KEBUTUHAN BULU MERAK HIJAU (Pavo muticus muticus) UNTUK REOG PONOROGO
on
SIMBIOSIS VIII (2): 83-89 http://ojs.unud.ac.id/index.php/simbiosis
Program Studi Biologi FMIPA UNUD
eISSN: 2656-7784
September 2020
KEBUTUHAN BULU MERAK HIJAU (Pavo muticus muticus) UNTUK REOG PONOROGO
GREEN PEAFOWL (Pavo muticus) FEATHERS’S NEEDED FOR REOG PONOROGO
Tri Wahyu Widodo¹, Gunawan², Fajar DNA¹, Alma’ul Imroti H², Tauhid Nursalim³, Basuki Santoso⁴, Eggi Diswanto⁴, Eddy Kurniawan⁴, Taufiq Hidayat⁴
-
1. BBKSDA Jawa Timur, Jl. Bandara Juanda, Surabaya 61253 fajardwinuraji@gmail.com
-
2. Yayasan Konservasi Elang Indonesia, Perumahan Bumi Indraprasta I.Jl. Arimbi I No. 7, Bantarjati,, Bogor, West Java, Indonesia gunawan215@yahoo.com
-
3. Fakultas Kedokteran Hewan UGM
-
4. PT. Pertamina (Persero) Integrated Terminal Surabaya, Jalan Perak Barat No. 277, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya, Jawa Timur.
ABSTRAK
Kesenian Reog Ponorogo merupakan budaya asli Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Barongan (dadak merak) sebagai salah satu unsur dominan Reog Ponorogo memanfaatkan bagian satwa dilindungi jenis merak hijau (Pavo muticus). Hasil penelitian yang dilakukan di salah satu penangkaran merak di Madiun dan terhadap 4 kelompok pengrajin dadak merak di Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur) yang dilakukan pada tahun 2018, diketahui bahwa seekor merak jantan dapat menghasilkan 100-150 helai bulu setiap kali musim rontok, sedangkan kebutuhan sebuah barongan adalah 900 – 1.500 helai bulu merak. Sehingga untuk dapat mencukupi kebutuhan bulu merak untuk para pengrajin dadak merak yang ada di Kabupaten Ponorogo, dibutuhkan 20 buah penangkar merak hijau dengan jumlah jantan dewasa setidaknya 6-10 ekor.
Kata kunci: penangkaran, bulu, merak, reog Ponorogo
ABSTRACT
Reog is one of Indonesian art which is origin from Ponorogo, East Java. Barongan (dadak merak), the most dominant element of this art using the part of protected animals the green peafowl (Pavo muticus)’s feathers. In 2018, we do research to one green peafowl breeder and four “barongan” maker’s groups in Ponorogo District. Our research result found that to make single “barongan”, they need about 900-1200 feathers which is similar with 6-10 male green peafowl. Our data also shows that every group produce about 20 “barongan” in every year. The only one green peafowl breeder in Ponorogo who has 12 adult male only can supply for one maker group. So, if we want to make reog ponorogo recognized as a world heritage, we need 20 green peafowl breeders which have 6-10 adult male individual.
Keywords: breeder, feather, green peafowl, reog Ponorogo.
PENDAHULUAN
Merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) Linnaeus 1758, merupakan salah satu anak jenis merak hijau, yang saat ini hanya terdapat di Pulau Jawa (van Balen et al. 1991). Mackinnon et.al. (1998) menyebutkan bahwa habitat merak hijau adalah hutan terbuka dengan semak belukar. Hoogerwerf (1970) mengatakan bahwa merak hijau di Ujung Kulon (Jawa Barat)
memilih area terbuka untuk mencari makan. Dalam Hernowo (1999) disebutkan bahwa secara umum, merak hijau menyukai hutan yang tidak mempunyai banyak jenis pohon tidak merata dengan area terbuka kecil.
