Faktor-Faktor Penyebab Turistifikasi Kawasan Pura Babakan Pada Era Globalisasi
on

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022
Vol 27.2. Mei 2023: 177-188
The Causal Factors of Touristification in the Pura Babakan Area in the Era of Globalisation
Dewa Made Mega Prawira, Ida Bagus Gde Pujaastawa, I Wayan Tagel Eddy Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia
Email korespondensi: [email protected], [email protected],
Info Artikel
Masuk: 27 Pebruari 2023
Revisi: 15 Mei 2023
Diterima: 20 Mei 2023
Terbit: 31 Mei 2023
Keywords:
touristification; pura babakan; globalisation
Kata kunci:
turistifikasi; pura babakan; globalisasi
Corresponding Author:
Dewa Made Mega Prawira
Email:megaprawira90@gmail. com
DOI:
Abstract
The Pura Babakan area is famous for its grandeur of the Pohon Kayu Putih which is a type of Ficus variegata which located in Banjar Bayan, Desa Tua, Tabanan. The purpose of this research is to explain the factors behind the tourisitification of the Pura Babakan area. The research uses critical ethnographic methods with a cultural studies approach. Data collection was carried out using observation, interviews, and literature studies. The results of this study revealed that there were four factors behind the touristification of the Pura Babakan area, namely globalisation factors, market ideology factors, the mythical factor of the success of Bali tourism, and the development of social media.
Abstrak
Kawasan Pura Babakan yang populer dengan kemegahan Pohon Kayu Putih yang merupakan sejenis pohon Ficus variegata yang berada di Banjar Bayan, Desa Tua, Tabanan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan faktor-faktor yang melatar belakangi tursitifikasi Kawasan Pura Babakan. Penelitian menggunakan metode etnografi kritis dengan pendekatan kajian budaya. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini terungkap bahwa terdapat empat faktor yang melatar belakangi turistifikasi Kawasan Pura Babakan yakni faktor globalisasi, faktor ideologi pasar, faktor mitos keberhasilan pariwisata Bali, dan fakta perkembangan media sosial.
PENDAHULUAN
Dewasa ini kehidupan sosial budaya masyarakat Bali masih mengandalkan pendapatan dari sektor pariwisata, dan dunia pariwisata telah mengubah citra
Bali, serta pola pikir masyarakatnya. Bali sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia memiliki berbagai potensi alam maupun budaya. Keunikan budaya dan panorama alam menjadikan Bali sebagai primadona bagi wisatawan
Nusantara maupun mancanegara. Oleh karena itu, perkembangan kepariwisataan di Bali lebih memfokuskan pada budaya dan keindahan alam Pulau Bali (Ardika, 2007:28). Perkembangan sektor pariwisata telah membawa manfaat yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat Bali, pariwisata telah menjadi sektor unggulan bagi penerimaan devisa negara, pendapatan daerah, dan sebagai motor penggerak perekonomian masyarakat Bali.
Berdasarkan hasil survei mengenai perkembangan ekonomi Bali pada triwulan III yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali pada tahun 2022, menunjukan adanya peningkatan aktivitas penerbangan baik internasional maupun domestik disinyalir menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan III 2022. Hal ini tergambar dari banyaknya kunjungan wisatawan mancanegara yang datang ke Bali, sejalan dengan persiapan pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi G20, bahkan keberangkatan penumpang internasional pada triwulan III 2022 tercatat meningkat hingga ratusan ribu persen setelah di tahun sebelumnya kunjungan wisatawan mancanegara masih terkendala pandemi Covid-19. Penanggulangan pandemi Covid-19 yang semakin baik, menyebabkan pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan III 2022 dari tahun ke tahun telah mengalami akselerasi yang cukup tajam. Selain itu, pembangunan infrastruktur baik fisik maupun pelengkapnya dalam rangka mendukung perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi G20 juga disinyalir menjadi pendorong kuatnya ekonomi Bali pada triwulan III 2022. Penyokong seperti ketersediaan listrik juga mengalami percepatan yang sangat signifikan, bahkan telah dimulai sejak triwulan II 2022 yang sempat mencapai pertumbuhan 15,40 %, lalu mengalami
percepatan pada triwulan III 2022 menjadi 22,46 %.
Oleh karena itu, Fernández-Arroyo (2020) menegaskan bahwa para pakar dari perspektif ilmu yang berbeda telah sepakat bahwa studi mengenai kepariwisataan bermanfaat sebagai konsep pemersatu kegiatan ekonomi.
