POTENTIAL OF GARLIC EXTRACT (Allium sativum L.) TO THE GROWTH OF Colletotrichum acutatum FUNGUS WHICH CAUSE ROT OF RED CHILI FRUIT (Capsicumum acutatum Fungus Which Cause Rot of Red Chili Fruit (Capsicum annuum L.) Post Harvest
on
SIMBIOSIS X (2): 211-222 http://ojs.unud.ac.id/index.php/simbiosis
Program Studi Biologi FMIPA UNUD
eISSN: 2656-7784
September 2022
POTENSI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum acutatum PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PADA BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PASCA PANEN
POTENTIAL OF GARLIC EXTRACT (Allium sativum L.) TO THE GROWTH OF Colletotrichum acutatum FUNGUS WHICH CAUSE ROT OF RED CHILI FRUIT (Capsicum annuum L.) POST HARVEST
Fania Agustini1, Ida Bagus Gede Darmayasa1, Ni Luh Arpiwi1
-
1Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali – 80361– Indonesia
-
*Email korespodensi: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian mempunyai tujuan mencari tahu potensi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) terhadap pertumbuhan jamur Colletotrichum acutatum penyebab penyakit busuk buah cabai merah pasca panen. Perlakuan yang diterapkan yaitu pemberian ekstrak bawang putih secara in vitro dan in vivo. Secara in vitro dilakukan pengujian daya hambat ekstrak bawang putih (A. sativum L.) dengan metode sumur difusi. Uji in vivo dilakukan dengan mengukur luas areal invasi dari C. acutatum pada cabai merah setelah diberikan perlakuan. Konsentrasi ekstrak bawang putih yang diberikan sebesar 15%(b/v), 20%(b/v), 25%(b/v), 30%(b/v), dan 35%(b/v) dengan kontrol positif fungisida sintetik dan kontrol negatif pelarut etanol 95%. Temuan memperlihatkan pemberian ekstrak bawang putih mempunyai potensi menghambat pertumbuhan jamur C. acutatum baik pada pengujian in vitro ataupun in vivo. Konsentrasi 25%(b/v) adalah konsentrasi yang terbaik demi mencegah pertumbuhan C. acutatum pada pengujian in vitro dengan besar hambatan sebesar 20,1±0,08. Sedangkan uji in vivo ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 35%(b/v) memiliki kemampuan paling baik dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum pada cabai merah.
Kata kunci: Busuk buah cabai merah, Bawang putih, Cabai merah, Colletotrichum acutatum.
ABSTRACT
This study aims to find out the potency of garlic extract (Allium sativum L.) to the growth of Colletotrichum acutatum fungus which cause rot of red chili fruit post-harvest. The treatments were the administration of garlic extract in-vitro and in-vivo. In the in-vitro test, the inhibition of garlic extract was measured using well diffusion method. The in-vivo test was conducted by measuring the diameter area of C. acutatum on red chilies after treatments. The concentration of garlic extract given was 15%(b/v), 20%(b/v), 25%(b/v), 30%(b/v), and 35%(b/v) with positive control of synthetic fungicides and negative control of ethanol solvents 95% and 4 times replications. The average diameter result on the 25%(b/v) concentration of bland power test had the most effective bland zone diameter of 20.1±0.08. Statistically different was real (P≤0.05) with negative controls. While in vivo tests the average area of infection area at a concentration of 35%(b/v) had an average diameter area of infection area which was best in inhibiting the growth of C. acutatum fungus.
Keywords: Rotten red chilies, Garlic, Red Chilies, Colletotrichum acutatum.
PENDAHULUAN
Cabai merah (Capsicum annuum L.) ialah satu dari sekian produk yang umum digunakan rakyat sehari-hari. Cabai merah digunakan sebagai salah satu rempah-rempah yang bernilai ekonomis tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik produksi cabai merah setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tahun 2014 produksi cabai merah mengalami peningkatan sebesar 1,96 ton dan pada tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 2, 35 ton. Peningkatan produksi cabai merah setiap tahunnya disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penggunaan varietas cabai merah yang sesuai, penggunaan pupuk organik, luas lahan yang digunakan. (BPS, 2014).
Proses budidaya tanaman cabai merah untuk memperoleh hasil cabai merah yang memiliki kualitas yang baik dipengaruhi oleh proses pasca panen yang sesuai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pasca panen diantaranya faktor fisiologis, faktor fisik, dan faktor patologi. Faktor patologi dapat menyebabkan kerugian bagi para petani dikarenakan buah cabai merah memiliki kandungan air dan vitamin yang banyak alhasil mampu sebagai alat yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Mikroorganisme yang dapat merugikan ketika proses pasca panen dapat berupa bakteri dan jamur. Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2019 produksi cabai merah mengalami penurunan sebesar 4,73 ton. Penurunan produksi cabai merah umumnya disebabkan oleh adanya penyakit busuk buah yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum acutatum (BPS, 2020).
