HUMANIS


Journal of Arts and Humanities


p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.2. Mei 2023: 163-176

Singaraja dan Fragmen-fragmen Relief Penanda Perkembangan Kota Tinjauan Sejarah Visual Awal Abad XX Sebagai Potensi Visual Branding Urban Heritage

Singaraja and Fragments of Relief Marking City Development A Review of Early 20th Century Visual History as a Visual Potential for Urban Heritage Branding

Dewa Gede Purwita

Institut Desain dan Bisnis Bali, Kota Denpasar, Bali, Indonesia Email korespondensi: [email protected]

Info Artikel

Masuk:13 Pebruari 2023

Revisi: 9 Mei 2023

Diterima: 18 Mei 2023

Terbit: 31 Mei 2023

Keywords:

Singaraja city; relief; visual historical; cultural heritage


Kata kunci:

Kota Singaraja; relief; sejarah visual; warisan budaya

Corresponding Author:

Dewa Gede Purwita, emal: dewagdepurwita@std-bali.ac.id


DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i02.p05


Abstract

The relief fragments are interpreted as pieces of relief scattered in the Singaraja City area, viewed from a visual historical point of view in the late 19th to early 20th century. The problem is how to describe the historical narrative of the city through pieces of relief in Singaraja City, which aims to read the flow of the city's development and reveal the potential for visual branding of the cultural heritage of Singaraja City. The research method uses a visual history approach through a qualitative paradigm with analytic descriptive elaboration, the emphasis is more on the 20th century because the remains are based on the distribution of data in the remaining fields, the rest uses literature review and internet data in the elaboration process. Through this research, the narrative of the development of the relief from the medium side and the working technique along with the development of urban culture is obtained due to the multicultural assimilation process which is related to the existence of the city port and the center of government in Singaraja City.

Abstrak

Fragmen-fragmen relief dimaknai sebagai potongan relief yang tersebar di kawasan Kota Singaraja, ditinjau melalui sudut pandang sejarah visual pada rentang masa akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Permasalahannya adalah bagaimana menguraikan narasi sejarah kota melalui potongan-potongan relief di Kota Singaraja, yang bertujuan untuk membaca alur perkembangan kota serta mengungkapkan potensi visual branding warisan budaya Kota Singaraja. Metode penelitian mempergunakan pendekatan sejarah visual melalui pradigma kualitatif dengan penjabaran deskriptif analitik, penekanannya lebih kepada masa abad ke-20 dikarenakan tinggalan-tinggalan yang ada berdasarkan sebaran data dilapangan yang tersisa, selebihnya mempergunakan kajian kepustakaan dan data internet pada proses elaborasinya. Melalui penelitian ini didapatkan narasi perkembangan relief dari sisi medium dan teknik pengerjaan bersamaan dengan perkembangnya kebudayaan kota akibat proses asimilasi multikultur yang berhubungan atas keberadaan pelabuhan kota dan pusat pemerintahan di Kota Singaraja.

PENDAHULUAN

Kota Niaga adalah predikat yang sempat disandang oleh Singaraja setidaknya pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, pernyataan tersebut memberikan kita gambaran mengenai sebuah kota dengan pelabuhan dan segala hiruk-pikuknya perdagangan. Tentu hal itu benar adanya bahwa bukti-bukti Singaraja atau wilayah Den Bukit sebagai penyebutan populer yang lain untuk Buleleng dilalui jalur perdangan internasional pada masa ekspedisi rempah-rempah, setelah itu juga menjadi jalur ramai dalam ekspedisi perdagangan candu.

Merujuk kepada catatan Cornelis Lekkerkerker bahwa pada tahun 1839 agen NHM (Nederlandch Handels Maatshappij) Surabaya berhasil membuka sebuah kantor di Kuta, akan tetapi saat beroperasinya NHM ini belum begitu tampak mengadakan kontak-kontak dengan raja-raja di Bali (selatan) karena raja-raja telah mempunyai subandar (syahbandar) yang bertugas mengurus hubungan dengan orang asing, terutama yang berhubungan dengan soal perdagangan. Setelah tahun 1849 perdagangan di Kuta semakin sepi dan akhirnya pindah ke Bali Utara, sejak itu pusat perdagangan ada di Pelabuhan Buleleng (Agung et al., 1984)

Ramainya perdagangan di pelabuhan Buleleng atau dikenal dengan nama Pabean tidak hanya berdampak pada denyut kehidupan kota yang ramai melainkan juga berimbas kepada hal-hal lainnya seperti terjadinya asimilasi kebudayaan terutama di Kota Singaraja. Sebagian pedagang asing mulai menetap diikuti oleh para pekerja yang membantu mereka di dalam mengurus barang dagangan sehingga di sekitar wilayah pelabuhan berdiri rumah-rumah kecil untuk mengurus segala hal ini, tentu saja atas persetujuan raja sebagai penguasa pada saat itu.

Lama-kelamaan para pendatang yang tujuan awalnya berdagang kemudian menetap, mereka makin ramai dengan komunitas-komunitasnya. Hal ini ditunjukan dengan adanya istilah kampung yang terwarisi hingga saat ini, misalkan saja Kampung Tinggi, Kampung Jawa, Kampung Arab, dan lain-lain. Mereka hidup berdampingan dengan warga lokal, selain meningkatkan taraf kehidupan mereka (antara komunitas pendatang dan masyarakat lokal di kota) asimilasi kebudayaan pun terjalin. Dampaknya dari berbagai bidang sosio-kultural dan salah satunya adalah seni rupa melalui relief-relief ornamental yang sebagian kini masih eksis sebagai penanda khas Kota Singaraja.

