SIMBIOSIS X (1):28-41               http://ojs.unud.ac.id/index.php/simbiosis

Program Studi Biologi FMIPA UNUD

eISSN: 2656-7784

Maret 2022

HUBUNGAN ANTROPOMETRI TULANG PANJANG TERHADAP TINGGI BADAN MAHASISWA SUKU BATAK TOBA DI KOTA BEKASI

THE ANTHROPOMETRY RELATIONSHIP LONG BONE TO HEIGHT OF BATAK TOBA TRIBE STUDENT IN BEKASI CITY

Ezra Oktavia Ambarita1, Iriani Setyawati1, Dwi Ariani Yulihastuti1

1 Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Bali

Email : [email protected]

ABSTRAK

Antropologi forensik adalah penerapan cabang spesifik antropologi biologi berdasarkan tulang dan anatomi manusia. Antropometri merupakan salah satu metode dengan cara mengukur bagian tubuh. Pengukuran tinggi badan merupakan suatu parameter antropologi forensik yang membantu membangun profil biologis seseorang. Tinggi badan dapat ditentukan melalui ukuran tulang panjang diantaranya tulang humerus, radius, ulna, femur, tibia, dan fibula. Penelitian mengenai tinggi badan ini dilakukan pada mahasiswa suku Batak Toba. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antropometri panjang tulang panjang terhadap tinggi badan mahasiswa suku Batak Toba di kota Bekasi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di kota Bekasi dengan subjek penelitian berjumlah 60 orang mahasiswa yang terdiri atas 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan dengan rentang usia 18-22 tahun dari suku Batak Toba yang tidak memiliki kelainan tulang. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Analisis data dilakukan dengan uji Korelasi Pearson (r). Parameter yang dianalisis dalam penelitian ini adalah panjang humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula, tinggi badan, tinggi duduk, berat badan, dan indeks massa tubuh. Hasil analisis uji Korelasi Pearson (r) menunjukkan hubungan yang signifikan antara panjang tulang humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula dan tinggi duduk terhadap tinggi badan dengan korelasi yang kuat hingga sempurna, sedangkan hubungan antara indeks massa tubuh terhadap tinggi badan tidak signifikan dan tidak adanya korelasi pada mahasiswa suku Batak Toba di kota Bekasi.

Kata kunci: tinggi badan, tulang panjang, antropometri, suku Batak Toba

ABSTRACT

Forensic anthropology is the application of a specific branch of biological anthropology based on human bones and anatomy. Anthropometry is a method of measuring body parts. Height measurement is a forensic anthropological parameter that helps build a person's biological profile. Height can be determined by the size of the long bones including the humerus, radius, ulna, femur, tibia, and fibula. This research on height was carried out on Batak Toba students. This study aims to determine the anthropometric relationship of long bone length to the height of Batak Toba students in the city of Bekasi. This research is an analytic observational study with a cross sectional approach. This research was conducted in the city of Bekasi with the research subjects totaling 60 students consisting of 30 men and 30 women with an age range of 18-22 years from the Toba Batak tribe who did not have bone disorders. Samples were taken by purposive sampling technique. Data analysis was performed by Pearson Correlation (r) test. The parameters analyzed in this study were length of humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula, height, sitting height, weight, and body mass index. The results of the Pearson Correlation test analysis (r) showed a significant relationship between the length of the humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula and sitting height with a strong to perfect correlation, while the relationship between body mass index and height was not

significant or no correlation with Batak Toba students in the city of Bekasi.

Keywords: height, long bones, anthropometry, Batak Toba

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki total 17.508 pulau dengan lima pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Papua. Penduduk yang tinggal pada pulau tersebut terdiri atas berbagai macam suku. Indonesia mempunyai lebih dari 300 kelompok suku yang berbeda. Perbedaan suku ini menimbulkan pertanyaan apakah ada perbedaan data antropometri pada suku yang berbeda (Paramita dkk., 2019). Suku Batak merupakan suku terbesar yang menempati wilayah Sumatera Utara yaitu sebanyak 44,75%. Dari perbedaan dialek yang dipergunakan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, suku Batak terdiri atas enam sub-suku yaitu, Toba, Simalungun, Karo, Pak-pak, Angkola, dan Mandailing (Nugraha, 2017).

Antropometri berasal dari kata latin yaitu anthropos yang berarti manusia dan metron yang berarti pengukuran, dengan demikian antropometri mempunyai arti sebagai pengukuran tubuh manusia (Purnomo, 2013). Pengukuran tubuh ini meliputi berat badan, tinggi badan dan dimensi tubuh seperti bentuk tubuh, ketebalan lipatan kulit, serta lingkar, panjang dan lebar dari bagian tubuh tertentu (McDowell et al., 2008). Berbagai macam faktor yang mempengaruhi data antropometri antara lain, etnis, jenis kelamin, umur, pekerjaan, jenis pakaian, dan cacat fisik (Nurmianto, 2005).

Tinggi badan merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam identifikasi individu (Akhlaghi et al., 2012; Shrestha et al., 2015). Estimasi tinggi badan juga menjadi salah satu kriteria identifikasi personal yang membantu mempersempit proses penyelidikan di bidang forensik (Pamela et al., 2013). Menurut Krishan (2008), tulang panjang memiliki tingkat akurasi yang tinggi untuk mengukur estimasi tinggi badan. Korelasi antara

tinggi badan berdasarkan panjang tulang panjang merupakan metode yang telah sering digunakan pada kasus medikolegal (ilmu yang melibatkan kasus hukum dan kedokteran) sejak ratusan tahun yang lalu (Nugraha, 2017).

Penelitian mengenai penentuan tinggi badan berdasarkan panjang tulang sudah banyak dilakukan. Korelasi antara tinggi badan dengan panjang tulang tertentu seperti tibia, fibula, radius, ulna, humerus, dan femur telah dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Fakultas Kedokteran Unila sudah melakukan penelitian mengenai korelasi panjang tulang ulna, panjang telapak kaki, humerus, dengan tinggi badan. Hal tersebut menunjukkan korelasi yang kuat antara panjang tulang dengan tinggi badan (Dyah dan Wulan, 2018).

