HUMANIS


Journal of Arts and Humanities


p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.2. Mei 2023: 110-123

Wacana Gender dan Relasi Kuasa dalam Cerpen Kuzuha No Issei Karya Matsuda Aoko

Gender Discourse and Power Relations in the Short Story of Kuzuha No Issei by Matsuda Aoko

Cahya Tahta Maghfira, Esther Risma Purba Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia Koresponding Email: [email protected], [email protected]

Info Artikel

Masuk: 12 Januari 2023

Revisi: 10 Pebruari 2023

Diterima: 25 Maret 2023

Terbit: 31Mei 2023

Key Words: gender gap; discourse; Kuzuha no Issei; women


Kata kunci:   kesenjangan

gender, wacana, Kuzuha no Issei, perempuan

Corresponding Author: Esther Risma Purba, email: [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i02.p01


Abstract

This study aims to analyze the issues of gender gap in contemporary Japanese society that represented in the short story of Kuzuha no Issei, along with the things that had been became the roots of these problems. Because the issue of gender gap was influenced by social constructions and stereotypes, this study will use a general gender theory approach and associated with Michael Foucault’s power relations. The result shows there are six gender gap issues that arise in the short story of Kuzuha no Issei. That was ‘women should not stand out’, ‘women and simple jobs’, ‘someone ability was judged by gender’, ‘women as housewives’, ‘demure Japanese women’, and ‘women and men as the victims of government discourses’. This phenomenon was influenced by the patriarchal system, IE, traditional gender stereotypes such as ryōsai kenbo and yamato nadeshiko, as well as the discourses in Japanese society which had been normalized to form doctrines and social constrctions. Abstrak

Penelitian ini bertujuan menganalisa isu-isu kesenjangan gender di tengah masyarakat Jepang kontemporer dalam cerita Kuzuha no Issei, beserta hal-hal yang menjadi akar dari permasalahan tersebut. Karena isu kesenjangan gender ini dipengaruhi oleh konstruksi dan stereotip sosial, maka digunakan pendekatan kritis dengan perspektif gender dan dikaitkan dengan relasi kuasa dari Michael Foucault. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat enam isu kesenjangan gender dalam cerita Kuzuha no Issei, yaitu perempuan tidak boleh menonjol, perempuan dan pekerjaan sederhana, kemampuan seseorang dinilai berdasarkan gender, perempuan sebagai ibu rumah tangga, perempuan harus menjaga sikap, serta perempuan dan laki-laki sebagai korban wacana pemerintah. Fenomena ini dipengaruhi oleh sistem patriarki, IE, stereotip gender tradisional melalui wacana seperti ryōsai kenbo dan yamato nadeshiko, serta wacana dalam masyarakat yang dinormalisasi sehingga membentuk doktrin dan konstruksi sosial.

PENDAHULUAN

Permasalahan gender masih menjadi perbincangan di berbagai negara di dunia, khususnya Jepang. Walaupun telah menjadi negara maju, Jepang sampai saat ini masih mempertahankan tradisi kuno, seperti peran gender tradisional. Nobuyoshi (dalam Widarahesty, 2018, hal.68) menjelaskan bahwa sistem tersebut menunjukkan adanya otoritas yang besar pada laki-laki. Sistem patriarki memberikan kedudukan kepada perempuan pada tempat yang kesekian setelah laki-laki, bahkan dalam keluarga sebagai komunitas sosial terkecil. Sistem ini menyebakan munculnya kesenjangan atau bias gender (Yonemura, 2016).

Jepang menempati peringkat ke 121 dari 153 negara dalam peringkat Indeks Kesenjangan Gender Global. Jepang sebelumnya telah membentuk kebijakan ‘womenomics’ dengan tujuan menciptakan masyarakat tanpa bias gender. Akan tetapi, ambisi tersebut sulit diwujudkan karena sebagian besar warga Jepang masih terikat oleh peran gender tradisional. Banyak perempuan sulit mengejar karir karena diharapkan memenuhi tanggung jawab dalam ranah domestik (The Japan Times, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa Jepang masih belum berhasil mengatasi isu kesenjangan gender.

Dalam kajian terkait gender terdapat dua teori dasar yaitu nature dan nurture. Berge, Tiger, dan Foxini menjelaskan bahwa teori nature menganggap perbedaan gender disebabkan faktor biologis. Laki-laki berperan dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, kuat, dan produktif, sedangkan perempuan, karena kemampuan reproduksinya, memiliki ruang gerak terbatas. Kemudian dalam teori nurture, dijelaskan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor budaya. Peran sosial (peran domestik milik perempuan dan peran publik milik

laki-laki) merupakan hasil konstruksi sosial (dalam Fujiati, 2014, hal.35-37).

Isu kesenjangan gender menjadi hal yang diangkat di dalam karya sastra. Salah satu karya sastra yang mengangkat isu kesenjangan gender adalah buku Obachantachi no Iru Tokoro yang terbit pada tahun 2016. Buku ini ditulis oleh Matsuda Aoko, seorang sastrawan dengan ciri khas yaitu selalu menghadirkan rasa tidak nyaman terhadap nilai-nilai lama dan prasangka dalam masyarakat melalui karya-karyanya. Karya-karyanya mengajak pembaca untuk meninjau ulang cara pandang yang selama ini dianggap wajar atau normal oleh masyarakat terkait pembedaan peran laki-laki dan perempuan. Obachantachi no Iru Tokoro merupakan buku kumpulan cerita pendek yang mengadaptasi kisah klasik (mitos hantu Jepang) yang diceritakan kembali dalam latar modern. Buku ini mengisahkan tokoh-tokoh yang berjuang dalam tekanan ekspekstasi masyarakat. Matsuda, melalui Obachantachi no Iru Tokoro, mengkritik sistem yang menciptakan kesenjangan gender dan membatasi kehidupan masyarakat Jepang, khususnya perempuan.

