prevalens Rasio (PR) = 1,3-1,7 pada wanita dan 1,2-1,4 pada pria.
Variabel yang diuji adalah penurunan nyeri dan disabilitas pada MTrPs otot trapezius bagian atas sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok dan selisih antara penurunan nyeri dan disabilitas pada MTrPs otot trapezius bagian atas sebelum dan sesudah intervensi pada kedua kelompok. Dengan demikan kedua kelompok baik sebelum perlakuan, setelah perlakuan dan selisih antara penurunan nyeri da disabilitas pada MTrPs otot trapezius bagian atas sebelum dan sesudah perlakuan berdistribusi normal dan homogen. Data yang memiliki sebaran normal dan homogen merupakan data parametrik, maka selanjutnya digunakan uji parametrik.
Komparabilitas atau perbandingan hasil NDI sebelum pelatihan di antara ke dua kelompok pelatihan diuji dengan uji t-tidak berpasangan (t – independen test). Hasil uji statistik menunjukkan nilai p untuk hasil NDI sebelum pelatihan di antara kedua kelompok pelatihan terlihat bahwa t hitung lebih besar dari 0,05 maka Ha ditolak, rtinya bahwa nyeri dan
disabilitas pada pasien yang akan diterapi dengan IR & INIT memiliki tingkatan yang sama dengan pasien yang akan diterapi dengan menggunakan IR & Massage efflurage. Hal ini berarti rerata hasil NDI sebelum pelatihan di antara ke dua kelompok pelatihan tidak berbeda bermakna. Dengan demikian hasil NDI sebelum pelatihan di antara kelompok-1 dan kelompok-2 adalah sebanding. Oleh karena itu, apabila terjadi perbedaan nilai setelah pelatihan, hal ini disebabkan oleh karena pelatihan yang dilakukan.
-
6.4 Terapi dasar dengan INIT menurunkan nyeri dan disabilitas pada Myofacial Trigger Point Syndrome otot trapezius bagian atas.
Berdasarkan analisis data tes hasil NDI antara tes awal dan tes akhir pada masing-masing kelompok dengan menggunakan uji t – paired test, selama pelatihan enam kali selama dua minggu dari tes awal dan tes akhir pada kelompok 1(IR dan INIT). Hasil rerata NDI sebelum dan setelah pelatihan diperoleh nilai p lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05). Hal ini berarti bahwa rerata hasil NDI sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok 1 Ho ditolak, sehingga pelatihan kelompok 1 terjadi penurunan nyeri dan disabilitas pada Myofasial Triger Point Syndrome Otot Trapesius bagian atas.
Pengaruh ini karena pemberian stretching
mampu memanjangkan atau mengulur stuktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia, tendon, dan ligamen yang memendek secara patologis sehingga dapat mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot, atau akibat fibrosis.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kisner and Corby (2007), apabila stretching diberikan pada otot maka pengaruh stretching pertama terjadi pada komponen actin dan myosin dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Gerwin (2005), Stretching merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan panjang dan fleksibilitas otot dan fascianya dengan menempatkan bagian tubuh agar terjadi dan pemanjangan dari sebuah otot. Dalam berbagai tulisan para ahli, stretching sudah dikenal sebagai metode untuk terapi pada MTrPs (Gerwin, 2005 dan Huguenin, 2003). Stretching akan melatih otot untuk mencapai derajat panjang dan fleksibilitas yang normal. Dengan stretching maka otot akan dilatih untuk memanjang yang akan mempengaruhi sarcomer dan fascia dalam myofibril otot untuk memanjang pula. Pemanjangan sarcomer dan fascia akan mengurangi derajat overlapping
antara thick dan thin myofilamen dalam sarcomer sebuah taut band otot yang mengandung trigger point didalamnya.
Pengurangan derajat overlapping antara dua myofilamen tadi akan mempengaruhi pelebaran pembuluh kapiler otot, sehingga sirkulasi darah setempat akan lebih baik. Sirkulasi darah yang lebih baik akan mencegah muscle fatigue, mengurangi penumpukan sampah metabolisme dan iritan, dan meningkatkan supply oksigen pada sel otot. Secara klinis maka pengaruh stretching akan mengurangi nyeri dan meningkatkan relaksasi pada otot.
-
6.5 Terapi dasar dengan Massage efflurage menurunkan nyeri dan disabilitas pada Myofacial Trigger Point Syndrome otot trapezius bagian atas.