Jamur C. acutatum merupakan salah satu jamur patogen yang termasuk ke dalam familia Melancoinaceae. Jamur ini,
pada umumnya menyerang bagian buah cabai merah yang dapat menyebabkan busuk buah (antraknosa). Serangan jamur C. acutatum dapat juga terjadi setelah panen. Bagian buah cabai merah yang mengalami infeksi, mula-mula akan membentuk aservulus yang merupakan kumpulan dari hifa yang berkembang pada jaringan buah yang menyebabkan buah cabai merah menjadi busuk (Sinaga, 2006).
Pengendalian penyakit busuk buah umumnya dilakukan dengan penggunaan fungisida sintetik. Penggunaan fungisida sintetik dalam jangka panjang akan menyebabkan keracunan bagi manusia, resistensi patogen, serta pencemaran lingkungan (Semangun, 2000). Untuk mengurangi dampak tersebut, amat diperlukan menguoayakan pemakaian fungisida nabati yang bersifat ramah lingkungan, salah satunya yakni bawang putih (A. sativum L.) Adapun bawang Putih (A. sativum L.) termasuk ke dalam familia Amaryllidaceae yang umum digunakan masyarakat sehari-hari. Bawang putih digunakan sebagai rempah-rempah karena memiliki aroma yang khas yang disebabkan oleh adanya kandungan senyawa allicin. Kandungan senyawa ini terasa saat bawang putih tersebut dipotong. Allicin ialah senyawa yang tak stabil serta tak tahan terhadap panas yang bersifat farmakologi seperti antibakteri, antijamur, antioksidan (Gupta and Becker 2014). Ekstrak bawang putih mempunyai kandungan senyawa yang telah diuji mempunyai kandungan senyawa yang berefek proteksi untuk sistem kardiovaskular serta memiliki efektivitas antibakteri pada bakteri patogen di dalam tubuh. Efektivitas antibakteri ekstrak bawang putih mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif serta
Gram negatif serta dapat mengendalikan pertumbuhan berbagai jenis bakteri dan jamur diantaranya E.coli, Staphylococcus aureus, Candida albicans, Aspergillus niger (Hardiyanto, 2003).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dijalankan pada
Laboratorim Mikrobiologi Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana dimulai sejak bulan Desember hingga Maret 2021.
Reidentifikasi biakan Colletotrichum acutatum
Peremajaan jamur dilakukan dengan cara menginokulasikan satu loop jarum Ose yang telah berisi biakan jamur C. acutatum ke cawan Petri yang telah diisi media PDA, selanjutnya dilaksanakan inkubasi dalam waktu tujuh hari dengan suhu kamar. Kemudian dilakukan langkah Reidentifikasi dengan mengacu pada buku Fungi and Food spoilage (Pitt dan Hoking, 1997). Pengamatan secara makroskopis mencakup warna koloni, bentuk koloni, serta diameter pertumbuhan koloni, sedangkan pengamatan mikroskopis meliputi bentuk konidia, dan bentuk hifa. Uji Prostulat Koch
Buah cabai merah di sterilisasi terlebih dahulu dengan menggunakan alkohol 70%, Kemudian diambil hifa jamur C. acutatum menggunakan loop kemudian ditusuk pada bagian permukaan buah cabai merah. Selanjutnya diinkubasi dalam tujuh hari dengan suhu kamar. Buah cabai merah yang menunjukkan gejala penyakit yang sama setelah inkubasi selama 7 hari dilakukan selanjutnya disolasi dan direidentifikasi.
Pembuatan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.)
Bawang putih yang mengering di timbang sebanyak 100 gram kemudian dimasukan dalam toples kaca, kemudian diteteskan pelarut etanol 95% sebanyak 1 Liter. Selanjutnya dimaserasi dalam waktu 72 jam di suhu kamar, selanjutnya hasil maserasi disaring dengan menggunakan kain kasa. Hasil maserasi pertama diperoleh filtrat dan ampas, selanjutnya ampas hasil maserasi pertama di tambahkan pelarut etanol 95% kurang lebih 100 mL kemudian di maserasi tahap kedua selama 72 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan
menggunakan kain kasa dan di peroleh filtrat. Hasil maserasi pertama dan kedua digabungkan dan di peroleh filtrat total. Kemudian hasil filtrat di evaporasi pada suhu 35oC – 45oC dengan menggunakan Vacum rotary evaporator buchi dan diperoleh ekstrak kasar (crude extrack). Kemudian ekstrak kasar yang diperoleh siap dilakukan uji daya hambat dan dibuatkan beberapa konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan C. acutatum.
