HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 26.4. Nopember 2022: 423-440

Nilai, Hambatan, dan Dampak Sosial dalam Prosesi Perkawinan Adat Sasak di Bayan Kabupaten Lombok Utara

Value, Obstacle and Social Impact on Sasak’s Marriage Processes in Bayan, North Lombok Regency

Sukran Nizar Hilman, Ni Made Novi Suryanti, Muhammad Ilyas Universitas Mataram, Mataram, Indonesia

Email korespondensi: [email protected]; [email protected];

[email protected]

Info Artikel


Abstract

Masuk: 24 September 2022

Revisi: 24 Oktober 2022

Diterima:19 November 2022

Terbit:30 Nopember 2022

Keywords: : custom, values, social, and marriage


This paper discusses the values, barriers, and social impacts of the Sasak Traditional Marriage Procession in Bayan, North Lombok Regency. Data were collected through observation, interviews, and documentation. The theories used are value theory, cultural theory, and social theory. The research findings are (1) Values include: a) mutual cooperation values, b) kinship values, c) solidarity values, d) religious values, e) cultural values, f) spiritual values. (2) The social barriers to implementation the traditional Sasak wedding procession in Bayan, North Lombok include (1) Structural Barriers; which includes (a) differences in social stratification; (b) maintaining the status quo; (c) education level; (d) economic differences (2) Religious Barriers, and (3) Cultural Barriers consisting of (a) vested interests; (b) ethnocentric, (c) cultural differences in society, (d) conventional nature of society. (3) The Social impact of Sasak customary marriage in Bayan consists of (1) assigned status; (2) The existence of new social roles; (3) marginalization, (4) group disorganization; (5) acculturation; (6) decrease in social mobility; (7) cultural colonialization; (8) personality changes.

Abstrak

Kata kunci: adat, nilai, sosial, dan perkawinan

Corresponding Author:

Sukran Nizar Hilman, email:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

22.v26.i04.p11


Makalah ini membahas nilai, hambatan, dan dampak sosial prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Kabupaten Lombok Utara. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teori yang digunakan adalah teori nilai, teori budaya, dan teori sosial. Temuan penelitian adalah (1) Nilai-nilai meliputi: a) nilai gotong-royong, b) nilai kekeluargaan, c) nilai solidaritas, d) nilai religius, e) nilai kultural, f) nilai spiritual. (2) Hambatan-hambatan sosial penyelenggaraan prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Lombok Utara mencakup: (1) Hambatan Struktural; yang mencakup (a) perbedaan stratifikasi sosial ; (b) mempertahankan status quo; (c) tingkat pendidikan; (d) perbedaan ekonomi (2) Hambatan Religi, dan (3) Hambatan Kultural, terdiri atas (a) vested interest; (b) etnosentris, (c) Perbedaan kultur masyarakat, (d) Sifat konvensional masyarakat. (3) Dampak sosial perkawinan adat Sasak di Bayan terdiri atas (1) assigned status; (2) adanya peran sosial baru; (3) Marginalisasi, (4) disorganisasi kelompok; (5) akulturasi; (6) penurunan mobilitas sosial; (7) kolonialisasi budaya; (8) perubahan kepribadian.

PENDAHULUAN

Sebagai daerah otonom baru dengan asuhan lima kecamatan, yakni 1) kecamatan Pemenang, 2) Kecamatan Tanjung, 3) Kecamatan Gangga, 4) Kecamatan Kayangan dan 5) Kecamatan Bayan dengan streotipe/karakter atau kekhasan masing-masing menjadi aset sekaligus dasar pimpinan daerah dalam mengambil setiap kebijakan. Kecamatan Pemenang dikenal sebagai pendongkrak perekonomian berbasis pariwisata oleh karena keberadaan tiga gili; yakni Gili Indah, Gili Meno, dan Gili Terawangan. Di sisi lain, kecamatan Tanjung yang sekaligus ibu kota kabupaten dengan segala keberagaman penduduk yang boleh dikatakan heterogen (Sasak, Bima, Sumbawa, dan Bali). Kecamatan Gangga yang menampilkan corak berbeda dengan Pemenang dan Tanjung; dengan hamparan lahan pertanian padi dan palawija, juga menjadi pertimbangan sendiri bagi pemangku kebijakan. Sedikit berbeda dengan ketiga kecamatan yang disebutkan tadi (Pemenang, Tanjung, dan Gangga); Kayangan dengan pesona tersendiri dalam kaitannya dengan adat (budaya secara umum); terutama desa gumantar yang masih berpegang teguh pada warisan leluhur, juga menjadi sorotan tertentu para pemerhati adat dan budaya. Bayan, adalah kecamatan paling penghujung KLU yang juga dikenal sebagai makro kosmos ke-ADAT-an wilayah Lombok Utara. Betapa tidak, di kecamatan inilah, segala aspek kehidupan manusia harus berbasis pada warisan budaya leluhur. Warisan budaya leluhur yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah tidak lain menyangkut segala tindakan masyarakatnya yang mesti tidak boleh keluar dari “pakem adat”. Hal ini salah dapat dicermati berdasarkan realitas fenomenal (kenyataan) yang ditemui di lapangan.

Dalam hubungannya dengan harmonisasi antara Pemerintah Daerah Lombok Utara dengan keberadaan serta

pengakuan atas masyarakat adat, dibentuklah Majelis Krama Adat Desa pada tahun 2020 yang diinisiasi oleh Bapak Kamardi Arif, SH, yang juga sebagai Ketua Majelis Adat Sasak Paer Daya saat itu dengan niatan awal membantu pemerintah daerah menyelesaikan masalah-masalah hukum yang terjadi di KLU. Dalam proses penggodokan Majelis, agar bisa melaksanakan fungsi itu, diadakan Genu Rasa Siu Angen Sopoq Ate yang artinya secara umum adalah meski seribu keinginan, namun satu hati. Pimpinan Daeran (Bupati KLU saat itu, tahun 2020) adalah Dr.H.Najmul Akhyar, MH, kurang setuju dengan nama Majelis Krama Adat Desa, dan mengusulkan nama Lembaga ini dengan Majelis Krama Desa. Oleh karena Lembaga adat ini, jika boleh dikatakan sebagai Partner atau tandem Pemda dalam menyelesaikan masalah hukum di KLU dan tentunya urusan logistic juga didukung Pemda, maka forum saat itu menyetujui usulan bupati, menjadi Majelis Krama Desa. Sebagai hasil akhir dari proses ini, lahirlah PERDA no 6 tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Mencermati isu sentral dan uraian di atas, yang menarik dari acara proses Aji Krama di setiap desa dan kecamatan yang ada di KLU ternyata berbeda antara satu dengan yang lain. Berdasarkan observasi awal penulis dengan para pengelinsir dan tokoh adat sekaligus praktisi adat di KLU, ternyata ada nilai-nilai (bahasa Sasak Aji) dan kaidah atau aturan (Krama) tersendiri yang terkandung dalam setiap tahapan prosesi pemulangan (perkawinan) di Lombok Utara yang tidak lain merupakan warisan secara turun temurun dari nenek moyang, khususnya di Bayan yang merupakan Makro kosmos Budaya KLU. Di samping nilai, terdapat juga hambatan serta dampak sosial prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan KLU.

METODE DAN TEORI

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang mengacu pada perspektif fenomenologis. Hal itu dilandasi oleh alasan bahwa penelitian ini melihat objeknya dalam konteks tata pikir logis secara natural, bukan parsial dan artificial yang jauh dari konteks kealamiahannya (Alwasilah, 2002:95). Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dalam situasi yang alamiah. Artinya, semua percakapan berlangsung di dalam situasi yang sesungguhnya (Bogdan dan Biklen, 1992:3).