Ornamen di Bali Utara dinamai sebagai gaya Blelengan oleh masyarakat pendukungnya, di sepanjang jalur pantai utara pulau Bali kita akan banyak menemukan gaya khas ini terpahatkan pada arsitektur bangunan suci seperti pura kahyangan tiga milik desa adat maupun rumah-rumah penduduk. Pada umumnya diaplikasikan pada medium batu padas lokal dengan warna yang agak kemerahan, motifnya berbagai macam yang mengambil bentuk stilasi flora dan fauna dengan nuansa yang naturalistik-dekoratif. Teknik pembuatan kebanyakan dengan cara dipahat meski terdapat jejak-jejak torehan yang kuat, akan tetapi di Kota Singaraja wujud ornamen menjadi lebih kompleks dari sisi teknik pembuatan dan bahan baku.

Eksistensi ornamen Blelengan di Kota Singaraja kini tentu mendapatkan tantangan berat, sebab keberadaannya sebagai penanda kota kian terhimpit oleh kehadiran banner, baliho, spanduk yang saling berlomba dipasang. Di bilangan Pasar Anyar, ornamen dapat kita temukan pada perwajahan depan di bagian atas toko, meski terbilang berusia lebih muda dibandingkan yang ada pada ruko-ruko kawasan Kampung Tinggi,

relief-relief dengan ragam hiasnya tidak lagi terlihat begitu menarik sebab ruko-ruko berlomba memajang signage nama toko mereka dengan agak berlebihan. Tidak jauh berbeda dengan relief-relief di kawasan Kampung Tinggi, padahal di kawasan ini umur relief-relief yang menghias perwajahan toko usianya terbilang tua, bahkan apabila merujuk kepada salah satu syarat sebuah cagar budaya umur relief-relief tersebut telah melampaui standar usia yang ditetapkan. Kejadian yang cukup menyesakan sebelumnya adalah dua gapura tipe candi bentar di kawasan pusat kota, yaitu di Gedong Kirtya dan Sasana Budaya, relief yang menghias dua gapura tersebut berangka tahun 1939 dengan kondisi memprihatinkan. Terjadi keretakan pada bagian tubuh gapura, motif yang tidak utuh karena patah akibat dipasangi bentangan spanduk, dipaku, diikat, dipasangi besi dan kayu untuk membentangkan informasi visual itu (Purwita, 2022). Bersyukur setelah adanya kritikan masyarakat, sampah visual itu akhirnya dilepas, padahal jika pemerintah mampu meramu formula branding untuk Kota Singaraja maka relief-relief     berhiaskan     ornamen

Blelengan tersebut memiliki potensi yang luar biasa sebagai wisata budaya.

Sebagai kawasan dalam konteks potensi wisata (Riyanto et al., 2016) didasarkan pada sejarah Kota Singaraja memiliki bukti fisik yang menjadi saksi terhadap kejayaan Kerajaan Buleleng, penguasaan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, hingga perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Berbagai obyek peninggalan sejarah masih dapat ditemukan di Kota Singaraja. Fragmen-fragmen relief di Kota Singaraja adalah warisan budaya kota atau yang disebut dengan urban heritage, menyitir Gendro Keling mengenai pengertian istilah tersebut adalah objek-objek dan kegiatan di

perkotaan yang memberi karakter budaya yang khas bagi kota yang bersangkutan. Keberadaan bangunan kuno dan aktifitas masyarakat yang memiliki nilai sejarah, estetika, dan kelangkaan, biasanya sangat dikenal oleh masyarakat yang secara langsung menunjuk pada suatu lokasi dan karakter kebudayaan suatu kota (Keling, 2017).

Relief-relief sebagai penanda kota Singaraja tentu telah hadir setidaknya lima dekade dari hari dikumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selama masa itu tentu telah terjadi perkembangan dari sisi komposisi bahan dan mempengaruhi bentuk perwujudan motif ornamennya yang diakibatkan oleh asimilasi kebudayaan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan para pendatang yang kemudian menetap di Singaraja dari pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Berdasarkan hal tersebut maka dapat ditarik satu pertanyaan tentang bagaimanakah perkembangan relief ornamen di Singaraja dalam konteks sejarah visual hadir sebagai penanda perkembangan kota?

Tujuan dari tulisan ini adalah menjabarkan reka ulang atau konstruksi ulang mengenai selintas gaya tentang ornamen Blelengan yang hadir pada sebaran relief pada abad ke-20, selain merekonstuksi lini masa perkembangannya melalui ketersediaan data-data yang dikumpulkan ada upaya lebih dalam hal mendedahkan atau mengekspos potensi warisan budaya material sebagai unsur utama visual branding Kota Singaraja. Di dasari atas pemikiran seni sebagai suatu domain estetika, artinya tertaut erat dengan nilai, mesti juga dilihat terkait erat dengan ethos (sikap atau cara hidup.) penanda masa (Mustaqim et al., 2013).

Tentu ada banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai sejarah Singaraja melalui berbagai sudut pandang keilmuan, akan tetapi penelitian

mengenai sejarah kota yang dibaca melalui tinggalan fragmen relief pada awal abad ke-20 belum tersentuh, fragmen relief tersebut adalah sejarah visual yang keberadaannya memiliki nilai penting terhadap keberadaan suatu kota. Fragmen relief yang masih tersisa tersebut memberikan informasi mengenai perkembangan kota dan jejaknya kini cukup mengkhawatirkan. Padahal apabila dikelola dengan baik, maka fragmen-fragmen relief tersebut dapat dipergunakan sebagai salah satu unsur otentik visual branding kota Singaraja yang urban heritage.

METODE DAN TEORI

Pradigma penelitian sejarah visual berkenaan dengan data-data dikumpulkan melalui peninjauan kembali sebaran objek-objek di lapangan, pendokumentasian, wawancara dan studi pustaka internet. Dalam konteks relief sebagai penanda kota maka sebaran relief-relief tersebut dipadankan dengan terminologi fragmen yang berarti potongan-potongan yang secara keseluruan menjadi acuan tanda, keberadaannya dipandang mampu membangun ciri khas sebuah kota. Di dalam tinjauan ini bersandar pada pendekatan sejarah visual yaitu pradigma yang terdapat dalam bingkai wacana kesejarahan dan kerupaan atau seni rupa. Menyitir Malcolm Barnard dalam (Dienaputra, 2012) mengenai sumber visual dalam konteks sejarah seni mencakup semua sumber sejarah, baik sumber tertulis, sumber lisan,maupun sumber benda, atau sejalan dengan pengertian visual yakni, ”everything that can be seen”. Dalam pengertian sempit, sumber visual hanya mencakup sumber-sumber berbentuk gambar, baik bergerak maupun tidak bergerak, seperti foto, lukisan, ukiran, dan film. Sejalan dengan itu mengenai sumber visual yang dapat dipergunakan sebagai data-data maka

dalam konteks penelitian ini tentu saja mempergunakan sumber-sumber dalam kedua pemahaman, catatan-catatan tertulis mengenai sejarah kota dan pelabuhan di Singaraja, wawancara terhadap tokoh kunci, dan fragmen-fragmen relief yang ada di sekitar wilayah Kota Singaraja.