Salah satu daya tarik wisata budaya di Bali yang paling banyak ditemui adalah kawasan pura yang merupakan tempat suci bagi penganut agama Hindu di Bali. Keberadaan pura yang tersebar di berbagai penjuru pulau Bali menyebabkan Bali juga dikenal dengan sebutan “Pulau Seribu Pura” oleh para wisatawan (Pujaastawa & Sudana, 70:2022). Salah satu kawasan pura yang saat ini mengalami turistifikasi adalah Kawasan Pura Babakan, yang di mana terdapat sebuah pohon raksasa yang telah diperkirakan tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu oleh masyarakat setempat disebut sebagai Pohon Kayu Putih (Ficus variegata) yang kemudian menjadikannya suatu daya tarik wisata di Desa Tua, Marga, Tabanan.
Menurut Fernandes (dalam Muselaers, 2020:12), turistifikasi merupakan proses menjadikan suatu wilayah umum berkembang menjadi wilayah daya tarik wisata. Proses ini bertujuan untuk menarik minat perhatian pengunjung pada suatu wilayah perkotaan atau perdesaan. Ojeda dan Kieffer menegaskan bahwa turisitifikasi merupakan proses perubahan dinamika sosial ekonomi, komponen lanskap, serta lingkungan dalam suatu wilayah sebagai akibat perkembangan pariwisata (Ojeda dan Kieffer, 2020:145). Sedangkan menurut Picard, turistifikasi adalah proses di mana dalam suatu masyarakat menjadi produk pariwisata (Picard, 2006:164).
Turistifikasi dapat dijelaskan dengan melihat konteks situs warisan budaya, seperti artefak atau daya tarik wisata.
Dalam pengertian ini, turistifikasi adalah transformasi produk budaya menjadi produk wisata yang estetis. Proses ini merupakan suatu proses penciptaan kembali suatu warisan budaya untuk menjadi daya tarik wisata, serta menjadikannya sebagai barang konsumsi bagi wisatawan (Bhandari, 2008; Suzuki, 2010).
Popularitas Daya Tarik Wisata Kawasan Pura Babakan tidak saja menarik minat para wisatawan untuk berkunjung, namun juga menarik perhatian bagi para peneliti untuk melakukan studi tentang kepariwisataan. Beberapa studi yang terpenting antara lain studi yang dilakukan oleh Suindari (2021), tentang dampak pengembangan objek wisata Kayu Putih terhadap keuangan dan aktivitas ekonomi masyarakat di Banjar Bayan, serta studi yang dilakukan oleh Prawira (2022), tentang komodifikasi Kawasan Pura Babakan di Desa Tua.
Berdasarkan kedua hasil studi tersebut, masih terdapat kekurangan analisis mengenai faktor-faktor yang menyebabkan turistifikasi Kawasan Pura Babakan. Oleh karena itu, studi ini diharapkan dapat melengkapi studi mengenai Kawasan Pura Babakan di Desa Tua yang saat ini sedang mengalami turistifikasi yang dikhawatirkan akan mengalami desakralisasi.
METODE DAN TEORI
Penelitian ini menggunakan metode etnografi kritis dengan pendekatan kajian budaya. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Teknik observasi digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi terkini daya tarik wisata Kawasan Pura Babakan, yang meliputi aktivitas para wisatawan maupun masyarakat sekitar. Wawancara dilakukan terhadap informan yang
memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai Kawasan Pura Babakan seperti Jro Penyarikan (sekretaris) Pura Babakan, para pamaksan (anggota pengempon pura) Pura Babakan, dan wisatawan. Studi kepustakaan dilakukan dengan meninjau pustaka-pustaka sebelumnya yang dapat menunjang bagi penelitian ini.
Turistifikasi sangat dinamis, di mana akan terjadi pergeseran dari tempat-tempat sakral menuju desakralisasi sebagai akibat dari berkembangnya industri pariwisata Bali. Melalui industri pariwisata, pariwisata tidak hanya dilakukan oleh investor pariwisata, tetapi juga masyarakat lokal yang berpotensi untuk melakukannya. Sebaliknya, investor pariwisata umumnya bukan bagian dari masyarakat lokal, turistifikasi masyarakat dan budaya lokal, apalagi dengan intensitas yang sangat tinggi, yang akan mendapat berbagai kritikan (Ardika, 2008:3).