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi dalam hal ini observasi partisipatif (lihat (Wahyu Tianingsih, dkk 2021:243). Wawancara adalah cara mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat yang dilakukan secara lisan melalui percakapan tatap muka dengan seorang informan (Chrisantya Angelita, 2021:251)

Wawancara sebagai salah satu cara pengumpulan data ditempuh dengan mewawancarai subjek dan informan. Subjek kajian ini adalah semua orang yang terlibat dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan KLU. Mereka adalah kedua mempelai, pembayun, kiyai, pengulu adat, saksi nikah, dan kedua orang tua mempelai. Adapun informan kajian ini berasal dari tokoh adat, tokoh agama, dan praktisi adat.

Perkawinan adalah salah satu tujuan utama yang ingin dicapai oleh setiap insan yang ada di planet bumi ini. Perkawinan juga merupakan momentum yang paling ditunggu dan terpenting dalam siklus kehidupan seseorang. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal (1) dinyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pada itu, Walgito (2000:12) mengemukakan bahwa perkawinan merupakan suatu upaya yang dilakukan sepasang makhluk hidup berlawanan jenis untuk memperoleh keturunan dan melestarikan golongannya di muka bumi ini. Seyogianya suatu perkawinan merupakan satu pokok yang terpenting dalam hidup seseorang, karena melalui perkawinan tersebut seseorang akan menjalani fase baru dalam hidupnya.

Selaras dengan pendapat ini, Anisaningtyas dan Astuti (2004:22) mengemukakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan, cinta kasih, kepuasan dan keturunan. Dalam pada itu, Bachtiar (2004:12) berpendapat bahwa tujuan perkawinan itu adalah (1) memperoleh keturunan dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur, (2) mengatur potensi alat reproduksi, (3) menghindari perbuatan yang dilarang agama, (4) menumbuhkan rasa cinta antara pasangan, dan (5) melanjutkan keturunan. Dalam pada itu, Sudarma (2015:159) mengungkapkan bahwa perkawinan sebagai peristiwa yang dikaitkan dengan kewajiban seseorang agar mempunyai keturunan dan menebus dosa-dosa orang tuanya dengan menurunkan seorang putra dambaan .

Sistem perkawinan yang berlaku di Indonesia memiliki varian. Dalam sebuah komunitas yang masih memegang teguh adat, sistem atau pola perkawinan terdiri atas tiga macam, yakni (1) sistem eleutherogami, (2) sistem eksogami, dan (3) sistem endogami. Dalam realitas fenomena kehidupan masyarakat Indonesia, umumnya sistem yang paling sering adalah perkawinan eksogami dan sistem endogami. Endogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, atau kekerabatan dalam lingkungan yang sama. Lebih jelasnya, perkawinan endogami ini adalah perkawinan antar-

kerabat atau perkawinan yang dilakukan antar-sepupu (yang masih memiliki satu keturunan) baik dari pihak ayah sesaudara (patrilineal) atau dari ibu sesaudara (matrilineal). Kaum kerabat boleh menikah dengan saudara sepupunya karena mereka yang terdekat dengan garis utama keturunan dipandang sebagai pengemban tradisi kaum kerabat, perhatian yang besar dicurahkan terhadap silsilah atau genealogi.

Dengan kata lain, perkawinan endogami merupakan suatu sistem perkawinan yang mengharuskan seseorang untuk kawin dengan pasangan hidup yang berasal dari klan yang sama atau semarga dengannya dalam pengertian yang lain, pola perkawinan endogami mengharuskan seseorang untuk kawin dengan orang yang berasal dari klan atau marga yang sama dengan dirinya (Halim,1987: 43). Dalam redaksional yang berbeda, dikemukakan bahwa perkawinan endogami adalah sistem perkawinan yang mengharuskan seseorang menikah atau kawin dengan orang yang berasal dari suku yang sama atau berdasarkan pada garis keturunan (Darussalam dan Lahmuddin, 2018:7).

Berbeda halnya dengan perkawinan endogami yang merupakan suatu pola atau sistem perkawinan yang berdasarkan pada garis keturunan atau kesamaan suku atau kesamaan klan, maka perkawinan eksogami adalah suatu sistem atau pola perkawinan antar-etnis, suku, klan serta kekerabatan yang terjadi dalam komunitas masyarakat pendukung sistem ini (Hasibuan dan Harahap, 2007:127). Dalam pada itu, esensi makna yang sama terkait pola perkawinan ini dikatakan juga bahwa perkawinan eksogami merupakan perkawinan seseorang (laki-laki atau perempuan) dengan seseorang (laki-laki atau perempuan) seluar lingkungan sendiri.

Dengan kata lain, perkawinan eksogami adalah pola perkawinan yang berasal dari lingkungan yang berbeda

(Badudu dan Zain (1994:375). Dalam pada itu, selaras dengan kedua pendapat di atas, dikemukakan juga bahwa perkawinan eksogami adalah perkawinan antar-etnis,klan,suku,kekerabatan di lingkungan yang berbeda (Alam, 2019:170).

  • A.    Budaya

Kebudayaan “cultuur” (bahasa Belanda), “culture” (bahasa Inggris), “tsaqafah” (bahasa Arab), berasal dari perkataan Latin: “Colere” yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat, 1983:181). Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut (Akbar, 2022:51). Dengan kalimat lain, kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif (Soekanto, 2010:150).

Setiap wilayah ataupun daerah memiliki budaya yang berbeda-beda. Budaya memiliki berbagai karakteristik dan juga nilai-nilai. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, budaya merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Sasak setiap harinya. Budaya Sasak ada karena suatu hasil karya dari olah pikiran dan ide-ide masyarakat Sasak. Adapun, budaya yang dimaksud berupa adat, kebiasaan dan bahasa yang terkandung dalam Suku Sasak Lombok Utara. Kebudayaan sebagai hasil dari potensi manusiawi akan terus menerus mewarnai kehidupan kita dalam setiap yang kita lakukan baik dalam cara berfikir, bertindak maupun berperilaku yang kesemuanya disandarkan kepada kebudayaan yang kita pegang selama ini.

Walaupun kebudayaan adalah hasil dari manusia, akan tetapi kebudayaan pun mempunyai pengaruh yang besar terhadap manusia, sehingga kita dapat mendeskriptifkan bahwa hubungan antara kebudayaan dengan manusia merupakan dua elemen yang tidak bisa dipisahkan dan saling berhubungan. (Ruth, 1996:18). Casson, (1981:17) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah sistem makna simbolik (symbolic meaning system), seperti halnya bahasa, kebudayaan adalah sistem semiotik yang memungkinkan simbol-simbol berfungsi mengkomunikasikan maksud dari satu pikiran ke pikiran lainnya.

  • B.    Nilai Sosial

Nilai sosial adalah sesuatu yang berarti (berguna/bermanfaat) yang berkaitan dengan manusia, dan menekankan pada segi kemanusiaan yang luhur serta menimbulkan perilaku yang pada dasarnya rela berkorban. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai yang berkaitan dengan kepentingan anggota masyarakat, bukan nilai yang dianggap penting dalam satu anggota masyarakat sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai suatu ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, sosiologi juga harus memenuhi syarat-syarat ilmiah dalam mempelajari objeknya. Sosiologi sebagai ilmu yang objeknya masyarakat memiliki ciri utama yaitu bersifat empiris, bersifat kumulatif, teoritis, dan lain-lain. Nilai, menurut definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) adalah: 1) sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Contoh: nilai tradisional yang dapat mendorong pembangunan perlu kita kembangkan; 2) sesuatu yang menyempurnakan manusia dengan hakikatnya. Contoh: etika dan nilai berhubungan erat; 3) nilai dalam hubungannya dengan budaya ialah konsep abstrak mengenai masalah dasar

yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia.