Ekstrak kasar bawang putih dibuatkan konsentrasi 50% (b/v) sebagai konsentrasi stok. Konsentrasi tersebut dibentuk melalui penimbangan 5 gram ekstrak kasar bawang putih lalu ditambahkan 10 mL pelarut etanol 95%. Pada penelitian ini konsentrasi yang diujikan adalah konsentrasi 15% (b/v), 20%(b/v),
25%(b/v), 30%(b/v), 35%(b/v) yang dibuat mempergunakan formula :
V1 . M1 = V2 . M2
Dimana :
-
V1 = Volume awal
-
V2= Volume yang diinginkan
M1 = Konsentrasi awal
M2 = Konsentrasi yang diinginkan
Prosedur Uji Daya Hambat Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Jamur Colletotrichum acutatum
Prosedur pengujian daya hambat ekstrak bawang putih dilakukan mempergunakan metode sumur difusi. Media PDA dipanaskan di penangas air, selanjutnya disiapkan cawan Petri steril lalu ditambahkan 200 μ L suspensi C. acutatum ke cawan Petri kemudian di tambahkan media PDA kurang lebih 15 mL secara aseptis. Selanjutnya dihomogenkan untuk memperoleh pertumbuhan jamur yang merata di atas permukaan cawan Petri. Kemudian media PDA yang telah padat dibuatkan sumur difusi dengan menggunakan cork boor dengan diameter 5 mm. Selanjutnya sebanyak 20 μ L ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 15% (b/v), 20%(b/v), 25%(b/v), 30%(b/v), 35%(b/v) dengan kontrol positif (+) (fungisida sintetik) dan kontrol negatif (-) (solvent etanol 95%) dengan ulangan sebayak 4 kali di masukan ke dalam sumur difusi dan diinkubasi dengan suhu 28oC selama 7 hari. Daya hambat ekstrak ditentukan dengan melakukan pengukuran diameter zone hambat yang timbul pada sekitaran sumur difusi. Pengukuran dilakukan menggunakan jangka sorong sebanyak 4 kali.
Prosedur Uji in vivo Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap jamur Colletotrichum acutatum
Prosedur uji in vivo dilakukan dengan disiapkan cabai merah, kemudian di sterilisasi dengan menggunakan alkohol 70% selanjutnya dicuci dengan air
mengalir. Dipermukaan buah cabai merah diinokulasikan isolat jamur C. acutatum dengan menggunakan jarum. Kemudian disemprotkan ekstrak bawang putih sebanyak 1 mL dan konsentrasinya 15%(b/v), 20%(b/v), 25%(b/v), 30%(b/v), 35%(b/v) pada bagian buah cabai merah yang telah diinokulasikan jamur C. acutatum serta diinkubasi dalam tujuh hari di suhu kamar. Sedangkan kontrol positif dan kontrol negatif pun dilaksanakan mempergunakan tahapan yang sama. Untuk melihat kemampuan daya hambat jamur C. acutatum dilakukan dengan mengukur luas serangan dipermukaan buah cabai merah.
Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dari penelitian ini yaitu konsentrasi ekstrak bawang putih yang digunakan sedangkan variabel terikat dari penelitian ini yaitu mengukur zona hambat secara in vitro dan mengukur luas daerah serangan secara in vivo.
Analisis data
Data yang ditemui pada penelitian ini, berbentuk data kualitatif (daya hambat jamur secara in vitro serta morfoligi jamur) yang ditampilakn dalam bentuk data dan tabel, sedangkan data kuantitatif (daya hambat ekstrak bawang putih secara in vitro, diameter pertumbuhan jamur secara in vivo) dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan SPSS versi 24, apabila data yang didapatkan memiliki beda nyata dengan taraf 5% (P≤0,05) selanjutnya dilaksanakan pengujian Duncan guna mencari tahu letak perbedaan setiap perlakuan.
HASIL
Berdasarkan hasil pengamatan karakteristik morfologi secara makroskopis, C. acutatum yang telah di tumbuhkan dalam media PDA serta di inkubasi dalam waktu 3 hari dengan suhu 28oC menunjukan ciri-ciri koloni pada permukaan atas berwarna putih dengan pusat koloni berwarna keabuan dengan tekstur halus seperti kapas (Gambar 1). Jamur ini terkonfirmasi sebagai penyebab penyakit busuk pada buah cabai merah setelah dilakukan uji Prostulat Koch pada buah cabai merah yang mengalami gejala penyakit dengan morfologi padabagian buah terdapat bercak-bercak berwarna kehitam. Isolat ini memiliki diameter sebesar 63mm pada hari ke 3 setelah inkubasi media PDA pada suhu 28oC.
Gambar 1. Morfologi C. acutatum secara
makroskopis pada media PDA selama 3 hari pada suhu 28oC.
Gambar 2. Struktur mikroskopis C. acutatum perbesaran 100x
Keterangan : (a) Konidia, (b) Hifa, (c) Konidiofor, (d) Hifa.
Tabel 1. Hasil rata-rata diameter zona hambat ekstrak bawang putih (A. sativum L.) terhadap jamur C. acutatum dengan beberapa konsentrasi.