Kondisi tersebut sejalan dengan teori relasi kuasa pengetahuan yang menyatakan bahwa kekuasaan, wacana, dan pengetahuan merupakan aspek yang saling terkait. Setiap pembahasan mengenai persoalan kekuasaan itu selalu berbanding lurus dengan pengetahuan yang selalu bersinggungan dengan wacana atau diskursus. Antara pengetahuan, wacana, dan kekuasaan selalu relasional. Oleh karena itu, pengetahuan dan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik. Pelaksanaan kekuasaan yang terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan. Begitu pula sebaliknya, penerapan pengetahuan akan menimbulkan pengaruh kekuasaan (Eriyanto, 2003:65). Oleh karena itu, teori relasi kuasa Foucault menjadi alat bedah dalam studi ini untuk menjelaskan fenomena faktor-faktor turistifikasi Pura Babakan dalam era globalisasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor Globalisasi
Secara etimologi, globaliasi merupakan istilah yang bermakna universal. Irianto mengungkapkan bahwa globalisasi adalah ilustrasi perihal penciutan dan penyeragaman dunia akibat adanya perkembangan teknologi informasi yang saat ini sedang berusaha untuk memperbaharui kebudayaan secara keseluruhan (Irianto, 2016:214-215). Masyarakat dari daerah terpencil saat ini telah dapat mengakses berbagai informasi maupun dapat melakukan transaksi ekonomi secara singkat berkat teknologi internet yang berkembang sangat cepat. Bila hal ini tidak disikapi dengan perilaku, pengetahuan, serta pola pikir masyarakat secara mapan, akan mengancam kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, globalisasi sering dikaitkan dengan meningkatnya hubungan yang sangat kompleks antara sektor ekonomi, sosial, budaya, maupun politik yang seakan-akan membuat dunia menjadi satu.
Terdapat para ahli yang mengkaji mengenai globalisasi. Salah satunya adalah Arjun Appadurai (dalam Setyawan, 2020:2), yang merupakan seorang antropolog yang secara cermat melihat fenomena globalisasi saat ini melalui teorinya, yaitu: ideoscapes, technoscape, mediascape, financescapes, dan ethnoscape. Luasnya pengaruh globalisasi dalam lima hal tersebut dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif. Dalam studi ini akan mengetengahkan salah satu hal yang menjadi konsentrasi pemikiran Appadurai mengenai komodifikasi materi dan nilainya dalam era globalisasi dalam hal ini adalah turistifikasi Kawasan Pura Babakan di Desa Tua, Tabanan.
Berdasarkan kisah legenda yang berkembang di Kawasan Pura Babakan, keberadaan Pohon Kayu Putih (Ficus
variegata) yang diyakini oleh pamaksan Pura Babakan sebagai pohon suci telah tumbuh besar sejak zaman sesepuh Banjar Bayan masih hidup yang dahulunya merupakan tempat memohon kesuburan bagi petani di Banjar Bayan. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak wisatawan yang berkunjung karena tertarik dengan keberadaan Pohon Kayu Putih di Banjar Bayan dan banyak pihak yang memprediksi usia Pohon Kayu Putih ini telah mencapai 700 tahun berdasarkan cerita sesepuh Banjar Bayan yang menyatakan pohon ini telah tumbuh besar sejak zaman dahulu. Banyaknya kunjungan wisatawan yang datang ke Kawasan Pura Babakan, membuat para pamaksan Pura Babakan untuk mulai berbenah dan menata Kawasan Pura Babakan dengan harapan dapat meningkatkan jumlah kunjungan dan membuat nyaman para wisatawan saat mengunjungi Pura Babakan.
Meskipun Pohon Kayu Putih memiliki buah yang menyerupai kelereng, namun tetap saja Pohon Kayu Putih sangat sulit untuk mereproduksi dirinya karena sejak dahulu tidak pernah ditemukan bibit Pohon Kayu Putih yang tumbuh di sekitar Kawasan Pura Babakan.
Gambar 1. Kunjungan Wisatawan ke
Kawasan Pura Babakan
(Sumber: Dok. Dewa Mega, 2022)
Oleh karena keunikannya tersebut, diharapkan dapat menarik minat pengunjung untuk menikmati kemegahan dan keindahan Pohon Kayu Putih, terlebih terdapat acara besar seperti konferensi tingkat tinggi G20 di Nusa Dua sebagai upaya pemerintah pusat untuk mempromosikan dan memulihkan citra pariwisata Bali ke dunia pasca pandemi Covid-19, seperti yang tampak pada gambar 1.
Selaras dengan pandangan Barker yang menyatakan bahwa globalisasi adalah konsekuensi dari dinamisme dan karakter yang telah mendunia, serta melekat pada lembaga-lembaga modernitas (Barker, 2014:109-110). Hal tersebut telah terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga modernitas yang menyebar ke seluruh penjuru dunia, yang dalam hal ini adalah organisasi G20 yang melakukan konferensi di Nusa Dua yang diharapkan dapat memulihkan citra pariwisata Bali. Kehadiran lembaga global akan membawa pengaruh bagi tatanan kehidupan masyarakat, dalam hal ini masyarakat Hindu di Bali. Hal tersebut dibuktikan dengan Kawasan Pura Babakan dibuka untuk kepentingan umum tanpa membatasi segala maksud dan tujuan wisatawan, namun pihak pamaksan tetap mengimbau kepada para wisatawan yang sedang berduka cita atau sebel dan bagi wanita yang sedang datang bulan untuk tidak masuk ke dalam utamaning mandala Pura Babakan, namun tetap diperkenankan untuk masuk ke madyaning mandala Pura Babakan karena areal utamaning mandala merupakan areal khusus untuk persembahyangan. Pamaksan Pura Babakan juga menerima kenyataan mengenai fakta pariwisata Bali telah membawa dampak positif dan negatif yang membawa dilema terhadap idealisme orang Bali mengenai kesucian pura.