Menurut Murrahman (2016) bahwa niali sosial adalah sesuatu yang berguna dan berhaga yang dapat diterima oleh masyarakat yang lahir akibat dari interaksi sosial antara warga masyarakat satu dengan yang lain. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Menurut Murrahman (2016) bahwa nilai-nilai sosial mencakup: nilai gotong royong, nilai kekeluargaan, nilai religius, nilai spiritual, dan nilai kultural.

Menurut Koenjaraningrat (1983) mengartikan bahwa nilai sosial sebagai konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagaian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat penting dalam hidup. Dalam pada itu, Batulante (2010) mengemukakan bahwa nilai sosial adalah konsep-konsep yang sangat umum yang hidup dalam alam pikiran masyarakat yang menjadi acuan bersikap dan bertindak bagi warga penganutnya.

  • C.    Hambatan Sosial

Dalam penelitian ini, hambatan sosial mengarah pada hambatan sosiologis, yaitu hambatan yang terjadi menyangkut status sosial atau stratifikasi sosial (lihat Setianto, 2009:27). Dalam komunitas masyarakat Lombok Utara yang terdiri atas lima kecamatan sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan proposal ini. Status sosial, terlebih lagi stratifikasi sosial masyarakat yang terdiri atas Datu, Raden, Dende, dan seterusnya memiliki Aji Krama yang berbeda jika dibandingkan dengan kalangan masyarakat biasa. Dalam hubungannya dengan hambatan sosial, (Effendy, 2008:19) mengemukakan bahwa hambatan sosiologis merupakan hambatan yang terjadi dalam komunitas masyarakat dalam hubungannya dengan status sosial, agama, ideologi, jenjang

pendidikan, tingkat kekayaan, dan sebagainya. Atas dasar pendapat-pendapat di atas dan kaitannya dengan penelitian penulis yang mengkaji masalah nilai, hambatan, dan dampak sosial dalam prosesi pernikahan adat Sasak di Lombok Utara, maka dapat dikatakan bahwa hambatan sosiologis tidak lain adalah hal-hal yang menjadi penghambat terhadap keberlangsungan pernikahan adat Sasak di Lombok Utara.

Hambatan-hambatan yang dimaksud dapat berwujud perubahan sosial, proses asimilasi, hambatan dalam peristiwa komunikasi,hubungan sosial dan juga aneka ragam hambatan-hambatan yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu pula. Dalam hubungannya dengan hambatan-hambatan inilah, Soekanto mengungkapkan bahwa dalam proses asimilasi sering didapati beberapa hambatan berwujud perasaan menganggap budaya golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi dibandingkan dengan golongan atau kelompok lainnya yang terkadang dipengaruhi oleh faktor perbedaan kepentingan ( Soekanto, 2012:78-80).

  • D.    Dampak Sosial

Dampak itu sendiri menyiratkan pengaruh atau efek pada hampir semua hal, mengingat konteksnya. Namun, dampak sosial didasarkan pada pengaruhnya terhadap tantangan sosial yang mendesak". Dalam pada itu, Hogg dan Tindale (2008:239) menyatakan bahwa dampak sosial merupakan dari kekuatan sosial termasuk kekuatan sumber dampak, kesegeraan kejadian, dan jumlah sumber dampak. Lebih lanjut, Hogg dan Tindale menyatakan dampak sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni dampak primer dan dampak sekunder. Dampak primer adalah dampak yang dirasakan langsung (direct) oleh masyarakat sedangkan dampak sekunder adalah dampak yang tidak dirasakan

secara langsung (indirect) oleh masyarakat.

Berdasarkan pendapat pakar dan arti yang terkandung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapatkah disimpulkan bahwa dampak sosial adalah suatu bentuk akibat atau konsekuensi logis atau pengaruh (effect) yang ditimbulkan karena adanya fenomena yang berpengaruh dalam lingkungan sosial kemasyarakatan baik positif maupun negatif. Dalam hubungannya dengan penelitian mengenai nilai sosial dalam prosesi pernikahan adat Sasak di Lombok Utara, maka pengaruh itu juga akan berdampak pada masyarakat Bayan; baik dampak positif (nilai-nilai sosio-kultural) dan dampak negatif (dalam hubungannya dengan perkembangan zaman terutama kemajuan teknologi.

HASIL PENELITIAN

Dalam tradisi masyarakat Sasak Bayan di Lombok Utara, ada beberapa sistem perkawinan yang bisa dilakukan. Pertama, Serah Pati Nenda Urip yang berarti bahwa seorang laki-laki menyerahkan diri sepenuhnya pada pihak keluarga perempuan. Biasanya ini dilakukan oleh seorang laki-laki yang berasal dari keluarga tidak mampu. Dengan kata lain, laki-laki menyerahkan diri ke pihak keluarga perempuan disebabkan karena dia tidak memiliki kemampuan untuk membayar Aji Krama maupun membiayai pesat (gawe) perkawinan. Dalam prosesnya, laki-laki tersebut akan datang sendirian ke rumah keluarga perempuan dengan membawa selembar tikar, sebuah bantal, dan sebelah keris. Dia datang dengan mengungkapkan maksud bahwa kedatangannya untuk meminang atau menikahi gadis yang berasal dari keluarga perempuan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada pihak keluarga perempuan. Jika permintaan tersebut ditolak, si laki-laki meminta atau bersedia di bunuh dengan keris yang dibawanya

itu. Sistem ini dikenal dengan di ketiga Wet adat.

Kedua, menyopoq yang berasal dari kata sopoq yang berarti satu. Menyopoq dalam pengertian menjadi satu atau proses menyatukan kedua belah pihak, yakni pihak laki-laki dan pihak perempuan. Dalam bahasa Indonesia, padanan kata menyopoq ini adalah "dijodohkan". Berdasarkan wawancara dengan nara sumber (Pak Rianom) bahwa perkawinan seperti ini pada umumnya terjadi pada lingkungan keluarga dekat. Artinya, laki-laki dan perempuan (kedua calon pengantin) memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan, kendati antara si laki-laki dan perempuan belum saling mengenal disebabkan faktor geografis tempat tinggal. Namun demikian, hal yang perlu ditegaskan di sini adalah sistem pernikahan menyopoq akan dilakukan setelah laki-laki dan perempuan setuju dijadikan pasangan hidup dan menjadi sebuah keluarga serta sekaligus menjadi penerus garis keturunan atau kekerabatan keluarga besar kedua belah pihak.

Ketiga, memadik/melakoq. Dalam bahasa Indonesia, kata melakoq sepadan dengan kata melamar. Mekanisme sistem perkawinan melakoq ini dengan cara laki-laki didampingi keluarga dan kepala dusun mendatangi keluarga perempuan disertai membawa berupa penandoq. Penandoq ini terdiri atas perhiasan, pakaian, aneka kue, dan buah-buahan. Setiba di rumah keluarga calon mempelai perempuan, calon mempelai laki-laki mengungkapkan maksud atau tujuan kedatangan mereka. Penyampaian maksud ini dilakukan oleh keluarga atau kadang waria pihak laki-laki. Jika penyampaian maksud ini diterima atau disetuji oleh pihak keluarga perempuan dan khususnya calon mempelai perempuan, maka tahapan selanjutnya adalah menyepakati jadwal kedatangan kedua untuk menetapkan masalah Aji Krama serta waktu pelaksanaan akad

nikah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak keluarga laki-laki dan perempuan.