Berdasarkan analisis data tes hasil NDI antara tes awal dan tes akhir pada masing-masing kelompok dengan menggunakan uji t – paired test, selama pelatihan enam kali selama dua minggu dari tes awal dan tes akhir pada kelompok 2 ( IR dan Massage efflurage ) . Hasil rerata NDI sebelum dan setelah pelatihan diperoleh nilai p lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05). Hal ini berarti bahwa rerata hasil NDI sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok 2 Ho ditolak, sehingga pelatihan kelompok 1 terjadi penurunan nyeri dan disabilitas pada Myofasial
Triger Point Syndrome Otot Trapesius otot bagian atas. Menurut Henderson (2006) massage adalah tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan lunak, biasanya otot tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan pergeseran atau perubahan posisi sendi guna menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau meningkatkan sirkulasi. Gerakan-gerakan dasar yang meliputi gerakan memutar yang dilakukan oleh telapak tangan, gerakan menekan dan mendorong kedepan dan kebelakang menggunakan tenaga, menepuk- nepuk, memotong-motong, meremas-remas, dan gerakan meliuk-liuk. Setiap gerakan gerakan menghasilkan tekanan, arah, kecepatan, posisi tangan dan gerakan yang berbeda-beda untuk menghasilkan efek yang diinginkan pada jaringan yang dibawahnya.
Robin (2010) menambahkan bahwa efflurage adalah salah satu gerakan utama pijat yang dapat dilakukan pada setiap area tubuh dengan cara mendistribusikan minyak secara merata ketubuh kemudian kedua telapak tangan meluncur di atas permukaan kulit dengan sedikit tekanan.
Kusdianar (2011) mengatakan bahawa efek massage terhadap jaringan dapat bersipat mekanis, reflektoris dan khemis.
Efek mekanis: Dengan teknik menekan dan mendorong secara bergantian menyebabkan terjadinya pengosongan dan pengisian pembuluh vena dan lymph, sehingga membantu
memperlancar sirkulasi, membantu sekresi, dan pemberian nutrisi kedalam jaringan. 2) Efek reflektoris: Massage menimbulkan pacuan terhadap syaraf, peredaran darah yang menimbulkan proses vasso kontriksi yang diikuti dengan vasso dilatasi lokal sehingga memperlancar peredaran darah. Selain itu syaraf motorik yang terangsang meningkatkan tonus otot. 3) Efek khemis: Massage menyebabkan terbebasnya suatu zat sejenis histamin yang memberi efek dilatasi terhadap pembuluh darah kapiler.
Sementara itu menurut Brain (2010) massage efflurage memiliki beberapa efek, diantaranya adalah: 1) Menambah kondisi relaksasi. 2) Memiliki aksi obat penenang dan sangat bermanfaat untuk menenangkan saraf, stres dan ketegangan bisa dikurangi, sakit kepala tegang terhalau dan pola insomnia rusak. 3) Efflurage dapat menghidupkan kembali dan merangsang sistem saraf pusat. 4) Jaringan akan menghangatkan tubuh dan meningkatkan sirkulasi. 5) Aliran getah bening meningkat, membantu untuk menyingkirkan limbah dan zat beracun. 6) Efflurage memperbaiki kulit, mendorong kulit sehat dan bersinar.
-
6.6 Terapi dasar dengan INIT Dan Terapi dasar dengan Massage efflurage tidak ada perbedaan
Uji beda ini bertujuan untuk membandingkan rerata penurunan nyeri dan
disabilitas pada tes awal (sebelum intervensi) dan tes akhir (setelah intervensi ke 6) pada kelompok 1 terapi dasar IR dan INIT serta kelompok ke 2 terapi dasar IR dan massage efflurage.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji t- independent (tidak berpasangan), seperti pada Tabel 8, menunjukkan bahwa rerata NDI sesudah pelatihan di antara kelompok pelatihan 1dan 2 berbeda bermakna dimana nilai p lebih basar dari 0,05, hal ini berarti bahwa Ho diterima. Karena itu dapat disimpulkan bahwa INIT dan massage efflurage tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini terjadi karena pada saat terapi awal sampel pada kelompok 1 dan 2 rata rata nilai NDI relatif sama, setelah dilakukan terapi selama 6 kali terjadi penurunan nilai NDI diantara dua kelompok dan penurunan antara sebelum dan sesudah relatif sama antara kedua kelompok.
