HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 26.4. Nopember 2022: 449-460

Pemakaian Anggah-Ungguhing Basa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMA: Kajian Sosiolinguistik

The Use of Anggah Ungguhin of Balinese Language on Balinese Language Handbook ini Senior High School: A Sociolinguistics Study

Ni Made Suryati, Tjok. Istri Agung Mulyawati R. Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia Email korespondensi: [email protected] , [email protected]

Info Artikel


Abstract

Masuk:1 September 2022 Revisi: 15 Oktober 2022

Diterima:1 November 2022

Terbit:30 November 2022

Keywords: anggah-ungguhing;

Balinese language; sociolinguistics.


The article's objectives were 1) to examine the usage of Balinese language in Balinese language textbooks in senior high schools at the discourse, sentences, and word levels. This is a qualitative research study. The written material comes from a textbook titled Kusuma Sastra for Class XI. Data were obtained using the listening method, which was assisted by note-taking techniques, and analyzed using distributional and distributional methods, which were supported by substitution techniques. Informal approaches are used to provide data analysis, which is aided by inductive and deductive processes. The article's research results: the use of Balinese anggah-ungguhing basa in a textbook titled Kusuma Sastra: (1) at the discourse level: alus, kepara, and mixed), (2) at the sentence level: alus singgih, alus sor, kepara, kasar hormat), and (3) at the word level: alus singgih, alus sor, mider, madia, andap, and kasar).

Abstrak

Kata kunci: anggah-ungguhing; basa Bali; sosiolinguistik.

Corresponding Author:

Ni Made Suryati, email: [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

22.v26.i04.p13


Tujuan penelitian 1) menganalisis pemakaian anggah-ungguhing Basa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMA pada tataran wacana, kalimat, dan kata. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sumber data tulis adalah Buku Ajar yang berjudul Kusuma sastra untuk kelas XI. Data dikumpulkan dengan metode simak yang dibantu teknik catat; data dianalisis dengan metode agih dan distribusional dibantu teknik substitusi. Analisis data disajikan dengan metode informal, dibantu teknik induktif dan deduktif. Hasil penelitian adalah penggunaan anggah-ungguhing basa Bali pada Buku Ajar yang berjudul Kusuma Sastra: (1) Pada Tataran wacana: Alus, kepara, dan campuran), (2) Pada tataran kalimat: alus singgih, alus sor, kepara, kasar hormat), dan (3) Pemakaian Anggah-Ungguhing Basa Bali pada tataran kata: alus singgih, alus sor, alus mider, mider, madia, andap, dan kasar).

PANDAHULUAN

Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah yang masih hidup dan berkembang. Dengan kemajuan jaman dikhawatirkan bahasa Bali lebih berkurang pemakainya. Oleh karena itu perlu diupayakan pelestarian dan pengembangan bahasa Bali sampai pada aspek yang sekecil-kecilnya agar terinventarisasi segala keaspekan bahasa Bali. Sampai saat ini banyak penelitian yang dilakukan terhadap bahasa Bali. Penelitian itu meliputi mikrolinguistik, makrolinguistik, dan linguistik terapan. Walaupun demikian bukan berarti masalah bahasa Bali tidak ada yang perlu diteliti lagi, tetapi sesungguhnya banyak masalah bahasa Bali yang perlu diteliti lagi karena bahasa Bali sangat kaya dengan khasanah kelinguistikan. Di samping itu, khusus mengenai pengajaran bahasa Bali merupakan hal yang sangat penting untuk diteliti karena hasilnya dapat digunakan untuk melakukan pembenahan terhadap Buku Ajar di kemudian hari.

Buku ajar merupakan hal yang sangat penting bagi keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang dicanangkan pemerintah. Salah satunya adalah Buku Ajar Bahasa Bali dari tingkat SD–SLTA. Namun kenyataannya, pada saat dilakukan pengabdian kepada masyarakat khususnya terhadap GuruGuru bahasa Bali, di beberapa tempat sering guru-guru mengeluhkan karena isi bukunya tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. Di samping itu, anggah-ungguhing basa Bali merupakan salah satu hal yang sangat ditakuti oleh para siswa karena dianggap sulit. Padahal pemahaman anggah-ungguhing basa Bali sangat penting karena sangat berkaitan dengan etika kesopanan dalam berkomunikasi. Dari segi sopan santun, apabila seseorang mampu menggunakan bahasa Bali sesuai dengan anggah-ungguhing basa Bali, jika dibandingkan

dengan penutur yang tidak memahami anggah-ungguhing basa Bali, nampak sangat berbeda. Kesantunan seseorang akan tercermin dari caranya berbicara. Khusus untuk penutur bahasa Bali, jika mampu berbicara dengan menggunakan anggah-ungguhing Basa Bali secara benar dan tepat maka penutur tersebut boleh dikatakan secara etika dan sopan santun sangat baik. Dalam buku ajar SMA sudah seharusnya memuat penngunaannya anggah-ungguhing Basa Bali secara menyeluruh. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, diteliti Buku Ajar Bahasa Bali di SMA, khususnya Kusuma Sastra untuk Kelas XI. Penelitian dilakukan terhadap Buku Ajar Kusuma Sastra untuk Kelas XI karena buku ini terbitan terbaru dan menurut beberapa Guru SMA buku tersebut diimbau untuk digunakan di SMA-SMA di Bali.