Berdasarkan analisis di atas, masuknya pengaruh globalisasi melalui jaringan pariwisata ke Pulau Dewata sebagai daerah tujuan wisata hingga ke pelosok-pelosok perdesaan yang dalam hal ini adalah Desa Tua, Marga, Tabanan. Sejalan dengan kecenderungan pariwisata global dan kepentingan kepariwisataan Bali, yang memengaruhi masyarakat Desa Tua, tidak hanya bergulat pada ranah sosial religius, akan tetapi telah memasuki ranah ekonomi yang sekaligus menciptakan serta membentuk tradisional baru yang berbeda dengan tradisi-tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Manuati (2006:233) berpendapat bahwa industri pariwisata tidak dapat dipisahkan dengan pola konsumsi pasar global maupun pasar lokal yang dalam hal ini adalah pihak agen-agen biro perjalanan domestik maupun internasional.
Pada era globalisasi saat ini, telah terjadi perubahan bentuk transaksi tunai menjadi non-tunai dalam menyumbang donasi di Kawasan Pura Babakan. Pihak pamaksan Pura Babakan telah bekerjasama dengan pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI) melalui program BRI Mobile atau Brimo. Tujuan kerjasama tersebut adalah tidak lain untuk mempermudah transaksi non-tunai bagi pengunjung yang tidak membawa uang tunai dengan menggunakan sistem QRIS dengan cara memindai kode batang yang tertera di pos penjaga seperti yang tampak pada gambar 2. Quick Response Code Indonesian Standard atau biasa disingkat QRIS (dibaca KRIS) merupakan penyatuan berbagai macam QR (Quick Response) dari berbagai penyelenggara jasa sistem pembayaran atau PJSP menggunakan QR Code. QRIS dikembangkan oleh industri sistem pembayaran bersama dengan Bank Indonesia agar proses transaksi dengan QR Code dapat lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya. Seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran
yang akan menggunakan QR Code, pembayaran wajib menerapkan QRIS. Nominal dana donasi yang masuk dari sistem tersebut biasanya berkisar antara Rp. 20.000 hingga Rp. 50.000. Hasil donasi baik dari kotak dana punia maupun dari QRIS akan dikumpulkan kepada bendahara pengelola Wisata Kayu Putih yang akan digunakan untuk pembangunan dan penataan Kawasan Pura Babakan.
Gambar 2. QRIS di Pos Penjaga Dana
Donasi
(Sumber: Dok. Dewa Mega, 2022)
Industri pariwisata telah mengubah suatu kebudayaan yang sakral menjadi suatu komoditi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan pasar pariwisata Bali dan kebutuhan wisatawan secara pribadi yang dalam hal ini adalah Pura Babakan yang semula merupakan tempat untuk persembahyangan dan memohon keselamatan bagi masyarakat di wilayah Banjar Bayan, Desa Tua yang kini menjadi daya tarik wisata baru. Dengan masuknya arus globalisasi ke Bali, maka budaya lokal akan berhadapan langsung dengan budaya global, sebab globalisasi sebagai bentuk penetrasi nilai baru yang melahirkan perangkat-perangkat praktis.
Faktor Ideologi Pasar
Ideologi pasar atau yang biasa dikenal dengan istilah “agama pasar” merupakan pandangan hedonistik yang bersumber dari keinginan manusia akan
hal-hal yang bersifat keduniawian. Hasrat ini sangat duniawi dan memiliki banyak umatnya (Atmadja, 2004:16-17). Seiring dengan semakin meluasnya sistem ekonomi global, selama agama pasar memerintahkan pengikutnya untuk hanya mengeksternalkan hasrat jasmani. Dalam agama pasar yang sama, uang yang menjadi "Tuhan" tampaknya mampu memenuhi kebutuhan manusia, yang dikenal sebagai moneytheism atau yang dikenal sebagai pemujaan atas kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang diciptakan oleh kekayaan.
