SIMBIOSIS VI (2 ): 45- 49

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana

ISSN: 2337-7224

September 2018

http://ojs.unud.ac.id/index.php/simbiosis

DOAJ


Directoryof OPEN ACCESS JOURNALS


STRUKTUR HISTOLOGI INSANG IKAN MUJAIR

(Oreochromis mossambicus L.) SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS AIR LAGOON NUSA DUA, BALI

Histological Structures of Gills of Tilaphia Fish (Oreochromis mossambicus L.) As A Water Quality Indicator In The Nusa Dua Sewage Tretment Ponds, Bali

Wahyu Puji Lestari*, Ngurah Intan Wiratmini, A. A. Gde Raka Dalem Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana, Bali *Email: [email protected]

ABSTRAK

Nusa Dua merupakan kawasan wisata yang terkenal di Bali, dimana banyak dibangun hotel dan berbagai sarana wisata. Limbah dari hotel ditangani secara tersentralisasi dalam Unit Pengolahan Air Limbah PT ITDC yang juga sering disebut sebagai Lagoon Nusa Dua. Instalasi pengolahan air limbah ini memiliki lima unit kolam, yaitu kolam 1A, 1B, 2A, 2B, dan kolam 3. Pada kolam 2B dan 3 ditebar ikan mujair (Oreochromis mossambicus Linn.) sebagai bioindikator kualitas air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histologi insang ikan mujair yang hidup di unit pengolah air limbah atau lagoon Nusa Dua yang kemudian dipakai sebagai indikator kualitas air pada unit pengolahan air limbah tersebut. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 16 sampel yang diambil dari dua lokasi pengambilan sampel dengan jumlah pengulangan delapan kali. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan histologi insang berupa edema, fusi, dan hiperplasia lamela sekunder serta telangiektasis.

Katakunci: lagoon Nusa Dua, Oreochromis mossambicus L., insang, histologi, bioindikator

ABSTRACT

Nusa Dua is a popular tourist resort in Bali, where many hotels and other tourist facilities were built. In this resort, the sewage is centralized processed in a Sewage Treatment Ponds called “Unit Pengolahan Air Limbah PT ITDC” which is also often called Lagoon Nusa Dua. Nusa Dua sewage treatment ponds have 5 units of ponds, namely Pond 1A, 1B, 2A, 2B, and Pond 3. In ponds 2B and 3, tilapia fish (Oreochromis mossambicus Linn.) was raised as a water quality bio-indicator. The aim of this research was to determine the histology condition of the gill of tilapia fish that raised in the Nusa Dua sewage tretment ponds which were then used as an indicator of water quality in these ponds. The research employed a complete randomized design in which 16 samples were taken from two sampling sites with eight replications. Results of this research showed that histologic changes of the gill that were observed including edemas, fusions, and hyperplasias of secondary lamellas as well as telangiectases.

Keywords: Nusa Dua sewage, Oreochromis mossambicus L., gills, histology, bioindicator

PENDAHULUAN

Nusa Dua adalah kawasan wisata yang terkenal di pulau Bali. Pada tahun 2012 sebanyak 554 ribu wisatawan dan 80,57% merupakan wisatawan asing berkunjung ke Nusa Dua. Pemerintah bekerja sama dengan PT. Pengembangan Pariwisata Bali (PERSERO) untuk menciptakan suatu kawasan perhotelan dengan luas 320 Ha dan kawasan tersebut diberi nama Nusa Dua-ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation). Pada kawasan ini terdapat 16 hotel berbintang dan beberapa fasilitas pendukung lainnya seperti restoran, laundri dan lain-lain (Bali Tourism Development Corporation, 2012).