Berdasarkan uraian di atas, ada tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu (1) mendeskripsikan pemakaian anggah-ungguhing Basa Bali pada Buku Ajar Kusuma Sastra untuk Kelas XI pada tataran wacana; (2) mendeskripsikan pemakaian anggah-ungguhing Basa Bali pada Buku Ajar Kusuma Sastra untuk Kelas XI pada tataran kalimat, dan (3) mendeskripsikan pemakaian anggah-ungguhing Basa Bali pada Buku Ajar Kusuma Sastra untuk Kelas XI pada tataran kata. Hasil penelitian ini ke depannya diharapkan dapat bermanfaat bagi penutur bahasa Bali sehingga dapat memahami anggah-ungguhing Basa Bali dengan baik.

METODE DAN TEORI

Penyediaan data digunakan metode simak untuk buku ajarnya cakap untuk guru-guru pengajar bahasa Bali. Meode simak dibantu dengan teknik catat, serta teknik terjemahan. Analisis data digunakan metode kualitatif karena penelitian ini mengungkapkan penelitian dengan bukan dengan angka-angka.

Teknik analisisnya adalah teknik deskriptif-analitis. Metode yang dipakai dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode informal, dibantu dengan teknik penyajian (polapikir) induktif dan deduktif yang dipakai secara berkombinasi.

Penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik, karena berkaitan dengan pemakaian bahasa. Secara sosiolinguistik, pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor sosial ragam pemakainnya. Halliday dan Ruqaiya Hassan (1994: 56) menyebut dengan istilah register, dimana dijelaskan bahwa register adalah variasi bahasa berdasarkan ragam pemakaainnya, misalnya pemakaian bahasa dalam ranah tertentu, seperti dalam ranah resmi, ranah tidak resmi, ranah adat-istiadat, dan sebagainya. Nababan (1991: 2) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khusunya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan.

Pendapat-pendapat tentang sosiolinguistik di atas pada prinsipnya adalah sama, perbedaannya hanya terletak pada redaksinya saja. Karena dalam penelitian ini melihat pemakaian bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMA, khususnya Kusuma Sastra untuk Kelas XI yang dikaitkan dengan ragam pemakaian bahasa Bali berdasarkan anggah-ungguhing basa, maka digunakan teori sosiolinguistik.

Sehubungan dengan penelitian anggah-ungguhing basa pada Buku Ajar Berbahasa Bali di SMA, khususnya Kusuma Sastra untuk Kelas XI digunakan pembagian bahasa Bali yang dikemukakan oleh Ida Bagus Udara Naryana dengan beberapa tambahand dari Ida Bagus Made Suasta, sehingga bahasa Bali digolongkan menjadi empat, yaitu (1) Bahasa Bali Alus, (2) Bahasa

Bali Madia, (3) Bahasa Bali Andap, dan (4) Bahasa Bali Kasar.

Sebelum diuraikan bagaimana penggunaan keempat kelompok bahasa Bali tersebut perlu ditegaskan agar menjadi lebih jelas. Setiap bahasa memiliki konstruksi, yaitu kata, frasa, klausa, dan kalimat yang tersusun dalam wacana. Untuk pengelompokan bahasa Bali dibahas konstruksi wacana, kalimat, dan kata. Namun lebih detailnya dibahas pada tataran kata, karena ketidak sesuaian pemakaiannya terletak pada pemakaian kata-katanya. Berkaitan dengan anggah-ungguhing basa Bali, kata (dalam hal ini langsung saja disebut istilah bahasa Balinya yaitu kruna) dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu 1) kruna alus, 2) kruna mider, 3) kruna andap, dan 4) kruna kasar.

  • 1)    Kruna alus dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) kruna alus singgih (selanjutnya disingkat Asi) adalah kata yang digunakan untuk berbicara dengan tri wangsad an orang yang patut kasinggihang (dihormati) atau tentang tri wangsa dan yang patut dihormati. Contoh: Ida, dane, mantuk, lebar, ngrayunang, makolem, mapesengan, ngendika, masucian, cokor, rabi, raka, rai; (2) Kruna Alus Mider (selanjutnya disingkat Ami) adalah kata yang digunakan untuk menghormati (nyinggihang) dan merendahkan (ngandapang) diri atau kata jenis ini hanya memiliki satu bentuk alus. Contoh: lanjaran, rauh, jagi, adeng, kemad, purun, asu, bakta, banget, eling, lali, duk, daweg; (3) Kruna Alus Madia (selanjutnya disingkat Ama) adalah kata yang memiliki nilai rasa di tengah-tengah atau berada antara alus singgih dan alus sor. Misalnya: ampun, tiang, ngajeng, napi, niki, nika, ten, kari, sirep, sirah; dan (4) kruna alus sor (selanjutnya disingkat Aso) adalah kata yang digunakan untuk ngasorang

(merendahkan) diri, misalnya: titiang, nunas, dewek, lampus, tangkil, neda, pamit, jatma, padem, nambet.

  • 2)    Kruna Mider adalah kata yang hanya memiliki satu bentuk dan dapat digunakan untuk semua golongan, seperti: tas, kija, nyongkok, ngepung, poh, buluan, duren, nungging, meong, kambing, payuk, nenbok;

  • 3)    Kruna Andap adalah kata yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari dengan kawan akrab, tri wangsa, maupun non tri wangsa. Contoh: suba, daar, jemak, bok, kuping, batis, basang, be, biu, jukut, nasi, lengis, pules, nyak, nongos, teka, abesik, tetelu.