Pengukuran dengan cara mengukur panjang tulang panjang, terutama digunakan dalam bidang kedokteran forensik. Banyak sekali kasus kematian karena pembunuhan yang telah dilakukan dalam waktu yang cukup lama sehingga yang tersisa hanya tulang-tulang saja yang sudah tanpa jaringan tubuh. Pada kasus pembunuhan karena mutilasi, tentu saja sulit untuk menentukan tinggi badan dari potongan-potongan tubuh yang sudah ditemukan. Lain halnya dalam bidang antropologi, yaitu pada penemuan fosil manusia yang hanya tinggal kerangkanya saja, sehingga sulit diketahui berapa tinggi badan manusia dari kerangka yang ditemukan. Dengan diketahuinya panjang tulang panjang, maka dapat diketahui tinggi badan orang tersebut (Prima dan Handajani, 2014).

Pengukuran tinggi badan penting dalam banyak keadaan, seperti dalam pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) dan analisis komposisi tubuh yang memerlukan berat badan dan tinggi badan sebagai komponen yang mempengaruhi

(Supariasa, 2002). Berat badan merupakan salah satu parameter dalam satuan kilogram (kg) yang digunakan untuk pengukuran tubuh. Melalui berat badan dapat diketahui berbagai informasi untuk menganalisa kondisi tubuh seseorang seperti Body Surface Area (BSA) dan Body Mass Index (BMI) (Ayudina dkk., 2017). Indeks Massa Tubuh merupakan pengukuran sederhana yang berguna untuk memantau status gizi khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Oleh karena itu, penting sekali pengukuran tinggi badan individu dilakukan secara akurat (Supariasa, 2002).

Studi mengenai hubungan panjang tulang panjang pada suku Batak juga masih jarang dilakukan. Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai data antropometri pada suku Batak Toba untuk mengetahui hubungan antropometri tulang panjang terhadap tinggi badan mahasiswa suku Batak Toba di kota Bekasi.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di kota Bekasi pada bulan Januari – Maret 2021.

Materi Penelitian

Materi dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang memiliki darah Batak Toba dari kedua orang tua, panjang humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula, tinggi badan, tinggi duduk, berat badan, dan indeks massa tubuh. Jumlah probandus yang diukur panjang tulang panjang, tinggi badan, tinggi duduk, berat badan, dan indeks massa tubuh berjumlah 60 orang mahasiswa yang terdiri dari 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan dengan rentang usia 18-22 tahun dari suku Batak Toba di kota Bekasi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional dimana pengambilan data hanya dilakukan sekali saja dan dalam waktu tertentu. Teknik sampling atau pengambilan sampel

dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.

Teknik Pengambilan Sampel Penelitian

Sebelum dilakukan pengambilan sampel, calon probandus diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai maksud dan tujuan penelitian serta prosedur pengambilan data yang akan dilakukan. Setelah calon probandus bersedia, maka tahapan selanjutnya adalah pengisian formulir biodata probandus dan pengisian formulir persetujuan probandus (Informed Consent).     Kemudian,     dilakukan

pengukuran tulang panjang (humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula), tinggi badan, tinggi duduk, berat badan, dan indeks massa tubuh.

  • 1.    Pengukuran tulang panjang

Panjang tulang diukur dengan alat ukur pita ukur. Panjang humerus diukur dari epicondylus lateralis dan acromion. Panjang radius diukur dari caput radii sampai proccessus styloideus. Panjang ulna diukur dari apeks olecranon ke proccessus styloideus. Panjang femur kiri diukur dengan posisi berdiri dengan kaki kiri sedikit di depan dari kaki kanan dan posisi kaki kiri tidak sepenuhnya diinversikan untuk merelaksasi jaringan lunak dan diukur dari trochanter major ke condylus femoralis. Panjang femur kanan diukur dengan cara sebaliknya. Panjang tibia kiri diukur dengan posisi duduk dengan lutut kiri semifleksi dan kaki kiri tidak sepenuhnya      diinversikan      untuk

merelaksasikan jaringan lunak dan memperlihatkan penonjolan tulang dan diukur dari condylus medialis sampai ujung malleolus medialis. Panjang tibia kanan dilakukan diukur dengan cara sebaliknya. Panjang fibula kiri dilakukan pada posisi duduk dengan lutut kiri semifleksi dan kaki kiri tidak sepenuhnya diinversikan untuk merelaksasikan jaringan lunak dan memperlihatkan penonjolan tulang dan diukur dari titik paling atas caput fibula sampai ke ujung malleolus lateralis. Setelah itu, tulang-tulang panjang yang

telah diukur, diamati, dan angka yang diperoleh dicatat di lembar pengukuran probandus. Dimensi terhadap pengukuran tulang panjang (humerus, radius, ulna, femur, fibula, tibia) dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Dimensi pengukuran tulang panjang (humerus, radius, ulna) (Simanis, 2020)

Gambar 2. Dimensi pengukuran tulang panjang (femur, fibula, tibia) (Jagad, 2020)

  • 2.    Pengukuran tinggi badan

Pelaksanaan pengukuran tinggi badan, probandus diminta memakai pakaian seminimal mungkin sehingga postur tubuh dapat terlihat dengan jelas. Kemudian alas kaki (sandal atau sepatu) serta aksesoris lainnya dilepas. Lalu, probandus diminta berdiri tegak dengan tangan dalam posisi tergantung bebas di depan tubuh, posisi kepala tegak dengan tatapan mata memandang lurus ke depan, pandangan dan dagu harus berada sejajar dengan lantai, dan menempelkan kepala bagian belakang, bahu bagian belakang, bokong, kedua kaki tertutup rapat, dan kedua tumit menyentuh dinding tembok. Selanjutnya, stature meter disiapkan dan posisi tinggi badan diukur dari bagian atas kepala dan rambut hingga tumit kaki. Setelah itu, angka yang diperoleh dicatat di lembar pengukuran probandus. Dimensi terhadap pengukuran tinggi badan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Dimensi pengukuran tinggi badan (Gustinawati, 2016)

  • 3.    Pengukuran tinggi duduk

Tinggi duduk (sitting stature) yaitu pengukuran panjang tubuh duduk tegak yang diukur dari jarak vertikal dari permukaan tempat duduk ke titik puncak (mahkota kepala) (Gustinawati, 2016). Kemudian, probandus diminta berada dalam posisi duduk tegak dengan pandangan mengarah lurus ke depan dan menempatkan tangannya membentuk sudut siku di atas paha. Lalu pita ukur disiapkan dan diposisikan pada jarak vertikal dari alas duduk sampai titik lapisan atas kepala. Selanjutnya, posisi tinggi duduk diukur, diamati, dan angka yang diperoleh dicatat di lembar pengukuran probandus. Dimensi terhadap pengukuran tinggi duduk dapat dilihat pada Gambar 4.