Sina (2013) menyatakan bahwa dalam pengalaman seseorang, khususnya yang berkaitan dengan uang, terdapat potensi untuk menjadi sebuah belief in money atau kepercayaan terhadap uang. Cara seseorang memaknai uang sebagai alat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap tindakan yang akan diambil dalam pengelolaan uang. Uang bukan hanya instrumen komersial, alat tukar barang dan jasa, tetapi bersama dengan uang, ia dapat memengaruhi kehidupan orang, menyebabkan kebahagiaan atau bahkan kecanduan semu. Setiap orang membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Uang yang ada di tangan setiap orang akan mendapat perlakuan yang berbeda. Hal ini terlihat berdasarkan statistik kunjungan wisatawan mancanegara ke kawasan Pura Babakan selama periode Oktober 2022 terdapat 617 kunjungan yang terdiri dari 131 wisatawan Nusantara dan 486 wisatawan mancanegara. Berdasarkan potensi daya tarik wisata tersebut tentunya dapat meningkatkan pendapatan sumbangan untuk mendukung turistifikasi di Kawasan Pura Babakan.
Hal tersebut dapat dilihat dengan keberadaan kotak dana punia atau donasi Pura Babakan seperti yang tampak pada gambar 3. Pihak pamaksan Pura Babakan sangat memerlukan donasi atau dana punia dari para wisatawan Kawasan Pura
Babakan, sebab masih banyak hal yang harus diperbaiki dan dirawat untuk mengembangkan turistifikasi Kawasan Pura Babakan, salah satunya adalah tembok pembatas atau penyengker yang hingga hasil studi ini ditulis masih kekurangan biaya.
Gambar 3. Pos Kotak Dana Donasi (Sumber: Dok. Dewa Mega, 2022)
Turistifikasi Kawasan Pura Babakan ini bukan bertujuan sekedar bisnis, sebab para pamaksan Pura Babakan masih menganut sistem ngayah atau gotong royong yang saat ini masih kekurangan dana, bahkan seluruh biaya perawatan dan pengembangan Kawasan Pura Babakan masih bersumber dari donasi yang sangat terbatas. Oleh karena itu, sangat besar harapan agar para wisatawan dapat memberikan sedikit donasi untuk mendukung para pamaksan Pura Babakan dalam mengelola dan menata Kawasan Pura Babakan, terutama untuk pemugaran palinggih Pura Babakan.
Meskipun berlabel “donasi”, dalam kenyataan yang ditemukan di lapangan, makna “donasi” telah bergeser karena banyak wisatawan mancanegara yang tidak memahami makna donasi yang sebenarnya. Hal tersebut disebabkan karena terdapat wisatawan yang kerap ditanyai nominal donasi yang baru pertama kali mengunjungi Kawasan Pura Babakan, namun karena perbedaan pandangan, terdapat wisatawan
mancanegara yang pernah memberikan donasi Rp. 2000 bahkan ada yang sama sekali tidak memberikan sumbangan donasi, karena prinsip donasi adalah sukarela, bukan dipaksa. Berdasarkan pengalaman tersebut, apabila terdapat wisatawan yang bertanya mengenai nominal donasi, maka petugas akan memberikan nominal Rp. 10.000 yang disebut sebagai “donasi minimum”, namun ada pula yang menyumbangkan donasi dengan nominal di atas Rp.10.000 karena pihak pamaksan Pura Babakan berharap kepada seluruh wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Pura Babakan agar dapat berdonasi.
Faktor Mitos Keberhasilan Pariwisata Bali
Pulihnya pariwisata Bali pasca pandemi Covid-19 yang didukung oleh perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua yang telah terkenal sebagai salah satu destinasi wisata dunia, sebenarnya telah digaungkan semenjak wacana Presiden Soeharto yang menyatakan akan mengembangkan kepariwisataan Bali pada tahun 1968 melalui pidato kenegaraannya, yang kemudian pemerintah Provinsi Bali menangkap pengetahuan yang tersembunyi di balik wacana itu untuk dijadikan kekuasaan mengatur jalannya pariwisata Bali dengan cara mengeluarkan ungkapan wacana “Pariwisata Budaya” (Wijaya, 2012:142). awasan Pura Babakan.
Terdapat tiga hal penting dalam ungkapan wacana tersebut, yaitu: (1) pariwisata Bali harus menekankan kebudayaan Bali sebagai daya tarik utama di mata wisatawan; (2) seluruh potensi daya tarik wisata yang ada di seluruh Pulau Bali harus dikembangkan agar memungkinkan masyarakat Bali ikut berpartisipasi dalam berbagai usaha pariwisata, sehingga diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat; dan (3)
masyarakat Bali hendaknya memanfaatkan citra Pulau Dewata di kancah internasional yang mampu mendongkrak ekonomi untuk meningkatkan pendapatan devisa negara, sehingga identitas budayanya mendapat pengakuan oleh pemerintah pusat sebagai upaya untuk memperkuat posisi mereka di tengah bangsa Indonesia (Picard, 2006:185).