  • 4)    Kruna Kasar adalah kata-kata yang biasanya digunakan sesame teman akrab dan dalam kontek bertengkar, seperti: pelot, bangka, medem, memelud, amah, leklek, pantet, tidik.

Berdasarkan uraian pustaka di atas, kejelasan pemakain bahasa Bali berdasarkan anggah-ungguhing basa, dapat diterapkan dalam penelitian ini.

Sumber data adalah Buku Ajar Bahasa Bali di SMA, khususnya Kusuma Sastra untuk Kelas XI.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka ada tiga hal yang dibahas, yaitu (1) pemakaian anggah-ungguhing basa Bali dalam Buku Ajar Kusuma Sastra untuk Kelas XI pada tataran wacana, (2) pemakaian anggah-ungguhing basa Bali dalam Buku Ajar Kusuma Sastra untuk Kelas XI pada tataran kalimat, dan (3) pemakaian anggah-ungguhing basa Bali dalam Buku Ajar Kusuma Sastra untuk Kelas XI pada tataran kata.

Pemakaian Anggah-Ungguhing Basa Bali pada Buku Ajar Kusuma Sastra untuk Kelas XI

Penggunaan anggah-ungguhing basa Bali seperti yang disampaikan pada teori meliputi tataran wacana, kalimat, dan kata. Ketiga tataran itu dibahas satu persatu dibawah ini tentunya berdasarkan data yang diperoleh, Baik tataran wacana, kalimat (selanjutnya disebut lengkara agar pas dengan peristilahan yang lain), maupun kata (selanjutnya disebut kruna) memiliki klasifikasi yang berbeda. Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya berikut diuraikan satu persatu.

Pemakaian Anggah-Ungguhing Basa Bali pada Tataran Wacana

Pada tataran wacana, bahasa Bali secara teoritis dibedakan menjadi 4, yaitu wacana bahasa Bali dengan bahasa Alus, Wacana bahasa Bali dengan bahasa Bali Madia, Wacana bahasa Bali dengan bahasa Bali andap, dan wacana bahasa Bali dengan bahasa Bali kasar. Untuk lebih jelasnya di bawah ini disajikan datanya.

  • a.    Penggunaan Bahasa Bali Alus

Untuk mengetahui penggunaan bahasa Bali Alus pada tataran wacana di buku ajar bahasa Bali Kusuma Sastra di Kelas XI berikut datanya.

Data (1):

Malarapan asung kerta wara nugrahan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, buku bahasa Bali puniki prasida kapuputang. Sasuratan buku puniki matatujon nyiagayang materi ajah sané manut ring aab jagaté, taler anut ring wewidangan kakuub palajahan basa, sastra, miwah aksara Baliné. Buku puniki pacang prasida pinaka tuntunan olih para siswa SMA/SMK sajroning nitenin utawi nglimbakang paplajahan basa,

aksara, miwah susastra Bali (KS XI, Pangaksama,iii, al.1)

Terjemahan:

Berdasarkan anugrah Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang maha Kuasa, buku Bahasa Bali ini berhasil diselesaikan. Penulisan buku ini bertujuan menyiapkan materi ajar yang sesuai jaman, juga sesuai dengan bidang pelajaran bahasa, sastra, dan aksara Bali. Buku ini dapat digunakan sebagai tuntunan oleh para siswa SMA/SMK u8ntuk menekuni dan mengembangkan pelajaran basa, aksara, dan sastra Bali

Data (1) menunjukkan pemakaian bahasa Bali alus yang digunakan oleh pengarang buku dalam Kata Pengantar. Mengapa pengarang memakai bahasa Bali alus karena pengarang berbicara dengan orang-orang yang akan membaca tentunya Guru yang dianggap lebih tinggi derajatnya dari pengarang. Di samping itu, umumnya boleh dikatakan bahwa orang yang diajak bicara oleh pengarang tentunya orang-orang yang belum dikenal. Etikanya kalau kita berbicara dengan orang yang tidak dikenal, maka sudah hukumnya menggunakan bahasa Bali Alus. Selanjutnya, kalimat-kalimat (selanjutnya disebut lengkara) apakah yang membentuk wacana di atas. Kalimat-kalimat yang mendukung wacana tersebut semua termasuk lengkara alus. Kata-kata yang mendukung wacana di atas termasuk kosa kata alus singgih, alus mider, mider. Pada data (1) tidak tampak adanya penggunaan kata alus sor karena pembicara tidak menceritrakan tentang dirinya atau orang yang lebih rendah.

Contoh lainnya:

…….sajroning buku puniki para sisya kaaptiang mangda ngamolihang tuntunan sane becik gumanti tatujon mlajahin basa,

aksara, miwah sastra Balibne prasida kalimbakang……(KS XI, hal.iii, al.2, br.5—7)

Terjemahan:

…dengan buku ini para siswa diharapkan supaya mendapatkan tuntunan yang baik tentang tujuan belajar bahasa, aksara, dan sastra Bali agar berhasil dikembangkan…

Penggunaan bahasa Bali alus dalam bentuk wacana bisa dilihat pada data lain dengan situasi: pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan berbeda. Berikut disajikan datanya.

