UJI KEBERADAAN Staphylococcus aureus PADA SOSIS TRADISIONAL (URUTAN) YANG BEREDAR DI PASAR TRADISIONAL DI DENPASAR, BALI
on
JURNAL SIMBIOSIS II (1): 147- 157
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana
ISSN: 2337-7224
Maret 2014
UJI KEBERADAAN Staphylococcus aureus PADA SOSIS TRADISIONAL (URUTAN) YANG BEREDAR DI PASAR TRADISIONAL
DI DENPASAR, BALI
(AVAILABLITY TEST OF STAPHYLOCOCCUS AUREUS IN THE TRADISIONAL SAUSAGE (URUTAN) IN TRADISIONAL MARKET IN DENPASAR, BALI)
Ni Putu Niti Rahayu*), Retno Kawuri**), Ni Luh Suriani***) *Mahasiswa Jurusan Biologi, F.MIPA, Universitas Udayana **Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, F.MIPA, Universitas Udayana *** Laboratorium Biokimia, Jurusan Biologi, F.MIPA, Universitas Udayana Nitirahayu.007@gmail.com
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui total Staphylococcus aureus pada sosis tradisional (urutan) yang beredar di pasar tradisional di Denpasar, Bali. Sampel sosis diambil dari 4 wilayah di Kota Denpasar (Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Barat, dan Denpasar Selatan), masing-masing wilayah diambil 3 pasar tradisional dan setiap pasar diambil sebanyak 2 pedagang. Perhitungan jumlah Staphylococcus aureus dilakukan dengan metode platting method secara pour plate. Hasil penelitian menunjukkan jumlah Staphylococcus aureus tertinggi ditemukan pada wilayah Denpasar Utara sebesar 241,067 CFU/g sedangkan terendah ditemukan pada wilayah Denpasar Barat yaitu 71,233 CFU/g. Jumlah Staphylococcus aureus memiliki nilai signifikan berbeda nyata atau P<0,05. Batas maksimum cemaran mikroba pada daging olahan (sosis) untuk Staphylococcus aureus berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah sebesar 102 CFU/g. Berdasarkan dari uji yang telah dilakukan diperoleh bahwa seluruh urutan yang beredar di pasar tradisional di Denpasar, Bali memiliki jumlah yang melampaui ambang batas SNI.
Kata kunci: Sosis tradisional (urutan), Staphylococcus aureus
ABSTACT
The aim of this study is to determine the total amount of Staphylococcus aureus in a traditional sausage (urutan) sold in Denpasar traditional market in Bali. Sausage samples are taken from four areas in Denpasar (North Denpasar, East Denpasar, West Denpasar, and South Denpasar). From each area, three traditional markets are selected and from each market 2 merchants are chosen. The calculation of the number of Staphylococcus aureus is done by platting method and by pour plate method. The results show that the highest number of Staphylococcus aureus belongs to the North Denpasar region in the mount of 241,067 CFU/g while the lowest belongs to the region of West Denpasar with 71,233 CFU/g. These two results are significantly different with one another (P<0,05). The maximum limit of microbial contamination in processed meats (sausages) for Staphylococcus aureus based on Indonesian National Standard (SNI) is equal to 102 CFU / g. Based on the testing that has been done, all urutan contamination by the Staphylococcus aureus in Denpasar traditional market, has exceeded the threshold amount of SNI.
Keywords : Traditional Sausages (urutan), Staphylococcus aureus
PENDAHULUAN
Makanan tradisional merupakan jenis makanan yang diolah dari bahan lokal dengan pengolahan yang bervariasi, memiliki ciri khas daerah setempat dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat daerah tersebut. Beberapa makanan tradisional Bali diantaranya: sate lilit, ayam betutu, babi guling, urutan, lawar, jejeruk, serapah daging dan ayam bumbu bali.