Menurut Piliang (2004), Foucault mengatakan pada setiap wacana terdapat relasi yang saling terkait antara ungkapan wacana, pengetahuan yang melandasinya, dan relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Menurut Foucault, kekuasaan tidak mewakiliki kelas borjuasi atau penguasa beserta atribut-atribut yang melekat pada diri mereka, melainkan taktik yang dihasilkan oleh fungsi yang meliputi disposisi, manuver taktis, dan teknis. Kekuasaan ini tidak berasal dari kekuatan ekonomi atau politik, sebab memang tidak ada dasarnya. Kekuasaan ini ada menjadi jaringan kekuasaan mikro yang sangat kompleks yang muncul dari hubungan yang meliputi setiap aspek kehidupan sosial. Oleh karena itu, kekuasaan tersebut tidak sekedar menindas, tetapi juga menciptakan (Foucault, 1980:114).
Pengagas Kawasan Pura Babakan sebagai daya tarik wisata, yakni I Wayan Jadra yang merupakan seorang pengusaha asal Desa Baru, Banjar Pinge, Marga, Tabanan yang melihat sejumlah potensi daya tarik wisata di wilayah Desa Tua dan Desa Baru yang di mana masyarakatnya masih bertumpu pada sektor pertanian yang penghasilannya tidak tetap. Oleh kondisi yang demikian, kaum petani kerap merasa termajinalkan, padahal hasil panennya sangat dibutuhkan oleh banyak pihak. Ia ingin adanya pengembangan daya tarik wisata di wilayah Desa Tua dan Desa Baru dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat lokal, terlebih jalur Desa Tua
dan Desa Baru merupakan jalur wisata strategis yang mengarah menuju daerah tujuan wisata Jatiluwih dan Bedugul yang selalu ramai. Oleh potensi jalur wisata tersebut, saat ini di wilayah Desa Tua dan Desa Baru telah dikembangkan berbagai daya tarik wisata, yakni: (1) Desa Cokelat Bali yang berada di Banjar Cau, Desa Tua; (2) Desa Kopi dan Rumah Desa yang berada di Desa Baru; dan (3) Kawasan Wisata Pinge yang berada di Desa Baru. Adanya potensi daya tarik wisata di dua desa tersebut, telah membawa dampak ke daerah sekitarnya, termasuk ke Kawasan Pura Babakan yang saat ini telah dibuka sebagai daya tarik wisata.
Berdasarkan hasil pemaparan di atas, dapat dianalisis dengan Teori Relasi Kuasa Foucault bahwa dalam wacana pariwisata budaya yang dicetuskan oleh Presiden Soeharto melalui pidato kenegaraannya, terdapat saling keterkaitan antara ungkapan wacana pariwisata budaya, pengetahuan yang melandasinya, dan relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Salah satu ungkapan wacana pariwisata yang terpenting dalam kepariwisataan Bali adalah doktrin pariwisata budaya yang dilandasi oleh suatu pengetahuan bahwa pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata (Picard, 2006:185).
Faktor Perkembangan Media Sosial
Penggunaan media sosial telah menjadi salah satu kebutuhan primer hampir bagi semua kalangan. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan akan informasi, hiburan, akses pengetahuan yang dapat dilakukan dari seluruh dunia. Kemajuan teknologi menjadikan media sosial sebagai perangkat-perangkat yang diproduksi oleh industri, sehingga muncul umpatan “dunia dalam genggamanmu”. Kemudahan dalam berkomunikasi menjadi salah satu alasan media sosial menjadi alat utama bagi
masyarakat dalam memperoleh informasi yang praktis. Richard Hunter (dalam Nasrullah, 2015) memperkenalkan pengertian dunia tanpa kerahasiaan, yang berarti kehadiran media baru membuat berbagai informasi sangat mudah ditemukan dan diakses.
Tren anak muda juga berubah, jika sebelumnya mereka menghabiskan uangnya untuk berdandan, namun sekarang mereka menghabiskan sebagian besar konsumsinya untuk bertamasya, maka dari itu diperkenalkanlah untuk mengunjungi daya tarik wisata terbaru yang sering mereka lihat di berbagai jejaring sosial, yang mereka cari paling banyak saat ini (Anang Sugeng, 2016; Umami, 2015).
Pada era informasi sepeti saat ini, perilaku konsumen mulai berubah. Sebelum mengambil keputusan untuk membeli suatu produk, calon konsumen selalu mencari informasi di berbagai jejaring sosial dengan melihat pendapat konsumen sebelumnya (Anang Sugeng, 2016; Ayutiani & Satria Putri, 2018). Demikian pula dalam memutuskan untuk melakukan perjalanan, mengunjungi suatu tempat wisata dengan melihat ulasan-ulasan dari wisatawan sebelumnya dengan melihat foto-foto yang diunggah di media sosial, serta pengalaman mereka perjalanan di dalam blog mereka.