Data (2):

…. Ida dane para undangan sané baktinin titiang, taler para sameton sané tresnasihin titiang. Sane mangkin lugrayang titiang pinaka reramanipun nunas galah samatra anggén titiang nyihnayang anggan pianak titiang sané pacang katatahin utawi sane ketah kabaos kadi mangkin upacara potong gigi. Mungguing pianak titiang sané mapandes rahinané mangkin wénten lelima. Sané tatiga wantah pianak titiang néwék, sané kalih anggén titiang keponakan, punika wantah pianak adin titangé. Sané paling wayaha panak titiang mawasta Gedé Adi ……(KS XI, hal.2, al.3)

Terjemahan:

… Bapak Ibu yang saya hormati, serta saudara-saudara yang saya cintai. Sekarang ijinkan saya sebagai orang tua mereka memohon waktu sebentar untuk menyampaikan identitas anak saya yang akan diasah giginya atau yang biasa disebut acara potong gigi. Tentang anak saya yang akan diasah giginya hari ini jumlahnya lima orang. Yang tiga orang adalah anak saya, yang lagi dua saya pakai sebagai keaponakan saya, merteka

adalah anak dari adik saya. Yang paling besar anak saya bernama Gede Adi…….

Data (2) juga merupakan penggunaan bahasa Bali alus pada wacana yang merupakan Pelajaran 1 tentang Darma Wacana ‘Sambutan’, namum bahasa Bali alus itu ceritranya disampaikan oleh seorang yang mewakili sebuah keluarga yang mengadakan upacara “Potong Gigi”. Pembicaraan ditujukan kepada undangan yang sudah tentu karena undangan maka wajib dihormati. Wacana pada data (2) tersusun oleh lengkara alus singgih seperti yang ditunjukkan oleh kalimat Ida dané para undangan sané baktinin titiang, taler para sameton sané tresnasihin titiang ‘Bapak Ibu yang saya hormati, serta saudara-saudara yang saya cintai’ dan lengkara alus sor yang ditunjukkan oleh kalimat lainnya. Dikatakan lengkara alus sor karena membicarakan tentang keluarga pembicara yang memposisikan dirinya sebagai orang yang berada di bawah. Akan tetapi, kruna-kruna yang membentuk tentu beraneka ragam, yaitu kruna alus singgih (Ida ‘sebutan untuk kata ganti orang kedua dari golongan tri wangsa, dané ʻsebutan untuk kata ganti orang kedua dari golongan non tri wangsabaktininʼhormati’,mapandes ʻpotong gigi’); kata alus sor (titian ‘ungtuk menyebut orang pertama tunggal’, pianak ʻanak’, newek ‘sendiri’; kata alus mider (sane ʻyang’, wantah ‘hanya’, taler ‘juga’, wenten ‘ada’ ; kata mider (lelima ‘lima’, keponakan ‘keponakan’. Wacana pada data (20 terdiri atas berbagai kata alus karena terdiri atas pembicara menganggap diri sebagai kelas bawahan dan orang ketiga merupakan keluarga pembicara sehingga kata-kata yng digunakan adalah alus sor dan mider; sedangkan yang diajak boicara orang yang dihormati sehingga kata-kata yang ditujukan menggunakan alus singgih, alus mider, dan mider,

Contoh lainnya:

…ri sampun nganjek ring pamuput atur patut kawentenang pacutetan daging babaosan, matur suksma. Nunas pangampura manawi wénten sané tan manut ring kayun sang miarsayang. Parama santih, makapanguntat anggén wasaning atur miwah muputang sambrama wacana…(KS XI, hal.12, al.3)

Terjemahan:

….Setelah sampai pada akhir pembicaraan, dibuatkanlah kesimpulan dari isi pembicaraan, berterima kasih memohon maaf barangkali ada yang tidak berkenan di hati pendengar. Untuk menutup pembicaraan sebagai ciri berakhirnya sambutan dengan mengucapkan parama santi….

  • b.    Penggunaan Bahasa Bali Andap

Bahasa Bali andap dipakai pengarang dalam buku ajar Kusuma Sari XI untuk mengantarkan ceritra atau berceritra. Sudah tentu tidak semua ceritra yang diberikan berbahasa Bali andap. Penggunaan bahasa Bali sesuai anggah-ungguhing basa Bali. Ketika pengarang memunculkan ceritra-ceritranya maka saat berceritra memang menggunakan bahasa Bali andap karena umumnya kalau berceritra, lawan bicaranya pasti anak-anak, akan tetapi pada keseluruhan ceritranya akan ditemukan pemakaian bahasa Bali sesuai anggah-ungguhing basa Bali. Itu tergantung dari tokoh yang ada dalam ceritra. Jika ada Tri Wangsa yang diceritrakan atau lawan bicara golongan tri wangsa atau tokoh berstatus sosial tinggi sudah tentu menggunakan bahasa Bali alus singgih. Jika yang diceritrakan non tri wangsa atau tokoh pembicaranya non tri wangsa atau memiliki status sosial rendah di masyarakat menggunakan bahasa Bali alus sor. Pada bagian ini hanya disajikan data dalam

ceritra yang hanya berisi ceritra tanpa tokoh tri wangsa. Untuk itu berikut disajikan datanya.