Untuk mengatasi masalah limbah yang dihasilkan oleh hotel maka dibangun UPAL (Unit Pengolahan Air Limbah) PT. ITDC yang sering disebut lagoon Nusa Dua. Lagoon Nusa Dua terdiri dari 2 instalasi yaitu instalasi untuk pengolahan limbah dan instalasi untuk produksi air irigasi. Instalasi pengolahan air limbah memiliki 5 kolam yaitu kolam 1A, 1B, 2A, 2B, dan 3. Kolam 1A dan 1B dipisahkan oleh fiberglass sebagai alat perangkap lemak (grease trap) dan kotoran terapung. Lemak dan kotoran yang tertahan di perangkap secara rutin dibersihkan. Setelah melewati kolam 1 air masuk ke kolam 2A, selanjutnya mengalir ke kolam 2B. Kolam 2 merupakan kolam yang terluas, sehingga pada kolam ini proses oksidasi berlangsung cukup lama. Selanjutnya air mengalir ke kolam 3, pada kolam 2B dan 3 sengaja ditebar ikan mujair (Oreochromis mossambicus Linn.) untuk memantau kualitas perubahan air (Wijaya dan Putra, 2013).

Masuknya bahan pencemar di perairan dapat menurunkan kualitas air dan kerusakan struktur histologi beberapa organ pada ikan (Mandia dkk., 2013).. Perubahan keadaan di lingkungan perairan menyebabkan perubahan struktur histologi, terutama pada organ insang (Saputra dkk., 2013). Insang memiliki permukaan yang luas dan terbuka sehingga mengakibatkan bagian ini menjadi sasaran utama terpapar bahan toksik di perairan (Wong and Marcus, 2000).

Pihak lagoon setiap tahun rutin mengadakan uji kualitas air, tetapi hingga saat ini belum pernah dilakukan pengujian

kualitas air dengan menggunakan indikator ikan yang ditebar di lagoon tersebut, terutama aspek histologinya. Ikan merupakan organisme yang peka terhadap perubahan lingkungan dan dapat menilai besarnya potensi resiko berkaitan dengan tingkat pencemaran di perairan tempatnya hidup (Lakra and Nagpure, 2009). Selain itu, beberapa pegawai memancing ikan di lagoon untuk di konsumsi dan dikhawatirkan ikan telah tercemar oleh senyawa dari limbah yang ada di kolam. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran histologi insang ikan Mujair (Oreochromis mossambicus Linn.) yang hidup di air lagoon Nusa Dua, Bali.

MATERI DAN METODE

Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua lokasi pengambilan sampel yaitu pada kolam 2B dan 3 sebagai perlakuan. Kedua kolam ini memiliki luas yang berbeda. Kolam 2B memiliki luas 60.695 m2, sedangkan kolam 3 seluas 16.790 m2. Perbedaan luas memungkinkan konsentrasi zat pencemaran akan berbeda pula. Jumlah pengulangan yang digunakan sebanyak 8 kali. Sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan sebanyak 16 sampel ikan.

Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan adalah ikan mujair (Oreochromis mossambicus Linn.) dari dua kolam, yaitu kolam 2B dan 3. Ikan yang diambil adalah kategori dewasa dengan ukuran 200-300 gram dengan panjang 15-20 cm. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara memancing ikan yang ada di kolam 2B dan 3 dan dilakukan secara acak. Pengambilan sampel pada setiap kolam dilakukan di delapan titik yang berbeda. Ikan yang diperoleh diukur berdasarkan berat dan panjang sesuai kategori yang ditentukan. Ikan dieutanasi dengan memasukkan ikan ke dalam ember yang berisi es, selanjutnya dilakukan proses nekropsi pada ikan. Kemudian organ

Λ I Directoryof OPEN ACCESS ., ' JOURNALS

dimasukkan ke dalam botol vial yang berisi larutan Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%.

Pembuatan Sayatan Histologi

Pembuatan sayatan histologi insang dilakukan di Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Metode yang dipakai adalah metode parafin, dengan tebal irisan 5 μm dan pewarnaan Hematoxylin–Eosin (Luna, 1968). Pembuatan sayatan histologi dimulai dari proses trimming (pemotongan organ), tissue processing yang meliputi tahap fiksasi, dehidrasi, clearing serta parafinisasi, embedding (penanaman organ) ke dalam blok parafin, sectioning (pemotongan) blok paraffin untuk menghasilkan pita irisan, staining (pewarnaan) dan mounting (penempelan kaca penutup diatas kaca benda)

Pengamatan

Pemeriksaan histologi insang menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x (10x10) dan 400x (10x40). Sediaan histologi selanjutnya di foto dengan kamera mikroskop digital optilab dengan software optilab viewer. Selain itu juga dilakukan penghitungan jumlah patologi sel dengan software image raster.