Sosis tradisional (urutan) merupakan daging babi yang telah dipotong dengan ukuran kecil lalu ditambahkan garam beserta campuran bumbu dan dimasukkan ke dalam selongsong yang berasal dari usus babi. Bumbu yang digunakan untuk membuat sosis tradisional (urutan) ialah bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium sativum), ketumbar (Coriandrum sativum), jinten (Trachyspermum roxburghianum), kencur (Kaempferia galanga), cabai (Capsicum frutescens), garam, merica (Piper nigrum), kunyit (Curcuma longa), jahe
(Zingiber officinale) dan lengkuas (Alpenia galanga). Berbagai bumbu rempah tersebut berfungsi sebagai pemberi aroma, cita rasa, pengawet, antioksidan dan anti mikroba (Shanti, 2013).
Sosis tradisional (urutan) pada umumnya akan disimpan pada suhu ruang oleh pedagang di pasar tradisional. Hal ini yang dikhawatirkan dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri terutama Staphylococcus aureus. Apabila jumlah bakteri Staphylococcus aureus minimun mencapai 1 x 105 CFU/g akan menyebabkan terbentuknya enterotoksin pada produk pangan (Salasia et al., 2009). Enterotoksin merupakan enzim yang mampu bertahan dalam kondisi panas dan tahan terhadap suasana yang bersifat basa di dalam usus yang dapat menyebabkan keracunan makanan (Jawetz et al., 2004).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang beredar di mana-mana, seperti udara, debu, air, susu, makanan, peralatan
JURNAL SIMBIOSIS II (1): 147- 157 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana makan, lingkungan dan tubuh manusia atau hewan yang terdapat pada kulit, rambut/bulu dan saluran pernafasan. Manusia dan hewan merupakan sumber utama infeksi (Chotiah, 2009).
Uji kontaminasi mikroba patogen merupakan indikator penting untuk mengetahui kualitas daging olahan layak konsumsi. Keberadaan mikroba patogen pada daging sangat mungkin terjadi, sebab kandungan gizi yang tinggi pada daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme (Yulistiani, 2010). Proses pengolahan daging secara sederhana dan tradisional juga sangat memungkinkan terjadinya cemaran bakteri patogen (Raza dkk., 2012).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 08.3-7388-2009 batas maksimal cemaran mikroba pada daging olahan (sosis) yang tercemar bakteri
Staphylococcus aureus adalah 102 CFU/g (Standar Nasional Indonesia, 2009).
MATERI DAN METODE
Perhitungan total Staphylococcus aureus dilakukan dengan metode pengenceran/Platting Method melalui seri pengenceran. Sampel sosis tradisional (urutan) dari masing-masing pedagang yang berbeda diambil di pasar dan ditimbang di laboratorium sebanyak 10 gram kemudian sampel dimasukkan ke dalam botol yang telah berisi air steril sebanyak 90 mL dan dihomogenkan sehingga didapatkan pangkat pengenceran 10-1 kemudian 1 mL suspensi dipipet pada pengenceran 10-1 lalu dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi 9 mL air steril sehingga didapatkan pangkat pengenceran 10-2. Sampel ditanam dengan cara diambil 1 ml suspensi pada pengenceran 10-2 dan diletakkan pada cawan Petri steril yang kemudian ditambahkan dengan media Mannitol Salt Agar (MSA),
dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Perhitungan Staphylococcus aureus dilakukan dengan menghitung jumlah koloni setiap cawan petri 30-300 CFU/g (Pelczar and Chan, 2005).
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan setiap wilayah diambil sebanyak 3 pasar tradisional dan masing-masing pasar 2 pedagang, sehingga sampel menjadi 4 x 3 x 2 dan diperoleh 24 sampel dengan 3 ulangan pada masing-masing sampel. Data dianalisis
dengan ANOVA dan jika diperoleh hasil berbeda nyata pada taraf uji P < 0,05 maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
HASIL
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh total Staphylococcus aureus pada sosis tradisional (urutan) yang tumbuh di media Mannitol Salt Agar (MSA) yang tertinggi terdapat di wilayah Denpasar Utara yaitu sebesar 241,067 CFU/g dan yang terendah terdapat di wilayah Denpasar Barat yaitu 71,233 CFU/g (data terlihat pada Tabel 1).