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian sejarah yaitu: (1) Pencarian bahan-bahan sumber di atas kita dapat bekerja, ialah pencarian sumber-sumber keterangan atau pencarian bukti-bukti sejarah, tahap ini disebut Heuristik, yang merupakan langkah permulaan di dalam semua penulisan sejarah; (2) Penilaian atau pengujian terhadap bahan-bahan sumber tersebut dari sudut pandangan nilai kenyataan (kebenarannya) semata-mata, tahap kedua ini disebut kritik sumber atau kritisisme, yang merupakan langkah yang sangat penting sehingga sering dikatakan bahwa seluruh proses dari metode sejarah disebut sebagai kritisisme sejarah; (3) Penceritaan atau Penyajian yang bersifat formal (resmi) dari penemuan-penemuan dari kegiatan Heuristik dan Kritisisme; tahap ketiga ini meliputi penyusunan kumpulan dari data sejarah dan penyajian /penceritaannya (pada umumnya dalam bentuk tertulis) di dalam batas-batas kebenaran yang objektif dan arti atau maknanya; tahap ketiga ini disebut sinthese dan penyajian atau penulisan (Wasino & Hartatik, 2018).

Langkah heuristik dilakukan dengan mengumpulkan data-data berupa dokumentasi foto-foto relief yang ada di Kota Singaraja, terutama relief pada perwajahan ruko-ruko, tempat suci seperti Pura Desa Buleleng, kompleks pemerintahan seperti Puri Gede Buleleng, Sasana Budaya dan Gedong Kirtya, Situs Pemandian Umum, setelah keseluruhan data terkumpul maka dilakukan proses kritisme sejarah dengan melakukan

perbandiangan visual, penelusuran bahan, penggunaan teknik pembuatan ornamen hal tersebut dilakukan guna menentukan dan mendapatkan nilai dari pekembangan relief-relief yang ada di Kota Singaraja, setelah dilakukan analisis maka dibuatlah hasil penyajian melalui tulisan dan ilustrasi alur perkembangan.

Dari tiga tahap metode penelitian sejarah terutama sejarah yang berkenaan dengan kerupaan pada relief-relief tersebut maka analisis yang dipergunakan adalah pendekatan hermeneutika dalam konteks kajian semiotika yang bertumpu pada pembacaan terhadap penanda dan petanda. Hermeneutika berdasar pada fungsi esensial bahasa dalam kehidupan manusia, bahasa tidak hanya dipahami sebagai struktur dan makna serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari, lebih dari itu bahwa filsafat hermeneutika menekankan fungsi bahasa yang mampu melukiskan seluruh realitas hidup manusia (Kaelan, 2009), dalam sudut pandang analisisnya kerupaan adalah sistem bahasa yang dapat terbaca dan memiliki arti melalui bagaimana rupa (bentuk) tersebut disusun atau digambarkan. Relief sebagai bahasa rupa dalam hubungannya dengan bahasa maka ‘arti’ merupakan sesuatu yang hal yang lebih dalam dari pada sistem logis bahasa dan lebih dahulu dari bahasa, bahkan merupakan kemungkinan ontologis bagi adanya kata-kata, interpretasi adalah membuat eksplisit kata ‘sebagai’ oleh karena itu interpretasi bukanlah mengetahui hal-hal yang sudah ditangkap melainkan penggarapan sesuatu kemungkinan-kemungkinan yang ditampilkan melalui pemahaman.

Dalam hal ini sejarah visual dapat menyajikan hasil konstruksi ulang melalui hasil tertulis maupun visual. Rekonstruksi tertulis adalah apa yang disajikan melalui hasil analisis dan dijabarkan dalam bentuk tulisan sedangkan hasil rekonstruksi visual

disajikan melalui bentuk-bentuk visual misalkan video pendek, film dokumenter, infografis, dan lain-lain. Pada penelitian ini mempergunakan tata cara penyajian tulisan melalui pradigma penilitian kualitatif yang deskriptif analitik. Sebagaimana proses analisis merupakan inti dari penelitian di mana peneliti menggunakan segala kemampuan untuk menjelaskan berbagai temuan yang didapatkan selama penelitian. Proses analisis melibatkan methodology, tehnik pengumpulan data, dan analisis sendiri (Soewarlan, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kota Singaraja

Kota Singaraja sejak abad ke-17 telah dibangun dengan beragam kehidupan sosial-budaya. Buktinya adalah terdapat beragam kelompok etnis yang hingga kini masih eksis dan saling mempengaruhi, keberagaman kehidupan sosial-budaya di Kota Singaraja terkonsentrasi pada kasawan yang dekat dengan pelabuhan Pabean. Nama-nama seperti Kampung Tinggi, Kampung Baru, Banjar Bali, Banjar Jawa, Kampung Bugis di bagian Barat pelabuhan, serta Kampung Arab yang segaris dengan Pabean Buleleng (Purwita, 2021).