Penelitian ini mengambil cerita yang berjudul Kuzuha no Issei sebagai sumber data. Kuzuha no Issei mengadaptasi mitos rubah putih Kuzunoha, cerita tentang rubah yang menjelma menjadi perempuan Jepang. Hal menarik yang ditemukan dalam cerita ini yaitu representasi rubah bertentangan dengan stereotip perempuan tradisional. Anjomshoa dan Sadighi (2015, hal.66) menjelaskan rubah sebagai simbol kemandirian, strategis, berpikir cepat, kemampuan beradaptasi, kepandaian, dan kebijaksanaan. Walaupun dikatakan bahwa perempuan Jepang yang memiliki struktur kitsune-gao (berwajah menyerupai rubah) menjadi standar kecantikan yang tinggi dalam budaya Jepang (dilansir dari UniGuide, 2021),

representasi rubah dianggap bertentangan dengan stereotip perempuan Jepang ideal. Dalam Kuzuha no Issei, tokoh Kuzuha menjadi tokoh yang selalu hidup dalam kepura-puraan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat.

METODE DAN TEORI

Penelitian ini akan berfokus pada representasi kesenjangan gender dalam cerita Kuzuha no Issei dengan menggunakan perspektif gender dan mengaitkannya dengan teori relasi kuasa milik Michael Foucault. Teori gender menjadi kacamata untuk menganalisa wacana dalam teks yang menampilkan kesenjangan gender. Langkah selanjutnya dilakukan dengan menjelaskan bagaimana kesenjangan gender tersebut lahir dan bagaimana kekuasaan yang mengatur makna dan peran gender tersebut beroperasi melalui wacana atau diskursus. Langkah tersebut dijelaskan dengan menggunakan relasi kuasa milik Foucault.

Konsep yang dipaparkan Foucault dapat digunakan untuk melihat dan menelaah berbagai fenomena sosial, seperti konstruksi sosial. Kekuasaan menurut Foucault adalah kekuasaan disiplin, yaitu normalisasi kelakuan yang didesain dengan memanfaatkan kemampuan produktif dan reproduktif tubuh. Bentuk pendisiplinan diterapkan melalui konsep ‘The Eye of Power’, yaitu pengawasan tiap individu oleh lingkungan sekitar (Balan, 2010, hal.40). Kekuasaan yang disampaikan Foucault ini berkaitan dengan wacana atau diskursus. Bahasoan & Kotarumalos (2014, hal.14-16) menjelaskan bahwa Foucault mendefinisikan wacana sebagai bidang segala pernyataan (statement), atau kelompok pernyataan dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari pernyataan. Maka, wacana dapat diartikan sebagai seperangkat gagasan yang mengatur benar atau salah. Wacana menjadi kebenaran dan pengetahuan.

Dari wacana dan pendisplinan itulah, peneliti dapat melihat dan menelaah bagaimana kekuasaan beroperasi, dalam hal ini di konstruksi sosial yang mendefinisikan gender.

Yonemura (2017, hal.62) menjelaskan bahwa salah satu hasil normalisasi yang memicu kesenjangan gender di Jepang adalah sistem IE. Konsep IE telah dibentuk dan digunakan sebagai suatu kebiasaan dan budaya sosial Jepang. IE merupakan sistem kekerabatan keluarga tradisional Jepang dengan konsep daikazoku (keluarga besar) yang memberikan kekuasaan penuh kepada laki-laki sebagai pemimpin sebuah komunitas keluarga besar (Rahmah, 2017, hal, 46). Walaupun sistem IE sudah tidak berlaku setelah disahkannya UUD Showa yang berazaskan demokrasi, secara nurani, spirit, dan esensi, konsep IE masih berlaku dalam masyarakat Jepang (Rahmah, 2017, hal.45).

Menurut Yoshizumi (1995), struktur keluarga IE berakar pada tradisi konfusianisme yang mengatur struktur tentang apa itu keluarga dan bangsa Jepang.

Pada zaman Meiji (1868-1912), hukum perdata Meiji mengatur bahwa seseorang yang tidak mengikuti sistem patriarki dapat dikeluarkan dari IE. Buison (di dalam Sakina & Purba, 2022, hal, 375) menyatakan bahwa relasi antara laki-laki dengan perempuan di Jepang melibatkan relasi kekuasaan yang mana perempuan diwajibkan mematuhi ayah, suami, dan saudara laki-laki mereka, serta diharuskan menggunakan bahasa yang lebih sopan daripada bahasa yang digunakan oleh laki-laki. Meskipun hukum perdata tersebut sudah tidak berlaku, konsep IE telah menjadi wacana dalam masyarakat Jepang.

Selain IE, produk disiplin yang juga memicu kesenjangan gender adalah normalisasi ideologi ryōsai kenbo, yaitu

pengaturan peran perempuan sebagai pendukung pembangunan bangsa dengan membesarkan, mendidik anak, dan mendukung suami. McVeigh (2004, hal.219) menjelaskan ideologi yang dibentuk pada tahun 1899 ini dinormalisasikan melalui pendidikan yang memfokuskan perempuan pada pelatihan peran domestik. Melalui ideologi inilah akhirnya muncul dinding yang membatasi peran perempuan dalam kehidupan sosial. Di dalam masyarakat Jepang pascaperang hingga masa kontemporer, ideologi tersebut menjadi wacana “suami bekerja dan istri tinggal di rumah mengurus rumah tangga” yang berakar kuat.

Dengan demikian, tujuan utama dalam penelitian ini adalah menganalisa isu-isu kesenjangan gender dalam cerita Kuzuha no Issei sebagai representasi kehidupan sosial Jepang saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk membongkar hal-hal yang menjadi akar permasalahan tersebut. Oleh karena itu, perspektif gender dan relasi kuasa akan digunakan untuk menganalisa wacana, konstruksi sosial, dan stereotip yang berkaitan dengan isu gender.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam cerita Kuzuha no Issei, ditemukan enam isu kesenjangan gender, yaitu perempuan tidak boleh menonjol, perempuan dan pekerjaan sederhana, kemampuan seseorang dinilai berdasarkan gender, perempuan sebagai ibu rumah tangga, perempuan harus menjaga sikap, serta perempuan dan laki-laki sebagai korban wacana pemerintah.