Tabel 1. Total bakteri pada sosis tradisional (urutan) yang beredar di pasar tradisional di Denpasar
Wilayah |
Rata-rata total S.aureus |
Denpasar Utara |
241,067 b |
Denpasar Barat |
71,233 a |
Denpasar Timur |
91,467 ab |
Denpasar Selatan |
221,633 ab |
Keterangan:
Uji Anova (α=0,05) dilanjutkan dengan Uji Duncan taraf 5%. Huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata.
Tabel 2. Jumlah Staphylococcus aureus pada sosis tradisional (urutan) yang beredar di pasar tradisional di Denpasar
No |
Wilayah |
Nama Pasar |
Pedagang |
Jumlah S.aureus (CFU/g) |
1 |
Denpasar Utara |
Poh Gading |
I |
238x102 |
2 |
II |
664,3x102 | ||
3 |
Agung Peninjauan |
I |
616,6 x102 | |
4 |
II |
73,3x102 | ||
5 |
Anyar Sari |
I |
482,6x102 | |
6 |
II |
85,6x102 | ||
7 |
Denpasar Barat |
Padang Sambian |
I |
2,3x102 |
8 |
II |
30x102 | ||
9 |
Impress Sanglah |
I |
336,6x102 | |
10 |
II |
274,3x102 | ||
11 |
Badung |
I |
74x102 | |
12 |
II |
18x102 | ||
13 |
Denpasar Timur |
Yadnya |
I |
54,3x102 |
14 |
II |
6,6x102 | ||
15 |
Tamba |
I |
13x102 | |
16 |
II |
19,6x102 | ||
17 |
Kreneng |
I |
248x102 | |
18 |
II |
117,3x102 | ||
19 |
Denpasar Selatan |
Sindu |
I |
440x102 |
20 |
II |
727,6x102 | ||
21 |
Sudha Merta |
I |
94,6x102 | |
22 |
II |
214x102 | ||
23 |
Intaran |
I |
37x102 | |
24 |
II |
248,6x102 |
Hasil penelitian (Tabel 2) diperoleh tradisional (urutan) yang beredar di pasar
jumlah Staphylococcus aureus pada sosis
tradisional di Denpasar yang tertinggi
terdapat di pasar Sindu yaitu sebesar 727,6 x 102 CFU/g dan yang terendah terdapat di 2
pasar Padang Sambian sebesar 2,3 x 102 CFU/g.
Hasil pengamatan uji keberadaan Staphylococcus aureus ditemukan adanya koloni bakteri yang berwarna kuning pada media Mannitol Salt Agar (MSA) (Gambar 1):
Gambar 1. Foto koloni Staphylococcus aureus berwarna kuning pada media MSA
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata total Staphylococcus aureus di wilayah Denpasar Utara sebesar 241,067 CFU/g, di
Denpasar Barat sebesar 71,233 CFU/g, Denpasar Timur sebesar 91,467 CFU/g dan di Denpasar Selatan sebesar 221,633 CFU/g (Tabel 1). Berdasarkan nilai tersebut wilayah Denpasar Utara memiliki nilai total mikroba yang tertinggi dari wilayah Denpasar lainnya (Denpasar Timur, Barat dan Selatan) dan nilai terendah dimiliki oleh wilayah Denpasar Selatan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kontaminasi yang berasal dari tanah pada saat pemotongan, kulit (kotoran pada kulit), isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang dipergunakan selama proses mempersiapkan, kotoran, udara dan pekerja atau orang yang menangani pangan. Hasil analisis statistika menunjukkan nilai signifikan dari jumlah Staphylococcus aureus adalah berbeda nyata atau P<0,05.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri patogen dan biasanya bakteri ini dapat digunakan sebagai indikator dari pengolahan makanan yang
tidak higienis, sehingga mampu menghasilkan enterotoksin yang dapat langsung dideteksi dalam makanan. Daging merupakan jenis makanan yang banyak ditumbuhi bakteri ini. Toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus akan sulit dihilangkan walaupun makanan yang tercemar toksin tersebut disimpan di dalam lemari es dan umumnya toksin tersebut tahan terhadap pemanasan yang digunakan pada pemasakan (Palupi dkk., 2010).