Variabel Pengamatan

Variabel yang diamati adalah patologi organ insang seperti edema, fusi dan hiperplasia lamela sekunder.

Analisis Data

Hasil data kualitatif berupa gambaran histologi yang diperoleh dibandingkan dengan histologi normal. Hasil data kuantitatif dianalisis dengan metode semiquantitative scoring perubahan histopatologi dari Pantung et al (2008) yang telah dimodifikasi. Scoring yang digunakan untuk menentukan tingkat patologi histologi insang yang berkisar dari 0 – 3 tergantung pada tingkat dan luasan perubahan yang terjadi. Kemudian dihitung frekuensi patologi insang ikan dengan membagi jumlah insang yang menunjukkan gejala patologis dengan jumlah insang yang diamati dan dikalikan 100% (Widayati, 2010).

HASIL

Perubahan histologi insang pada ikan yang hidup di kolam 2B dan 3 ditemukan edema lamela sekunder, mulai dari skor 0 (normal) hingga skor 2 (sedang) dengan frekuensi tertinggi terjadi pada kolam 3 yaitu sebesar 87,5% dengan skor 1. Patologi hiperplasia lamela sekunder terjadi pada semua kolam 2B dan 3, mulai dari skor 1 (ringan) hingga skor 3 (berat) dengan frekuensi tertinggi terjadi pada kolam 3 yaitu sebesar 75% dengan skor 1. Patologi fusi lamela sekunder terjadi pada semua sel, mulai dari skor 0 (normal) hingga skor 3 (berat) dengan frekuensi tertinggi terjadi pada kolam 2B yaitu 50% dengan skor 3 (Tabel 1). Gambaran perubahan histologi insang disajikan pada gambar 1, 2 dan 3.T

abel 1. Frekuensi Patologi Insang Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Hidup di Air Lagoon Nusa Dua, Bali

Jenis Patologi Insang

Skor Patologi

Kolam 2B (%)

Kolam 3 (%)

0

25

0

Edema Lamela

1

75

87,5

Sekunder

2

0

12,5

3

0

0

0

0

0

Hiperplasia

1

50

75

Lamela Sekunder

2

12,5

0

3

37,5

25

0

37,5

37,5

Fusi Lamela

1

0

37,5

Sekunder

2

12,5

12,5

3

50

12,5

Keterangan :

- Score 0

= Tidak ada patologi sama sekali (normal).

- Score 1      = Terjadi patologi kurang dari 30% dari luasan pandang (ringan).

- Score 2      = Terjadi patologi 30% - 70 % dari luasan pandang (sedang).

- Score 3      = Terjadi patologi lebih dari 70% dari luasan pandang (berat)



Gambar 1. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 2B dan 3 yang Mengalami Edema Lamela Sekunder (B) Dibandingan dengan Insang Normal (A) (Perbesaran 400x) (El-Shebly and Gad, 2011).


Gambar 2. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 3. (A) Hiperplasia Lamela Sekunder, dan (B) Fusi Lamela Sekunder.

Directoryof OPEN ACCESS JOURNALS





Gambar 3. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 2B (A) Telengiektaksis, (B) Fusi Lamela Sekunder, dan (C) Hiperplasia Lamela Sekunder. (Gambar atas perbesaran 100x dan gambar bawah perbesaran 400x).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan preparat organ insang di bawah mikroskop ditemukan perubahan histologi insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang hidup di kolam 2B dan 3 berupa edema lamela sekunder (Gambar 1), hiperplasia lamela sekunder, dan fusi lamela sekunder (Gambar 2 dan 3). Insang merupakan organ pertama yang terpapar zat toksik yang ada diperairan karena kontak langsung dengan air selama proses respirasi.

Zat toksik yang ada di perairan lagoon dapat menyebabkan pembendungan aliran darah sehingga terjadi pembengkakan sel atau edema pada lamela sekunder (Maftuch dkk., 2015) Hiperplasia lamela sekunder merupakan suatu respon fisiologis untuk melindungi jaringan dari zat toksik dengan cara menstimulasi pertumbuhan sel epitel insang dengan sangat cepat (Sudaryatma dkk., 2013). Pertumbuhan sel yang sangat cepat dan banyak menyebabkan fusi lamela sekunder. Kejadian hiperplasia selalu disertai dengan fusi lamela. Fusi lamela yang terjadi akibat hiperplasia sel lamela secara terus menerus mengisi ruang antar lamela sekunder dengan sel baru sehingga menyebabkan perlekatan antar lamela sekunder (Sipahutar dkk., 2013).