Berdasarkan tayangan video pada situs Youtube yang menyoroti Pohon Kayu Putih dari angkasa dengan menggunakan pesawat tanpa awak atau yang saat ini biasa dikenal dengan nama drone.
Pengunggah video tersebut diketahui bernama Ardika karena ketika penggambilan video, ia sempat berfoto di atas Pohon Kayu Putih. Kawasan Pura Babakan pada saat itu masih terlihat kotor dan jalanan yang masih kurang layak. Semenjak video tersebut tersebar luas, kunjungan wisatawan ke Kawasan Pura Babakan mulai meningkat dan
berkat teknologi drone tersebut dapat diketahui tinggi Pohon Kayu Putih yakni sekitar 65 meter, bahkan informasi mengenai konten video tersebut terdengar hingga ke I Wayan Jadra yang merupakan pengusaha wisata Rumah Desa yang berada di Desa Baru, Marga, Tabanan. Seiring dengan banyaknya kunjungan wisatawan mancanegara maupaun Nusantara, banyak di antara mereka untuk berswafoto yang kemudian mereka unggah ke berbagai media sosial.
Gambar 4. Video Pura Babakan pada kanal Youtube Pepewe Bali
(Sumber: https://tinyurl.com/ef89kxb6)
Semenjak konten video tersebut telah tersebar luas atau biasa dikenal oleh warganet dengan istilah viral, pamaksan Pura Babakan mulai mengadakan musyawarah anggota pamaksan untuk membahas penataan Kawasan Pura Babakan karena arus kunjungan
wisatawan yang semakin ramai.
Berdasarkan hasil musyawarah tersebut, disepakati bahwa: (1) tembok pembatas atau panyengker Pura Babakan pada sisi Selatan dibongkar untuk pintu masuk utama ke dalam pura; (2) bale gong dan pawaregan atau dapur yang masing-masing berada di sisi Barat dan sisi Selatan Pura Babakan dibongkar untuk dijadikan lahan parkir dan jalan masuk ke dalam pura; (3) areal semak belukar di sisi Timur Pura Babakan dibersihkan dan ditata untuk dijadikan areal berswafoto; dan (4) penataan Kawasan Pura Babakan secara menyeluruh untuk dibuka sebagai
daya tarik wisata. Pada awal dibuka sebagai daya tarik wisata, pamaksan Pura Babakan meletakan kotak donasi atau dana punia yang dipungut secara sukarela dan pada saat itu pula belum terdapat seorang pengawas. Pengelolaan Kawasan Pura Babakan yang masih secara swadaya yang dilakukan oleh pamaksan Pura Babakan, mendapatkan atensi dari pihak pemerintah Kabupaten Tabanan dan pihak pemerintah Desa Tua.
Pengaruh media sosial sangat berperan besar dalam mempromosikan keberadaan Kawasan Pura Babakan sebagai daya tarik wisata, namun meskipun telah dikenal di berbagai media sosial, faktanya masih ada pihak yang tidak mengetahui keberadaan Kawasan Pura Babakan. Seperti saat peneliti melakukan observasi, terdapat salah satu seorang pemandu wisata asal Banjar Susut, Desa Baru, Marga, Tabanan yang kurang mengetahui keberadaan Kawasan Pura Babakan yang berada sangat dekat dengan Desa Baru, yang ironinya banyak orang luar Desa Baru dan Desa Tua yang mengetahui keberadaan Kawasan Pura Babakan berkat kehadiran aplikasi Google Maps yang memandu para wisatawan menuju Kawasan Pura Babakan, serta media sosial Instagram yang banyak terdapat unggahan foto-foto wisatawan yang berswafoto ria di bawah Pohon Kayu Putih.
SIMPULAN
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kawasan Pura Babakan telah mengalami turistifikasi, yang di mana terdapat empat faktor yang melatar belakanginya, yaitu: faktor globalisasi, faktor ideologi pasar, faktor mitos keberhasilan pariwisata Bali, dan faktor perkembangan media sosial. Turistifikasi Kawasan Pura Babakan dikhawatirkan akan menimbulkan desakralisasi yang kemudian akan memengaruhi dinamika
pariwisata budaya Bali. Oleh karena itu, perlunya ketegasan dari para pamaksan Pura Babakan beserta masyarakat Banjar Bayan untuk menjaga Kawasan Pura Babakan agar tidak terjadi pelecehan kawasan sakral. Pemerintah daerah maupun organisasi non-pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pelatihan terkait dengan kepariwisataan kepada para pamaksan Pura Babakan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman mengenai kawasan pura untuk dikelola sebagaimana mestinya, khususnya untuk Kawasan Pura Babakan agar tetap terjaga kesuciannya dalam terjangan arus globalisasi sebagai akibat dari dinamika pariwisata Bali yang semakin berkembang pesat.