Keempat, serah diriq. Sistem atau pola pernikahan serah diriq ini terjadi jika kedua belah pihak, yakni calon mempelai laki-laki dan perempuan menyerahkan diri (mereka) ke keluarga masing-masing dalam pengertian bahwa pihak keluarga laki-laki akan datang ke pihak keluarga perempuan dan sebaliknya, pihak keluarga perempuan juga akan mendatangi pihak keluarga laki-laki menuju sebuah kesepakatan bersama. Dalam pola perkawinan seperti ini, pihak laki-laki tidak akan dikenakan Aji Krama maupun denda adat lainnya. Pola ini dikenal di wet atau Dusun Sesait kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.

Selaras dengan isu sentral yang dikaji dalam artikel ini, yakni ihwal nilai-nilai, hambatan, dan dampak sosial dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Kabupaten Lombok Utara, maka berikut ini akan diuraikan hasil penelitian yang dimaksud.

  • A.    Nilai-Nilai Sosial Dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Kabupaten Lombok Utara

Berdasarkan pada data yang dikumpulkan di lapangan melalui observasi dan wawancara dengan subjek dan informan, maka nilai-nilai sosial yang terkandung dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Kabupaten Lombok Utara adalah sebagai berikut.

  • (1)    Nilai Gotong Royong. Nilai gotong royong merupakan latar belakang segala aktivitas warga sedesa yang dikarenakan adanya jiwa sama rata sama rasa dan jiwa sama tinggi sama rendah). Salah satu kegiatan atau tahapan     menjelang     proses

menggibung adalah bisoq meniq yang jika diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia berarti cuci beras. Kegiatan bisoq meniq ini dilakukan pada malam hari oleh sekelompok masyarakat dengan membawa beras yang berjalan kaki menuju sungai yang dipimpin oleh inan meniq atau inan beras yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kata ibu beras.

Fenomena menarik yang dapat dicermati dari proses cuci beras ini adalah bahwa inan beras berjalan paling depan saat menuju sungai dan setelah cuci beras selesai, inan beras harus berjalan atau berada di paling belakang. Tampak jelas sikap kegotongroyongan masyarakat yang melakukan aktivitas yang dimaksud. Nilai sosial (budaya) gotong royong adalah salah satu nilai yang terkandung di dalam kegiatan ini. Jadi, sesuai dengan pernyataan Batulante (2010) bahwa nilai gotong-royong merupakan latar belakang segala aktivitas warga sedesa yang dikarenakan adanya jiwa sama rata sama rasa dan jiwa sama tinggi sama rendah.

  • (2)    Nilai      Kekeluargaan.      Nilai

kekeluargaan merupakan prinsip dan keyakinan mendasar yang memandu dan menentukan bagaimana anggota rumah berfungsi dan berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Lombok Utara, setiap rangkaian tahapannya mengandung pesan-pesan luhur dari leluhur Sasak, khsuusnya di Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara. Nilai kekeluargaan adalah suatu sistem, sikap, dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai kekeluargaan juga merupakan suatu pedoman bagi perkembangan norma dan peraturan yang terdapat dalam lingkungan keluarga.

Salah satu tahapan prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan dikenal dengan ngelewaq. Dalam tahapan ngelewaq ini, kedua pengantin     beserta     keluarga

mendatangi    rumah    pengantin

perempuan. Kedatangan mereka tentunya      sudah      disepakati

sebelumnya agar orang tua pengantin perempuan mengumpulkan semua keluarga besar (biasanya mereka dalam menyambut   kedatangan

pengantin. Namun,   kedatangan

pengantin kali ini tidak seramai saat nyongkolang.

Momen ngelewaq ini tiada lain bertujuan silaturrahim kepada keluarga perempuan sekaligus mempersatukan anggota keluarga dalam satu ikatan keluarga besar. Dalam pada itu, dari pihak pengantin perempuan, tahapan ngelewaq ini merupakan pertemuan khusus bagi pengantian perempuan karena sekian lama tidak berjumpa dengan keluarganya dikarenakan harus menjalani beberapa tahapan prosesi. Di samping itu, acara ngelewaq ini juga sekaligus sebagai media untuk saling memaafkan atas segala salah dan khilaf yang terjadi antara pengantin laki-laki dengan mertua selama masa pacaran dahulu kala. Pesan yang amat sangat luhur telah ditanamkan oleh neneq moyang Sasak melalui tahapan perkawinan yang dikenal dengan ngelewaq ini.

  • (3)    Nilai Solidaritas. Nilai solidaritas merupakan kesadaran bersama atau kebersamaan masyarakat dalam mempersiapkan semua perhelatan dalam tahapan pesta perkawinan Suku Sasak di Bayan. Salah satu tahapan prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan adalah nyongkolang. Dalam tahapan ini, nilai solidaritas tampak dalam tahapan prosesi nyongkolang. Solidaritas merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh

manusia dalam kaitannya dengan ungkapan perasaan manusia atas rasa senasib dan sepenanggungan terhadap orang lain maupun kelompok. Makna solidaritas dekat dengan makna rasa simpati dan empati karena didasarkan atas rasa kepedulian terhadap orang lain maupun kelompok. Pembedanya, rasa solidaritas ini tumbuh di dalam diri manusia karena adanya rasa kebersamaan dalam kurun waktu tertentu. Rasa solidaritas erat kaitannya dengan rasa harga diri seseorang maupun harga diri kelompok. Rasa solidaritas yang tumbuh di dalam diri manusia untuk kelangsungan hubungannya dengan orang lain maupun kelompoknya dapat menjadikan rasa persatuan yang dimiliki menjadi lebih kuat dan mantap. Rasa solidaritas yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain maupun kelompoknya adalah suatu bentuk ungkapan dari penerapan pancasila.

Jadi, sesuai dengan pernyataan Batulante (2010) bahwa solidaritas sosial adalah keadaan saling percaya antar-kelompok atau komunitas. Jika orang saling percaya mereka akan menjadi       sahabat,       saling

menghormati, menjadi saling bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan bersama.

  • (4)    Nilai Religius. Ketika manusia menilai sesuatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan; di mana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang maha gaib; maka manusia mengenal nilai religius atau nilai agama. Dalam salah satu tahapan prosesi perkawinan adat Sasak Bayan, yakni yang dikenal dengan Sorong Serah Aji Krama. Setalah tahapan Sorong Serah Aji Krama ini, satu tahapan lagi dikenal dengan menggibung.

Pesan tersembunyi di balik acara menggibung juga adalah berbagi antar-sesama. Fakta empirisnya bahwa seluruh partisipan atau masyarakat yang terlibat dalam acara prosesi perkawinan berasal dari kalangan yang berbeda. Ada tokoh adat, pembekel adat, kiyai, pengulu, kerabat kedua mempelai, tamu undangan, serta para janda dan anak yatim yang hadir dalam acara tersebut. Secara tegas dapat dikemukakan di sini bahwa dari kegiatan menggibung ini, leluhur telah berpesan kepada para generasi Sasak khususnya di Bayan Kabupaten Lombok Utara bahwa berbagi itu adalah perilaku mulia, yang dalam terminologi ajaran Islam dapat dipadankan dengan kata sadaqah.