Perubahan histologi yang terjadi pada jaringan insang karena keadaan air di lagoon baik di kolam 2B maupun kolam 3 sangat keruh. Kekeruhan tersebut karena jumlah materi yang terlarut dalam air yang banyak, sehingga semakin banyak materi yang terlarut dapat menyebabkan air semakin keruh. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis air yang menunjukkan tingginya nilai zat yang tersuspensi pada kolam 2B sebesar 538,1 mg/L dan pada kolam 3 sebesar 524,3 mg/L dimana ambang batas hanya sebesar 50 mg/L. Aulia dkk (2014) menyatakan bahwa tingginya nilai Total Suspended Solid (TSS) dapat menganggu sistem respirasi pada ikan.

Air masuk melalui lamela-lamela insang, sehingga materi yang tersuspensi dalam air sangat mudah menempel pada mukus insang. Semakin banyak materi yang menempel maka sel mukus pada insang akan memproduksi lebih banyak mukus. Mukus ini berfungsi untuk menangkap partikel asing dari air yang masuk ke dalam insang. Banyaknya mukus di lamela ini yang menyebabkan difusi oksigen terganggu

(Indrayani dkk., 2011), akibatnya tubuh akan mengalami hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan). Hipoksia dapat menyebabkan efek patologis pada organ hati, limfa, dan insang (Sipahutar dkk., 2012).

Selain itu patologi yang terjadi pada insang dapat disebabkan karena adanya senyawa amonia (NH3), hidrogen sulfida (H2S), timbal (Pb) dan besi (Fe). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wandari (2016) insang ikan yang terpapar amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) mengalami hiperplasia dan fusi lamela sekunder. Penelitian yang dilakukan oleh Andini (2015) menunjukkan insang yang terpapar besi (Fe) mengalami hipertropi sel, edema, fusi lamela sekunder, penebalan dan dilatasi lamela primer serta adanya sel –sel nekrosis. Senyawa yang mudah berikatan dengan besi (Fe) akan mempengaruhi sistem respirasi. Sebagai contoh, hidrogen sulfida (H S) masuk melalui membran sel 100 kali lebih cepat daripada O dan menginaktifkan besi (Fe) dalam hemoglobin (Hb). Hal ini dapat mengurangi kemampuan penjenuhan oksigen oleh jaringan, dan sebagai akibatnya amonia (NH3) lebih mudah masuk ke dalam jaringan (Sutomo, 1989).

Hasil analisis kualitas air kandungan amonia (NH3) kolam 2B sebesar 4,2 mg/L dan pada kolam 3 sebesar 3,6 mg/L. Nilai tersebut berada diatas ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ikan karena menurut Pramleonita dkk (2018) bahwa kadar amonia (NH3) yang dapat ditoleransi oleh ikan tidak lebih dari 0,02 mg/L. Kadar amonia (NH3) yang tinggi diduga berasal dari buangan limbah domestik hotel dan restoran yang ada di kawasan ITDC. Selain itu, amonia (NH3) juga dapat terbentuk karena akumulasi hasil ekskresi dan bangkai ikan. Amonia (NH3) sangat mudah terakumulasi di perairan karena merupakan hasil sampingan alami metobolisme ikan (Indrayani dkk., 2015). Djokosetiyanto dkk (2006) dalam penelitian juga menyatakan bahwa lebih dari 50% buangan nitrogen dari hasil ekskresi ikan berupa amonia (NH3).

Selain amonia (NH3) perubahan histologi insang juga disebabkan karena adanya hidrogen sulfida (H2S). Senyawa hidrogen sulfida (H2S) berasal dari dekomposisi senyawa organik, limbah industri, dan paling banyak berasal dari reduksi senyawa sulfat (Greenberg et al., 1998). Hasil analisis kualitas

RΛ> Λ I Directoryof OPEN ACCESS 7 ..> JOURNALS

air menunjukkan kandungan hidrogen sulfida (H2S) pada kolam 2B sebesar 0,045 mg/L dan pada kolam 3 sebesar 0,250 mg/L, sedangkan menurut Erlania dkk (2010) kadar hidrogen sulfida (H2S) yang dapat ditoleransi oleh ikan tidak melebihi dari 0,002 mg/L.