Berdasarkan dari hasil uji mikrobiologi atau uji keberadaan Staphylococcus aureus pada media MSA, pada suhu 37°C, selama 24 jam ditandai dengan timbulnya perubahan warna media MSA dari merah menjadi kuning atau terlihatnya koloni yang berwarna kuning (Gambar 1). Warna kuning timbul karena fermentasi mannitol yang dilakukan Staphylococcus aureus. Koloni Staphylococcus aureus dalam cawan terlihat
berwarna kuning emas, bulat, dan cembung (Odunayo et al., 2011).
Jumlah total Staphylococcus aureus pada setiap pasar tradisional di wilayah Denpasar yang tertera pada Tabel 2, terlihat bahwa seluruh sampel dari pasar tradisional memiliki jumlah cemaran Staphylococcus aureus yang melebihi batas yang diperbolehkan oleh Standar Nasional Indonesia (2009) yaitu sebesar 102 CFU/g. Namun, semua sampel yang mengandung Staphylococcus aureus tersebut dinyatakan terbebas dari toksin sebab terbentuknya enterotoksin pada produk pangan akan terdeteksi pada jumlah Staphylococcus aureus minimun mencapai 1 x 105 CFU/g (Salasia et al., 2009).
Tingginya jumlah Staphylococcus aureus yang melebihi batas cemaran mengindikasikan buruknya sanitasi pasar tradisional dan tingginya cemaran dapat diakibatkan kurangnya kebersihan pedagang atau orang yang menanganinya dalam
mengolah sosis tradisional (urutan) saat pemrosesan maupun saat pendistribusian. Selain itu, jumlah Staphylococcus aureus dapat pula dijadikan indikator untuk mengetahui kualitas dari sosis tradisional (urutan) tersebut (Palupi dkk., 2010).
Beberapa tempat penjualan sosis tradisional (urutan) di pasar tradisional terlihat basah, banyak terdapat sampah di sekitarnya dan ada yang terdapat genangan air, hal ini kemungkinan dapat meningkatkan kontaminasi, sebab lingkungan yang kotor dan basah akan mampu memperbanyak bakteri Staphylococcus aureus yang berada di udara dan air yang tercemar serta pada umumnya mikroba patogen menyukai kondisi yang lembab (Khoiriyah, 2011).
Selain dari lingkungan, kebersihan alat-alat yang digunakan pun sangat berpengaruh terhadap jumlah populasi dari bakteri. Talenan merupakan salah satu jenis peralatan yang sering digunakan untuk
memotong daging dan umumnya terbuat dari bahan kayu. Kayu sendiri adalah bahan yang mudah menyerap air sehingga apabila talenan tersebut sudah dicuci, kotorannya masih tersisa dan sulit untuk dilihat dengan kasat mata sehingga alat-alat yang permukaannya terbuat dari kayu tidak dapat dijaga kebersihannya (Setiowati dkk, 2011).
Keawetan suatu produk pangan selain disebabkan oleh senyawa antioksidan, juga adanya senyawa antimikroba yang mungkin terkandung di dalamnya seperti rempah-rempah. Penggunaan bumbu atau rempah-rempah pada produk olahan daging seperti sosis tradisional (urutan) mempunyai fungsi untuk menambah rasa dan sekaligus memperpanjang daya simpan, karena mengandung senyawa antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba patogen.