MM1'¼J ISXUU DALAM

TOUU Ol Dl lι

Gambar 4. Dimensi pengukuran tinggi duduk (Gustinawati, 2016)

  • 4.    Pengukuran berat badan

Pelaksanaan pengukuran berat badan, probandus diminta menggunakan pakaian seminimal mungkin, alas kaki (sepatu dan sandal) dilepas, dan benda-benda berat yang akan mempengaruhi hasil pengukuran seperti kunci, telepon seluler, dompet, dan ikat pinggang dikeluarkan. Kemudian, alat ukur berat badan yaitu timbangan

disiapkan. Lalu, probandus diminta naik ke alat ukur dalam posisi berdiri tanpa dibantu siapapun dan probandus berdiri menghadap lurus ke depan (kepala tidak menunduk), berdiri tegak, rileks dan tenang. Setelah itu, angka yang muncul pada timbangan diamati dan dicatat pada lembar pengukuran probandus. Kemudian probandus diminta untuk turun setelah hasil pengukuran dicatat.

  • 5.    Penentuan Indeks Massa Tubuh

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah suatu pengukuran yang menghubungkan atau membandingkan antara berat badan dengan tinggi badan (Proverawati, 2010). Pengukuran tinggi badan dapat dilakukan dengan alat ukur stature meter dan pengukuran berat badan dapat dilakukan dengan alat ukur timbangan berat badan. Klasifikasi berat badan setelah pengukuran IMT yang ditetapkan oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia) dapat dilihat pada Tabel 1. Kemudian, data tinggi badan dan berat badan yang telah diperoleh dihitung dengan rumus berikut:

Berat badan (kg)

IMT =

Tinggi badan x tinggi badan (m²)

Tabel 1. Klasifikasi berat badan setelah pengukuran IMT

Klasifikasi

Indeks Massa Tubuh

Berat badan kurang

<18,5 kg/m2

Berat badan normal

18,5-22,9 kg/m2

Obesitas ringan

23-24,9 kg/m2

Obesitas sedang

25-29,9 kg/m2

Obesitas berat

≥30 kg/m2

tubuh terhadap tinggi badan pada mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Batak Toba di kota Bekasi.

HASIL

Uji univariat pada sampel penelitian ini menghasilkan      deskripsi      sampel

berdasarkan jenis kelamin, rentang usia, dan suku. Rentang usia pada penelitian ini berada pada usia 18-22 tahun (100%) dengan jenis kelamin laki-laki (50%) dan perempuan (50%), status pekerjaan mahasiswa (100%), dan suku Batak Toba (100%), seperti yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Sampel

Variab Kategori Jumla Persentas el                     h         e

Status

Jenis

Mahasisw a Laki-laki

60

30

100%

50%

Kelami n

Perempua

30

50%

Usia

n 18-22

60

100%

Suku

tahun Batak

60

100%

Toba

Rata-rata seluruh antropometri yakni humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula, tinggi badan, tinggi duduk, berat badan, dan indeks massa tubuh mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Batak Toba di kota Bekasi dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan bahwa grafik ukuran antropometri laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan.

Metode Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul dimasukkan ke dalam tabel dan dicatat pada software Microsoft Office Excel. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Statistical Package for Social Science (SPSS) kemudian dilanjutkan dengan Uji Korelasi Pearson (r) untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tulang panjang, tinggi duduk, dan indeks massa


RATA-RATA

RATA-RATA (P) RATA-RATA (L)


Gambar 5. Grafik rata-rata antropometri tulang panjang, tinggi badan, tinggi duduk, berat badan, indeks massa tubuh mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Batak Toba di kota Bekasi

Hasil        analisis        statistik

menggunakan Uji Korelasi Pearson (r) menunjukkan bahwa hubungan panjang tulang humerus dengan tinggi badan pada laki-laki mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,775 (P<0,05) dan pada perempuan sebesar 0,940 (P<0,05) (Tabel 3). Hubungan panjang tulang radius dengan tinggi badan pada laki-laki mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,943 (P<0,05) dan pada perempuan sebesar 0,964  (P<0,05) (Tabel 4). Hubungan

panjang tulang ulna dengan tinggi badan pada laki-laki mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,823 (P<0,05) dan pada perempuan sebesar 0,935 (P<0,05) (Tabel 5). Hubungan panjang tulang femur dengan tinggi badan pada laki-laki mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,742 (P<0,05) dan pada perempuan sebesar 0,975  (P<0,05) (Tabel 6). Hubungan

panjang tulang tibia dengan tinggi badan pada laki-laki mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,539 (P<0,05) dan pada perempuan sebesar 0,947 (P<0,05) (Tabel 7). Hubungan panjang tulang fibula dengan tinggi badan pada laki-laki mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,651 (P<0,05) dan pada perempuan sebesar 0,920  (P<0,05) (Tabel 8). Tabel 3-8

menunjukkan jenis kelamin perempuan mempunyai nilai korelasi yang lebih besar dibandingkan laki-laki.

Hubungan tinggi duduk dengan tinggi badan pada laki-laki mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,891 (P<0,05) dan pada perempuan sebesar 0,629   (P<0,05) (Tabel 9) yang

menunjukkan nilai korelasi pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Hubungan indeks massa tubuh dengan tinggi badan pada laki-laki mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,107

(P>0,05) dan pada perempuan sebesar -0,030 (P>0,05) (Tabel 10) yang menunjukkan nilai korelasi pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan.