  • (5)    Nilai Kultural (Etika dan Moral). Upacara tradisional merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Maka pelaksanaannya sangat penting artinya bagi pembinaan sosial budaya      masyarakat      yang

bersangkutan.

Nilai etika yang dapat dicermati dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Lombok Utara ini adalah saat pembayun (duta) dari kalangan keluarga calon pengantin laki-laki diutus oleh kepala dusun dalam melaksanakan tahaoan selabar. Cuplikan data berikut adalah bentuk nilai etika dalam wujud kesopanan berbahasa.

"Perlu kula kaji tiang siq parek pedeq kon arepan pelungguh sami, kula kaji tiang tepadikayang isiq kaping siki keliang (menyebut nama kepala dusun pihak calon mempelai laki-laki)     meradangan     bijan

pelungguh isiq aran (menyebut nama calon mempelai wanita) tebait isiq (menyebut nama calon mempelai laki-laki); tingkahnya membait isiq

jari rabi utawi jari kurnan saking dunia rauh ing akherat" (Perlu saya ke sini di hadapan Anda semua, saya diperintah oleh kepala dusun yang bernama…dari pihak calon mempelai laki-laki memusyawarahkan anak Anda yang bernama…(nama calon mempelai wanita) atas tingkah mengambilnya sebagai istri atau pendamping dari dunia sampai akhirat)

Kata kula, kaji, dan tiang adalah tiga kata yang berbeda namun memiliki satu makna, yakni saya. Catat bahwa kata kula, digunakan khusus untuk sapaan kepada orang Sasak yang memiliki stratifikasi sosial tertinggi. Kata kula ini dikhususkan untuk menyapa bangsawan Sasak yang bergelar Datu. Adapun kata kaji, digunakan khusus untuk sapaan kepada orang Sasak yang memiliki stratifikasi sosial kedua. Kata kaji ini dikhususkan untuk menyapa bangsawan Sasak yang bergelar Raden. Kata tiang, digunakan khusus untuk sapaan kepada orang Sasak yang memiliki stratifikasi sosial terendah. Kata tiang ini dikhususkan untuk menyapa bangsawan Sasak yang bergelar perwangsa.

Secara umum, pengertian nilai moral adalah nilai-nilai yang berkorelasi dengan tindakan atau perbuatan baik dan buruk yang menjadi pedoman kehidupan manusia secara umum dalam komunitas atau masyarakat. Pendapat lain menyebutkan nilai moral adalah nilai-nilai yang dapat memotivasi manusia untuk bertindak atau melakukan sesuatu, dan merupakan sumber motivasi. Dengan kata lain, nilai moral cenderung mengatur dan membatasi tindakan kita di dalam kehidupan sehari-hari Dalam pelaksanaannya, hal ini dapat ditinjau dari kaidah sosial masyarakat dimana akan terlihat mana yang baik dan mana yang

buruk. Dalam hubungannya dengan nilai moral dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Lombok Utara, nilai ini tampak dalam tahapan selabar. Selabar adalah kegiatan memberikan informasi kepada pihak keluarga perempuan bahwa seorang anak gadisnya telah berada di rumah seorang laki-laki atau kerabat calon suaminya. Kegiatan selabar ini harus disampaikan oleh utusan perwakilan keluarga pihak laki-laki yang telah ditunjuk. Dalam pola perkawinan adat Sasak, biasanya selabar ini dilakukan oleh seorang pembayun (duta) yang diutuas oleh kepala dusun dari pihak calon pengantin laki-laki.

Dengan kata lain, selabar merupakan proses meminta restu atau persetujuan orang tua, kerabat dekat (dalam masyarakat Bayan Kabupaten Lombok Utara disebut kadang waris, disebut juga kadang jari). Tradisi selabar ini merupakan tradisi berkomunikasi dua arah antara kedua belah pihak. Intinya, bahwa pihak keluarga calon pengantin laki-laki memberitahukan kepada pihak keluarga calon pengantin wanita bahwa anak gadis mereka telah diambil oleh laki-laki (pacarnya) untuk dijadikan istri atau pasangan hidup. Nilai moral dalam wujud konkretnya adalah kejujuran menjadi pesan utama di balik tahapan selabar ini.

  • (6)    Nilai Spritual. Dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci. Nilai-nilai semacam ini, terdiri atas nilai-nilai keimanan atau keyakinan pribadi. Nilai spiritual ini terkandung dalam tahapan yang dikenal dengan Sorong Serah Aji Krama. Pada tahapan ini, ada keselarasan antara sifat kepemimpinan duniawi dengan tingkat spiritual, utamanya yang

berhubungan dengan kerohanian. Tingkat kerohanian ini didapatkan melalui serangkaian sikap, perilaku, dan ibadah lainnya. Misalnya harus selalu menjaga ucapan/mulut atau lidah dari menghujat, mengumpat, memfitnah, menggunjing, dan ucapan lain yang dapat menyakiti hati dan menyinggung perasaan sesama manusia.

  • B.    Hambatan Sosial Dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Kabupaten Lombok Utara

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan hasil analisis pembahasan yang dilakukan di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, ditemukan bahwa hambatan sosial dalam prosesi perkawinan adat Sasak terdiri atas: 1) hambatan struktural, 2) hambatan religius, dan 3) hambatan kultural.

  • 1.    Hambatan Struktural

  • (a)    Perbedaan stratifikasi sosial

Sistem pelapisan sosial tradisional masyarakat berasaskan tri wangsa. Asas tri wangsa (asas tiga keturunan) pada masyarakat suku Sasak umumnya terdiri atas :  (1) tingkat tertinggi, yang

termasuk di dalamnya Raden atau Datu. Strata tertinggi ini biasanya disebut Raden atau Dadune bagi kaum laki-laki dan Dende untuk kaum perempuan. (2) tingkat perdana, yang termasuk di dalamnya Permenak dan Perbaba. Sedangkan kaum perempuan dari strata kedua ini sering disebut Lalu atau Baiq dan jika ketika sudah menikah sering disebut Mamiq dan Bini. (3) tingkat kaula yang terdiri atas Jajar Karang dan Panjak Pinang (hamba sahaya). Masyarkat ini sering dipanggil loq untuk laki-laki dan laq untuk perempuan yang belum kawin. Dan jika telah kawin maka akan dipanggil amaq untuk laki-laki dan

inaq untuk perempuan. Penetapan pelapisan sosial berdasarkan keturunan ini kemudian diaplikasikan pada tatanan yang normatif yang disebut Aji Krama. Aji Krama terdiri dari dua suku kata yaitu Aji dan Krama. Aji berarti harga atau nilai sedangkan Krama berarti suci atau terkadang berarti daerah atau kesatuan penduduk dalam wilayah adat. Dengan demikian, Aji Krama berarti lambang adat atau nilai suci dari suatu strata sosial adat Sasak berdasarkan wilayah adatnya.

  • (b)    Mempertahankan status quo

Penetapan pelapisan sosial berdasarkan keturunan dalam masyarakat Bayan KLU diaplikasikan pada tatanan yang normatif yang disebut Aji Krama. Aji Krama terdiri dari dua suku kata yaitu Aji dan Krama. Aji berarti harga atau nilai sedangkan Krama berarti suci atau terkadang berarti daerah atau kesatuan penduduk dalam wilayah adat. Dengan demikian, Aji Krama berarti lambang adat atau nilai suci dari suatu strata sosial adat Sasak berdasarkan wilayah adatnya.