Data (3):

Makejang anaké nawang ané madan barong, kéwala langah anake nawang barong somi. Ané ngranayang, uliyan suba tusing nawang somi. Kénkénang nawang somi, tongos tumbuhné suba langah. Kéwala sing masih dadi melihang nyén-nyén, yén basang seduk, tusing nyidayang ganjel aji angin, apa buin munyi angin-anginan. Yén ento bakat satuang, bisa malémad uli tanggu kangin kanti tanggu kauh. Yén dija kadén tanggun kangin kauhé, masih tusing tawang. Idup acepok, liyunan tusing tawang (KS XI. Hal.5, al.3)

Terjemahan:

Semua orang tahu yang namanya barong, tetapi jarang orang mengetahui barong somi (nama jenis barong terbuat dari jerami padi). Yang menyebabkan, karena sudah tidak mengenal jerami. Bagaimana mengetahui jerami, tempat tumbuhnya sudah jarang. Tetapi tidak juga bias mrenyalahkan siapa-siapa, kalau perut lapar, tidak bias diganjal dengan angin, apa lagi kata-kata angin-anginan. Kalau itu diceritakan, bias sangat panjang dari ujung timur sampai ujung barat. Entah dimana ujung timur baratnya, juga tidak diketahui. Hidup hanya sekali, kebanyakan tidak diketahui.

Wacana pada data (3) penggalan dari ceritra “Lawat-Lawat Barong Somi” termasuk basa Bali andap artinya bisa dipakai dalam pergaulan sehari-hari tanpa memandang perbedaan golongan/wangsa. Ini bisa dipakai oleh wangsa apa saja jika

hubungannya akrab. Wacana (3) dibentuk oleh lengkara-lengkara yang tergolong lengkara andap. Wacana pada data (3) disusun oleh kruna mider (barong ʻbarong’, angin ‘angin’, angin-anginan ʻangin-anginan’, yen ‘kalau’, melemad ‘terbentang’). Selain kata-kata itu, semuanya termasuk kruna andap. Kata-lata yang termasuk kruna mider hanya memiliki satu bentuk, tidak memiliki bentuk hormat, sedangkan kata-kata yang termasuk kruna andap memiliki bentuk lain, yaitu bentuk alus dan ada juga memiliki bentuk kasar.

Data (4):

Ni Luh Ranti mula anak cenik jemet gati. Ento kranane ia sayanganga pesan teken mémé bapanné. Rajin masekolah, setata nuutang muyin guru. Tusing cara truna bajang di desanné Luh Ranti, ané demen bolos tur matunangan. Ané jani, Ni Luh Ranti suba bajang. Mungwing pangadeg Luh Rantiné langsing lanjar, liyu anaké ngorahang ulian Luh Ranti demen mauruk ngigel. Magenep igel-igelan tawanga. Pamuluné nyandat gading, apa buin bokné demdem samah. Luh Ranti liyu pesan ngelah timpal, ulian polos tur raosné setata alus banban, tur parisolah ipuné olas asih tekening timpal………..(KS XI, hal.29, al.1)

Terjemahan:

Ni Luh Ranti memang anak rajin sekali. Itu sebabnya ia disayangi oleh ibu bapaknya. Rajin bersekolah, selalu mengikuti katakata guru. Tidak seperti muda mudi di desanya Luh Ranti, yang suka bolos dan berpacaran. Sekarang Ni Luh Ranti sudah dewasa. Mengenai perawakannya Luh Ranti tinggi dan langsing, banyak orang mengatakan karena Luh Ranti seneng belajar menari. Beraneka tarian diketahui.

Kulitnya pudih langsat, apalagi rambutnya hitam lebat. Luh Ranti banyak sekali memiliki teman, karena polos kata-katanya selalu lemah lembut, dan perilakunya kasih dan sayang sama teman

Data (4) merupakan penggalan dari ceritra yang berjudul Luh Ranti. Wacananya termasuk menggunakan bahasa Bali andap. Dimana penceritra berceritra tentang seorang anak non tri wangsa kepada anak-anak, sehingga wacana menggunakan bahasa bali andap. Wacana pada data (4) semuanya tergolong lengkara andap. Dilihat dari krunanya wacana bahasa andap ini dibentuk oleh kruna mider (guru ʻguru’, matunangan ʻberpacaran’, jemet ‘rajin’, setata ‘selalu’) dan kruna andap (mula ‘memang’, entoʼ ‘itu’, cenik ‘kecil’, nuutang     ʻmengikuti’,     magenep

‘bermacam-macam’).

  • c.    Penggunaan Bahasa Bali Campuran

Penggunaan bahasa Bali campuran dalam bentuk wacana adalah kalimatkalimat yang membentuk wacana beraneka ragam. Adapun kalimat yang membentuk bisa Lengkara alus singih, alus sor, dan bisa lengkara andap. kosa kata yang membentuk wacana itu terdiri atas kruna alus, kruna mider, kruna kepara, dan kruna alus, kruna mider, kruna kepara, dan mungkin kruna madia. Hal itu bisa dilihat pada beberaa data di bawah ini Data (5):

……kocap Ida Anaké Agung sedek malila cita ngrereh burung di cariké. Gelising satua, rauh mangkin Ida ring tongos I Raré Angoné ngangon tur kapanggihin olih Ida gegambaran anak istri jegég pesan. Angob koné anaké Agung ngaksi gambaré ento saha Ida nauhin pangangoné sami “Cerik-ceriké, nyén ané ngaé

gambaré ené?” keto pitakén ida tekén para pangangoné. Ditu pengangoné ngaturang ané ngambar ento tuah I Rare Angon (KS XI, hal.48, al. 2, br.6—11).