Perempuan tidak Boleh Menonjol

Isu kesenjangan gender pertama yang disoroti dalam cerita Kuzuha no Issei adalah adanya stereotip bahwa perempuan tidak seharusnya lebih unggul dari laki-laki. Hal ini berkaitan dengan representasi ‘rubah’ pada tokoh Kuzuha, sebagaimana kutipan berikut.

Data 1 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 109)

細い顔に細い目をしたクズハは、 小さな頃からきつねに似ていると 言われてきた。ひょろっとした細 身の体型もきつねっぽい雰囲気を 醸していた。きつねに似ている。 その言葉はどうやら褒め言葉では ないらしいということは、早い段 階で気づいていた。学校で人気が あるのは、非・きつね的な女の子 ばかりだった。

“Sejak kecil, Kuzuha yang memiliki wajah kecil dan mata yang sipit sering dianggap mirip dengan rubah. Tubuhnya yang ramping dan tinggi juga membuatnya tampak mirip dengan rubah. Tetapi, ia segera menyadari bahwa kata-kata ‘mirip dengan rubah’ bukanlah sebuah pujian. Di sekolah, para perempuan yang terkenal akan sebutan ‘mirip rubah’ justru secara fisik tidak ada kemiripan dengan rubah.”

Melalui paragraf tersebut, diketahui bahwa Kuzuha dianggap mirip dengan rubah. Secara penampilan, Kuzuha digambarkan mirip dengan rubah. Akan tetapi, walaupun di Jepang perempuan dengan kitsune gao (wajah mirip rubah) dianggap cantik, ungkapan yang ditujukan pada Kuzuha bukanlah sebuah pujian yang mengarah pada penampilan Kuzuha. Anggapan ini didukung dengan pernyataan bahwa di sekolah, para perempuan yang mendapat sebutan mirip dengan rubah justru secara fisik tidak mirip dengan rubah. Maka dari itu, ungkapan tersebut dapat dikatakan justru mengarah pada hal lain yang menjadi representasi rubah, seperti kepribadian atau kemampuan.

Rubah direpresentasikan dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya. Akan tetapi, pelabelan ‘rubah’ yang ditujukan kepada perempuan cenderung mengarah pada konotasi negatif. Hal ini

karena kemampuan dan kepribadian seekor rubah dianggap bertentangan dengan stereotip perempuan Jepang. Representasi kemampuan rubah membuat Kuzuha menjadi menonjol dan mendapat stigma dari orang sekitarnya.

Data 2 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 110)

けれどクズハは、勉強がよくでき る自分が落ち着かなかった。テス トで良い点を取るたびに、成績が 貼り出され男子生徒よりも上に自 分の名前が書かれていると、クラ スの皆が気になった。男子より勉 強が良くできても煙たがられるだ けだし、このせいで自分に何が悪 いことが起こるんじゃないかとい う気持ちがいつもどこかにあった。 “Tetapi Kuzuha merasa tidak nyaman dengan kecerdasan yang dimilikinya. Setiap kali ia mendapatkan nilai baik dalam ujian dan dalam papan peringkat namanya berada di atas teman laki-lakinya, tatapan teman-temannya akan tertuju padanya. Menjadi lebih menonjol dari laki-laki hanya membuat orang-orang sekitar merasa tidak nyaman, sehingga Kuzuha merasa seolah-olah hal buruk akan terjadi pada dirinya.”

Representasi kemampuan rubah pada diri Kuzuha ditunjukkan melalui kecerdasan dan kemampuannya dalam belajar. Kemampuan ini membuat Kuzuha    mendapatkan    peringkat

melampaui para laki-laki sehingga Kuzuha mendapatkan reaksi dari sekitarnya. Namun, reaksi yang diberikan oleh sekeliling Kuzuha merupakan reaksi negatif karena tatapan tersebut menunjukkan seolah-olah hal buruk akan menimpa Kuzuha. Hal ini disebabkan masyarakat Jepang masih memiliki stereotip perempuan tradisional.

Stereotip gender telah memengaruhi lingkungan sosial, yang membuat

kedudukan perempuan direndahkan dan diharuskan untuk patuh pada peranan yang ditetapkan masyarakat. Anggapan akan       inferioritas       perempuan

menyebabkan rasa tidak hormat pada perempuan di seluruh sektor, sehingga menghasilkan     perendahan     dan

diskriminasi terhadap perempuan (Cook & Cusack, 2010,  hal.1). Masyarakat

masih memiliki angapan bahwa perempuan selalu lebih inferior dari laki-laki sehingga ketika terdapat seorang perempuan yang tampil lebih menonjol dari laki-laki, masyarakat akan memberikan stigma negatif. Ini karena berlawanan dengan diskursus perempuan ideal, seperti dalam kutipan berikut.

Data 3 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 110)

[…]その道でつまずいたり、転ん だりする自分をアピールすること ができるのに。そうして皆でクス クス笑い合っていられるのに。そ の方が、普通の女の子らしい。ク ズハは目立つことが嫌いだった。 目立っても良いことなど一つもな いように思えた。実際、クラスの 中でも、クラスの外の世界でも、 目立つ女に世間は冷たかった。

“[…] Ia bisa saja berjalan lalu terjatuh dan membuat orang-orang tertawa. Seperti itu lebih cocok untuk seorang perempuan. Kuzuha tidak suka menjadi menonjol. Tak ada keuntungan yang didapatkan dari menjadi menonjol. Baik dalam kelas, maupun di dunia luar, orangorang akan bersikap dingin terhadap    perempuan    yang

menonjol.”

Melalui paragraf di atas, ditunjukkan bahwa tindakan polos, seperti berjalan dan tiba-tiba terjatuh, kemudian menghibur      orang-orang     justru

menunjukkan     sikap     selayaknya

perempuan atau 「女の子らしい」. Kuzuha ditunjukkan sebagai perempuan

yang berlawanan dengan diskursus tersebut karena pencapaian dan kemampuan Kuzuha membuat Kuzuha menonjol. Lingkungan Kuzuha memberikan reaksi dingin karena Kuzuha dianggap melanggar norma kultural. Dalam kutipan terdapat gagasan yang mengatakan bahwa masyarakat Jepang akan menanggapi dingin para perempuan yang menonjol.