Perlakuan |
Diameter Zona Hambat (mm) |
Kontrol positif (+) |
30,1±1,29g |
Kontrol negatif (-) |
0,00±0,00a |
Konsentrasi 15% |
16,1±0,13b |
Konsentrasi 20% |
18,1±0,11c |
Konsentrasi 25% |
20,1±0,08d |
Konsentrasi 30% |
23,1±0,11e |
Konsentrasi 35% |
25,1±0,95f |
Keterangan : Nilai pada tabel di atas merupakan
nilai rata-rata dari 4 kali pengulangan yang diikuti perbedaan notasi huruf di kolom yang sama yang menampilkan rerata yang berbeda nyata (P≤0,05) sesuai pengujian Duncan sesudah dilaksanakan analisis sidik ragam (ANOVA).
Rata-rata diameter zone hambatan ekstrak bawang putih meningkat bersamaan dengan meningkatnya pemberian konsentrasi ekstrak. Diamter zone hambatan paling besar terjadi pada kontrol positif (Fungisida sintetis) yaitu sebasar 30,1±1,29 mm. Sedangkan untuk konsentrasi ekstrak bawang putih diperoleh rata-rata diameter zone hambatan paling besar terjadi pada konsentrasi 35% (b/v), dengan rata-rata diameter sone hambatan sebesar 25,1±0,95. Penggunaan solvent etanol 95% sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan adanya diameter zone hambatan, data selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 2. MIC ekstrak bawang putih terhadap jamur C. acutatum.
Perlakuan |
Diameter Zona Hambat (mm) |
Kontrol positif (+) |
30,1±1,29e |
Kontrol negatif (-) |
00,0±0,00a |
Konsentrasi 11% |
00,0±0,00a |
Konsentrasi 12% |
10,1±0,17b |
Konsentrasi 13% |
12,2±0,02c |
Konsentrasi 14% |
15,1±0,10d |
Keterangan : nilai-nilai pada tabel di atas diikuti
oleh perbedaan notasi huruf di kolom yang sama yang memperlihatkan nilai rerata yang beda nyata (P≤0,05) menurut pengujian Duncan sesudah dilaksanakan analisis sidik ragam (ANOVA).
Hasil penelitian pada tabel 2. menunjukkan semakin meningkat konsentrasi bawang putih yang diberikan makin besar zona hambatan yang timbul diperoleh rerata diameter zona hambat di tiap perlakuan dengan konsentrasi 11% (b/v), 12% (b/v), 13% (b/v), 14% (b/v) yang diinkubasi selama 3 hari pada suhu 28oC masing-masing sebesar 00,0±0,00; 10,1±0,17; 12,2±0,02; 15,1±0,10. Rerata diameter zona hambat dalam kontrol mengunakan fungisida sintetik diperoleh diameter zona hambat sebesar 30,1±1,29. Berdasarkan tabel 2, rerata diameter zona hambat di tiap perlakuan konsentrasi yang diberikan memperlihatkan temuan yang beda nyata (P ≤ 0,05).
Tabel 3. Hasil uji in vivo ekstrak bawang putih (A. sativum L.) terhadap jamur C. acutatum.
Perlakuan |
Diameter Luas |
Daerah Serangan | |
(mm) |
Kontrol positif (+) |
1,10±0,08a |
Kontrol negatif (-) |
15,1±0,11g |
Konsentrasi 15% |
10,0±0,05f |
Konsentrasi 20% |
8,08±0,05e |
Konsentrasi 25% |
5,09±0,06d |
Konsentrasi 30% |
4,11±0,08c |
Konsentrasi 35% |
2,09±0,06b |
Keterangan : Nilai pada tabel di atas merupakan nilai rata-rata dari 4 kali pengulangan yang diikuti perbedaan notasi huruf di kolom yang sama yang menampilkan rerata yang berbeda nyata (P≤0,05) sesuai pengujian Duncan sesudah dilaksanakan analisis sidik ragam (ANOVA).
Uji in vivo ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan jamur C. acutatum selama 3 hari pada suhu 28oC diperoleh hasil bahwa pada konsentrasi 15% (b/v), 20% (b/v), 25% (b/v), 30% (b/v) serta 35% (b/v) menunjukkan adanya variasi serangan dari jamur tersebut. Rata-rata hasil luas daerah serangan pada permukaan buah cabai merah berturut-turut sebesar 10,0±0,05 mm; 8,08±0,05 mm; 5,09±0,06 mm; 4,11±0,08 mm; 2,09±0,06 mm. Sedangkan luas daerah serangan pada permukaan cabai merah pada perlakuan kontrol positif dan kontrol negatif masing-masing sebesar 1,10±0,08 mm; 15,1±0,11 mm, selengkapnya tersaji dalam Tabel 3. Temuan analisis statistik memperlihatkan ada pengaruh signifikan (P ≤ 0,05) pemberian ekstrak bawang putih terhadap hasil luas daerah serangan jamur permukaan buah cabai.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan karakteristik morfologi secara makroskopis, C. acutatum yang telah ditumbuhkan dalam media PDA dan di inkubasi kurang lebih 3 hari dengan suhu 28oC menunjukan ciri-ciri koloni pada permukaan atas berwarna putih dengan pusat koloni berwarna keabuan dengan tekstur halus seperti kapas (Gambar 1). Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Pranyata dkk (2021), bahwa C. acutatum yang di tumbuhkan pada media PDA dengan masa inkubasi 3 hari secara morfologi menunjukan ciri-ciri miselium berwarna putih dengan pusat koloni berwarna keabuan dengan tekstur halus seperti kapas dan tepi koloni yang rata. Koloni C. acutatum yang sudah tua akan terdapat noda hitam pada bagian pusat koloni.