Pernyataan terdebut didukung oleh Henderson (2006) menjelaskan massage adalah tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan lunak, biasanya otot tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan pergeseran atau perubahan posisi sendi guna menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau meningkatkan sirkulasi. Gerakan-gerakan dasar yang meliputi gerakan memutar yang dilakukan oleh telapak tangan,
gerakan menekan dan mendorong kedepan dan kebelakang menggunakan tenaga, menepuk-nepuk, memotong-motong, meremas-remas, dan • gerakan meliuk-liuk. Setiap gerakan gerakan menghasilkan tekanan, arah, kecepatan, posisi tangan dan gerakan yang berbeda-beda untuk • menghasilkan efek yang diinginkan pada jaringan yang dibawahnya. Sedangkan INIT merupakan salah satu usaha untuk
mengembalikan panjang dan fleksibilitas otot dan fascianya dengan menempatkan bagian tubuh agar terjadi dan pemanjangan dari sebuah otot. Dalam berbagai tulisan para ahli, INIT sudah dikenal sebagai metode untuk terapi pada MTrPs (Gerwin, 2005 dan Huguenin, 2004). INIT akan melatih otot untuk mencapai derajat panjang dan fleksibilitas yang normal. Dengan INIT maka otot akan dilatih untuk memanjang yang akan mempengaruhi sarcomer dan fascia dalam myofibril otot untuk memanjang pula. Pemanjangan sarcomer dan fascia akan mengurangi derajat overlapping antara thick dan thin myofilamen dalam sarcomer sebuah TB otot yang mengandung TP didalamnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Pelatihan Integrated Neuromusculer Inhibition Techniques (INIT) dapat menurunkan nyeri dan
disabilitas pada myofasial triger poin syndrome otot trapezius bagian atas .
Terapi massage efflurage dapat menurunkan nyeri dan disabilitas pada Myofacial Triger poin Syndrome otot trapezius bagian atas.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pelatihan integrated neuromuskuler inhibition techniques (INIT) dan massage efflurage efektif dalam menurunkan nyeri dan disabilitas pada myofasial trigger point syndrome otot trapesius bagian atas.
Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan temuan dan kajian dalam penelitian ini adalah :
-
•Perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam tentang metode terapi pada myofascial trigger point syndrome otot trapesius bagian atas .
-
•Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada pelatihan integrated neuromuskuler inhibition techniques (INIT) dan massage effleurage .
DAFTAR PUSTAKA
-
1 . Chaitow, L. 2003. Modern Neuromuscular Techniques. Second Edition, Churchill Livingstone, Elservier Science Limited, Printed in China.
-
2 . Davied, J. 1991. Ergonomic At Works. New York, Brisbane, Toranto, Singapure.
-
3 . Davies, C and Amber, D, 2001: The Trigger Point Therapy Workbook: Your Self-
Treatment Guide for Pain Relief. New Harbinger Publications, Inc: Oakland, CA, available at http://www.altmd.com/Articles/Myofasc ial-Release-for-Back-Pain.
-
4 . Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Survei Terpadu Mendukung Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Litbangkes Depkes R.I.
-
5 . Dommerholt J, Bron C, Fransen J, 2006. Myofascial Trigger Points: An Evidence Informed Review, The Journal of Manual and Manipulatif Therapy.
-
6 .Fernandez & Campo, M.S. 2003. The Effektifitas INIT in Myofascial Trigger Point treatment. Teaching and Research Unit of Physiotherapy.Journal of Bodywork and Movement Therapises,27-34.
-
7 .Fryer, G & Hodgson L. 2005. The effect of manual pressure release on myofascial trigger points in the upper trapezius muscle. School of Health Science, City Campus Victoria University, Melbourne: Australia
-
8 .Gemmell, H. Miller, P. Nordstrom, H. 2008. Immediate effect of isch.mic compression and trigger point pressure release on neck pain and upper trapezius trigger points: A randomized
controlled trial.
-
9 .Gerwin, R.D, Dommerholt, J.D, Shah. 2004. An Expansion of Simons’Integrated Hypothesis of Trigger Point Formation, Current Paint and Head Ache Report.
-
10 .Guyton, A.C & Hall, J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. ECG.
-
11 .Hardjono, J dan Ervina A. 2004. Pengaruh Penambahan Contract Relax Stretching Pada Intervensi Interferensial Current dan Ultrasound Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Sindroma Miofasial Otot. Fisioterapi Universitas Esa Unggul: Jakarta.
-
12 .Hollis, M. 1998. Massage For Therapis. Second Edition. University Street. Australia.
71
Discussion and feedback