Wacana 「女の子らしい」ini merupakan hasil normalisasi peran perempuan tradisional melalui ajaran Konfusianisme. Kepercayaan Konfusius di Jepang berperan sebagai pihak berkuasa yang membangun wacana tentang nilai-nilai ideal bahkan mulia dari seorang perempuan. Nilai perempuan didasarkan pada kesetiaan dan pengorbanannya pada keluarga, yakni suami dan anaknya (Liddle & Nakajima, 2017). Konfusianisme memandang perempuan sebagai sosok yang bertugas melahirkan anak, pelayan yang patuh, dan penghibur laki-laki. Roosiani (2016, hal.74) menjelaskan bahwa dalam kehidupan tradisional, perempuan diarahkan untuk mengembangkan ‘hati yang bijak’ sebagai satu-satunya kualitas bagi seorang perempuan, yaitu kepatuhan, kelembutan, kesederhanaan, kemurahan hati, dan ketenangan. Nilai-nilai tersebut menjadikan perempuan sebagai pihak yang bukan pengambil keputusan. Dengan kata lain, perempuan menjadi pihak yang tidak menonjol.

Normalisasi peranan ini menyebabkan terbentuknya wacana yang diturunkan dari generasi ke generasi. Maka dari itu, baik Kuzuha maupun lingkungan sekitar Kuzuha menganggap bahwa perempuan ideal adalah perempuan yang bersikap polos, menghibur lingkungan sekitar, dan menjaga kesederhanaannya.

Berdasarkan wacana tersebut, Kuzuha menjadi perempuan yang ‘berbeda’ dari perempuan pada umumnya dan tampak mencolok. Dalam budaya Jepang terdapat konstruksi ‘paku yang menonjol harus dipukul rata’, yang mana apabila terdapat individu yang menonjol atau berbeda, masyarakat akan memberikan tekanan agar individu tersebut menyamakan kedudukan dengan masyarakat. Mase (et al., 2015) menyatakan bahwa Jepang merupakan negara yang menjunjung tinggi keseragaman, sehingga yang berbeda akan terlihat menonjol (di dalam Zahrah dan Purba, 2022, hal. 401).

Hal ini berkaitan dengan konsep ‘The Eye of Power’ atau Panopticon yang dijelaskan Foucault, yaitu setiap individu akan mendapatkan pengawasan dari lingkungan sekitar. Apabila terdapat individu yang melanggar norma dalam masyarakat, individu tersebut akan mendapat stigma dari masyarakat sebagai bentuk hukuman. Maka dari itu, wacana perempuan ideal membuat Kuzuha mendapatkan stigma karena dianggap telah menyimpang. Selain itu, dengan menjadi menonjol Kuzuha menghilangkan keharusan untuk menjaga kesederhanaan, sehingga Kuzuha mendapatkan sikap dingin sebagai ‘hukuman’.

Perempuan dan Pekerjaan Sederhana

Stereotip gender yang dikonstruksi dalam masyarakat Jepang memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial, seperti dalam pekerjaan. Dalam cerita Kuzuha no Issei, terdapat kutipan yang menunjukkan diskriminasi terhadap pembagian tugas dalam pekerjaan.

Data 4 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 112)

仕事はクズハが思った通りのもの だった。コピー取りやお茶汲みな

どを含む簡単な業務にクズハはな んの不満もなかった。[...] “Kehidupan pekerjaan sesuai dengan dugaan Kuzuha sejak awal. Ia tidak merasa keberatan mendapatkan tugas-tugas ringan, seperti mengurus fotokopi atau menyajikan teh.[…]”

Dalam   pekerjaannya, Kuzuha

mendapatkan tugas-tugas   sederhana

seperti mengurus fotokopi dan menyajikan teh. Kuzuha tidak menunjukkan rasa keberatan, karena memang sesuai dengan praduga Kuzuha. Hal ini merupakan bentuk dari normalisasi stereotip yang menyebabkan tidak peduli seberapa besar kemampuan yang dimiliki, apabila individu tersebut seorang perempuan, maka akan ada batasan-batasan dalam pekerjaan yang akan didapatkan.

Data 5 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 113)

[...] クズハには、相変わらず近道 が良く見えた。クズハはご機嫌を 損ねた事務機器の調整もお茶の子 さいさいだったし、彼女の淹れた お茶は特においしいと上司たちは 喜んだ。男子社員が作成した書類 のミスを見つけるのもお手の物だ った。女子社員が玉の輿を狙って バトルを繰り広げる必要もないほ どなんの変哲もない会社だったの で、クズハの優秀さは女子社員た ちに目くじらを立てられることも なく、茶飲み饅頭と一緒に、上司 たちの大きな口の中に放り込まれ、 咀嚼されて終わりだった。

“[...] Seperti biasa, Kuzuha mampu membuat jalan pintas dalam setiap urusannya. Kuzuha mampu mengoperasikan peralatan kantor dengan cepat dan memiliki kemampuan dalam menyajikan teh. Kuzuha mendapatkan pujian atas racikan tehnya yang dianggap nikmat oleh para atasan Kuzuha. Ia

juga mampu menemukan kesalahan dalam dokumen yang dikerjakan oleh rekan laki-lakinya. Perusahaan Kuzuha adalah tempat yang tidak memiliki persaiangan antara pegawai perempuan dengan pegawai laki-laki yang berpenghasilan tinggi, dan keunggulan Kuzuha tampaknya tidak menganggu mereka. Kompetensinya seolah-olah masuk ke dalam mulut para atasannya bersama dengan manjuu, dan dilupakan begitu saja.”