Terjemahan:

… Konon Beliau Anak Agung (raja) sedang beranjang sana mencari burung di sawah. Singkat ceritra, sampailah beliau di tempat I Rare Angon menggdembala dan ditemukan oleh beliau gambar seorang wanita cantik sekali. Kagum sekali beliau melihat gambar itu lalu beliau memanggil semua penggembala “Anak-anak, siapa yang membuat gambar ini?” Begitu pertanyaan beliau kepada semua penggembala. Di sana penggembala mengatakan yang menggambar itu adalah I Rare Angon.

Kalau penggunaan anggah-ungguhing basa Bali pada tataran wacana berbahasa Bali alus maka tanpak wacananya dibentuk oleh lengkara alus singgih dan ada juga bercampur dengan lengkara alus sor, sedangkan kruna yang membentuk adalah kruna alus dan kruna mider. Pada wacana yang memakai bahasa andap dibentuk oleh lengklara andap yang dibentuk oleh kruna andap dan kruna mider. Wacana yang merupakan campuran keduanya tentu akan dibentuk oleh lengkara-lengkara yang bervariasi dan kruna-kruna yang membentuknya juga bervariasi seperti yang sudah disebutkan di atas, yaitu kruna alus, kruna mider, kruna andap, dan mungkin kruna kasar. Berikut dianalisis data (5) agar diketahui lengkara-lengkara yang membentuk dan kruna apa saja yang membentuk wacana tersebut. Data (9) dibentuk oleh lengkara alus singgih seperti berikut ini: (1) kocap Ida Anake Agung sedek malila cita ngrereh burung di carike. ‘Konon Beliau

Anak Agung (raja) sedang beranjang sana mencari burung di sawah’, (2) Gelising satua, rauh mangkin Ida ring tongos I Rare Angoné ngangon tur kapanggihin olih Ida gegambaran anak istri jegeg pesanʼ Singkat ceritra, sampailah beliau di tempat I Rare Angon menggembala dan ditemukan oleh beliau gambar seorang wanita cantik sekali’. Kedua kalimat itu dikatakan kalimat alus singgih karena digunakan untuk seorang raja. Kalimat-kalimat yang termasuk lengkara andap adalah (1) “Cerik-ceriké, nyén ané ngaé gambare ené?” Anak-anak siapa yang menggambar ini?’ (2) Ditu pengangoné ngaturang ané ngambar ento tuah I Raré Angon . Kalimat (3) dikatakan kruna andap karena disampaikan oleh raja kepasa anak-anak. Kalimat (4) dikatakan lengkara andap karena kalimat diuca[pkan oleh penceritra kepada anak-anak. Kruna-kruna yang mendukung data (5) adalah kruna alus mider (kocap ‘konon’, rauh    ʻdatang’    ngrereh

‘mencari’, satua ‘cerita’, ring ‘di’, Angob’kagum’, pitaken ‘pertanyaan’, gelising dipercepat’ ) ; kruna alus singgih ( Ida Anake Agung ‘nama wangsa Ksatria’ malila cita ʻberjalan-jalan’, ngaksi’melihat’ nauhin ‘memanggil, ngaturang ‘mengatakan’). Kruna mider (ngangon ‘menggembala’ gegambaran ‘gambar’, sedek ‘sedang’ ; kruna madia (mangkin ‘sekarang’       Cerik-cerike

‘anak-anak’;       kruna       andap

(tongos’tempat’, tur ‘dan’ keto ‘begitu’, kone ‘konon’, ento ‘itu). .

Pemakaian Anggah-Ungguhing Basa Bali pada Tataran Kalimat/Lengkara

Sesungguhnya analisis penggunaan anggah-ungguhing basa Bali pada Buku Ajar Kusuma Sastra yang sudah dianalisis pada tataran wacana sudah sekaligus membahas tataran kalimat dan kata, namun demikian, untuk lebih jelasnya akan disajikan lagi contoh-

contoh kalimat sesuai anggah-ungguhing basa Bali.

  • a.    Pemakaian Lengkara Alus Singgih

Penggunaan lengkara alus singgih dijelaskan berdasarkan data berikut ini. Berdasarkan data akan diketahui kruna apa saja yang dapat membentuk lengkara alus singgih.

Data (6):

  • (a)    Angayu bagia majeng ring Ida Sang Hyang Widi Wasa (KS.,hal.2,.al.1, br.1)

‘Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa’

  • (b)    Antuk punika, ngiring sinarengan nyakupang kara kalih ngojarang pangastungkara      panganjali

(KS.,hal.2,.al.1, br.4).

‘Untuk itu mari bersama-sama mencakupkan dua tangan mengucapkan      permohonan

keselamatan’

Berdasarkan data (6) akan dianalisis agar diketahui pemakaian anggah-ungguhing basa Bali pada tataran kalimat/lengkara alus simggih dibentuk oleh kruna apa saja

Kalau diperhatikan data (6a) Angayu bagia majeng ring Ida Sang Hyang Widi Wasa ‘Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa’ dibentuk oleh kruna alus singgih (Angayu bagia ,majeng, Ida Sang Hyang Widi Wasa) karena kata-kata itu diperuntukkan untuk Ida Sang Hyang Widi yang patut dimuliakan dan kruna alus mider (ring) dalam konteks di atas juga diperuntukkan untuk Ida Sang Hyang Widi. Disebut kruna mider karena hanya mempunyai bentuk alus satu saja.