Hasil pengamatan karakteristik morfologi C. acutatum secara mikroskopis dengan perbesaran 100x diperoleh hifa bersepta tidak bercabang, konidia berbentuk ovoid, konidiofor bercabang (Gambar 2.). Hal ini didukung oleh penelitian Anggraeni dkk. (2019), bahwa hasil pengamatan C. acutatum secara mikroskopis memiliki konidia dengan satu sel, konidia berbentuk elips, berukuran 8,5μm sampai 16,5μm makrokonidia berbentuk silindris dengan bagian ujung tumpul. Dickman, (1993) menyatakan ciriciri C. acutatum adalah memiliki mikrokonidia berbentuk ovoid, konidiafor bercabang dan bersekat serta memiliki stroma yang terdiri dari massa misellium yang berbentuk aservulus. Selanjutnya Semangun, (2006) menyatakan konidia jamur ini umumnya dapat disebarkan melalui angin, air hujan dan serangga. Konidia jamur ini dapat berkembang pada
inangnya dimulai dari pembentukkan misellium berwarna putih pada bagian buah dan berkembang menjadi berwarna kehitaman dan terbentuk aservulus berwarna merah muda sampai coklat muda yang merupakan kumpulan dari konidia.
Setelah dilakukan uji Prostulat Koch, jamur yang diujikan ini terkonfirmasi sebagai penyebab penyakit busuk pada buah cabai merah. Buah tersebut mengalami gejala penyakit dengan morfologi pada bagian buah terdapat bercak-bercak berwarna kehitam. Menurut Sinaga (2006) bahwa proses infeksi jamur genus Colletotrichum dimulai dari adanya konidia yang mendapatkan inang yang cocok untuk tumbuh. Kemudian konidia akan menempel pada permukaan calon inang tempat tumbuhnya, setelah konidia bergerminasi membentuk tabung germinasi (apresorium) pada inang dan dilanjutkan dengan invasi ke dalam jaringan buah yang dapat menyebabkan kematian pada sel inang. Lebih lanjut disampaikan, jaringan yang mengalami kematian akibat adanya infeksi dari jamur akan timbul bercak-bercak kehitaman dan aservulus dengan massa konidia akan berkembang pada daerah yang mengalami infeksi. Dilanjutkan dengan aservulus pada daerah yang terinfeksi yaitu bagian buah, dan tahap akhir jamur berkembang sebagai misselium atau konidia pada bagian buah atau sisa.
Sesuai temuan penelitian yang diperlihatkan pada Tabel 1, makin meningkat konsentrasi ekstrak kasar bawang putih yang diberikan, makin besar juga zona hambatan yang mampu dibentuk. Rerata diameter zona hambatan paling tinggi diperoleh di pengujian ekstrak kasar dengan konsentrasi 35% (b/v) yaitu sebesar 25,1±0,95mm. Selanjutnya berturut-turut konsentasi 30%
(b/v), 25% (b/v), 20% (b/v), dan 15% (b/v) masing-masing sebesar 23,1±0,11mm; 20,1±0,08mm; 18,1±0,11mm; dan 16,1±0,13mm. Secara statistika ada perbedaan yang amat nyata (P≤0,05) di tiap konsentrasi ekstrak kasar yang diujikan.