Sebagai representasi seekor rubah, tokoh Kuzuha digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kompetensi tinggi. Kuzuha mampu mempelajari cara kerja mesin kantor dalam waktu singkat, memiliki keterampilan menyajikan teh, bahkan mampu menemukan kesalahan dalam pekerjaan rekan laki-lakinya. Akan tetapi, hanya kemampuan dalam menyajikan teh yang diakui dan mendapat pujian dari atasan Kuzuha. Sementara keunggulan lainnya diabaikan begitu saja.

Hal tersebut didasari peranan perempuan tradisional di mana perempuan memiliki kewajiban dalam lingkup domestik. Pekerjaan berbasis domestik, seperti keterampilan dalam menyajikan teh merupakan tugas seorang perempuan. Pandangan ini kemudian memunculkan stereotip bahwa seorang perempuan ideal adalah perempuan yang memiliki keterampilan dalam tugas-tugas domestik. Oleh karena itu, walaupun Kuzuha memiliki banyak kompetensi, kemampuan tersebut tidak diperhitungkan oleh perusahaan Kuzuha karena merupakan tugas laki-laki. Atasan Kuzuha hanya mengakui keterampilan Kuzuha dalam menyajikan teh, karena sesuai dengan tugas dan peran perempuan.

Data 6 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 113)

[…]現状に対してグチをこぼす女 子社員たちもいたが、クズハは、 ふーん、と思っただけだった。女 の子、女の子と言う言葉が、クズ ハの耳にはなぜか心地良かった。 そうそう私は女の子。私はただの 女の子。

“[…]     Beberapa    pegawai

perempuan mengeluhkan perkara tersebut, namun, Kuzuha hanya berpikir ‘hmm’. Lagipula dia adalah perempuan. Entah mengapa istilah ‘perempuan’ ini terdengar menenangkan bagi Kuzuha. benar, aku adalah perempuan. Aku hanyalah seorang perempuan.”

Kuzuha mendapati bahwa para pegawai perempuan menyadari adanya ketidakadilan tersebut. Akan tetapi, Kuzuha menganggap batasan yang diberikan kepada perempuan dalam pekerjaan merupakan sebuah kewajaran. Hal ini ditunjukkan melalui pemikiran Kuzuha 「そうそう私は女の子。私はた だの女の子」“Benar, aku adalah seorang perempuan. Aku hanyalah seorang perempuan”.

Pembagian tugas yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki ini disebabkan oleh sistem IE yang masih diterapkan oleh perusahaan Jepang. Sistem ini menjunjung tinggi laki-laki dan    mengakibatkan    munculnya

marginalisasi atau penyingkiran terhadap kedudukan perempuan. Walaupun sistem IE sudah tidak lagi menjadi ideologi negara, karena telah ternormalisasi dan membentuk konstruksi sosial, maka terjadi pembagian peran, tugas, dan kewajiban yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.

Sistem IE ini memberikan tuntutan tinggi terhadap laki-laki sehingga pekerjaan-pekerjaan penting dan sulit diserahkan pada laki-laki, sedangkan tugas-tugas ringan diberikan kepada perempuan. Laki-laki diposisikan sebagai pengambil keputusan, sedangkan

perempuan diposisikan sebagai pihak yang mengikuti apa yang diputuskan atau diatur oleh laki-laki, Pembagian tugas ini bukan melihat kompetensi tiap individu, melainkan stereotip peran gender tradisional. Oleh karena itu, Kuzuha merasa wajar apabila mendapatkan tugas-tugas ringan seperti mengurus fotokopi dan menyajikan teh. Bukan karena adanya kesadaran bahwa tugas-tugas tersebut memang cocok dengan kemampuan tiap individu, kesadaran yang dirasakan oleh Kuzuha merupakan hasil normalisasi, bahwa perempuan memang selalu menjadi pihak kesekian dan tidak memiliki kedudukan dalam ranah publik.

Kemampuan    Seseorang Dinilai

Berdasarkan Gender

Sistem IE ini menjadi salah satu pemicu munculnya berbagai isu kesenjangan gender di Jepang, khususnya dalam lingkungan pekerjaan. Apabila sebelumnya diketahui bahwa perempuan mendapatkan pekerjaan sederhana, maka laki-laki mendapatkan tuntutan dan ekspektasi yang tinggi dalam pekerjaan.

Data 7 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 113)

仕事に苦労している男子社員を見 ると、クズハは代わりにやってや りたいと憐憫の情を感じることが あった。あんな簡単な仕事、私な らばすぐに片付けることができる のに。社会は不公平だ。男子社員 は、できないこともできるふりを しなければならない。女子社員は、 できることもできないふりをしな ければならない。

“Kuzuha merasa kasihan setiap

kali melihat rekan laki-lakinya kesulitan  dalam  pekerjaan dan

merasa   ingin   membantunya.

Padahal pekerjaan seperti itu sangat mudah dan akan cepat selesai    apabila    kukerjakan’.

Lingkungan sosial benar-benar

tidak adil. Pegawai laki-laki harus menunjukkan seolah mereka bisa terhadap hal-hal yang tidak bisa mereka kerjakan, sedangkan pegawai perempuan harus bersikap seakan mereka tidak mengerti hal-hal yang sebenarnya mampu mereka kerjakan.”

Melalui paragraf di atas ditunjukkan bahwa terdapat wacana 「男子社員は、 できないこともできるふりをしなければ ならない。女子社員は、できることもで きないふりをしなければならない」 “Pegawai laki-laki harus menunjukkan seolah mereka bisa terhadap hal-hal yang tidak bisa mereka kerjakan, sedangkan perempuan harus bersikap seakan mereka tidak mengerti hal-hal yang sebenarnya mampu mereka kerjakan”. Wacana ini memberikan tekanan terhadap laki-laki yang diposisikan superior, yakni sebagai pihak yang diposisikan memiliki pengetahuan dan perempuan yang diposisikan sebagai pihak yang inferior, yakni yang tidak memiliki pengetahuan.

Sistem patriarki dan konsep IE meninggalkan berbagai stereotip peran perempuan dan laki-laki. Stereotip ini menimbulkan subordinasi perempuan. Syafe’i (dalam Udasmoro & Nayati, 2020, hal.7) menjelaskan bahwa subordinasi adalah ‘penomorduaan perempuan’. Perempuan dianggap tidak dapat berpikir rasional, emosional, dan kurang bijak, yang mengakibatkan penempatan perempuan pada posisi tidak penting, termasuk dalam pekerjaan.