Gambar 1. Peta Kota Singaraja dan Pabean 1849

Pada buku sejarah Kota Singaraja dimuat tiga peta yang menunjukan topografi kota. (1) Peta petunjuk militer Kota Singaraja dan Pabean Buleleng 1849, (2) Peta Pabean dan Kota Singaraja tahun 1956, (3) Peta Kota Singaraja tahun 1962 Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Buleleng. Peta pertama dengan tampilan sederhana menunjukan garis lurus antara pelabuhan (Pabean Buleleng) dengan pusat kota Singaraja di kawasan persimpangan Gedung Sasana Budaya kini. Beberapa petunjuk di lingkungan pabean terdapat blok-blok yang memuat keterangan perkampungan dengan pohon-pohon kelapa. Peta kedua memuat judul Peta Pabean Buleleng telah memuat keterangan Kampung Cina (Pacinan) di areal Klenteng Ling Gwan Kiong di sisi timur pabean berdampingan dengan aliran besar sungai Tukad Buleleng kemudian di blok kedua sisi bagian selatan juga adalah kompleks Pacinan. Kampung Sasak di arah barat daya pabean kini di areal Pasar Anyar sisi utara, Kampung Bugis di sisi barat Kampung Sasak, Kampung Anyar berada di selatan Kampung Bugis, Kampung Kajanan bersebelahan dengan Banjar Jawa posisinya di barat kompleks Pacinan, Banjar Bali terdiri dari empat blok berdampingan dengan Pasar Anyar Sisi utara dan Banjar Kaliuntu dan dua blok besar Banjar Jawa di sisi utara Pasar Anyar. Peta yang ketiga berjudul Peta Kota Singaraja dan Pabean Buleleng menampilkan lebih sedikit keterangan (Agung et al., 1984).

Melalui peta tersebut maka dapat dilihat bahwa Kota Singaraja sangat lekat dengan citra Pabean Buleleng sebagai kawasan kota niaga. Keberadaan keduanya berdampak pada berdirinya komunitas-komunitas etnis yang saling berdampingan, pasar yang hadir di tengah-tengah perkampungan merukan muara pertemuan kebudayaan. Kehadiran pasar dan perkampungan membentuk

pola hunian mereka dengan tipe rumah sekaligus toko, jejeran ruko-ruko bergaya lama inilah yang memberikan kesan heritage Kota Singaraja dihari ini selain beberapa titik lain seperti bangunan suci dan rumah bangsawan (jero/puri).

Ruko-ruko bergaya lama masih bertahan di sepanjang Jl. Surapati (Gambar 2) yaitu dari titik Pabean ke arah timur, apabila kita perhatikan pada bagian perwajah ruko bagian atas maka semuanya memiliki panil relief dengan motif bunbunan (stiliran sulur daun dan bunga) Blelengan, di tengah-tengahnya selalu terdapat pahatan relief yang menjorok ke luar seperti patung atau simbol-simbol lainnya yang diduga kuat sebagai citra visual ruko tersebut. Di sisi barat pelabuhan kini menjadi Jl. Erlangga juga dahulunya berdiri ruko-ruko sampai saat ini masih ada meski terlihat mulai lusuh, pola perwajahan depannya sama dengan yang ada di Jl. Surapati. Sedangkan di daerah Pasar Anyar yakni Jl. Ponegoro relief-relief terlihat lebih baru dari sisi motif dan bentuknya, meski beberapa toko di Jl. A. Yani menunjukan adanya jejak-jejak yang lebih tua daripada disepanjang Pasar Anyar.

Gambar 2. Perwajahan ruko di Jl.

Surapati Singaraja.

Dari pusat perdagangan itu ke arah selatan maka kita berjumpa pusat

pemerintahan yaitu Puri Kanginan, Puri Gede, Sasana Budaya, Gedong Kirtya yang hanya berjarak kurang lebih 2,6 kilometer dari pabean. Di kawasan pemerintahan ini tersebar keberadaan relief-relief di beberapa titik seperti gapura Sasana Budaya dan Gedong Kirtya, kompleks Puri Kanginan dan Puri Gede Buleleng, di sisi selatan yaitu dari Liligundi ke Sukasada atmosfir pertemuan tradisi dan modern masih terasa melalui gerbang-gerbang rumah-rumah penduduk dan Pura Desa Buleleng.

Relief Sebagai Tanda dan Penanda Kota

Relief sebagai kata benda berarti pahatan pada permukaan yang semula datar sehingga tampak ada perbedaan; gambar hiasan pada dinding candi (Zul Fajri & Aprilia Senja, 2008) lebih lanjur mengenai relief dinyatakan memiliki keindahan visual yang cukup bisa membuat para pengamat seni kagum. Selain pada keindahan visualnya, relief biasanya juga menghadirkan sebuah cerita (Pratiwi, 2016). Melalui pengertian relief tersebu maka dapat disimpulkan bahwa relief adalah gambar dapat berupa motif hias (ornamen) atau gambaran dengan adegan tertentu dari sebuah cerita yang dibuat dengan cara dipahat, ditoreh, di beri warna sehingga menjadi berbeda dengan permukaan dinding.

Gambar 3. Fragmen relief di toko GGH dengan angka tahun 1920

Fragmen-fragmen relief yang pertama adalah di kawasan Pecinan di Jl. Surapati, Singaraja. Tepat di sisi selatan bangunan pabean berjejer ruko-ruko Tionghoa, Sebagian besar menjual perlengkapan bangunan, pada bagian atasnya terdapat relief bunbunan, pada bagian tengahnya dengan gambar berbagai macam. Seperti sepasang naga liong dan satu bola, gambar pulau Bali dan sepasang burung mencengkramai stiliran pohon jagung, ada juga dengan mempergunakan figur Dewa Harihara (penggambaran campuran Dewa Siwa dengan Wisnu juga disebut Shankaranarayana yang dicirikan bertangan empat, dua tangan masing-masingnya memegang sangka dan akshamala) menunggangi Garuda, ada juga yang mempergunakan tokoh wayang Arjuna pada relief perwajahan rukonya, ada juga yang menerapkan relief sepasang singa memegang obor yang menyala, ada juga tokoh pertapa dengan mahkota dengan gerak tangan tertangkup di dada.