Menurut Hernowo (1995) tipe habitat merak hijau adalah hutan dataran rendah yang kering dan perkebunan jati. Kemudian Brickle (2002) juga menyebutkan bahwa merak hijau menyukai daerah hutan
meranggas dengan sumber air tetap yang jauh dari gangguan manusia, sehingga kepadatannya lebih rendah di hutan campuran, hutan tanpa sumber air atau yang dekat dengan pemukiman. Beberapa kawasan yang menjadi habitat merak hijau adalah kawasan-kawasan konservasi, seperti taman nasional suaka marga satwa, cagar alam dan taman buru (Hernowo. 1999).
Ancaman terhadap kelestarian Merak Hijau di antaranya adalah perburuan satwa ini dan telurnya, serta degradasi habitat (Hernowo. 1999). Merak Hijau termasuk dalam
kategori jenis yang dilindungi undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Noerdjito & Maryanto 2001), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi (Anonim. 2018) sebagai mana diubah terakhir dengan
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 (Anonim. 2018). Berdasarkan Daftar Merah IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources), jenis merak hijau masuk dalam kategori Endangered atau Terancam Punah dengan Tren Populasi di alam Menurun (IUCN. 2020). Merak Hijau juga termasuk dalam daftar Appendiks II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dimana dalam daftar tersebut memuat daftar-daftar jenis spesies tumbuhan yang satwa yang akan mengalami kepunahan apabila kegiatan perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan (CITES. 2020).
Sangat penting untuk meningkatkan populasi merak hijau, tidak semata-mata
karena merak merupakan jenis satwa dilindungi, namun juga bahwa Kesenian Reog yang identik dengan Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur) salah satu unsur dominannya menggunakan bulu merak. Kesenian asli Indonesia ini menggunakan Dhadhak merak sebagai komponen utama yang menggunakan unsur dominan dari bulu merak (Aliyah et al. 2014).
Wardani (2015) menyebutkan bahwa tahun 1995-1998 ukuran dadak merak adalah tinggi dan lebar rengkek adalah 1,85m menggunakan bulu merak asli India jumlahnya 900 helai, cohong yang digunakan burung merak asli yang diawetkan, untuk sirah reog sendiri atau barongan tingginya 50 cm menggunakan kulit harimau asli dengan berat total dari dadak merak adalah 40 kg. Untuk tahun 1999 - 2002 rengkek yang digunakan tinggi dan lebarnya 1,85 m dengan bulu merak asli India, namun ada juga yang menggunakan bulu merak lokal jumlahnya 1.100 helai, cohong asli, dan sirah reog atau barongan memiliki ukuran 60 cm dengan kulit harimau asli berat total 50 - 60 kg, pada tahun 2003 - 2005 rengkek memiliki ukuran 1,25 - 1,5 m dengan bulu merak campuran India dan lokal dengan jumlah 1.300 - 1.500 helai, cohong asli dan buatan, untuk sirah reog memiliki tinggi 60-120 cm berat total 70-75 kg.
Data tersebut menunjukkan bahwa, bagian yang digunakan untuk dadak merak tidak seluruhnya merupakan merak hijau akan tetapi juga berasal dari ekor merak biru india (Pavo cristatus). Merak biru bukan merupakan spesies asli Indonesia yang menurut hasil wawancara dapat diperkirakan bahwa bulu merak biru tersebut masuk ke Indonesia tanpa dilengkapi dengan dokumen legalitas (Aji. 2019 pers.com)
Tahun 2010, Reog Ponorogo diupayakan jadi salah satu warisan budaya
UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) namun hal ini tidak membuahkan hasil. Kemudian pada tahun 2016 dan 2017 Pemerintah Indonesia kembali mengusulkan reog ponorogo kepada UNESCO dan tetap belum membuahkan hasil. Menurut informasi dari salah seorang penggiat reog ponorogo, kemungkinan penyebabnya adalah karena belum tersedianya sumber
berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu dukungan penangkaran merak hijau yang dapat mencukupi kebutuhan bulu merak yang legal dan berkelanjutan.
LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di pengajin dadak merak dan penangkar merak di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur).
pasokan bahan baku dhadhak merak yang
INDONESIA
Jawa
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Madiun, Jawa Timur
METODE PENELITIAN
Kegiatan survey dilaksanakan pada tanggal 5 s.d 10 September 2018 dengan menggunakan metode observasi/pengamatan langsung dan wawancara semi struktural (Sandroto. 1999) dengan tujuan mendapat informasi tentang seluk beluk penangkaran merak hijau dan pemanfaatan bulunya dalam pembuatan dadak merak. Wawancara dengan penangkar bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perawatan dan perkembangbiakan merak hijau. Sedangkan dengan pengrajin dadak merak wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang jumlah produksi dan kebutuhan bulu merak. Wawancara dilakukan terhadap empat kelompok pengrajin dan dua penangkar merak hijau di
dua kabupaten Madiun dan Ponorogo. Survey diawali dengan mengumpulkan data yang tersedia di internet, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur dan Pemerintah daerah setempat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Survey yang dilakukan oleh tim mulai tanggal 5 hingga 10 September 2018 mengidentifikasi 2 penangkar Merak Hijau di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo. Di Kabupaten Madiun terdapat sebuah penangkaran merak hijau yang dikelola oleh UD. Tawang Arum. Penangkaran ini sudah beroperasi sejak tahun 1998, namun ijin penangkarannya baru diperoleh pada tahun 2010. Sedangkan di Kabupaten Ponorogo, terdapat
penangkaran merak hijau yang dikelola oleh Yayasan Reog Ponorogo sejak tahun 1980. Ijin penangkaran yayasan ini baru diperoleh pada tahun 2012.
Dari survey ini juga berhasil diidentifikasi 4 (empat) kelompok yang bergerak dalam usaha pembuatan alat peraga kesenian reog berupa kepala barong dan dadak reog di Kabupaten Ponorogo yang tersebar di 4 (empat) kecamatan; yaitu Kecamatan Tambak Bayan, Kecamatan Sumoroto, Kecamatan Keniten dan Ngampel.
Selain data tersebut, juga teridentifikasi adanya 28 kelompok penggiat kesenian reog di Kabupaten Ponorogo. Kelompok-kelompok tersebut tersebar di 4 (empat) kecamatan yaitu : Kecamatan Jenangan, Kecamatan Bungkal, Kecamatan Ponorogo, dan Kecamatan Ngebel dengan rata-rata tiap kecamatan mempunyai 7 (tujuh) kelompok penggiat kesenian reog dengan rata-rata tiap kelompok mempunyai 2 kepala reog.
Hasil survey lapangan mendapati bahwa penangkar merak di UD Tawang Arum mempunyai 23 ekor merak yang terdiri dari 12 jantan dan 11 betina, sedangkan penangkar di Ponorogo mempunya 7 ekor merak yang terdiri dari 5 jantan dan 2 betina. Penangkar merak hijau di Ponorogo yang mengelola satwa titipan dari BBKSDA Jawa Timur belum pernah mencatat keberhasilan pengembangbiakan merak hijau. Kemungkinan penyebabnya adalah pengelompokkan yang terlalu besar dimana perbandingan jantan lebih banyak dari betina.
Penangkar UD Tawang Arum telah beberapa kali mencatat keberhasilan mengembangbiakkan merak hijau, bahkan mereka juga tercatat telah melakukan penjualan merak hijau hasil penangkarannya. Penangkar yang awalnya
memiliki dua ekor merak ini, selain mengeola merak hijau hasil tangkaran, juga mengelola merak hijau yang berasal dari titipan barang sitaan atau serahan milik BBKSDA Jawa Timur. Penambahan individu satwa baru dari luar keluarga sangat penting untuk menjaga kemurnian genetiknya.