  • (c)    Tingkat Pendidikan

Sebagaimana penuturan subjek dan informan penelitian bahwa salah satu hambatan perkawinan adat Sasak di Bayan adalah adanya kesenjangan dalam pendidikan. Suatui fakta empiris terjadi bahwa orang tua calon pengantin Wanita mengambil Kembali anaknya yang telah melewati masa persembunyian di rumah keluarga pihak laki-laki. Ketidaksetujuan pihak keluarga perempuan ini disebabkan oleh terlalu jauhnya kesenjangan Pendidikan antara anaknya dengan laki-laki yang telah mengambil anaknya tersebut.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh kajian yang dilakukan oleh Ratih ( 2021:272) yang mengungkapkan bahwa perkawinan beda wangsa yang dilakukan seseorsng juga dipengaruhi oleh tingkat Pendidikan. Gagasan selaras juga dikemukakan oleh

Qitbyah (2014:54) yang melaporkan bahwa tingkat Pendidikan remaja menjadi faktor dalam menentukan usia kawin pertama, makin rendah tingkat pendidikannya, makin memotivasi seseorang untuk melakukan perkawinan

  • (d)    Perbedaan ekonomi

Berdasarkan data yang didapatkan dari subjek dan informan penelitian, bahwa pihak keluaga calon mempelai Wanita pernah membatalkan perkawinan anaknya karena laki-laki yang akan menjadi calon menantunya seorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tampak jelas bahwa alasan di balik tindakan orang tua calon mempelai Wanita adalah faktor ekonomi.

  • 2.    Hambatan Religi

Ungkapan lama mengatakan "jodoh di tangan Tuhan", ditambah lagi dengan ungkapan "Cinta itu Buta". Tampaknya kedua ungkapan ini ditemukan juga dalam realitas fenomenal. Betapa tidak, dua sejoli yang menjalin hubungan tanpa pernah memperdulikan agama masing-masing. Ini adalah kenyataan karena berdasarkan pada penuturan subjek dan informan penelitian. Hubungan mereka bukan didasari atas perbedaan kasta, namun agama semata-mata. Selama mereka menjalin hubungan, kedua belah pihak keluarga tidak pernah mengetahui. Ketika hubungan mereka akan diputuskan ke jenjang perkawinan, maka permasalahan pun terjadi oleh karena keduanya berasal dari agama yang berbeda. Tidak mungkin bagi salah satu pasangan yang beragama non-Islam akan mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahapan prosesi kawin adat maupun kawin secara agama.

  • 3.    Hambatan Kultural

Hambatan kultural yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah segala sesuatu

yang ada hubungannya dengan kultur masuarakat Bayan dan menjadi hambatan penyelenggaraan prosesi perkawinan adat di Bayan KLU.

  • (a)    Vested interest (Kepentingan-

Kepentingan yang Tertanam Kuat)

Dalam kehidupan masyarakat Bayan yang masih tradisional, masih ditemuhkan adanya kepentingan-kepentingan yang terpatri kuat. Kepentingan ini bersifat kuat, mengakar, dan mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kondisi tertentu atau atas fenomena sosial yang terjadi. Golongan ini sukar sekali melepas kedudukannya, kekuasaan, atau pengaruhnya dikarenakan mereka sudah berada dalam posisi nyaman sehingga perubahan yang terjadi dianggap sebagai ancaman terhadap keberadaan mereka.

  • (b)    Etnosentrisme

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masih terdapat beberapa pihak yang terkesan fanatik. Sikap ini masih tertanam pada sebagian mereka yang tergolong ke dalam bangsawan, yang bergelar Datu, Raden, Dende, Baiq dan seterusnya. Mereka yang menganggap diri "lebih" jika dibandingkan dengan orang-orang Sasak biasa sampai hari ini memiliki cara-cara berbeda; terutama dalam     penyelenggaraan     prosesi

perkawinan adat Sasak.

Perbedaan ini tampak dari jumlah atau besaran mahar dan mas kawin atau Aji krama, sehingga merupakan suatu keniscayaan jika salah satu anggota komunitas mereka yang akan kawin dengan orang biasa dikenakan dengan Aji krama yang sangat mahal dikarenakan derajat serta martabat mereka "lebih" jika dibandingkan dengan orang Sasak biasa.

  • (c)    Perbedaan Kultur Masyarakat Penyelenggaraan prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Kabupaten Lombok Utara tidak selamanya dapat

dilangsungkan sesuai keinginan. Betapa tidak, jika pasangan calon pengantin berasal dari latar belakang budaya (kultur) yang berbeda; maka perbedaan ini menjadi salah satu penghambat perkawinan. Sebagaimana data yang didapatkan berdasarkan wawancara dengan subjek penelitian, bahwa ketika calon mempelai laki-laki bukan dari Bayan; maka tentu sang istri harus mengikuti budaya calon suaminya; termasuk tata cara perkawinannya.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh kajian yang dilakukan oleh Harahap (2016:6) yang mengungkapkan bahwa keanekaragaman budaya merupakan simbol perbedaan kultur. Budaya tidak bisa dipahami sebagai suatu hukum kebiasaan belaka. Keragaman makna yang terwujud dalam budaya merentang dari cita rasa makanan, desain arsitektur, gaya berbusana, bertutur dengan dialek tertentu, serta berbagai pernik seremonial. Kultur itu sendiri adalah seperangkat sikap, perilaku dan simbol yang dianut oleh satu kelompok orang dan biasanya dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.9 Adat mendapatkan kesahihannya dari masa lampau, yaitu masa ketika nenek moyang membangun pranata yang berlaku tanpa batas waktu

  • (d)    Sifat Masyarakat yang Konvensional Sikap masyarakat yang masih tradisional dan sangat konvensional tentunya bisa dipahami sebagai suatu realitas fenomenal yang memiliki pegangan atau filosofi tersendiri. Berdasarkan subjek 8 (Sutiasip) dan informan 5 (Karianom) bahwa masyarakat adat yang ada di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara tidak lain adalah pewaris atau penerus para leluhur mereka yang telah mewariskan hal-hal yang berkaitan dengan perilaku sosial keseharian. Termasuk segenap tata cara atau adat perkawinan Bayan adalah warisan lelhur

yang tidak boleh diubah atau dilanggar oleh warga masyarakat adat Bayan.

Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Syafrudin (2013) yang mengungkapkan bahwa sikap tradisional dan terbelakang suatu komunitas masyarakat dapat menjadi penghambat proses perubahan sosial karena masih menganut sistem tradisional yang sulit diubah.

  • C.    Dampak Sosial Dalam prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan Kabupaten Lombok Utara

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara bahwa dampak sosial prosesi perkawinan adat Sasak adalah sebagai berikut.

  • (a)    Assigned status (status sosial yang disematkan oleh orang lain)

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan yang bersumber dari wawancara dengan subjek penelitian bahwa seseorang bisa memiliki status sosial baru jika kondisi sosial yang terjadi dipicu oleh kesepakatan masyarakat adat; terutama hubungannya dengan perkawinan beda kasta atau perkawinan antara golongan bangsawan dan golongan bangsawan. Jika seorang laki-laki bangsawan memperistrikan seorang Wanita dari golongan perdana (menengah); maka sang wanita ini nanti akan mendapatkan status baru sesuai dengan kesepakatan yang ada dalam komunitas tersebut. Temuan ini selaras dengan Rudita (2015); Setiadi dan Kolip (2013:434) yang mengemukakan bahwa assigned status merupakan status sosial yang diperoleh seseorang atau sekelompok orang dari pemberian. Akan tetapi, status sosial pemberian ini sebenarnya juga tidak luput dari usaha-usaha seseorang atau sekelompok orang sehingga memperoleh status tersebut. Lebih lanjut, mereka mengemukakan bahwa mobilitas sosial naik (social

climbing mobility) merupakan masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan sosial lebih rendah ke posisi atau kedudukan sosial yang lebih tinggi.