Fragmen relief-relief kedua masih di Jl. Patimura namun sisi timur Tukad Buleleng, kesan kultur Bali-Tionghoa sangat kental di sini. Pada perwajahan ruko-rukonya dapat ditemukan relief bunbunan simetris dan pada bagian tengahnya terdapat berbagai macam relief yang menjadi citra visual. Ada ruko yang mempergunakan figur Dewi Kwam In, sepasang binatang kelinci, sepasang burung membawa padi, di toko GGH lebih menarik yaitu sebuah gunung meletus yang seolah berada di samudra dengan sepasang lotus menyembul mengapit laut dan gunung pada bagian atas terdapat angka yang merujuk tahun yaitu 1920 (Gambar 3), ada juga yang mempergunakan figur Garuda Wisnu, ada juga figur Arjuna bertapa, dan figur perempuan yang menakupkan tangan di dada pada toko Roti Go (Gambar 4).

Gambar 4. Fragmen relief pada perwajahan ruko Roti Go

Gambar 5. Fragmen relief motor Vespa di Kota Singaraja

Fragmen-fragmen ketiga yaitu di seputaran Pasar Anyar, meski diduga dibuat jauh lebih muda dibandingkan dengan relief-relief di Jl. Patimura namun terlihat ada upaya untuk mengkonstruksi dan meniru gaya lama. Relief unik ada terpahatkan di Jl Erlangga, ada toko mempergunakan relief seikat bunga yang menyatu dengan bunbunan, dan toko dengan relief motor Vespa (Gambar 5). Lokasi fragmen-fragmen keempat adalah diwilayah pusat pemerintahan yaitu seputar simpang Catur Muka, di sisi barat daya adalah kompleks Sasana Budaya, Museum Buleleng dan Gedong Kirtya. Di sini lebih menarik sebab dijumpai teknik cetak relief dengan medium semen pada sepasang gapura bergaya candi bentar, yang satu akses masuk ke Sasana Budaya dan Museum Buleleng di sisi timur, dan akses masuk ke Gedong Kirtya, Dinas Kebudayaan, dan Puri Gede Buleleng di sisi barat. Dua gapura ini bergaya Bali-Kolonial berwarna putih,

semua ornamen dan relief dibuat dengan teknik cetak, tidak dipahat atau ditoreh seperti pada perwajahan ruko-ruko yang telah disebutkan tadi.

Fragmen relief kelima pada gapura utama Puri Kanginan di bagian petitis berukir berbahan kayu dengan gaya Blelengan lengkap dengan relief sepasang singa bergaya khas tradisi Bali Utara. Fragemen relief ke enam ada di situs permandian umum di depan Pasar Buleleng (sisi barat pasar, berdampingan dengan Sasana Budaya dan kompleks Puri Gede), terdapat satu gapura candi bentar, relief-reliefnya dibuat dengan material bias pamor yang ditoreh pun didekorasi dengan ornamen bunbunan (Gambar 7), terdapat angka tahun yang sama pada masing-masing gapura menunjukan informasi selesainya pembangunan yaitu 3-6-1939. Di sisi selatannya kurang lebih berjarak 100 meter berdiri Pura Desa Buleleng dengan material utama bangunan dan relief mempergunakan batu padas dan batu bata.

Gambar 6. Fragmen relief cetak di Gedong Kirtya Singaraja berangka tahun 1930.

Gambar 7. Fragmen relief dengan bahan pasir dan pamor pada situs pemandian di Kota Singaraja

Secara fungsional simbol-simbol pada relief perwajahan ruko yang telah dibahas tersebut tentu memiliki makna tersendiri, sebagai penanda identitas toko sekaligus sebagai citra visual yang berhubungan dengan produk yang dijual pada masa lalu, suatu ornamen pada relief juga harus mampu membentuk suatu elemen identitas. Walaupun diolah sedemikian rupa untuk memperlihatkan keindahannya, namun pada hakekatnya benda-benda alam yang dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih menampakkan identitasnya (Widianti & Studyanto, 2017).

Terkait motif relief terutama Bunbunan Blelengan memiliki kedekatan rupa dengan motif Patra Cina yang umum di Bali, Patra Cina juga merupakan salah satu produk pencerminan bagaimana budaya Bali menerima budaya asing masuk ke wilayahnya (Maharlika, 2018). Secara spesifik perbedaannya adalah pada penerapan yang lebih naturalis di Singaraja (Bali Utara) sedangkan Patra Cina lebih dibentuk dekoratif di Bali Selatan. Patra Cina dikenali dengan ciri khas bunga mekar dengan kompinasi tiga

daun mengelilinginya, sedangkan Bun Buleleng dikenali dengan ciri khasnya pada bentuk daun yang panjang dan lebar serta kejelasan bentuknya yang mengikuti bentuk alami sumber stilasinya, misalkan daun pare, daun sungenge, daun semangka.

Uraian keberadaan data-data tersebut adalah sample yang dipilih dengan pertimbangan memiliki kekhasan rupa dan simbol-simbol, material, dan teknik pengerjaan. Sejalan dengan itu bahwa dari tiga unsur tersebut terbaca perjalanan sejarah material dan teknik pengerjaan fragmen-fragmen relief yang memiliki relasi terhadap perkembangan kebudayaan sejarah visual Kota Singaraja. Sejarah visual yang dimaksud merupakan hasil rekonstruksi sejarah yang berbasiskan pada penggunaan sumber-sumber visual atau menjadikan sumber visual sebagai sumber utama dalam rekonstruksi sejarah (Dienaputra, 2012), berdasarkan pemahaman bahwa sumber visual adalah sumber utama atau instrumen pokok yang dipergunakan di dalam rekonstruksi sejarah, dalam hal ini rekonstruksi sejarah yang dimaksud adalah upaya mendedah garis waktu perkembangan relief sebagai ragam hias yang menyentuh persoalan-persoalan semiotika yakni sebagai penanda khas Kota Singaraja.