Tabel 3. Uji Korelasi Pearson (r) Hubungan Panjang Tulang Humerus dengan Tinggi Badan

No

Jenis Kelamin

N

Korelasi

Pearson (r)

P

1

Laki-laki

30

0,775

<0,05

2

Perempuan

30

0,940

<0,05

Tabel 4. Uji Korelasi Pearson (r) Hubungan

Panjang Tulang

Radius

dengan Tinggi

Badan

No

Jenis

N

Korelasi

P

Kelamin

Pearson (r)

1

Laki-laki

30

0,943

<0,05

2

Perempuan

30

0,964

<0,05

Tabel 5. Uji Korelasi Pearson (r) Hubungan Panjang Tulang Ulna dengan Tinggi Badan

No

Jenis Kelamin

N

Korelasi

Pearson (r)

P

1

Laki-laki

30

0,823

<0,05

2

Perempuan

30

0,935

<0,05

Tabel 6. Uji Korelasi Pearson (r) Hubungan Panjang Tulang Femur dengan Tinggi Badan

No

Jenis Kelamin

N

Korelasi

Pearson (r)

P

1

Laki-laki

30

0,742

<0,05

2

Perempuan

30

0,975

<0,05

Tabel 7. Uji Korelasi Pearson (r) Hubungan Panjang Tulang Tibia dengan Tinggi Badan

No

Jenis Kelamin

N

Korelasi

Pearson (r)

P

1

Laki-laki

30

0,539

<0,05

2

Perempuan

30

0,947

<0,05

Tabel 8. Uji Korelasi Pearson (r) Hubungan Panjang Tulang Fibula dengan Tinggi Badan

No

Jenis

N

Korelasi

P

Kelamin

Pearson (r)

1    Laki-laki

30

0,651

<0,05

2 Perempuan

30

0,920

<0,05

Tabel 9. Uji Korelasi Pearson (r) Hubungan

Tinggi Duduk deng

an Tinggi Badan

No    Jenis

N

Korelasi

P

Kelamin

Pearson (r)

1    Laki-laki

30

0,891

<0,05

2 Perempuan

30

0,629

<0,05

Tabel 10. Uji

Korelasi Pearson

(r)

Hubungan Indeks

Massa Tubuh dengan

Tinggi Badan

No    Jenis

N

Korelasi

P

Kelamin

Pearson (r)

1    Laki-laki

30

0,107

>0,05

2 Perempuan

30

-0,030

>0,05

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata ukuran antropometri pada mahasiswa laki-laki suku Batak Toba mempunyai nilai rata-rata tulang panjang pada tulang humerus sebesar 30,1 cm, radius sebesar 24,1 cm, ulna sebesar 25 cm, femur sebesar 42,7 cm, tibia sebesar 34,9 cm, fibula sebesar 35 cm, tinggi badan sebesar 168,3 cm, tinggi duduk sebesar 82,9 cm, berat badan sebesar 76,7 kg, dan indeks massa tubuh sebesar 26,5 kg/m2. Rata-rata ukuran antropometri pada mahasiswa perempuan suku Batak Toba mempunyai nilai rata-rata tulang panjang pada humerus sebesar 27,4 cm, radius sebesar 21,4 cm, ulna sebesar 22,9 cm, femur sebesar 38,3 cm, tibia sebesar 31,8 cm, fibula sebesar 31,6 cm, tinggi badan sebesar 157,2 cm, tinggi duduk sebesar 80,5 cm, berat badan sebesar 60,3 kg, dan indeks massa tubuh sebesar 24,3 kg/m2 (Gambar 5).

Tinggi badan merupakan pemeriksaan penting untuk mengidentifikasi seseorang. Tinggi badan dibentuk oleh struktur keras yang disebut kerangka. Kerangka terdiri dari tulang panjang maupun tulang pendek yang tersusun sedemikian rupa satu dengan yang lain yang kemudian membentuk tubuh manusia (Langford, 2015). Tinggi badan merupakan salah satu indikator dari

pengukuran antropometri. Pengukuran tinggi badan diukur melalui puncak kepala (vertex) hingga titik terendah dari tulang calcaneus (heel) (Rahmawati, 2013). Tulang panjang antara laki-laki dan perempuan mempunyai ukuran yang berbeda-beda (Indriati, 2004). Rangka manusia dibagi atas dua bagian yaitu ekstremitas atas meliputi bagian tengkorak, os humerus, os radius, os ulna, os vertebrae, dan os costae sedangkan ekstremitas bawah meliputi os pubis, os femur, os fibula, os tibia, dan os calcaneus (White and Pieter, 2005).

Hasil uji univariat pada penelitian ini didapat rata-rata tinggi badan laki-laki suku Batak Toba 168,3 cm dan 157,2 cm pada perempuan (Gambar 5). Rata-rata tinggi badan laki-laki suku Batak Toba pada penelitian ini termasuk pada kategori di atas sedang menurut kriteria Martin and Knussmann (1988). Hal ini sesuai dengan rata-rata tinggi badan suku Batak pada penelitian Indrani (2019) di Lampung yang memperoleh hasil 169,7 cm yang juga berada pada kategori di atas sedang, namun tidak sesuai dengan penelitian Purba dkk., (2020) bahwa hasil yang diperoleh rata-rata tinggi badan laki-laki suku Batak 170,2 cm dan 153,3 cm pada perempuan. Rata-rata tinggi badan laki-laki suku Batak pada penelitian tersebut termasuk pada kategori tinggi dan kategori sedang pada perempuan suku Batak menurut kriteria Martin and Knussmann (1988).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prasad et al. (2016), bahwa rata-rata tinggi badan seseorang bervariasi tiap negara dan wilayah yang berbeda pada tiap negara. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor geografi, ras, genetik, pola makan, gaya hidup dan stres fisik yang mempengaruhi pertumbuhan panjang tulang, walaupun berasal dari ras yang sama. Perbedaan rata-rata tinggi badan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh kecepatan pertumbuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sekitar usia 10 tahun, kecepatan pertumbuhan antara anak laki-laki dan perempuan cenderung

sama. Namun, setelah menginjak usia 12 tahun kecepatan pertumbuhan anak laki-laki cenderung lebih cepat dibandingkan perempuan. Hal ini menyebabkan kebanyakan laki-laki yang mencapai remaja lebih tinggi daripada perempuan (Simatupang, 2017). Sehingga secara teori disebutkan bahwa laki-laki dewasa lebih tinggi, memiliki tungkai yang lebih panjang dan berat, serta massa otot yang lebih besar dan padat dibandingkan perempuan dewasa (Snell, 2011).