Data (6b) Antuk punika, ngiring sinarengan nyakupang kara kalih ngojarang pangastungkara panganjali ‘Untuk itu mari bersama-sama mencakupkan dua tangan mengucapkan permohonan keselamatan’ dibentuk oleh kruna alus singgih: antuk punika ʻtentang

itu’, ngiring ‘ayo’ kara ʻtangan’; kruna alus mider: sinarengan ʻbersama-sama’, kalih ngojarang pangastungkara ‘dan mengucapkan salam; kruna mider: nyakupang ‘menyatukan tangan’ dan panganjali ʻsalam’.

Dengan demikian, lengkara alus singgih dapat dibentuk oleh kruna alus singgih, kruna alus mider, dan kruna mider.

  • b.    Pemakaian Lengkara Alus Mider

Pemakaian lenghkara mider dapat dilihat berdasarkan data berikut ini.

Data (7)

Malih ajebos yening sampun wusan anyita rasa, durusang ngambil acara bebas (KS.,hal.3,.al.3, br.4).

‘Lagi sebentar, kalau sudah selesai menikmati     hidangan,     silahkan

mengambil acara bebas’.

Data (7) Malih ajebos yening sampun wusan anyita rasa, durusang ngambil acara bebas ‘Lagi sebentar, kalau sudah selesai menikmati hidangan, silahkan mengambil acara bebas’ tertdiri atas kruna alus mider malih ʻlagi’, ajebos ʻsebentar’, yening ʻkalau’ , sampun ʻsudah’, wusan ʻselesai’ anyita rasa ʻmenikmati hidangan, durusang ʻsilahkan’, ngambil ʻmengambil’ dan kruna mider acara ʻacara’ dan bebas ‘bebas’. Dengan demikian data (7) dibentuk oleh kruna alus mider dan kruna mider

  • c.    Pemakaian Lengkara Alus Sor

Pemakaian lengkara Alus Sor dapat dilihat berdasarlan beberapa data sebagai berikut.

Data (8):

  • (a)    Sane mangkin lugrayang titiang pinaka reramanipun nunas galah samatra anggen titian nyihnayang pianak titian sane pacang katatahin (KS XI, hal.2, al.3, br.2-3) ‘Sekarang ijinkan saya sebagai pamannya memohon waktu sedikit saya pakai

untuk menginformasikan anak saya yang akan potong gigi’

  • (b)    Sane paling wayahan panak titiang mawasta Gede Adibawa, sane kaping kalih mawasta Ni Made Winarsih, miwah sane kaping tiga mawasta I Nyoman andiyasa (KS XI, hal. 3, al.1, br. 1-2) ‘Yang paling tua anak saya bernama Gede Adibawa, yang nomor dua bernama Ni Made Winarsih, serta yang nomor tiga bernama I Nyoman Adiyasa

Data (8a) Sane mangkin lugrayang titiang pinaka reramanipun nunas galah samatra anggen titiang nyihnayang pianak titiang sane pacing katatahin ‘Sekarang ijinkan saya sebagai pamannya memohon waktu sedikit saya pakai untuk menginformasikan anak saya yang akan potong gigi’ terdiri atas kruna alus mider (Sane mangkin;sekarang’, pinaka ;sebagai’, galah ‘waktu’, samatra ʻsedikit’, sane ‘yang’, dan anggenʼ pakai’) dan kruna alus sor (lugrayang ‘ijinkan’, titian ʻsaya’, reramanipun ʻorang tuanya’ nunas ʻmemohon’ titian ‘saya’ nyihnayang menginformasikan’, pianak titiang’anak saya’ pacing ‘akan’ dan katatahin ‘dipotong giginya’ Dengan demikian, data (8a) dibentuk oleh kruna alus mider dan kruna alus sor.

Data (8b) Sane paling wayahan panak titian mawasta Gede Adibawa, sane kaping kalih mawasta Ni Made Winarsih, miwah sane kaping tiga mawasta I Nyoman andiyasa ʻyang paling tua anak saya bernama Gede Adibawa, yang nomor dua bernama Ni Made Winarsih, serta yang nomor tiga bernama I Nyoman Adiyasa’ terdiri atas: kruna alus mider (sane ‘yang’, kaping kalih ‘nomor dua’ kaping tiganomor tigaʼ} ; kruna mider (Gede Adibawa, Ni Made Winarsih, dan I Nyoman andiyasa ʻketigsnys nsms orsngʼ}; dan kruna alus sor ( paling wayahan paling tua’, titian ‘saya’, mawasta ‘bernama’, miwah

ʻdan’). Kruna panak ʻanak’ termasuk kruna kasar merupakan kekurang tepatan karena seharusnya alus sor bentuknya menjadi pianak. Dengan demikian lengkara alus sor pada data (8b) terbentuk oleh kruna alus sor, kruna alus mider, krunakasar, dan kruna mider. Seharusnya pada lengkara alus sor tidak ada pemakaian kruna kasar. Itu merupakan penyimpangan.

  • d.    Pemakaian Lengkara Andap

Pemakaian lengkara andap pada buku ajar Kusuma Sastra dapat diketahui berdasarkan data yang disajikan berikut ini.

Data (9)

  • (a)    Ni Luh Ranti mula anak cenik jemet gati (KS XI, hal. 29, al.1, br. 1). Ni Luh Ranti memang anak kecil rajin sekali

  • (b)    Papineh Luhe buka keto mula patut pesan, makacihna Luh enu inget tur ngelah aji di gumine (KS XI, hal.