Melalui kekuatan wacana yang sampaikan oleh Foucault, wacana 「男子 社員は、できないこともできるふりをし なければならない。女子社員は、できる こともできないふりをしなければならな い 」 memberikan doktrin dan pendisiplinan yang membuat para pegawai laki-laki selalu berusaha untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam pekerjaan dan pegawai perempuan harus menutupi kemampuan mereka terhadap

hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan publik. Melalui wacana tersebut muncul kesenjangan gender berupa penilaian terhadap kemampuan tiap individu yang bergantung pada perbedaan gender. Laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih kompeten dan mampu dalam segala hal, sedangkan perempuan adalah sosok yang tidak terlalu cerdas dan hanya bisa bergantung pada kemampuan laki-laki.

Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga

Dalam kehidupan sosial Jepang, terdapat kecenderungan bagi para perempuan untuk berhenti bekerja setelah menikah. Hal ini direpresentasikan dalam cerita Kuzuha no Issei seperti berikut.

Data 8 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 114)

安部さんと結婚したクズハは二十 代の半ばで寿退社し、すぐに男の 子が生まれた。クズハは近道から 外れなかった。

“Setelah menikah dengan Abe, Kuzuha berhenti bekerja pada usia tengah dua puluhan. Tak lama kemudian mereka diberkati seorang anak laki-laki. Kuzuha tidak menyimpang dari jalan pintas yang telah ia tentukan dalam hidupnya.”

Dalam kutipan tersebut ditunjukkan bahwa Kuzuha memutuskan berhenti bekerja setelah menikah. Keputusan ini merupakan keputusan yang Kuzuha tentukan sendiri, seperti dalam kalimat, 「クズハは近道から外れなかった」

“Kuzuha tidak menyimpang dari jalan pintas yang ia tentukan dalam hidupnya”.

Keputusan Kuzuha untuk menjadi ibu rumah tangga merupakan pemenuhan peran ryōsai kenbo, ideologi yang di masa pascaperang telah menjadi wacana yang mengarahkan perempuan sebagai istri yang baik dan ibu yang bijak. Normalisasi ideologi ryōsai kenbo ini melahirkan norma kultural yang mengatakan suami bekerja, sedangkan

istri mengurus pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan melayani suami. Dari sini muncul wacana bahwa seorang perempuan dikatakan baik apabila mengabdikan dirinya untuk keluarga. Wacana ini dapat membatasi ruang gerak perempuan dalam lingkungan sosial. Kuzuha memilih untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Keputusan ini merupakan hasil normalisasi yang membentuk doktrin, sehingga Kuzuha menganggap peran ibu rumah tangga merupakan peran ideal.

Perempuan harus Menjaga Sikap

Stereotip atau konstruksi peranan gender memberikan tekanan terhadap masyarakat, khususnya perempuan Jepang. Stereotip ini muncul karena wacana yang diturunkan dari generasi ke generasi yang menimbulkan terbentuknya stigma dan norma-norma kultural.

Data 9 (松田青子・おばちゃんたちのい るところHalaman 116)

クズハは、新鮮な空気を吸い込み、 山の脈動を全身で感じた。山、最 高!と叫びたいくらいだったが、 慎み深い日本の女であるクズハは もちろんそうしなかった。

“[…] Kuzuha menarik nafas dalam-dalam dan menikmati suasana gunung menyentuh seluruh tubuhnya. ‘Gunung adalah yang    terbaik!’.    Ia ingin

meneriakkan dengan sepenuh hati perasaan tersebut. Akan tetapi, sebagai perempuan Jepang yang berbudaya, Kuzuha tentu tidak melakukannya.”

Kuzuha mencari hobi baru dengan mendaki gunung. Melalui hobi tersebut, Kuzuha menemukan kecintaannya terhadap gunung dan ingin meneriakkan perasaannya. Akan tetapi, sebagai seorang perempuan Jepang, Kuzuha tidak dapat melakukannya.

Jepang memiliki wacana ‘Yamato Nadeshiko’ sebagai simbol perempuan

ideal yang melambangkan kemurnian dan kecantikan feminin. Mandujano (2016, hal.6) menjelaskan bahwa perempuan harus memiliki kualitas dan sopan santun sebagai lambang femininitas, seperti kelembutan, keanggunan, dan kesopanan. Wacana ini telah dinormalisasi sejak zaman dulu sehingga membentuk doktrin dan stigma bahwa perempuan yang baik adalah yamato nadeshiko. Hal ini menyebabkan Kuzuha tanpa sadar tetap berusaha menjaga sikapnya sebagai ‘perempuan yang baik’, meskipun saat itu Kuzuha jauh dari pengawasan orang lain. Nyatanya, ini berlawanan dengan kepribadian seekor rubah yang menyukai kebebasan.

Data 10 (松田青子・おばちゃんたちの いるところHalaman 118)

人間の生活は、な~んて面白くな かったんだろう。常に手加減をし て生きることに慣れることは、自 分を裏切り続けることだった。全 力で出してはいけないなんて、退 屈で退屈でたまらない。

Betapa tidak menyenangkannya kehidupan manusia! Selama ini ia selalu menahan diri, sehingga terus menghianati dirinya sendiri. Dengan tidak bisa mengekspresikan jati diri, kehidupan benar-benar sangat membosankan.”

Setelah mengetahui bahwa dirinya adalah seekor rubah, Kuzuha menyadari bahwa kehidupan manusia sangatlah membosankan. Kuzuha merasa bahwa selama ini Kuzuha telah menghianati diri sendiri karena terus menekan kemampuan dan kepribadiannya sehingga Kuzuha tidak pernah mengekspresikan dirinya sendiri.