Selain akibat tingginya kandungan amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S), perubahan histologi jaringan insang juga disebabkan paparan logam berat besi (Fe) dan timbal (Pb) di perairan lagoon Nusa Dua. Berdasarkan hasil analisis kualitas air kadar besi (Fe) di kolam 2B adalah 0,265 mg/L dan kolam 3 adalah 0,322 mg/L. Besi (Fe) dapat berasal dari buangan limbah hotel dan korosi pipa-pipa air yang mengandung logam besi (Fe) (Supriyantini dan Endrawati, 2015). Kadar besi (Fe) tersebut memang tidak melebihi batas yang ditentukan, tetapi besi (Fe) termasuk ke dalam logam berat yang tidak boleh ada di perairan. Keberadaan logam berat di dalam perairan menyebabkan fungsi organ dari organisme yang hidup diperairan terganggu, terutama pada ikan . Hal ini karena keberadaan logam berat dapat menghambat kerja dari enzim dan metabolisme pada ikan (Rajamanicham and Muthuswamy, 2008). Metabolisme dalam tubuh yang tidak lancar dapat menyebabkan sel-sel kehilangan kestabilannya dan akan mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan.

Sedangkan kadar timbal (Pb) pada kolam 2B adalah 0,061 mg/L dan kolam 3 sebesar 0,057. Kadar timbal (Pb) sudah melewati batas dari kadar yang diatur dalam PP Nomor 82 tahun 2001 tentang kualitas air sebagai pembudidayaan ikan air tawar dan pengairan yaitu hanya sebesar 0,03 mg/L.. Timbal (Pb) merupakan bahan yang digunakan untuk keperluan pembuatan produk kosmetik seperti sabun, shampoo, krim wajah, pelembab, dan sebagai pewarna pada lipstik, cat rambut dan cat kuku (Salve and Sonwane, 2015). Limbah yang ditampung oleh lagoon juga berasal dari limbah kamar mandi, kemungkinan timbal (Pb) dapat berasal dari sisa-sisa produk kosmetik yang larut dari air kamar mandi.

Timbal (Pb) masuk dari perairan ke dalam tubuh ikan melalui insang. Insang akan melakukan kontak langsung dengan timbal (Pb) sehingga akan menimbulkan respon peradangan dengan cara menghasilkan banyak mukus. Mukus dapat menghalangi pengikatan oksigen terhadap hemoglobin, sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam tubuh (Susanah, 2011). Kekurangan oksigen dalam tubuh dapat menyebabkan stres oksidatif yang berujung dengan kerusakan jaringan pada insang. Hal ini diperkuat oleh penelitian Yolanda dkk (2017) yang membuktikan bahwa paparan timbal (Pb) pada insang dapat menyebabkan hiperplasia dan fusi lamela sekunder.

Selain perubahan histologi yang telah ditemukan pada insang juga ditemukan patologi berupa telengiektaksis (Gambar 3). Telengiektaksis merupakan patologi akibat adanya edema dan hiperplasia yang mengakibatkan salah satu bagian mengalami pembengkakan dan bagian lain mengecil, sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah yang berdampak pada penumpukan darah pada salah satu bagian (Tandjung, 1982). Hal ini diperkuat dengan penelitian Lujic et al., (2013) bahwa paparan besi (Fe) pada ikan dapat menyebabkan telengiektaksis dan hemoragi pada insang.

Menurut Tandjung (1982), tingkat patologi pada insang yang berhubungan dengan toksisistas adalah tingkat I, terjadi edema pada lamela dan terlepasnya sel-sel epitelium dari jaringan dibawahnya; tingkat II, terjadi hiperplasia pada basal proksimal lamela sekunder; tingkat III, hiperplasia menyebabkan bersatunya dua lamela sekunder; tingkat IV, hampir seluruh lamella sekunder mengalami hiperplasia; tingkat V, hilangnya struktur lamela sekunder dan rusaknya filamen. Berdasarkan hasil pengematan dapat diketahui bahwa tingkat

patologi insang pada ikan mujair di kolam 2B termasuk ke dalam kategori tingkat III dimana hiperplasia menyebabkan fusi lamela sekunder. Sedangkan tingkat patologi insang pada ikan mujair di kolam 3 termasuk ke dalam tingkat II. Hal ini karena frekuensi terjadinya fusi lamella sekunder dengan skor 0 (tidak terjadi patologi) pada kolam 3 mencapai angka 66% (Tabel 1).