Daya hambat ekstrak bawang putih pada C. acutatum mempergunakan metode sumur difusi masa inkubasi selama 3 hari pada suhu 28oC memperlihatkan terdapat daerah hambat pada sekitaran sumur difusi. Daerah hambatan yang terbentuk menandakan bahwa bahan yang diujikan memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan C. acutatum. Dalam penelitian ini, hampir semua bahan yang diujikan memiliki kemampuan menghambat C. acutatum kecuali kontrol negatif. Adanya zona hambatan berupa zona bening di sekitar sumur difusi yang didefositkan ekstrak bawang putih dengan beberapa konsentrasi, mengindikasikan ada senyawa aktif pada ekstrak yang mempunyai kemampuan mencegah pertumbuhan jamur C. acutatum. Diameter zona hambat yang tercipta pada sekitaran sumur difusi diakibatkan oleh adanya senyawa metabolit sekunder yang ada pada ekstrak bawang putih sehingga berpotensi menekan pertumbuhan C. acutatum. Menurut Kristiani, (2008) menyatakan bawang putih (A. sativum L.) memiliki senyawa metabolit sekunder allicin yang berperan sebagai antimikroba. Allicin merupakan senyawa yang berasal dari enzim malinase yang sudah terspesifikasi sebagai anti jamur. Dalam penelitian ini belum diketahui golongan atau jenis senyawa apa yang terkandung dalam ekstrak kasar bawang putih yang mampu menghambat pertumbuhan C. acutatum. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, dalam menentukan
karakteristik golongan atau metabolit sekundernya. Pada kontrol negatif yang hanya diberikan etanol 95% tidak membentuk diameter hambatan, hal ini diduga ada faktor sifat etanol yang mudah menguap sehingga belum sempat kontak dengan jamur yang diujikan. Jika perlakuan kontrol dibandingkan dengan disemua konsentrasi ekstrak kasar yang diujikan secara statistik menunjukan rata-rata diameter zone hambatan sangat berbeda nyata (P≤0,05).
Rerata diameter zona bening pada kontrol positif menggunakan fungisida sintetik diperoleh diameter zona hambat sebesar 30,1±1,29mm. Hal ini secara statistik berbeda nyata (P≤0,05) dengan kontrol negatif maupun perlakuan berbagai konsentrasi ekstrak kasar bawang putih yang diberikan. Fungisida ialah tipe pestisida yang dipergunakan khususnya sebagai pengendali organisme pengganggu tanaman penyebab penyakit yang menyebabkan penurunan produksi pasca panen. Penggunaan fungisida sintetik umumnya digunakan untuk mengurangi serangan patogen pada tanaman cabai merah. Kemampuan fungisida sintetik dalam menghambat C. acutatum disebabkan adanya senyawa difenokonazol. Difenokonazol yaitu fungisida yang sistematik yang mengakibatkan pemendekan hifa serta menurunnya penyerapan makanan di daerah yang terinfeksi. Hifa selanjutnya membengkak setelah terinfeksi hingga menyebabkan kematian. Difenokonazol merupaka fungisida spectrum luas dan termasuk golongan fungisida triazol yang bekerja secara sistemik. Difenokonazol memiliki mekanisme menghambat demitilasi selama sintesis ergosterol sehingga menghentikan perkembangan jamur (Purwati, 2016).
Rata-rata diameter zona hambat dengan kategori lemah yaitu <10mm, sedang 10-15mm, kuat 16-20mm, sangat kuat >20mm (Handayani, 2012). Bedasarkan penggolangan rata-rata diameter zona hambat tersebut, maka daya hambat ekstrak bawang putih pada pertumbuhan jamur C. acutatum dengan konsentrasi 15% (b/v) dan 20% (b/v) termasuk berkategori kuat, sedangkan konsentrasi 25% (b/v), 30% (b/v), dan 35% (b/v) termasuk berkategori sangat kuat. Rata-rata diameter zona hambat pada konsentrasi 35% (b/v) mempunyai diameter zona hambat yang terbesar dari konsentrasi yang lain, ini memperlihatkan makin tinggi konsentrasi yang diberikan, makin besar diameter zona hambat yang diciptakan Jika dilihat efektifitas konsentrasi ekstrak kasar bawang putih maka dapat diasumsikan bahwa konsentrasi 25% (b/v) memiliki efektivitas yang baik dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak yang lain.
Hasil penelitian ini dipertegas oleh Pranyata dkk, (2021) yang menyatakan konsentrasi ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus niger menunjukkan diameter zona hambat 23,0mm. Diameter zona hambat yang tercipta pada sekitaran sumur difusi diakibatkan oleh senyawa metabolit sekunder yang ada pada ekstrak bawang putih sehingga berpotensi menekan pertumbuhan jamur C. acutatum. Bawang putih (A. sativum L.) memiliki senyawa metabolit sekunder allicin yang berperan sebagai antimikroba. Allicin merupakan senyawa yang timbul dari enzim malinase yang terspesifikasi anti jamur. Mekanisme kerja allicin sebagai anti fungi dengan cara merusak dinding sel mikroba dan menghambat sentesis lipid yang berperan penting pada aktifitas jamur (Kristiani,
2008). Penelitian serupa yang pernah dilaporkan oleh Supriyono (2011) bahwa, ekstrak bawang putih juga menjadi penghambat tumbuhnya S. rolfsii dalam tanaman kedelai. Hernawan dan Setyawan, (2003) menguji ekstrak bawang putih (A sativum L.) terhadap beberapa jenis mikroba diantaranya Candida albicans, Aspergillus niger, Saccharomyces cereviseae, E. coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Lactobacillus odontyliticus yang juga memberikan hasil positif.