DAFTAR PUSTAKA
Anang Sugeng, C. (2016). Pengaruh media sosial terhadap perubahan sosial masyarakat di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, 9 (1), hlm. 140–157.
Anonim. (2022). Perkembangan
Triwulanan Ekonomi Bali Triwulan III 2022. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
Ardika, I.W. (2007). Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Ardika, I.W. (2008). Pariwisata dan Komodifikasi Kebudayaan Bali: Dalam Pusaka Budaya dan Nilai-Nilai Religiusitas. Denpasar:
Jurusan Arkelolgi.
Atmaja, N.B. (2004). Kearifan Lokal dan Agama Pasar. Makalah Matrikulasi Program Studi S2 Kajian Budaya, Universitas Udayana.
Ayutiani, D., & Satria Putri, B. (2018). Penggunaan Akun Instagram Sebagai Media Informasi Wisata Kuliner. PRofesi Humas, 3 (1),
hlm. 39-59.
Barker, C. (2014). Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Bhandari, K. (2008). Touristification of cultural resources: A case study of Robert Burns. Tourism: An
International Interdisciplinary
Journal. 56 (3), hlm. 283-293.
Bungin, B. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Creswell, J.W. (2015). Reseacrh Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eriyanto. (2003). Analisis Wacana. Yogyakarta: Lkis.
Fernández-Arroyo, A. (2020). Aplicación de un índice de especialización funcional del turismo enla
identificación de relacionesde
desigualdad territorial. In: Pons, G.X., Blanco-Romero,A.,
Navalón-García, R., Troitiño-Torralba, L. y Blázquez-Salom, M. (eds.). Sostenibilidad Turística:
overtourism vs undertourism. Mon. Soc. Hist. Nat. Balears, 31: 57-66.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge, Colin Gordon, ed., trans. Colin Gordon, Leo Marshall, John Mepham, Kate Soper. Sussex: The Harvester Press.
Irianto, A.M. (2016). Komodifikasi Budaya di Era Ekonomi Global Terhadap Kearifan Lokal: Studi Kasus Eksistensi Industri
Pariwisata dan Kesenian
Tradisional di Jawa Tengah. Jurnal Theologia, 27 (1), hlm. 213-236.
Manuati, Y. (2006). Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan. Yogyakarta: Lkis.
Muselaers, M. (2020). “The Impacts of Touristification and Responses of The Local Community: The Case of Mouraria” (Tesis). Utrecht:
Master’s programme in Urban Geography Universiteit Utrecht.
Nasrullah, R. (2015). Media Sosial. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Ojeda, A.B. & Kieffer, M. (2020). Touristification: Empty concept or element of analysis in tourism geography? Geoforum, 115 (2020), hlm. 143–145.
Picard, M. (2006). Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Piliang, Y.A. (2004). Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta:
Jalasutra.
Prawira, D.M.M. (2022).
Commodification of The Pura Babakan Area as A Tourist
Attraction in Desa Tua, Tabanan,
Bali. International Journal of Research Publications, 114 (1),
hlm. 29-44.
Pujaastawa, I.B.G., & Sudana, I.P.
(2022). Model Pariwisata Berbasis Tri Hita Karana: Studi Kasus
Pengelolaan Kawasan Luar Pura Uluwatu, Desa Pecatu, Bali. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial
Budaya, 24 (01), hlm. 70-80.
Setyawan, A. (2020). Materi dan Nilai di Era Globalisasi: Perspektif
Appadurai. Al-MIKRAJ:
Indonesian Journal of Islamic Studies and Humanities, 1 (1), hlm. 1-7.
Sina, P. G. (2013). Money Belief Penentu Financial Behavior. Jurnal
Economia, 9 (1), hlm. 92-101.
Suindari, N.M. (2021). Dampak Pengembangan Obyek Wisata Kayu Putih Terhadap Keuangan dan Aktivitas Ekonomi Masyarakat di Banjar Bayan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha, 12 (03), hlm. 980-987.
Suzuki, T. (2010). Touring
Traumascapes. Touristification of an Okinawan Battlefield Memorial. Anthropology News. hlm. 15-16.
Umami, Z. (2015). Social Strategy Pada Media Sosial Untuk Promosi Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4 (2), hlm. 195-201.
Wijaya, I.N. (2012). Relasi-Relasi Kekuasaan di Balik Pengelolaan Industri Pariwisata Bali.
Humaniora, 24 (2), hlm. 141-155.
Discussion and feedback