Perkembangan Relief di Kota Singaraja

Pada dasarnya medium atau material yang dipergunakan sebagai relief sangat berhubungan dengan faktor geografis, di Kota Singaraja dari arsip foto tahun 1860 dan data-data pada banguan suci pura bahkan yang lebih muda yakni 1920an mempergunakan batu padas. Umumnya berwana abu-abu tetapi di Bali Utara berwarna lebih coklat dan ada yang kemerahan. Penggunaan material batu padas adalah hal umum pada masa-masa itu, relief yang masih mempergunakan

bahan ini adalah di Pura Desa Buleleng, beberapa juga ditemukan di ruko-ruko kawasan Jl. Patimura.

Gambar 8. Lini Masa Perkembangan Relief di Kota Singaraja

Perkembangan selanjutnya pada akhir 1800 hingga awal 1900 di Singaraja telah mempergunakan medium bias (pasir) dengan perekat pamor (kapur putih), penggunaan ini juga di campur dengan perekat tanah liat. Medium bias pamor tentu saja lekat dengan peran colonial Belanda yang telah menduduki Singaraja setelah Perang Jagaraga pada tahun 1849, pada tahun-tahun ini kemudian berkembang bangunan model indies empire di Buleleng terutama di Kota Singaraja melalui gaya lodji. Penggunaan material bias pamor dalam relief di Kota Singaraja massif dipergunakan pada situs pemandian (kayehan) yang ada di bilangan pusat pemerintahan yaitu pada kawasan Puri Gede Bulelen. Temuan ini disadari ketika mendokumentasikan situs pemandian tahun 2017, setelah mencermati lebih detail pada kerusakan-kerusakan oranmen di tubuh gapuranya. Tata cara pembuatannya adalah dengan membentuk adukan bias pamor yang ditempelkan pada permukaan, lebih kepada cara menoreh-noreh.

Pada tahun 2022 juga baru disadari akan adanya perkembangan baru dari metode pembuatan relief di Kota Singaraja dengan cara mencetak. Teknik cetak ini menunjukan sempat terjadi produksi masal pada dekade 1930, sebab dengan adanya teknik cetak ini produksi relief dapat lebih cepat dihasilkan dan

diaplikasikan. Model relief ini diterapkan pada gapura Sasana Budaya dan Gedong Kirtya, disadari adanya metode cetak untuk membuat relief ini dari retak dan rusaknya beberapa bagian ornamen. Namun sayang, yang tersisa kini hanya dua objek ini meski ada upaya rekonstruksi yang telah dilakukan oleh Puri Gede Buleleng tetapi tekniknya tidak menerapkan cetakan melainkan torehan.

Model cetakan yang lain ternyata masif dipergunakan di Karangasem dan hingga kini masih terus diproduksi. Melalui catatan ditemukan awal mula pengunaan metode cetak ini ketika proses pengembangan bangunan di Puri Agung Karangasem. Arsitektur bangunan Puri Agung Karangasem menggunakan gaya arsitektur tradisional Bali dan dikombinasikan dengan gaya arsitekturnya Eropa dan Cina (Megawangi, 2016), Karangasem melalui Raja I Gusti Gede Djelantik pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 menginisiasi pembangunan baru bekerjasama dengan arsitek Belanda dan Tionghoa sehingga terwujudlah bangunan dengan ornamen-ornamen cetak (Girindrawardani, 2017). Sebenarnya pola yang sama telah diterapkan lebih dahulu di Singaraja melalui arsitektur, akan tetapi dalam hal relief cetak belum dapat dipastikan daerah yang mana lebih dahulu meski terdapat beberapa kesamaan motifnya. Dua gapura di kawasan pemerintahan Kota Singaraja ini sangat kental dengan nuansa Blelengan, hal itu dapat dilihat dari motif bunbunan dengan menerapkan motif bunga Sungenge dan daun pare (don paya).

Relief-relief di Kawasan Patimura lebih kepada bunbunan yang berpola lingkaran bersambung, motif yang dipergunakan juga sama dengan yang ada pada dua gapura tersebut. Yang membedakannya adalah relief-relife pada

bagian tengahnya melalui penggambaran figur atau simbol-simbol. Ciri khas ragam hias bunbunan Blelengan menurut I Gede Yasa melalui wawancara pada tanggal 2 Oktober 2020 di Desa Sangsit menuturkan bahwa tipikal khas ornamen Blelengan adalah motif daun dibuat lebih besar, dapat dibedakan antara daun tua dan daun muda dari pola lipatan daun, bentuknya cenderung runcing pada ujung daun serupa daun pare atau daun sungenge, ada pula daun yang tumpul biasanya disebut daun semangka, motif bunga merujuk kepada bunga sungege atau bunga pare dan jarang mempergunakan motif patra punggel. apa yang tersaji dari situs-situs relief yang telah dipaparkan di atas telah menjadi kekhasan dari ornamen Bali Utara termasuk Kota Singaraja yang menjadi lebih kaya perkembangan teknik pembuatan dan materialnya dan tentu saja motif-motifnya. Hal ini tentu saja beriringan dengan perkembangan Kota Singaraja yang terus berkembang, relief kini tidak lagi mempergunakan bias pamor juga teknik cetak, bahan batu padaspun mengalami proses mix media, Kota yang berkembang medium relief pun berkembang, begitulah lanskap budaya Kota Singaraja.

Lanskap budaya terbentuk dari reorganisasi bentang alam secara kontinyu oleh masyarakat asli dalam rangka mengadaptasikan penggunaan lahan dan struktur spasial dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia, yang senantiasa berubah dari masa ke masa. Ia disadari sebagai lanskap multifungsi yang menyediakan beragam manfaat bagi manusia dalam menghasilkan barang dan produk. Ia mengandung potensi dan limitasi bagi pengelolaan sumberdaya lokal, memperbaiki budaya, dan lain sebagainya. Oleh karena prosesnya yang panjang dan kompleks, lanskap budaya disadari menyimpan suatu value, model kearifan lokal dan sebagai model

interaksi yang lebih harmonis antara manusia dan alam (Maulidi & Rukmi, 2018).