Konstruksi peran perempuan ideal telah memberikan tekanan dan membatasi para perempuan Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Wacana yamato nadeshiko telah tertanam kuat dan

membentuk pendisiplinan, sehingga Kuzuha memiliki ‘kesadaran’ untuk menahan diri dan bersikap sebagai perempuan yang baik.   Nyatanya,

stereotip terhadap peran perempuan ideal ini berlawanan dengan kepribadian seekor rubah, sehingga ketika Kuzuha mengenali    jati    dirinya, Kuzuha

menyadari  betapa  membosankannya

hidup sebagai manusia yang dipenuhi oleh aturan dan  tekanan. Kuzuha

menyadari  bahwa  selama menjadi

perempuan Jepang, Kuzuha tidak bisa

mengekspresikan dirinya sendiri.

Perempuan dan Laki-Laki sebagai Korban Diskursus Pemerintah

Permasalahan terkait kesenjangan gender tidak hanya mengarah pada satu pihak. Dalam cerita Kuzuha no Issei tedapat gagasan yang menunjukkan adanya tekanan terhadap pegawai laki-laki, sehingga kedudukan perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan semakin setara, dalam arti negatif.

Data 11 (松田青子・おばちゃんたちの いるところHalaman 120)

クズハが OLをしていたときと、 社会はだいぶ変化した。今では男 でさえ正社員になるのが難しいら しい。悪い意味で、平等になった。 女が上がらず、男が下がってきた。 かつては女にしか見えなかったは ずの天井が、この青年にも見えて いることがクズハには分かった。

“Selama    Kuzuha    bekerja,

kehidupan sosial Jepang telah banyak berubah. Saat ini, bahkan sulit bagi laki-laki untuk bisa mendapatkan kontrak permanen dalam perusahaan tempatnya bekerja. Kehidupan sosial sudah semakin setara, dalam artian negatif.    Bukan kedudukan

perempuan    yang    semakin

meningkat, kedudukan laki-lakilah yang semakin menurun. Kuzuha menyadari,     kesulitan-kesulitan

yang sebelumnya hanya dihadapi oleh perempuan, kini juga dihadapi oleh para laki-laki.”

Dalam penggalan paragraf tersebut terdapat gagasan yang mengatakan bahwa saat ini bahkan sulit bagi laki-laki untuk mendapatkan kontrak kerja permanen. Fenomena ini memunculkan anggapan bahwa kesetaraan di lingkungan sosial Jepang sebenarnya terlah tercapai, dalam arti negatif. Bukan kedudukan perempuan yang semakin diakui, kedudukan laki-laki lah yang semakin ditekan. Laki-laki saat ini mengalami kesulitan yang serupa dengan perempuan dalam lingkungan pekerjaan.

Nyatanya, budaya patriarkilah yang memberikan tekanan terhadap laki-laki. Widarahesty (2018, hal,70) menjelaskan bahwa budaya patriarki yang melahirkan istilah ‘robot’ dan ‘berhati dingin’ kepada kaum salaryman, sebetulnya menunjukkan ketidaksetaraan ini mengarah pada dua arah. Baik perempuan maupun laki-laki merupakan bagian dari ‘korban’ diskursus pemerintah dalam idealisasi nilai ‘ryōsai kenbo’ dan sistem ‘IE’.

Data 12 (松田青子・おばちゃんたちの いるところHalaman 121)

天井が見えているのに、男という プレッシャーを背負え、俺たちと 同じように背負えと、上の世代の 男たちから常に見張られているよ うなところもあり、ますますかわ いそうではあるが[...]

“Kuzuha semakin merasa kasihan karena selain banyaknya kesulitan yang harus dihadapi oleh laki-laki, mereka juga terus mendapatkan pengawasan dan tekanan dari generasi atas untuk menunjukkan jiwa ‘laki-laki’ mereka […]”

Melalui kutipan tersebut terdapat kalimat yang mengatakan 「男というプ レッシャー」 “tekanan sebagai laki-laki”, yang mana menunjukkan bahwa terdapat

tuntutan atas peran ‘laki-laki’, tanpa mempedulikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Tuntutan maskulinitas laki-laki ini merupakan pemenuhan peran laki-laki sebagai salaryman dan peran dalam IE.

Jepang memang membentuk laki-laki sebagai penompang ekonomi. Laki-laki didoktrin untuk menunjukkan loyalitas pada perusahaan sebagai bentuk integritas dan kualitas seseorang (Widarahesty, 2018,  hal.70).  Melalui

gagasan tersebut, diketahui bahwa kesenjangan gender tidak hanya dirasakan oleh perempuan. Saat ini peluang kerja yang semakin kecil membuat laki-laki kesulitan memenuhi peran mereka dalam masyarakat. Walaupun begitu, stigma bahwa salaryman harus mengerahkan tenaga kepada perusahaan masih tetap dipertahankan. Laki-laki ditekan untuk memenuhi     kewajiban     tersebut,

mengesampingkan kesulitan yang dihadapi.

Fenomena tersebut, menurut Kuzuha, merupakan bentuk kesetaraan gender dalam konotasi negatif. Jika selama ini perempuan memperoleh banyak batasan dalam pekerjaan karena diskursus ryōsai kenbo, saat ini laki-laki juga merasakan hal tersebut karena stigma peran laki-laki dalam sistem IE dan sebagai salaryman. Fenomena      ini      menunjukkan

ketidakadilan  gender  dua arah pada

Jepang kontemporer, yaitu baik perempuan      maupun      laki-laki

mendapatkan tekanan yang disebabkan oleh stigma masyarakat akibat normalisasi diskursus pemerintah Jepang.

SIMPULAN

Isu kesenjangan gender di Jepang belum kunjung surut karena Jepang masih menerapkan sistem patriarki dan memegang peranan gender tradisional. Penulis menemukan enam isu kesenjangan       gender       yang

direpresentasikan dalam cerita Kuzuha no Issei. Isu-isu tersebut adalah perempuan

tidak boleh menonjol, perempuan dan pekerjaan sederhana, kemampuan seseorang dinilai berdasarkan gender, perempuan sebagai ibu rumah tangga, perempuan harus menjaga sikap, serta perempuan dan laki-laki sebagai korban wacana pemerintah.