KESIMPULAN

Gambaran histologi insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus Linn.) yang hidup di air lagoon Nusa Dua, Bali ditemukan beberapa patologi diantaranya adalah edema lamela sekunder, hiperplasia lamela sekunder, fusi lamela sekunder dan telengiektaksis.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak UPAL (Unit Pengolahan Air Limbah) PT. ITDC (Lagoon Nusa Dua) yang telah mengizinkan instansinya untuk penelitian. Serta kepada pihak BBVet (Balai Besar Veteriner) Denpasar yang telah membantu dalam pembuatan sayatan histologi.

DAFTAR PUSTAKA

Andini, S.N. 2015. Gambaran Histopatologi Insang, Hepatopankreas dan Ginjal Ikan Butini (Glossogobius matanensis, Weber) di Danau Matano Luwu Timur Sulawesi Selatan yang Tercemar Logam Berat Nikel (Ni) Dan Besi (Fe). Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. (Skripsi). Tidak dipublikasikan.

Aulia, V., W. Subchan Dan J. Waluyo. 2014.Toksisitas Limbah Cair Industri Pengalengan Ikan di Muncar Terhadap Mortalitas Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dan Ikan Nila (Oreochromis  niloticus L.). Universitas

Jember. (Artikel Ilmiah).

Bali Tourism Development Corporation. 2012. Annual Report. Bali: Bali Tourism Development Corporation.

Djokosetiyanto, D., A. Sunarma dan Widarna. 2006. Changes of Amonia, Nitrite and Nitrate at Recirculation System of Red Tilapia  (Oreochromis  sp.) Rearing. Jurnal

Akuakultur Indonesia. 5(1): 13-20.

El-Shebly, A.A and H.A. M. Gad. 2011. Effect of Chronic Amonia Exposure nn Growth Performance, Serum Growth Hormone (GH) Levels and Gill Histology ff Nile Tilapia (Oreochromis niloticus).  Journal Of

Microbiology And Biotechnology Research. 1(4): 183197.

Erlania, Rusmaedi, Anjang, B.P., dan Joni, H. 2010. Dampak Manajemen Pakan dari Kegiatan Budidaya Ikan Nila (Oreochromis mossambicus) di Keramba Jaring Apung terhadap Kualitas Perairan Danau Maninjau. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta Selatan. (Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur).

Greenberg, A. E., L.S. Clesceri and A.D Eaton. 1998. Standard Method for Eximinstion of The Water and Waste Water 20th Edition. Washington : American Public Health Association.

Indrayani, D., Yusfiati, Dan R. Elvyra. 2014. Struktur Insang Ikan Ompok iypophthalmus (Bleeker 1846) Dari Perairan Sungai Siak Kota Pekanbaru. JOM FMIPA. 1(2): 402-408.

ΓΛΓΛ Λ I Directoryof OPEN ACCESS L√k-√rΛ,J JOURNALS

Indrayani, E., K.H. Nitimulyo., S. Hadisusanto, dan Rustadi. 2015. Analisis Kandungan Nitrogen, Fosfor, dan Karbon Organik di Danau Sentani, Papua. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 22(2): 217-225.

Lakra, W. S and N. S. Nagpure. 2009. Genotoxicological studies in fishes: a review. The Indian Journal of Animal Sciences. 79(1): 93 – 98.

Lujic, J., Z. Marinovic, and B. Miljanovic. 2013. Histological Analysis Of Fish Gills as an Indicator of water Pollution in the Tamis River. Acta Agriculturae Serbica, 18(36): 133-141.

Luna, L.G. 1968. Manual of Histology Staining Methods. 3rd Ed. New York: McGraw-Hill Book Company.