Dari penangkar merak UD Tawang Arum diketahui bahwa perawatan merak hijau tidak ubahnya memelihara ayam kampung dengan pemberian pakan berupa biji-bijian dan sayur-sayuran (sawi, kangkung dan kecambah). Dalam sekali bertelur, merak hijau dapat menghasilkan 46 butir telur berukuran hampir sama dengan telur ayam petelur. Dari berbagai metode penetasan yang pernah dilakukan, diketahui bahwa penetasan telur merak hijau dengan menitipkan pada ayam kampung yang sedang mengeram lebih efektif daripada menggunakan mesin penetas. Metode ini bisa memberikan tingkat keberhasilan mencapai 60%.
Dibutuhkan ketelatenan dan keinginan penangkar untuk berinovasi agar penangkaran merak hijau bisa berhasil. Salah satu kendala yang dialami oleh penangkar merak hijau adalah ketika pergantian musim dimana sering terjadi wabah penyakit unggas. Penyakit yang juga sering menyerang ayam ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kematian pada merak hijau.
Sementara, hasil pendataan menunjukkan bahwa terdapat empat kelompok pengrajin dadak merak yang setiap tahunnya rata-rata mampu menghasilkan 20 buah dadak merak. Data lengkap tentang kelompok pengrajin dadak merak dan kebutuhan mereka akan bulu merak dapat dilihat dari tabel 1.
Dari tabel di atas dikethaui bahwa rata-rata kebutuhan bulu merak untuk empat kelompok pembuat dadak merak di Kabupaten Ponorogo adalah 24.000 helai setiap tahunnya. Menurut informasi yang diperoleh, dari para pengrajin, sebagian besar kebutuhan bulu tersebut dipenuhi
dengan bulu merak biru. Sebagian lainnya berasal dari bulu merak hijau yang (mungkin) berasal dari perburuan. Dan hanya sebagian kecil sekali yang memanfaatkan bulu merak hijau dari hasil penangkaran.
Tabel 1. Kebutuhan bulu merak untuk pembuatan dadak merak di Kabupaten Ponorogo
No Lokasi |
Lama Kegiatan Jumlah Produk Kebutuhan Bulu (Tahun) |
Rata-rata |
43 8 7.200 – 12.000 (rata-rata 9.600) 28 8 7.200 – 12.000 (rata-rata 9.600) 24 20 18.000 – 30.000 (rata-rata 24.000) 86 44 39.600 – 66.000 (rata-rata 52.800) 45,25 20 24.000 |
Menurut pengelola penangkaran merak hijau UD Tawang Arum (Madiun), tidak semua bulu merak dapat digunakan dalam pembuatan dadak merak. Hanya 2-3 macam bulu dari merak jantan yang dapat digunakan; yaitu cawang, pelong dan rawis (Gambar 2). Dalam dalam sekali musim rontok, seekor merak jantan dewasa bisa menghasilkan 100-150 helai bulu (rata-rata 125 helai) dari ketiga macam bulu tersebut. Sehingga dengan memperhitungkan kebutuhan di atas, maka kebutuhan ini dapat dipenuhi oleh 192 ekor merak jantan. Jumlah ini setara dengan 16 penangkar dengan kapasitas merak hijau sebagaimana UD Tawang Arum.
Pemilihan bulu merak biru sebagai bahan utama pembuatan dadak merak, selain ditentukan oleh kemudahan untuk mendapatkan, juga ditentukan oleh harga yang lebih murah. Harga bulu merak hijau hasil penangkaran rata-rata adalah Rp.10.000,- sedangkan harga merak biru tanpa dokumen yang jelas bisa mencapai Rp.9.000,-.
Gambar 2. Tiga macam bulu merak hijau jantan yang digunakan dalam pembuatan dadak merak
Oleh karena itu, perlu upaya sosialisasi dan penyadartahuan agar makin banyak orang yang bersedia melakukan penangkaran merak hijau ini. Semakin banyak penangkar merak hijau akan membantu dalam memenuhi kebutuhan bulu merak hijau untuk pengrajin dadak merak di Kabupaten Ponorogo. Ketersediaan bulu merak sebagai bahan baku pembuatan dadak merak yang berasal dari hasil penangkaran dapat menjamin bahwa pemanfaatan bulu merak untuk mendukung budaya reog ponorogo tidak mengancam kelestarian spesies merak hijau di alam.