  • (b)    Adanya peran sosial baru

Beradasarkan data yang dikumpulkan di lapangan bahwa dapatlah dipahami di sini bahwa seseorang; baik laki-laki maupun perempuan bisa memainkan peran baru sesuai dengan kondisi sosial yang ada dalam komunitas masyarakat adat. Kondisi sosial yang tercipta atas dasar stratifikasi sosial atau kebangsawanan menyediakan peran tersebut sepanjang diselesaikan secara adat. Di Bayan, terdapat dua puluh empat masyarakat adat dan setiap masyarakat adat memiliki kondisi sosial tertentu. Kondisi sosial ini dipengaruhi oleh wilayah adat masing-masing komunitas masyarakat adat. Jika dalam suatu perkawinan beda wilayah adat dan dapat dipenuhi mahar sebagaimana ditetapkan dalam aji krama perkawinan, maka seorang istri atau suami yang telah dikawinkan secara adat dapat memiliki peran sosial baru.

  • (c)    Marginalisasi

Marginalisasi sebagai salah satu dampak sosial bagi setiap anggota masyarakat adat yang tidak melaksanakan perkawinan secara adat. Bagi warga masyarakat atau anggota kelompok masyarakat adat yang dimarginalisasikan tidak akan mendapatkan pelayanan masyarakat adat jika suatu hari nanti mendapatkan musibah kematian salah satu anggota keluarganya. Mereka diabaikan, bahkan dikucilkan oleh kelompok masyarakat adat yang ada di wilayah adat itu. Bagi mereka yang telah dianggap tidak melaksanakan ketentuan adat perkawinan, maka seluruh fasilitas-fasilitas yang merupakan milik masyarakat adat tidak akan diberikan kepada mereka. Dengan demikian, marginalisasi sosial adalah proses

keterbatasan interaksi atau hubungan pada seorang individu atau kelompok tertentu dalam masyarakat, yang mana menyebabkan hilangnya kesempatan dan hak untuk bisa bersosialisasi ataupun melaksanakan berbagai aktivitas sosial pada umumnya.

  • (d)    Disorganisasi kelompok

Perbedaan wilayah adat tentu juga memiliki kesepakatan-kesepakatan yang tidak sama dengan kelompok masyarakat adat lainnya. Berdasarkan keterangan subjek dan informan penelitian, bahwa di Bayan terdapat dua wilayah; yakni wilayah adat Timur dan wilayah adat Barat. Wilayah adat Barat memiliki awig-awig tersendiri terkait dengan pola perkawinan adat, begitu pula dengan wilayah adat Timur, yang juga memiliki awig-awig tersendiri. Ketika perkawinan terjadi, di mana pasangan itu berasal dari wilayah Timur dan wilayah Barat, maka tentunya penyelesaian perkawinan tidak boleh diselesaikan hanya dengan awig-awig salah satu wilayah saja. Namun, jika calon mempelai Wanita berasal dari wilayah Timur, maka tentunya hal ini sering menjadi pemicu perdebatan karena menurut keterangan subjek dan informan peneltian bahwa mahar atau aji kramanya lebih mahal jika dibandingkan dengan mahar yang ada di kelompok masyarakat adat di wilayah Barat. Atas dasar perbedaan kedua wilayah adat ini, tidak jarang menimbulkan perselisihan ketika dalam menentukan besaran aji krama atau mahar perkawinan. Oleh karena perbedaan ini pula lah, maka perdebatan yang berakhir dengan keretakan hubungan dua kelompok masyarakat adat yang berbeda tidak bisa dihindari.

  • (e)    Akulturasi

Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu subjek penelitian (Rn) bahwa dalam komunitas masyarakat Bayan Lombok Utara terdiri atas tiga lapisan masyarakat (tri wangsa); 1) Masyarakat golongan

Bangsawan 2) Masyarakat golongan perdana, dan 3) masyarakat golongan biasa. Dalam kenyataannya, telah terjadi perkawinan silang antara golongan bangsawan dan golongan non-bangsawan. Jika keluarga bangsawan terlalu fanatik dengan kekastaan atau kebangsawanannya, maka itu akan menjadi hambatan dalam penyelenggaraan prosesi perkawinan adat Sasak. Sebaliknya, jika mereka menerima anggota keluarga baru yang diambil oleh anak mereka untuk dijadikan istri, maka terjadilah penerimaan dan sebuah toleransi terhadap sikap anak dan pasangan anak mereka.

  • (f)    Penurunan mobilitas sosial (social sinking mobility)

Kondisi sosial masyarakat bukanlah sesuatu yang maton atau tidak bisa berubah. Perubahan kondisi sosial yang dimaksud disebabkan ooleh factor; baik yang berasal dari dalam masyarakat sendiri dan faktor yang berasal dari luar masyarakat. Hal yang sama terjadi dalam perkawinan adat Sasak di Bayan. Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan (penuturan subjek NKr) bahwa jika dua pasangan yang menikah berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dalam hal ini kasta tinggi dan kasta biasa; maka sebagai dampaknya bahwa yang memiliki kasta lebih tinggi harus siap menerima resiko mengalami penurunan grade oleh karena telah menikah dengan kasta biasa. Hasil penelitian ini didukung oleh kajian Ratih (2021:287) yang menyatakan bahwa mobilitas sosial mengalami penurunan atau turunnya derajat sekelompok individu dari suatu derajat atau posisi yang tinggi ke posisi atau kedudukan yang lebih rendah. Gagasan yang selaras dikemukakan oleh Depari (2021) yang menyatakan bahwa kematangan sosial-ekonomi dalam perkawinan sangat diperlukan karena merupakan penyangga dalam memutarkan roda kehidupan keluarga

sebagai akibat perkawinan. Pada umumnya usia yang masih muda belum memiliki pegangan dalam hal sosial-ekonomi, sehingga pada akhirnya hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi.

  • (g)    Kolonialisasi Budaya

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan yang bersumber dari wawancara dengan subjek penelitian dan juga informan (subjek 2 dan informan 4); terdapat kelompok-kelompok yang menanamkan nilai-nilai tertentu yang diyakini berdasarkan pada yang yang telah menjadi doktrin mereka sendiri, seperti (1) ketika dua orang melakukan perkawinan; mereka harus dikawinkan secara adat Bayan Lombok Utara. Padahal, sejatinya jodoh adalah urusan Tuhan atau garis nasib setiap manusia tidaklah sama. (2) Jika salah satu warga Bayan, terutama laki-lakinya berasal dari Bayan dan calon istrinya berasal dari luar Bayan, maka perkawinan secara adat Bayan harus dilakukan mengingat posisi laki-laki lebih dominan jika dibandingkan dengan kedudukan perempuan. Hal ini didasari pertimbangan bahwa sang istri harus mengikuti suami; termasuk dengan lokasi tempat mereka akan tinggal setelah menjadi suami-istri. (3) Dalam struktur atau stratifikasi sosial masyarakat yang termasuk ke dalam golongan bangsawan harus menikah atau mengawini sesame bangsawan dan jika hal ini tidak dilakukan; maka sanski akan diberikan bahkan bisa tidak dianggap lagi menjadi bagian dari kelompok bangsawan. (4) Meskipun kedua pasangan pengantin sudah dikawinkan secara agama, mereka harus dikawinkan lagi secara adat dan jika mereka tidak melakukan perkawinan secara adat, maka mereka akan menerima sanski dari kelompoknya.