Berdasarkan hasil wawancara hampir seluruh pedagang menggunakan rempah kunyit dan bawang putih dalam pembuatan
sosis tradisional (urutan), walaupun masih banyak pula rempah lain yang ikut dicampurkan di dalamnya. Kunyit diketahui merupakan sumber antioksidan yang penting dan sudah banyak dipelajari manfaatnya dalam bidang kesehatan maupun pangan. Selain sebagai pewarna alami dan penyedap masakan/bumbu, kunyit juga mempunyai sifat antimikroba sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan pengawet. Senyawa antibakteria (antimikroba) pada rimpang kunyit terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin, dan bisdesmetok
sikurkumin serta zat-zat bermanfaat lainnya, sementara bawang putih sendiri mempunyai senyawa allisin yang ampuh untuk membunuh mikroba. Kunyit dan bawang putih pada dasarnya merupakan golongan bahan pengawet yang aman bagi manusia. Kurkumin dan allisin adalah senyawa yang paling efektif menghambat degradasi, yaitu proses pemecahan protein menjadi molekul-molekul sederhana (seperti asam amino).
Pemecahan ini dapat menyebabkan daging membusuk yang dipicu karena metabolisme mikroba. Efektivitas rempah atau minyak atsiri sebagai antimikroba tergantung dari kandungan bakteri bahan yang diawetkan dan aktivitasnya akan lebih efektif pada produk dengan konsentrasi bakteri awal yang rendah (Singh et al., 2003).
SIMPULAN
Sosis tradisional (urutan) di pasar tradisional di Denpasar diperoleh hasil Staphylococcus aureus dengan jumlah yang melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan nilai tertinggi terdapat pada wilayah Denpasar Utara serta terendah di wilayah Denpasar Barat.
KEPUSTAKAAN
Badan Standar Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 08.37388-2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Chotiah, S. 2009. Cemaran Staphylococcus aureus Pada Daging Ayam Dan
Olahannya. Balai Besar Penelitian Veteriner. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner: 682-687.
Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan S.A. Morse. 2004. Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan H.Hartanto & R.N.Elferia. Edisi ke-23. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Khoiriyah, F. 2011. Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tesis).
Odunayo, AA, Ogunkanmbi, D, Adejumoke, MBJ, Oluwatoyin, BF, Aina, OA, Oluwatosin, AA. 2011. Staphylococcus aureus Isolated from Septic Caesaerean Wound at Ile Ife Nigeria: Antibiotics Susceptibility Patterns. International Journal of Medicine and Medical Sciences 3(5): 149-154.
Pelczar, MJ, and Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Terjemahan R S Hadioetomo, T. Imas, dan S. Tjitrosomo S. UI Press. Jakarta.
Palupi, KT, Adiningsih, MW, Sunartatie, T, Afiff, U, Purnawarman, T. 2010. Pengujian Staphylococcus aureus pada Daging Ayam Beku yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. Majalah Kehewanan Indonesia 1(2): 1-12.
Raza, EMU, K. Suada, H. Mahatmi. 2012. Beban Cemaran Bakteri Escherichia coli pada Daging Asap Se’i Babi yang Dipasarkan di Kota Kupang. Indonesia Medicus Veterinus 1(4): 453-470.
Salasia S, Khusnan, Sugiyono. 2009. Distribusi Gen Enterotoksin Staphylococcus aureus dari Susu
Segar dan Pangan Asal Hewan. J. Vet. 10: 111-117.
Setiowati, WE, Adoni, EN, Wahyuningsih. 2011. Cemaran Bakteri Salmonella sp pada Daging Ayam dan Hati Ayam di DKI Jakarta. Prosiding PPI Standardisasi 2011 – Yogyakarta.
Shanti. 2013. Urutan, Sosis Tradisional Masyarakat Bali. Available: http://santhiserad.com/2013/06/uruta n-sosis-tradisional-masyarakat-bali. [29 Juni 2013].
Singh, A, K.Singh R, K.Bhunia A, and N.Singh. 2003. Selection of Natural Antioxidant From Efficacy of Plant Essential Oils as Antimicrobial Agents Against Listeria Monocytogenes In Hotdogs. J. of Lebensm Wiss u Technol. 36: 787794.
Yulistiani, R. 2010. Studi Daging Ayam Bangkai Perubahan Organoleptik dan Pola Pertumbuhan Bakteri. Jurnal Teknologi Pertanian 1(11): 27-36.
Discussion and feedback