Tinggi duduk merupakan dimensi yang diukur dari permukaan tempat duduk sampai kepala bagian atas secara vertikal dalam posisi duduk tegak (Purnomo, 2013). Kegunaan pengukuran tinggi duduk adalah sebagai salah satu pengukuran alternatif untuk mengetahui tinggi badan pada seseorang (Gustinawati, 2016). Hasil uji univariat pada penelitian ini diperoleh rata-rata tinggi duduk pada laki-laki yaitu 82,9 cm dan 80,5 cm pada perempuan (Gambar 5). Berbeda dengan hasil penelitian Ismianti dkk., (2019) pada mahasiswa suku Batak di Yogyakarta usia 17-26 tahun, diperoleh rata-rata tinggi duduk pada laki-laki yaitu 89,23 cm dan 82,47 cm pada perempuan. Faktor penyebab adanya perbedaan pengukuran tinggi duduk yaitu aktivitas sehari-hari dan posisi duduk. Posisi duduk yang salah dapat menyebabkan otot-otot pinggang menjadi tegang dan dapat merusak jaringan lunak sekitarnya. Bila keadaan ini berlanjut, akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang (Samara, 2004).

Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2002). Hasil uji univariat pada penelitian ini diperoleh rata-rata berat badan pada laki-laki yaitu 76,7 kg

dan 60,3 kg pada perempuan (Gambar 5). Berbeda dengan hasil penelitian Ismianti dkk., (2019) pada mahasiswa suku Batak di Yogyakarta usia 17-26 tahun, diperoleh rata-rata berat badan pada laki-laki yaitu 66,6 kg dan 53,7 kg pada perempuan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa IMT pada mahasiswa laki-laki suku Batak Toba mempunyai rata-rata 26,5 kg/m2 yang termasuk dalam kategori obesitas sedang dan pada mahasiswa perempuan suku Batak Toba mempunyai rata-rata 24,3 kg/m2 yang termasuk dalam kategori obesitas ringan (Gambar 5). Menurut Sitorus (2008), obesitas adalah keadaaan menumpuknya lemak yang berlebihan secara meyeluruh di bawah kulit dan jaringan lainnya dalam tubuh yang disebabkan karena ketidakseimbangan antara makanan yang masuk dan yang digunakan, sehingga terjadi kelebihan kalori. Berbeda dengan hasil penelitian Aprilia (2014) di Yogyakarta diperoleh rata-rata IMT pada mahasiswa laki-laki dan perempuan usia 18-22 tahun sebesar 20,83 kg/m2.

Nilai berat badan dan IMT yang berbeda disebabkan karena beberapa hal, seperti asupan nutrisi, pola makan, aktivitas fisik, gaya hidup, status sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, keadaan lingkungan, paparan penyakit kronis dan persentase lemak. Semakin tinggi asupan nutrisi maka semakin tinggi kemungkinan seseorang mengalami peningkatan IMT. Asupan nutrisi ini dipengaruhi oleh pola makan, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi. Semakin sering seseorang makan, maka makin tinggi pula asupan nutrisinya, begitu pula dengan tingkat pendidikan yang berpengaruh terhadap jenis makanan yang di konsumsi. Tingginya status sosial ekonomi juga dapat meningkatkan daya beli seseorang untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (Putra dkk., 2016).

Tinggi badan dapat diperoleh berdasarkan penghitungan dengan rumus regresi yang menghubungkan tinggi badan dengan ukuran tulang panjang (humerus,

radius, ulna, femur, tibia, dan fibula), tulang pendek (ukuran telapak kaki dan ukuran telapak tangan) serta ukuran cephalofacial (Glinka, 1990). Hasil analisis statistik menggunakan Uji Korelasi Pearson (r) menunjukkan bahwa hubungan panjang tulang humerus dengan tinggi badan mempunyai korelasi kuat (r=0,775) pada laki-laki dan korelasi sempurna (r=0,940) pada perempuan. Hubungan panjang tulang radius dengan tinggi badan mempunyai korelasi yang sama-sama sempurna (r=0,943) pada laki-laki dan (r=0,964) pada perempuan. Hubungan panjang tulang ulna dengan tinggi badan mempunyai korelasi yang sama-sama sempurna (r=0,823) pada laki-laki dan (r=0,935) pada perempuan. Hubungan panjang tulang femur dengan tinggi badan mempunyai korelasi kuat (r=0,742) pada laki-laki dan korelasi sempurna (r=0,975) pada perempuan. Hubungan panjang tulang tibia dengan tinggi badan mempunyai korelasi sedang (r=0,539) pada laki-laki dan korelasi sempurna (r=0,947) pada perempuan. Hubungan panjang tulang fibula dengan tinggi badan mempunyai korelasi kuat (r=0,651) pada laki-laki dan korelasi sempurna (r=0,920) pada perempuan (Tabel 3-8).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari antara tulang-tulang panjang (humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula), maka nilai korelasi yang paling kuat adalah tulang radius terhadap tinggi badan. Tulang radius juga merupakan salah satu tulang panjang penyusun tubuh yang dapat digunakan sebagai prediksi penentuan tinggi badan selain tulang panjang yang lainnya seperti humerus, ulna, femur, tibia dan fibula (Dyah dan Wulan, 2018). Berbeda dengan hasil penelitian Dyah dan Wulan (2018) diperoleh nilai koefisien korelasi antara panjang tulang radius dengan tinggi badan pada suku Lampung adalah (r) 0,452 dan nilai koefisien korelasi antara panjang radius dengan tinggi badan pada suku Jawa diperoleh nilai 0,471. Hasil tersebut menunjukkan keeratan hubungan antara panjang tulang radius dengan tinggi

badan yang sedang pada suku Lampung maupun suku Jawa.

Hubungan antara tinggi badan dengan tulang panjang seperti humerus, radius, ulna, femur, tibia, dan fibula telah banyak dibuktikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Lampung (Unila) mengenai korelasi antara tinggi badan berdasarkan panjang tulang tibia memberikan hasil bahwa keduanya memiliki korelasi yang sangat kuat. Penelitian yang lain juga telah dilakukan di FK Unila yaitu korelasi panjang tulang ulna, panjang telapak kaki, humerus dengan tinggi badan. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan korelasi yang kuat antara panjang tulang dengan tinggi badan (Dyah dan Wulan, 2018). Demikian juga penelitian pada tulang panjang yang dilakukan oleh Pereira (2017) pada 50 individu usia 18-45 di Chennai, India, menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara tinggi badan dan panjang fibula serta menyimpulkan bahwa panjang fibula dapat digunakan dalam model prediksi tinggi badan di kalangan orang dewasa.