Maftuch, M, V.D Putri, M.H Lulloh dan F.K.H Wibisono. 2015. Studi Ikan  Bandeng   (Chanos   chanos)   yang

Dibudidayakan di Tambak Tercemar Limbah Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb)Di Kalanganyar, Sidoarjo, Jawa Timur Terhadap Histologi Hati, Ginjal dan Insang. Journal Of Environmental Engineering and Sustainable Technology. 2(2): 114-122.

Mandia, S., N. Marusin dan P. Santoso. 2013. Analisis Histologis Ginjal Ikan Asang (Osteochilus hasseltii ) di Danau Maninjau dan Singkarak, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(3): 194-200.

Pantung N., K.G. Helander., H.F. Helander and V. Cheevaporn. 2008. Histopathological Alterations Of Hybrid Walking Catfish (Clarias macrocephalus, Clarias gariepinus) in Acute and Subacute Cadmium Exposure. Environment Asia. 1(2008): 22-27.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air.

Pramleonita , M., N. Yuliani. , R. Arizal, dan S. E. Wardoyo. 2018. Parameter Fisika Dan Kimia Air Kolam Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus). 8(1): 24 – 34.

Rajamanicham, V and N. Muthuswamy. 2008. Effect of heavy metals induced toxicity on metabolic biomarkers in Common Carp (Cyprinus carpio L). Maejo International Journal of Science and Technology. 2(1): 192-200.

Salve, K.S and N.S Sonwane. 2015. Detection of Heavy Metals in Cosmetics. World of Journal Pharmaceutical Research. 4(4): 1368-1372.

Saputra, H.M., N. Marusin dan P. Santoso. 2013. Struktur Histologis Insang dan Kadar Hemoglobin Ikan Asang

(Osteochilus hasseltii C.V) di Danau Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(2): 138-144.

Sipahutar, L.W., D. Aliza, Winaruddin, dan Nazaruddin. 2013. Gambaran Histopatologi Insang Ikan Nila yang Dipelihara Dalam Tempratur Air di Atas Normal. Jurnal Medika Veterinaria. 7(1): 1-3.

Sudaryatma, P.E., N.N. Eriawati., I.F. Panjaitan, dan L.N. Sunarsih. 2013. Histopatologi Insang Ikan Lele (Clarias bathracus) yang Terinfeksi Dactylogyrus sp. Jurnal Sains Veteriener. 1(2): 78-83.

Supriyantini, E dan H. Endrawati. 2015. Kandungan Logam Berat Besi (Fe) pada Air, Sedimen dan Karang Hijau (Perna viridis) di Perairan Tanjung Emas, Semarang. Jurnal Kelautan Tropis. 18(1): 38-45.

Sutomo. 1989. Pengaruh Amonia Terhadap Ikan dalam Budidaya Sistem Tertutup. Oseana. 14(1): 19–26.

Tandjung, S. D. 1982. The Acute Toxicity and Histophatology of Brook Trout (Salvenilus fontinalis Mitchill) Exposed to Alumunium in Acid  Water.  New York: Fordan

University.

Wandari, D.W.T. 2016. Studi Histopatologi Insang dan Ginjal Ikan Nila (Oreochromis niloticus, Linn) Ditinjau dari Kadar Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S) di Danau Batur, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana. (Skripsi). Tidak dipublikasikan.

Widayati, E.D. 2008. Studi Histopatologi Insang Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Pada Konsentrasi Sublethal Air Lumpur Sidoarjo. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. (Skripsi). Tidak dipublikasikan.

Wijaya, W dan A. Putra. 2013. Evaluasi Unit Pengolahan Air Limbah PT Pengembangan Pariwisata Bali Nusa Dua-Bali. Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. (Laporan Kerja Praktek).

Wong, C. K and H.W. Marcus. 2000. Morphological And Biochemical Changes In The Gills Of Tilapia (Oreochromis mossambicus) To Ambient Cadmium Exposure. Aquatic Toxicology. 48(20): 517–527.

Yolanda, S., Rosmaidar., Nazaruddin., T. Armansyah2., U. Balqis, dan Y. Fahrimal. Pengaruh Paparan Timbal (Pb) Terhadap Histopatologis Insang Ikan Nila (Oreochromis nilloticus). JIMVET. 1(4): 736-741.

49