Relief, Kota Singaraja, dan Simbol Apabila dirawat dengan baik maka sebaran relief-relief pada situs-situs kawasan yang telah dijabarkan di atas sangat memiliki potensi sebagai kawasan wisata Kota dan layak menyandang predikat heritage, sebab nilai sejarah dari relief dan Kota Singaraja sangat kaya akan narasi. Meski telah dicabut statusnya sebagai ibu kota provinsi Bali pada tahun 1960, kota ini menyimpan historis yang kuat dari berbagai aspek dan salah satunya dari sisi seni rupa yaitu relief-reliefnya yang tersebar membentuk serupa kepingan atau fragmen. Dengan demikian, sebenarnya banyak sekali peluang yang didapatkan apabila konsep visual branding dilakukan dengan tepat, (Anam et al., 2017) mengenai peluang besar tersebut tentu membutuhkan konsep visual branding yang kuat dan akan menarik minat masyarakat karena identitas sebuah kota dikemas dengan lebih menarik dan kental akan tradisi.

Sebagai karya seni rupa, relief-relief di Kota Singaraja sangat kental dengan akar tradisinya meskipun melalui pengembangan medium dan bahan, karakteristiknya yang kuat sekaligus sebagai penanda atmosfir Blelengan yang egaliter, bebas, ekspresif. Hal tersebut dapat dibaca melalui tanda-tanda visual pada relief, pada kehidupan sosial-budaya hal itu tampak pada bagaimana egaliternya masyarakat Kota yang hidup berdampingan dengan berbagai etnis. Mengenai tanda dan penanda tentu tidak terlepas dari wacana semiotika yang dalam hal ini berhubungan dengan visual. mengacu kepada Charles Sander Pierce menegaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan kausalitas atau karena adanya ikatan konvensional antara objek dan

tanda tersebut. Pierce merumuskan pemikirannya tentang semiotika melalui tiga unsur yaitu ikon sebagai tanda yang berhubungan antara petanda dan penandanya bersifat alamiah, indeks menunjukan hubungan alamiah antara petanda yang bersifat kausal (sebab-akibat), dan simbol adalah tanda yang tidak menunjukan hubungan alamiah antara petanda dengan penandanya, hubungannya bersifat arbiter atau semau-maunya namun berdasarkan konvensi atau kesepakatan (Hendri, 2015).

Secara luas, fragmen-fragmen relief yang ada di Kota Singaraja dinyatakan sebagai ikon sebuah kota yang heritage, hal ini dapat dibaca melalui keberadaannya yang ditandai dengan angka tahun sekaligus melalui keunikan-keunikan visual yang dihadirkan. Sebagai indeks, fragmen-fragmen relief tersebut ada dan berkembang sedemikian rupa karena adanya interaksi sosial-budaya antara masyarakat lokal dengan pendatang (berbagai entis yang paling kuat adalah Tionghoa dan Eropa), hal ini dapat dibaca melalui model-model relief berbahan bias pamor atau adukan semen yang ada di kerkhof (kuburan peninggalan Belanda yang kini menjadi kuburan Kristen) Liligundi menampilkan nisan-nisan dengan dekoratif eropasentris dan juga pada relife-relief yang terpadat pada nisan-nisan lama kuburan Tionghoa di kawasan Pantai Lingga (sisi barat Kota Singaraja) juga pada klenteng-klenteng yang ada di Kota Singaraja. Percampuran ini membentuk komposisi unik baik dari sisi motif, medium dan juga tata cara pengerjaannya, sehingga dengan mudah menunnjukan atmosfir Kota Singaraja yang lekat dengan ornamen pada perwajah ruko di kawas an pelabuhan. Sebagai simbol, antara relief dengan ornamen Blelengan dan Kota Singaraja telah terkonvensi dalam suatu gaya yang disebut gaya Blelengan sebagaimana ciriciri yang telah dipaparkan di atas.

Relief dan Kota Singaraja adalah bentuk dari kebudayaan visual yang telah membentuk dirinya seperti hari ini sejak pendudukan Belanda pada kemenangannya atas perang Jagaraga tahun 1849, kebudayaan visualnya adalah materialnya yang tersebar membentuk sekaligus menjadi makna-makna baru tentang narasi sejarah kota. Mengutip Stephanie Moser dalam tulisannya berjudul Archaeological Representation: The Visual Conventions for Constructing Knowledge about The Past dalam (Suyono, 2021) mengatakan bahwa istilah arkeologi post-prosesual selalu berkeinginan menggali apa yang disebutnya “archaeological poetics” pada representasi visual kebudayaan material. Lapisan-lapisan maknanya harus berusaha digali atau ditampilkan melalui apa-apa yang tersembunyi secara puitik dalam sebuah teks arkeologi sebagaimana seni relief dan relasinya terhadap konteks ia ada. Kebudayaan material sering dihubungkan dengan benda, objek, barang-barang, artefak, komoditas dan sekarang ini sering disebut pula sebagai aktan yaitu suatu barang yang berfungsi menjiwai gerakan manusia (Susilo Pradoko, 2017).

SIMPULAN

Fragmen relief dan keberadaannya di Kota Singaraja tentu memiliki relasi kuat sebagai refleksi keberagaman sosial-budaya masyarakatnya. Sebagai seni, relief berciri khas ornamen gaya Blelengan adalah objek yang menjadi unsur urban heritage mampu menjadi visual branding sebagai warisan budaya kota dengan nilai multikultural yang kuat. Sumber-sumber dan bukti-bukti sejarah mengejewantah pada wajah-wajah ruko tua di lingkaran kawasan Pabean Buleleng, Pasar Anyar, dan kawasan pusat pemerintahan di lingkup simpang Catur Muka seperti, Puri Kanginan, Sasana Budaya, Museum

Buleleng, Gedong Kirtya, Puri Gede Buleleng, Pura Desa Buleleng. Relief dan Kota Singaraja sama-sama membangun suatu nilai sejarah visual yang lekat dengan narasi-narasi sejarah keberadaan Kota Singaraja sebagai kota yang kaya akan nilai heritage dan estetika, meski demikian tentu saja untuk membangun nilai sejarah visual melalui visual branding haruslah sejalan dengan upaya besar dan konsisten terutama dalam merawat sisa-sisa tinggalan artefak (relief) yang masih selamat akibat pengaruh kuat ekses modernisasi yang destruktif terhadap tinggalan-tinggalan budaya rupa, selain itu tentu saja harus sejalan dengan upaya merumuskan konsep yang jelas dan terarah. Dengan demikian, fragmen-fragmen relief dan Kota Singaraja adalah bangunan narasi perkembangan sebuah kota yang mengandung kekayaan nilai sejarah visual masa lalu yang kita baca hari ini sebagai dasar bertingkah di masa depan.