Hasil uji MIC pada tabel 2. menunjukkan semakin meningkat konsentrasi bawang putih yang diberikan makin besar daerah hambatan yang dibentuk, diperoleh hasil rerata diameter daerah hambat di tiap perlakuan dengan konsentrasi 11% (b/v), 12% (b/v), 13% (b/v), 14% (b/v) yang diinkubasi selama 3 hari pada suhu 28oC masing-masing sebesar 00,0±0,00; 10,1±0,17; 12,2±0,02; 15,1±0,10. Rerata diameter zona hambat dalam kontrol yang mengunakan fungisida sintetik konsentrasi 0,1% diperoleh diameter zona hambat sebesar 30,1±1,29. Pemberian ekstrak bawang putih konsentrasi 11% (b/v) tidak membentuk diameter zone hambat sedangkan pada konsentrasi 12% (b/v) dengan diameter zone hambat 10,1±0,17 mm. Jika dilihat diameter sumur difusi sebesar 5 mm maka ada selisih sekitar 5,1 mm diameter zona hambatan yang terbentuk. Tidak adanya daya hambat pada konsentrasi 11% (b/v) diduga disebabkan kurang homogennya ekstrak kasar bawang merah saat diencerkan menjadi konsentrasi 11% (b/v). Dugaan lain dapat terjadi pada konsentrasi 11% (b/v) tidak membentuk diameter zona hambat di sekitar sumur difusi adalah pada konsentrasi tersebut senyawa aktif yang terkandung tidak dapat secara optimal
menghambat pertumbuhan jamur yang diujikan, sehingga jamur tersebut masih tumbuh di sekitar sumur difusi.
Berdasarkan penggolongan rerata diameter zona hambat konsentrasi 12% (b/v) dengan rerata diameter zona hambat yakni 10,1±0,17mm masuk kategori sedang. Demikian juga pada perlakuan dengan konsentrasi 13% (b/v) dengan rata-rata diameter zona hambat sebesar 12,2±0,02mm termasuk dalam kategori sedang. Konsentrasi 14% (b/v) dengan rata-rata diameter zona hambat sebesar 15,1±0,10mm termasuk dalam kategori kuat. Makin besar perlakuan konsentrasi yang diberikan, makin besar pula zona hambat yang ditimbulkan. Adanya kemampuan daya hambat ekstrak bawang putih terhadap jamur C. acutatum disebabkan oleh adanya metabolit sekunder yang dieksresikan.
Menurut Hardiyanto, (2003) bahwa bawang putih memiliki senyawa metabolit sekunder diantaranya allicin, flavonoid, saponin. Selanjutnya dipertegas oleh Winarsi, (2011) bahwa senyawa allicin berperan efektif sebagai antimikroba dengan berspektrum luas. Mekanisme anti jamur dari senyawa flavonoid dengan cara mendenaturasi dan mengkoagulasi protein dari sel jamur. Senyawa flavonoid dapat menimbulkan kompleks protein membran sel jamur. Pembentukan kompleks protein berdampak pada bocornya sel, alhasil organel sel akan keluar secara tak langsung. Hal ini mampu mengganggu mekanisme metabolism yang berdampak mematikan jamur. Tak hanya itu, flavonoid menjadikan protein terkoagulasi sehingga lisis dan mengganggu permeabilitas membran. Senyawa saponin berperan dalam menghambat pertumbuhan jamur. Mekanisme kerja saponin sebagai anti jamur menyebabkan permukaan
dinding sel lisis. Rusaknya dinding sel dapat mengganggu kelangsungan hidup jamur. Saponin berdifusi melalui dinding sel sehingga mengganggu permeabilitas dinding sel.
Berdasarkan uji in vivo ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan jamur C. acutatum selama 3 hari pada suhu 28oC diperoleh hasil bahwa, pada konsentrasi 15% (b/v), 20% (b/v), 25% (b/v), 30% (b/v) serta 35% (b/v) menunjukkan adanya variasi serangan dari jamur tersebut. Rata-rata hasil luas daerah serangan pada permukaan buah cabai merah berturut-turut sebesar 10,0±0,05 mm; 8,08±0,05 mm; 5,09±0,06 mm; 4,11±0,08 mm; 2,09±0,06 mm. Sedangkan luas daerah serangan pada permukaan cabai merah pada perlakuan kontrol positif dan kontrol negatif masing-masing sebesar 1,10±0,08 mm; 15,1±0,11 mm. Hasil analisis statistik memperlihatkan terdapat pengaruh signifikan (P ≤ 0,05) pemberian ekstrak bawang putih pada hasil luas daerah serangan jamur permukaan buah cabai.