Hasil yang diperoleh dari penelitian Purba dkk., (2020) di Medan pada mahasiswa, dosen, pegawai laki-laki dan perempuan juga menunjukkan bahwa adanya korelasi kuat antara panjang tulang humerus dengan tinggi badan pada suku Batak (r=0,784). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ritonga dan Sutysna (2008) pada mahasiswa laki-laki dan perempuan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara diperoleh hubungan panjang kedua tulang tibia dengan tinggi badan mempunyai korelasi sedang sampai kuat (0,488-0,786) hingga sangat kuat (0,952-0,968). Penelitian Nugraha (2017) di Medan pada mahasiswa suku Batak usia 20-22 tahun juga menunjukkan bahwa hubungan panjang kedua tulang ulna dengan tinggi badan mempunyai korelasi yang sama-sama kuat yaitu 0,734 pada laki-laki dan 0,631 pada

perempuan.

Tinggi badan merupakan salah satu contoh bentuk dari pertumbuhan manusia yang dipengaruhi oleh gen dan lingkungan (Langford, 2015). Faktor lingkungan dapat dilihat bagaimana seseorang mendapatkan nutrisi bagi tubuh mereka (Klepinger, 2006). Oleh sebab itu setiap individu memiliki pertumbuhan yang berbeda-beda dengan melihat faktor-faktor yang berpengaruh. Tidak hanya lingkungan, pengaruh gen juga berperan besar dalam penentuan tinggi badan. Perubahan pola hidup, nutrisi, ras, jenis kelamin, usia, aktivitas dapat berpengaruh terhadap pola pertumbuhan tulang (Snell, 2011).

Dalam antropologi forensik, penentuan tinggi badan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu dengan teknik anatomical dan teknik mathematical. Teknik anatomical dilakukan dengan mengukur panjang tubuh korban dengan syarat seluruh komponen dalam tubuhnya seperti tulang beserta soft tissue dalam keadaan intak. Teknik lain yang dapat dilakukan yaitu teknik mathematical. Teknik pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan komponen potongan tubuh korban seperti panjang lengan dan panjang kaki. Pengukuran tinggi badan dapat dilakukan dengan memasukkan panjang potongan tubuh korban ke dalam rumus tinggi badan sehingga didapatkan hasil tinggi badan yang sesuai (Duyar et al., 2005).

Penentuan tinggi badan berdasarkan pengukuran tulang belakang (columna vertebralis) merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk memperkirakan tinggi badan sesorang (Yudianto dan Wibowo, 2019). Hasil analisis Uji Korelasi Pearson (r) antara tinggi duduk dengan tinggi badan mahasiswa suku Batak Toba diperoleh nilai koefisien korelasi sempurna (r=0,891) pada laki-laki dan korelasi kuat (r=0,629) pada perempuan (Tabel 9). Hasil tersebut menunjukkan keeratan hubungan antara tinggi duduk dengan tinggi badan yang sangat kuat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudianto

dan Wibowo (2019) di Surabaya menggunakan analisis regresi linear pada panjang columna vertebralis untuk menentukan tinggi badan seseorang diperoleh nilai korelasi yang cukup kuat, untuk laki-laki (r=0,799) sedangkan untuk wanita (r=0,908). Studi ini mengkonfirmasi korelasi linier yang sangat tinggi antara tinggi badan dengan tinggi duduk pada penelitian Masanovic et al., (2020) di Kosovo Utara (r=0,735 pada pria; r=0,586 pada wanita), yang berarti bahwa parameter antropometrik ini dianggap sebagai penentu tinggi badan yang akurat.

Namun, jika seseorang memiliki tulang belakang dengan kelainan bentuk, patah tulang dan masalah serupa, atau jika dia memiliki anggota tubuh bagian bawah yang diamputasi, tinggi badan yang sebenarnya sulit diukur. Hal yang sama berlaku jika seseorang tidak bisa tetap tegak atau mempertahankan postur karena penuaan. Dalam kasus seperti itu, diperlukan metode untuk memprediksi tinggi badan secara tidak langsung yang obyektif, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran antropometri tertentu (Popovic, 2017). Parameter paling akurat untuk posisi tidak langsung dalam penentuan tinggi badan adalah hubungan antara rentang lengan dan tinggi badan (Brown et al., 2002). Parameter yang dianggap paling dapat diandalkan yaitu hubungan antara panjang kaki dan tinggi berdiri, dan hubungan antara tinggi duduk dan tinggi berdiri (Kanchan et al., 2008). Hubungan antara tinggi duduk dan tinggi berdiri adalah parameter yang disarankan jika diperlukan untuk memprediksi tinggi badan orang dewasa (Leung et al., 1996).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara sederhana untuk memantau status gizi tubuh seseorang khususnya yang berkaitan dengan berat badan apakah seseorang memiliki badan kurus, ideal, atau terlalu gemuk dan membantu menilai status berat badan seseorang terhadap resiko masalah kesehatan akibat kekurangan dan kelebihan berat badan. Data yang diperlukan untuk mencari IMT adalah data

selisih antara berat badan dan tinggi badan (Supariasa, 2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks massa tubuh adalah pola makan yang buruk, genetik, jenis kelamin, ras, kurangnya aktivitas fisik, gaya hidup, usia, dan pekerjaan.

Hasil analisis Uji Korelasi Pearson (r) antara indeks massa tubuh dengan tinggi badan mahasiswa suku Batak Toba diperoleh nilai koefisien korelasi negatif (r=-0,030) pada laki-laki dan (r=0,107) pada perempuan (Tabel 10). Hasil tersebut menunjukkan tidak adanya korelasi antara indeks massa tubuh dengan tinggi badan. Saat menggunakan IMT, umumnya diasumsikan bahwa IMT berkorelasi kuat dengan berat badan, tetapi tidak tergantung pada tinggi badan dan IMT dengan benar mencakup hubungan antara berat badan dan tinggi badan. Penelitian pada orang dewasa menunjukkan bahwa hubungan IMT berkorelasi negatif dengan tinggi badan, terutama pada wanita dan umumnya meningkat seiring bertambahnya usia. Namun, pada anak-anak pra-pubertas, ada hubungan positif antara IMT dan tinggi badan (Sperrin et al., 2016). Hal ini juga sesuai dengan penelitian Wiley (2005) bahwa meskipun IMT sangat berkorelasi dengan berat badan dalam semua penelitian, korelasi negatif yang signifikan antara IMT dan tinggi badan ditemukan pada 31 kelompok pria (r=-0,004 hingga -0,133) dan 32 kelompok wanita (r=- 0,016 hingga -0,205).

Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi dimensi tubuh manusia diantaranya usia, jenis kelamin, suku bangsa (etnis) dan ras, pekerjaan (Wingjosoebroto, 1995). Pada faktor usia, ukuran tubuh manusia akan berkembang dari saat lahir sampai berumur 20–25 tahun dan mulai menurun setelah usia 35–40 tahun. Pada faktor jenis kelamin, kebanyakan ukuran tubuh pria lebih besar daripada wanita kecuali pada bagian pinggul dan pantat. Faktor suku bangsa (etnis) dan ras, manusia yang berbeda etnis dan ras mempunyai ukuran perbedaan dimensi tubuh yang sangat siginifikan. Hal ini juga disebabkan karena

faktor wilayah dengan karakteristik geografis yang berbeda, walaupun dengan ras yang sama. Faktor pekerjaan, aktivitas kerja sehari-hari juga menyebabkan perbedaan ukuran tubuh manusia, karena setiap orang memiliki aktivitas yang berbeda sehari-hari, pada penelitian ini terdapat beberapa mahasiswa yang sambil bekerja sehingga adanya perbedaan nilai antropometri (Andhini, 2018). Selain itu, perbedaan nilai korelasi berdasarkan jenis kelamin tersebut dapat disebabkan karena adanya faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhinya seperti diet, nutrisi, iklim, dan gaya hidup yang menyebabkan setiap orang dalam satu populasi memiliki proporsi tubuh yang berbeda (Nugraha, 2017).

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Rata-rata antropometri humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula, tinggi badan, tinggi duduk, berat badan, dan indeks massa tubuh pada mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan suku Batak Toba di kota Bekasi menunjukkan bahwa nilai antropometri laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan.

  • 2.    Terdapat hubungan yang signifikan antara panjang tulang humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula dan tinggi duduk terhadap tinggi badan dengan koefisien korelasi yang kuat hingga sempurna, sedangkan hubungan antara indeks massa tubuh terhadap tinggi badan tidak signifikan dan tidak adanya korelasi pada mahasiswa suku Batak Toba di kota Bekasi.

SARAN

Diharapkan hasil penelitian ini bisa dimasukkan ke dalam database Antropometri Indonesia khususnya untuk suku Batak Toba di kota Bekasi. Untuk penelitian selanjutnya bisa dilakukan pengujian perbedaan antropometri berdasarkan kebiasaan, pekerjaan, sosial ekonomi dan lainnya pada suku Batak.

DAFTAR PUSTAKA

Akhlaghi, M., H. Marzieh, and M. Behzad. 2012. Estimation of Stature from JBP Azizatul Haq Larasati Upper Limb Anthropometry in Iranian Population. Journal of Forensic and Legal Medicine. 20 (2) : 280 – 284.

Andhini, V. 2018. Hubungan Antropometri Dengan Kursi Kerja Di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Mojokerto. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health. 7 (2) : 200 – 209.

Aprilia, S. 2014. Profil Indeks Massa Tubuh Dan VO2 Maksimum Pada Mahasiswa Anggota Tapak Suci Di Universitas        Muhammadyah

Surakarta. Naskah Publikasi. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah         Surakarta.

Surakarta.

Ayudina, N., F. Rahman., H. Fauzi., T. N. Azhar, dan R. D. Atmadja. 2017. Analisa Metode Pengukuran Berat Badan Manusia Dengan Pengolahan Citra. Jurnal Teknik. 38 (1) : 35 – 39.

Brown, J. K., J. Y. Feng, and T. R. Knapp. 2002. Is Self-Reported Height or Arm Span a More Accurate Alternative Measure of Height. Clin. Nurs. Res. 11 (4) : 417 – 432.

Duyar, I. C. P., R. Zagyapan., F. W. A. K. Palmer, and R. R. Glisson. 2005. A New Method of Stature Estimation Ekenstam. The Load on the Radius and Ulna in Different Positions of the Wrist and Forearm: A Cadaver Study.     Acta     Orthopaedica

Scandinavica. 55 (3) : 363 – 365.

Dyah, I dan A. J. Wulan. 2018. Korelasi Antara Panjang Tulang Radius Dengan Tinggi Badan Pada Pria Dewasa Suku Lampung dan Suku Jawa di Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus. Jurnal Kedokteran Unila. 2 (1) : 14 – 19.

Glinka, J. 1990. Antropometri dan Antroposkopi Edisi 3. FISIP

Universitas Airlangga. Surabaya.

Gustinawati, I. 2016. Perbedaan Ukuran-Ukuran Antropometri Pada Atlet Anak Tunagrahita Ringan Cabang Olahraga Sepakbola Dengan Tunagrahita Non Atlet Dan Atlet Sepakbola    Normal    Tahun

2015/2016. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Indrani, N. W. P., N. Carolia, dan A. J. Wulan. 2019. Korelasi Panjang Jari Telunjuk Tangan terhadap Tinggi Badan Pria Dewasa Suku Bali dan Suku Batak di Kecamatan Tanjung Senang Bandarlampung. Medula. 8 (2). 94 – 99.

Indriati, E. 2004. Antropologi Forensik: Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi Biologis Dalam Konteks Hukum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ismianti., Herianto, dan Ardiyanto. 2019. Studi Antropometri Mahasiswa Indonesia Bersuku Batak Dan Jawa. Jurnal Ergonomi Indonesia. 5 (2) : 47 – 56.

Jagad. 2020. Fungsi Tulang Paha Manusia. https://jagad.id/fungsi-tulang-paha-manusia/. Diakses pada tanggal 28 Desember 2020.

Kanchan, T., R. G. Menezes., R. Moudgil., R. Kaur., M. S. Kotian, and R. K. Garg. 2008. Standing Height Estimation from Foot Dimensions. Forensic Sci. Int. 179 (2-3) : 241 – 245.

Klepinger, L. L. 2006. Fundamentals of Forensic Anthropology. John Wiley and Sons Inc. New Jersey.