Dengan adanya sejumlah penangkaran yang dapat menjamin ketersediaan bahan baku pembuatan dadak merak sebagai komponen utama reog ponorogo, maka hal ini diharapkan dapat menjadi faktor pendukung untuk menjadikan reog ponorogo sebagai warisan budaya dunia yang diakui oleh UNESCO.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kami ucapkan kepada Balai Besar KSDA Jawa Timur dan seluruh jajarannya, PT. Pertamina Inetgrated Terminal Surabaya, Surat Wiyoto serta semua pihak yang telah mendukung penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aliyah, I.; Purwanto S.N.; & Galing N.
2014. Model pengembangan kawasan penangkaran burung merak untuk mendukung revitalisasi kesenian reyog dan menunjang pembangunan pariwisata di Kabupaten Ponorogo. Journal of Rural and Development. Vol 5 No. 2. Pp. 129-146
Anonim. 2018. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/20 18. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Anonim. 2018. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2 018. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
BirdLife International. 2001. Threatened birds of Asia: the BirdLife
International Red Data Book. BirdLife International, Cambridge, U.K.
Brickle, N.W. 2002. Habitat use, predicted distribution and conservation of green
peafowl (Pavo muticus) in Dak Lak Province, Vietnam. Biological Conservation 105(2): 189-197.
CITES. 2020. Pavo muticus. Available at https://checklist.cites.org. (Accessed: 17 Juli 2020)
Hernowo, J.B. 1995. Ecology and behavior of the green peafowl (Pavo muticus Limnaetus 1766) in the Baluran National Park, East Java, Indonesia. Faculty of Forest Science. Georg August University Gottingen.
Gottingen.
Hernowo, J.B. 1999. Habitat and local distribution of javan green peafowl (Pavo muticus muticus Limnaetus 1758) in Baluran National Park, East Java. Media Konservasi. Vol. VI (1): 15-22
Hoogerwerf. A. 1970. Ujungkulon the land of the last javan rhinoceros. E.J.Brill Leiden. Netherland
IUCN. 2020. IUCN Red List of Threatened Species (ver. 2020.2). Available at: http://www.iucnredlist.org. (Accessed: 17 Juli 2020).
MacKinnon, J., Phillipps, K. & Balen, S. van. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk Sabah, Sarawak dan Brunei Darrussalam). Puslitbang Biologi-LIPI Jakarta.
Noerdjito, M. & I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia.
Balitbang Zoologi & Puslitbang
Biologi-LIPI.The Nature Conservancy & USAID. Cibinong, Indonesia.
Sandroto, C.W. 1999. Wawancara sebagai salah satu alat seleksi. Jurnal Bina Ekonomi. Vol.3(2). pp. 16-21
Setiadi, T. 2012. Predicting the Distribution of Green Peafowl Pavo muticus in Java Indonesia Using A Species
Distribution Model. Dissertation submitted to the University of East Anglia, in partial fulfilment of the requirements for the degree of Master of Science in Applied Ecology – European Programme.
Van Balen. 1988. Forest fragmentation and the survival of forest birds in Java: a preliminary report in Proceeding of the Deutscher Akademischer
Nachkontakt Seminar. pp.155-165.
Van Balen. D. Prawiradilaga; M. Indrawan;
A. Marakarmah; I.W.A. Dirgayusa & M.A. Isa. 1991. Notes on the distribution and status of green peafowl on Jawa. World Pheasant Association-Worldwide Fund for Nature-Indonesia Programe. Bogor
Van Balen, S., Prawiradilaga, D.M. & Indrawan, M. (1995) The distribution and status of green peafowl Pavo muticus in Java. Biological conservation, 71, 289–297.
Wardani, R.B. 2015. Perkembangan bentuk Dhadhak Merak dalam pertunjukan Reog tahun 1995-2005 di Kabupaten Ponorogo. Skripsi Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra-Universitas Negeri Malang
89
Discussion and feedback