Kesenjangan gender ini tidak lepas dari adanya relasi kuasa yang dapat dijelaskan dengan pendapat dari Foucault. Ideologi yang ternormalisasi membentuk konstruksi sosial dan memunculkan wacana yang mengatur peran, tugas, dan kewajiban tiap individu berdasarkan gender. Wacana ini menjadi doktrin dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa ‘harus’ mengikuti wacana-wacana tersebut, seperti wacana terkait perempuan ideal dan laki-laki sejati. Wacana-wacana tersebut membuat Kuzuha dan masyarakat di sekitar Kuzuha berusaha memenuhi ekspektasi tersebut untuk menjadi individu yang baik atau ideal sesuai harapan masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dapat dilakukan dengan pendanaan publikasi penelitian skema DPP SPP 2023 dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.

DAFTAR PUSTAKA

Anjomshoa, L., & Sadighi, F. (2015).

The Comparison of Connotative Meaning in Animal Words Between English and Persian Expressions and      Their      Translation.

International Journal on Studies in English Language and Literature, 3(2), 66.

Bahasoan, A., & Kotarumalos, A. F.

(2014). Praktek Relasi Wacana dan Kuasa Foucaltdian dalam Realis Multi Profesi di Indonesia. Populis, 8(1), 14-16.

Balan, S. (2010). Michael Foucault's View on Power Relation. Cogito, 2(2), 40.

Buisson,       D.       (2003). Japan

Unveiled: Understanding Japanese Body Culture. Hachette Ill.

Cook, R. J., & Cusack, S. (2010). Gender Stereotyping: Transnational Legal Perspective.         Pennsylvania:

University of Pennsylvania Press.

Estiana, A. A., Winaya, I.M.,  &

Sumaryana, I. K. (2017). Feminist Approach in Understanding the Main Character in Jane Austen’s Persuasion. Humanis,  [S.l.], jan.

2017.     ISSN     2302-920X.

<https://ojs.unud.ac.id/index.php/sa stra/article/view/28977>.

Fujiati, D. (2014). Relasi Gender dalam Institusi     Keluarga     dalam

Pandangan Teori Sosial dan Feminis. MUWAZAH, 6(1), 35-37.

Koalisi Perempuan Indonesia. (2011, Mei 4). Kesenjangan Gender. Dilansir dari Koalisi Perempuan Indonesia. Diakses pada 4 Oktober 2021. https://www.koalisiperempuan. or.id/2011/05/04/kesenjangan-gender/

Liddle, J. & Sachiko, N. (2000). Rising Suns, Rising Daughters: Gender, Class and Power in Japan. New York: Zed Books.

Mandujano, Y. Y. (2016). Gender Stereotyping for the ReNaturalization of Discourse on Male and Female Traditional Ideals in Japanese Media: The Case of Samurai Blue and Nadeshiko Japan. The Scientific Journal of Humanistic Studies, 8(14), 6.

Matsuda, A. (2016). Obachantachi no Iru Tokoro. Japan: Chuokoron-shinsha.

McVeigh, B. J. (2004). Nationalism of Japan: Managing and Mystifying Identity. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers.

Rahmah, Y. (2017). Konsep IE dalam Organisasi Sosial Masyarakat Jepang. Kiryoku, 1(3), 45-46.

Roosiani, I.    (2016).   Kedudukan

Perempuan dalam Masyarakat Jepang. Wahan, 1(13), 74.

Sakina, C. D., & Purba, E. R. (2022). Mitos dan paradoks diskursus perempuan dalam film horor Kuime (Over Your Dead Body). Satwika:   Kajian Ilmu

Budaya Dan Perubahan Sosial, 6 (2),                      367–384.

https://doi.org/10.22219/satwika.v6 i2.22952

The Japan Times. (2019). What LIEs Behind Japan's Dismal Gender Gap?. The Japan Times. Retrieved on  7th  December 2021, from

https://www.

japantimes.co.jp/opinion/2019/12/1 9/editorials/lies-behind-japans-dismal-gender-gap/

Udasmoro, W., & Nayati, W. (2020). Inetrseksi Gender:   Perspektif

Multidimensional Terhadap Diri, Tubuh, dan Seksualitas dalam Kajian Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

UniGuide. (2021). Fox Symbolism, Meanings & The Fox Spirit Animal. UniGuide. Retrieved on 16th October       2021,       from

https://www.uniguide. com/fox-meaning-symbolism-spirit-animal-guide/

Widarahesty, Y. 2018. "Fathering Japan" as an Alternative Discourse from The Hegemony of Gender Gap in Japan. Jurnal Kajian Wilayah, 9(1), 68-70.

Yonemura, R., & Wilson, D. (2016,

June). Exploring barriers in the engineering workplace: Hostile, unsupportive, and otherwise chilly conditions. Di dalam 2016 ASEE Annual Conference & Exposition.

Yonemura, C. (2016). “Dai 13 sho Chiba ni Okeru Yūkinōgyōundō to Kazoku Keisei: Sono Zenshi ni Kansuru Kenkyū Nōto”. Di dalam Chiba    Daigaku    Daigakuin

Jinbunshakai Kagaku Kenkyūka Kenkyū Purojekuto Hōkokusho, 301.

Yonemura, C. (2017). “Dai 5 sho Tōhoku Nihon no ‘Ie to Mura’ wo Kangaeru: Hosoya Takashi ‘Ie to Mura no Shakaigaku: Tōhoku Mizu Inasaku Chihō no Jirei Kenkyū’. (Ocha no Mizu Shobō, 2012) wo Yomu”. Di dalam Chiba Daigaku Daigakuin Jinbun Shakai Kagaku Kenkyūka Kenkyuu Purojekuto Hōkokusho, 317.

Zahrah, S.T., & Purba, E. R. (2022). Cinderella Weight: Tirani Standar Kecantikan dan Body Image di Kalangan     Wanita     Muda

Jepang. Humanis, [S.l.], v. 26, n. 4, p.                        400-412.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/sast ra/article/view/92864