Beda rata-rata luas daerah serangan terhadap kontrol negatif akan lebih besar daripada perlakuan konsentrasi ekstrak bawang putih yang disemprotkan pada permukaan buah cabai yang diinokulasikan jamur uji. Perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 35% (b/v) menunjukkan luas daerah serangan jamur sangat kecil jika dibandingkan dengan rata-rata serangan pada kontrol negatif. Pada Tabel 3 menunjukkan perlakuan kontrol positif berupa fungsida sintetik menunjukkan tingkat serangan jamur paling kecil, dan secara statistik sangat beda nyata (P ≤ 0,05) dengan perlakuan yang lain. Tingkat kemurnian dari senyawa aktif yang terkandung dalam fungisida sintetik diduga merupakan
penyebab dalam menekan pertumbuhan C. acutatum pada permukaan cabai merah.
Kemampuan ekstrak bawang putih dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum yang diujikan secara in vivo menunjukkan bahwa kandungan senyawa aktif secara konsisten berperan menekan daya invasi dari jamur tersebut pada buah cabai. Kegagalan invasi dari hifa C. acutatum diduga sebagai penyebab utama kecilnya luas daerah serangan. Senyawa metabolit sekunder yang dapat digunakan untuk mengurangi penyakit busuk buah pada cabai merah diantaranya allicin, flavonoid, dan saponin. Senyawa allicin berperan sebagai antijamur dengan mekananisme merusak dinding sel sedangkan flavonoid berperan dalam menggangu sintesis protein pada jamur. Senyawa saponin dapat merusak membran sitoplasma, dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel jamur (Creswell et al., 2005)
KESIMPULAN
-
1. Ekstrak bawang putih (A. sativum L.) yang menghambat pertumbuhan jamur C. acutatum secara in vitro dengan diameter zona hambat yang paling efektif yaitu konsentrasi 25% (b/v)
dengan rata-rata diameter 20,1±0,08 mm.
-
2. Ekstrak bawang putih (A. sativum L.) yang menghambat pertumbuhan jamur C. acutatum secara in vivo secara nyata dengan diameter luas daerah serangan yang paling baik yaitu konsentrasi 35% dengan rata-rata diameter luas daerah serangan sebesar 2,09±0,06 mm.
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos, C. J dan C.W. Mims. 1996. Introductory Micology. Champman and Hall. London.
Antriana, N. 2016. Metode Ekstraksi dengan Pelarut Etanil. Jurnal Biology Science & Education. 5(2): 133-143.
Arifah. 2014. Ekstraksi dengan Pelarut Etanol. Jurnal Teknologi Pangan. 2(1): 28-32.
Creswell, C. J. Kosasih, P. dan Iwang, S. 2005. Analisis Kandungan Senyawa Organik Edisi Ke-3. ITB. Bandung.
Dickman , M.W. 1993. The Fungi. New York. Academic Press.
Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2009. Luas Panen Rata-rata Hasil dan Produksi Tanaman Hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta.
Gupta, N and Backer. 2014. Garlic Derived Compound Inhibit Human Squalene Monoxygenes. Journal of Nutrition. 1(2): 20-25.
Handayani. 2012. Analisis Kandungan Senyawa Bioaktif Ekstrak Bawang Putih Terhadap Pertumbuhan E.coli. Jurnal Tropical Sains. 18(2): 20-25.
Hardiyanto.2003. Potensi Ekstrak Bawang Putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus. Jurnal Farmasi. 4(2): 103-110.
Hernawan. 2003. Review Organosulfur Bawang Putih (Allium sativum L.). Planta Tropika Journal of Agro Science. 12(6) : 1-20.
Kristiani. N. 2008. Kandungan Senyawa Allicin Ekstrak Bawang Putih. Airlangga University Press.
Surabaya.
Plezcar, M.J and Chan. 2014. Antibacterial activity of Garlic (Allium sativum L.)
Journal Turk Bioscience. 2(2): 125132.
Pranyata, M., W. Efri. dan M. Ratih. 2021. Efektivitas Beberapa Ekstrak
terhadap Tumbuhan Jamur
Colletotrichum gloesporioides
Penyebab Antraknosa pada Cabai (Capsicum annuum L.). Jurnal Agrotek. 9(1): 52-59.
Prasetyo, E., E. Widanengsih, Haerani, M. Handayani, Y. dan Yustikasari.
2012. Pelaksanaan Karantina Tumbuhan dan Pengawasan Keamanan Hayati Nabati pada Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar. Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar.
Purwati, M. 2016. Potensi Cendawan Endofit Dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai Merah. Jurnal Ilmiah. 2(2): 23-30.
Semangun. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University.
Yogyakarta.
Sinaga, M.S. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Swadaya. Jakarta.
Warren, L. 2008. Review of Medical Microbiology & Immunology Tenth Edition. The Mc Graw Hill Companies Inc. New York.
Winarsi, N. 2011. Antioksidan Alami Dan Radikal Bebas. Kanisius.
Yogyakarta.
DOI: https://doi.org/10.24843/JSIMBIOSIS.2022.v10.i02.p08
222
Discussion and feedback