Krishan, K. 2008. Estimation of Stature from Cephalo-facial Anthropometry in North Indian Population. Forensic Science  International.

(181) : 521 - 526.

Langford, K. 2015. Anatomy 101 From Muscles snd Bones to Organs and Systems, Your Guide to How the Human Body Works. Avon, Massachusetts. Adam’s Media. 120 – 125.

Leung, S. S. F., J. T. F. Lau., Y. Y. Xu., L. Y. Tse., K. F. Huen., G. W. K. Wong., W. Y. Law., V. T. F. Yeung., W. K .Y. Yeung, and N. K. Leung. 1996. Secular Changes in Standing Height, Sitting Height and Sexual Maturation of Chinese-The Hong Kong Growth Study. Ann. Hum. Biol. 23 (4) : 297 – 306.

Martin, R and R. Knussmann. 1988. Anthropologie  : Handbuch  der

Vergleichenden Biologie   des

Menschen. Worldcat. New York.

Masanovic, B., F. Arifi, and J. Gardasevic. 2020. Relationship Between Sitting Height Measurements and Standing Height: A Prospective Regional Study among Adolescents in the Southern Region of Kosovo. International Journal Morphol. 38 (6) : 1681 – 1685.

McDowell, M. A., C. D. Fryar., C. L. Ogden, and K. M. Flegal. 2008. Anthropometric Reference Data for Children and Adults: United States, 2003-2006.    National    Health

Statistic Reports. National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES).    United States:

Hyattsville. 10 : 1 – 45.

Nugraha, B. P. 2017. Korelasi Antara Panjang Tulang Ulna Terhadap Tinggi Badan Pada Mahasiswa Suku Batak Di Fakultas Kedokteran Universitas      Muhammadiyah

Sumatera      Utara.      Skripsi.

Universitas      Muhammadiyah

Sumatera Utara. Medan.

Nurmianto, E. 2005. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasi (II). Guna Widya. Surabaya.

Pamela, M., M. Misiani., J. Ogeng’o., M. Obimbo, and G. Gikenye. 2013. Estimation of the Length of the Tibia from Dimensions of the Distal Articular Surfaces of the Tibia in Adult Kenyans. International Journal of Healthcare and Biomedical Research. 1 (4) : 250 – 257.

Paramita, M., S. Zetli, dan N. Fajrah. 2019. Perbandingan Data Antropometri Berdasarkan Suku Di Indonesia. Jurnal Rekayasa Sistem Industri. 5 (1) : 23 – 34.

Popovic, S. 2017. Local Geographical Differences in Adult Body Height in Montenegro. Monten Journal Sports Sci Med. 6 (1) : 81 – 87.

Prasad, A K., S. N. Shukla, dan A. D. Kumar. 2016. Estimation of Human Stature from Ulnar Length in Rural Region of Maharashtra. IJCAP. 3 (3) : 343 – 347.

Prima, A dan P. T. Handajani. 2014. Panjang Tulang Femur Dapat Menjadi Penentu Tinggi Badan Pria Dewasa Muda. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 14 (1) : 38 – 42.

Proverawati, A. 2010. Obesitas dan Gangguan Perilaku Makan Pada Remaja. Nuha Medika. Yogyakarta.

Purba, R. A., S. V. Simorangkir, dan R. R. Lamtiar. 2020. Korelasi Antara Panjang Tulang Humerus Dengan Tinggi Badan Suku Batak Di Universitas HKBP Nommensen Medan. Nommensen Journal of Medicine. 6 (1) : 5 – 8.

Purnomo, H. 2013. Antropometri dan Aplikasinya. Edisi 1. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Putra, R. N. Y., Ermawati, dan A. Amir. 2016. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Usia Menarche pada Siswi SMP Negeri 1 Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 5 (3) : 551 – 557.

Rahmawati. 2013. Menentukan Tinggi Badan Berdasarkan Panjang Tungkai Atas. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Kedokteran Klinik dan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

Ritonga, P. D. U dan H. Sutysna. 2008. Korelasi Panjang Tulang Tibia Terhadap Tinggi Badan Pada

Mahasiswa FK UMSU. Smart Medical Journal. 1 (1) : 1 – 6.

Samara, D. 2004. Lama Dan Sikap Duduk Sebagai     Faktor     Risiko

Terjadinya Nyeri Pinggang Bawah. Fakultas Kedokteran Trisakti. Jakarta.

Shrestha, R., K. S. Pramod., W. Harihar., K. Tulsi., K. Tanuj, and K. Kewal. 2015. Craniometric Analysis for Estimation of Stature in Nepalese Population - A Study on an Autopsy Sample. Journal Forensic Science International. 248 : 186 – 187.

Simanis. 2020. Fungsi Tulang Lengan Atas:Pengertian, Struktur, Letak, Pelekatan Otot dan Cara Melatih Tulang Lengan Atas (Humerus). https://www.pelajaran.co.id/2020/1 8/tulang-lengan-atas.html. Diakses pada tanggal 21 Desember 2020.

Simatupang, A. N. H. 2017. Hubungan Panjang Telapak Tangan Terhadap Tinggi Badan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ibnu Sina Biomedika. 1 (1) : 1 – 14.

Sitorus, R. 2008. Pedoman Perawatan Kesehatan Anak. Yama Widya. Bandung.

Snell, R. S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. EGC. Jakarta.

Sperrin, M., A. D. Marshall., V. Higgins., A. G. Renehan, and E. Buchan. 2016. Body Mass Index Relates Weight to Height Differently in Women and Older Adults : Serial Cross-Sectional Surveys in England (1992–2011). Journal Public Health. 38 (3) : 607 – 613.

Supariasa. 2002. Penilaian Status Gizi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Supariasa, N. 2012. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.

White, T. D and F. A. Pieter. 2005. Human Bone Manual. Elsevier Academic Press. USA.

Wiley, L. 2005. Weight-Height Relationships and Body Mass Index : Some Observations From the Diverse

Populations Collaboration. Am Journal Phys Anthropol. 128 (1) : 220 – 229.

Wingjosoebroto, S, 1995. Ergonomi: Studi Gerak dan Waktu. Guna Widy. Surabaya.

Yudianto, A dan A. Wibowo. 2019. Correlation Between Vertebral Length (OS. Vertebralis) and Body Height in Indonesian People. Majalah Kedokteran Bandung. 5 (1) : 13 – 16.

41