Temuan-temuan dalam penelitian ini sekiranya dapat berguna bagi rumpun ilmu lain seperti sastra melalui narasi-narasi yang hadir dalam potongan cerita relief; ilmu teknik sipil melalui perkembangan bahan atau material fragmen relief yang masih eksis dari awal abad ke-20 hingga kini; ilmu kajian budaya     mengenai     kompleksitas

perkembangan masyarakat di kota Singaraja terkait dengan perubahan-perubahan lanskap kota; seni rupa dan desain komunikasi visual yang tentu saja berkenaan dengan motif-motif relief dan merangkum ilmu visual branding.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, A. G. P., Soenaryo, F.,  &

Sidemen, I. B. (1984). Sejarah Sosial Bali Kota Singaraja.

Anam, M. S., Setyanto, D. W.,  &

Yanuarsari., D. H. (2017). Perancangan Visual Branding Kabupaten Kudus Sebagai Upaya

Promosi Kabupaten. 1(5), 174.

Dienaputra, R. D. (2012). Rekonstruksi Sejarah Seni Dalam Konstruk Sejarah Visual. Panggung, 22(4), 1–16.

https://doi.org/10.26742/panggung. v22i4.64

Girindrawardani, A. A. A. D. (2017). Modernisasi Puri Karangasem Pada Awal Abad Ke-20. In I. K. Ardhana & S. Trisila (Eds.), Nilai-Nilai Kearifan Dalam Konteks Sejarah Lokal di Bali (pp. 203– 217). Masyarakat Sejarawan Indonesia Provinsi Bali.

Hendri, Z. (2015). Pemanfaatan Semiotika     Visual     Untuk

Memahami  Karya  Seni Rupa.

Imaji,        2(1),        101–112.

https://doi.org/10.21831/imaji.v2i2. 6938

Kaelan. (2009). Filsafat Bahasa, Semiotika, dan   Hermeneutika.

Paradigma.

Keling, G. (2017). Tipologi Bangunan Kolonial Belanda Di Singaraja. Forum Arkeologi,   29(2),   65.

https://doi.org/10.24832/fa.v29i2.1 85

Maharlika, F. (2018). Studi Multikultural Pada Ornamen Bali Pepatraan: Patra Cina. Serat Rupa Journal of Design,          2(1),          67.

https://doi.org/10.28932/srjd.v2i1.4 78

Maulidi, C., & Rukmi, W. I. (2018). Tipologi Lanskap Jawa Kuno Dari Ilustrasi Relief Candi Jawi, Jago Dan Panataran. Tata Kota Dan Daerah,      10(2),      107–116.

https://doi.org/10.21776/ub.takoda. 2018.010.02.6

Megawangi, I. G. A. Y. (2016). Puri Agung Karangasem: Perspektif Sejarah, Struktur, Dan Fungsi Serta Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal. Jurnal Pendidikan Sejarah, 4(1), 1–11.

Mustaqim, K., Adiwijaya, D. R., &

Indrajaya, F. (2013). Penelitian Atas Penelitian Seni dan Desain: Suatu Studi Kerangka Filosofis-Paradigmatis Bagi Penelitian Seni dan Desain Visual. Humaniora, 4(2),                            995.

https://doi.org/10.21512/humaniora .v4i2.3541

Pratiwi, P. (2016). Makna Visual Relief Cerita Sri Tanjung Candi Penataran. Skripsi Seni Murni ISiI Surakarta, 90.

Purwita, D. G. (2021). Foreign Figures in the Paintings of I Ketut Gede Singaraja. Kalpataru, 30(1), 87–98. https://doi.org/10.24832/kpt.v30i1. 828

Purwita, D. G. (2022, April). Kepekaan Estetika Kita dan Cagar Budaya Gedong Kirtya. Tatkala.Co. https://tatkala.co/2022/04/11/kepek aan-estetika-kita-dan-cagar-budaya-gedong-kirtya/

Riyanto, S., Sukewijaya, I. M.,  &

Yusiana, L. S. (2016). Studi Potensi Lansekap Sejarah untuk Pengembangan Wisata Sejarah di Kota Singaraja. Jurnal Arsitektur Lansekap,         2(1),         32.

https://doi.org/10.24843/jal.2016.v 02.i01.p04

Soewarlan, S. (2015). Membangun Perspektif:    Catatan Metode

Penelitian Seni. ISI Press.

Susilo Pradoko, A. M. (2017). Paradigma Metode Penelitian Kualitatif     Keilmuan     Seni,

Humaniora, dan Budaya (1st ed.). UNY Press.

Suyono, S. J. (2021). Perbandingan Sosok Rahwana Prambanan dengan Kakawin Ramayana dan Novel Anand Neelakantan. Dharmasmrti Jurnal Ilmu Agama & Kebudayaan, 21(April), 1–28.

Wasino, & Hartatik, E. S. (2018). Metode

Penelitian Sejarah Dari Riset Hingga Penulisan. In Seri Publikasi Pembelajaran (Vol. 1, Issue 2). Magnum Pustaka Utama.

Widianti, A. K., & Studyanto, A. B. (2017). Membaca Makna Ornamen Pepatraan Meja dan Kursi di Ruang Pengadilan Kerthagosa Klungkung Bali. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan Seni, 1(1), 152. https://doi.org/10.24912/jmishumse n.v1i1.345

Zul Fajri, E., & Aprilia Senja, R. (2008). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (3rd ed.). Aneka Ilmu & Difa Publisher.