45, al.1, br. 3-4) ʻPikiran Luh seperti itu memang benar sekali mencirikan Luh masih ingat dan punya harga di dunia ini’.

Data (9a) Ni Luh Ranti mula anak cenik jemet gati ‘Ni Luh Ranti memang anak kecil rajin sekali’ dibentuk oleh kruna andap (mula’memang’ anak cenik ʻanak kecil’,jemet ʻrajin’, dan gati ʻsekaliʼ) dan kruna mider Ni Luh Ranti ʻnama orang’.

Selanjutnya, data (9b) Papineh Luhe buka keto mula patut pesan, makacihna Luh enu inget tur ngelah aji di gumine ʻPikiran Luh seperti itu memang benar sekali mencirikan Luh masih ingat dan punya harga di dunia ini’ tdibentuk oleh kruna andap (papinehpikiran/pendapat’, buka’seperti’,           keto      ʻbegitu’

mulaʼmemang’, patut ʻbenar’, pesan sekali’, makacihna ʻsebagai bukti’ enu’masih’, inget ʻingat’, tur ‘dan’ ngelah ʻpunya’ aji ʻharga’ di ʻdi’ gumine

ʻdunia’) dan kruna mider (Luh, Luhe ʻnama’).

Berdasarkan keempat data lengjara andap di atas, dapat disimpulkan bahwa lengkara andap hanya dibentuk oleh kruna andap dan kruna mider.

Pemakaian Anggah-Ungguhing Basa Bali pada Tataran Kata/Kruna

Berdasarkan pemaparan penggunaan anggah-ungguhing Basa Bali pada tataran wacana dan kalimat/lengkaradapat dikatakan bahwa semua jenis kruna terpakai pada Buku Ajar Widya Sastra, yaitu Kruna alus singgih, kruna alus mider, kruna alussor, kruna mider, dan kruna kepara/andap. Contoh-contoh tidak disajikan lagi karena pada bagian sebelumnya sudah diuraikan secara jelas.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, pada tataran wacana dalam buku Ajar Widia Sastra digunakan bahasa Bali alus, bahasa Bali kasar, dan bahasa Bali Andap, dan bahasa campuran. Selain itu, Pada tatanan kalimat atau lengkara yang digunakan lengkara alus singgih, lengkara alus sor, lengkara alus mider, dan lengkara andap sedangkan pada tataran kata digunakan: kruna alus singgih, kruna alus sor, kruna alus mider, kruna mider, kruna andap, dan kruna kasar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Udayana melalui Kepala LP2M dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya atas bantuan dana Penelitian Unggulan Program Studi yang bersumber dari dana PNBP tahun 2021.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar A. (2003). Pokoknya Kualitatif:           Dasar-Dasar

Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Bagus, I Gusti Ngurah (ed). (1975). Masalah Pembakuan Bahasa Bali.Singaraja:   Balai Penelitian

Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bagus, I Gusti Ngurah (1975/1976). “Tingkat-Tingkat     Bicaradalam

Bahasa Bali”. Denpasar: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembngan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bagus, I Gusti Ngurah (1978/1079) “Unda-Usuk Bahasa Bali”. Denpasar:    Proyek Penelitian

Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Bungin, Butrhan.(2008). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.

Chaer, Abdul. (1995). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Renika Cipta

Djajasudarma,  T.  Fatimah. (1999a).

Semantik  2,  Pemahaman Ilmu

Makna. Bandung: Refika Aditama.

Djajasudarma,  T.  Fatimah. (1999b).

Metode Linguistik:   Ancangan

Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco.

Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan.(terj. Barori Tou). (1994). Bahasa,       Konteks,       dan

Teks.Yogyakarta:   Gajah Mada

University Press.

Hockett, Charles F. (1958). A Course in modern Linguistics. New York: The Macmillan Company.

Kentjono, Djoko. (1982). Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra, Universita Indonesia

Kersten, J. (1957). “Garis Besar Tata bahasa Bali. Singaraja: Widyataya.

Mahsun, (2007).Metode Penelitian Bahasa :   Tahapan Strategis,

Metode dan Tekniknya. Jakarta: PT. Grapindo Persada.

Muhajir, Noeng H. (1996). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Meranggi, Ni Made Soraya. (2016). Sociolinguistic Analysis of Taboo Words in Bad Teacher Movie. Jurnal Humanis Vol.16 Agustus 2016.

Nababan, P. W. J.. (1991). Sosiolinguistik Suatu     Pengantar.     Jakarta:

Gramedia.

Narayana, Ida Bagus Udara. (1984). “Tingkatan Anggah-Ungguhing Basa bali” dalam Jurnal Widya Pustaka Th. I, Nomor 1. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Pariyati, Ni Made. (2009). “Anggah-Ungguhing Basa dalam Novel Sembalun Rinjani Karya Djelantik Santha”.Skripsi untuk Fakultas Sastra.

Ramlan, M. (1987). Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

Suasta, Ida Bagus Made. (2001). “Rasa Basa Basa Bali”. Prosiding. Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V. Denpasar: Fakultas Sastra Unud, Program S2, S3 Linguistik dan Kajian Kebudayaan Unud dan IKIP Negeri Singaraja, 13—16 November 2001.

Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Data. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.