  • (h)    Perubahan Kepribadian

Berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan melalui observasi dan wawancara dengan subjek dan informan penelitian; beberapa pasangan yang telah dikawinkan secara adat Sasak Bayan (terutama istri yang bukan dari etnis Sasak atau Bayan) mengalami perubahan kepribadian. Situasi ini tampak ketika prosesi bisoq nae ‘ritual mencuci kaki calon suami’ sebagai wujud kesetiaan dan wujud kebaktian sang istri kepada suami selaku pemimpin rumah tangga. Kepribadian berubah, dia menjadi lebih hormat dan bakri kepada suaminya setelah menjalani prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan.

Temuan di lapangan ini diperkuat oleh pendapat Putri (2018) menyatakan dampak sosial memiliki dua karakter yaitu bersifat positif dan negatif, misalnya yang sering kita ketahui yakni manifestasi mempunyai sebuah kecenderungan harapan yang diinginkan dari proses sosial yang terjadi, sedangkan latensi sebagai bentuk yang tidak diharapkan tetapi secara alamiah selalu menyertai atau muncul.

Demikianlah hal-hal yang dapat dideskripsikan terkait dengan nilai-nilai, hambatan, dan dampak sosial yang terkandung dalam prosesi perkawinan adat Sasak Bayan di Kabupaten Lombok Utara. Nilai-nilai yang dimaksud merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kesesuaian antara harapan dan tujuan hidup manusia dalam komunitas yang dikenal dengan masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikemukakan di sini bahwa segenap rangkain tahapan prosesi perkawinan adat Sasak, pada hakikatnya merupakan kolaborasi antara nilai sosial dan nilai kultural. Dalam pada itu, hambatan sosial dan juga dampak sosial yang muncul akibat penyelenggaraan prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan juga memiliki pengaruh signifikan terhadap kelangsungan komunitas masyarakat Bayan, terutama

keberlangsungan masyarakat adat di Bayan.

Nilai sosial adalah sesuatu yang berarti (berguna/bermanfaat) yang berkaitan dengan manusia, dan menekankan pada segi kemanusiaan yang luhur serta menimbulkan perilaku yang pada dasarnya rela berkorban. Di sisi lain, situasi sosial juga terjadi yang sekaligus menjadi penghambat penyelenggaraan perkawinan adat Sasak di Bayan. Juga, suatu keniscayaan bahwa penyelenggaraan prosesi perkawinan adat Sasak memiliki dampak sosial yang juga merupakan realitas atau fakta sosial yang kian menarik untuk diteliti.

SIMPULAN

Berdasarkan pada data yang dikumpulkan serta analisis sebagaimana ternyatakan pada bagian pembahasan; maka kajian tentang nilai-nilai, hambatan, dan dampak sosial prosesi perkawinan adat Sasak di Bayan di Lombok Utara dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, nilai Gotong Royong, tampak dalam tahapan bisoq meniq ‘cuci beras’ ak dalam tahapan menggibung, yakni sadaqah. Kedua, nilai Kekeluargaan, tampak dalam tahapan ngelewaq (silaturahmi ke keluarga mempelai wanita setelah prosesi nyongkolang). Nilai solidaritas, tampak dalam tahapan nyongkolang (iring-iringin saat kedua mempelai diarak oleh rombongan masyarakat derta diiringi kelompok musik tradisional). Ketiga, nilai religius, tampak dalam tahapan ijab Kabul, yakni mengucap syahadat dan acara menggibung, sebagai salah satu amal ibadah sadaqah. Keempat, nilai kultural (etika dan moral), tampak dalam tahapan selabar ‘perkabaran’. Kelima, nilai spiritual tampak dalam sajian piranti atau atribut Aji Krama.

Selain itu, hambatan sosial prosesi perkawinan adat Sasak Bayan di Lombok Utara mencakup (1) Hambatan

Struktural; yang mencakup (a) perbedaan stratifikasi sosial; (b) mempertahankan status quo; (c) tingkat pendidikan; (d) perbedaan ekonomi (2) Hambatan religi, dan (3) Hambatan Kultural, terdiri atas (a) Vested interest (Kepentingan-Kepentingan yang Tertanam Kuat); (b) Etnosentris, (c) Perbedaan kultur masyarakat, (d) Sifat konvensional masyarakat. Sementara itu, dampak sosial prosesi perkawinan adat Sasak Bayan di Lombok Utara mencakup (1) Assigned status (status sosial yang disematkan oleh orang lain); (2) Adanya peran sosial baru; (3) Marginalisasi, (4) Disorganisasi kelompok; (5) Akulturasi; (6) Penurunan Mobilitas Sosial (Social Sinking Mobility); (7) Kolonialisasi Budaya; (8) Perubahan kepribadian

Berdasarkkan hasil kajian ini, maka penelitian lanjutan ihwal nilai-nilai sosial prosesi perkawinan adat Sasak perlu dilestarikan. Upaya pelestarian yang dimaksud dapat ditempuh oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara melalui dinas Pendidikan dan kebudayaan       sebagai       bahan

pendokumentasian dan sekaligus sebagai salah satu bahan ajar muatan lokal di jenjang sekolah dasar sebagai wujud konkret upaya penanaman nilai tersebut ke peserta didik agar mengetahui nilai-nilai kearifan lokal daerahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. (2022). Khazanah Leksikon Adat Perkawinan Masyarakat Sasak Kabupaten Lombok Utara: Kajian Linguistik  Kebudayaan.

Disertasi. Universitas Udayana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Linguistik Program Doktor.

Alam, S. (2019). Reconstruction of Marriage Zonation in Islamic Law Perspective.      Legality:   Jurnal

Ilmiah Hukum, 27(2),161-176.

Alwasilah, A. C. (2002). Pokoknya Kualitatif:           Dasar-Dasar

Merancang Dam Melakukan

Penelitian    Kualitatif.    Jakarta:

Pustaka Jaya.

Angelia, C. Kesetaraan Hak Warga Kolok sebagai Wujud Integrasi Sosial Warga Desa Bengkala. HUMANIS Journal of Arts and Humanities. Vol 25.2 Mei 2021: 242-249. p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Anisaningtyas, G. & Astuti, Y. D. (2004). Pernikahan di Kalangan Mahasiswa S-1. Proyeksi: Jurnal Psikologi, 6(2), 21-33

Bachtiar, A. (2004). Menikahlah, Maka Engkau     Akan     Bahagia.

Yogyakarta: Saujana

Badudu, Y. & Zain, S. M. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Batulante, A. (2010). Fungsi Dan Makna Ritual pada Tradisi Ponan. Tesis. Universitas Mataram

Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. (1992). Qualitative     Research     for

Education. An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Casson, R. W. (ed.). (1981). Language, Culture,      and      Cognition.

Anthropological Perspectives. New York: Macmillan CO. Inc.

Darussalam, A & Lahmuddin, A. M. (2018). Pernikahan Endogami Perspektif Islam dan Sains. TAHDIS: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis, 8 (1),1-19

Effendy, O.U. (2008). Dinamika Komunikasi.       Jakarta:Remaja

Rosdakarya.

Halim, R. (1987). Hukum Adat dalam Tanya Jawab. Jakarta:   Ghali

Indonesia.

Hasibuan, E. J. & Harahap, H. (2007). Pluralisme Hukum pada Kasus Perkawinan Semarga pada Etnis Padang Lawas di Kabupaten Tapanuli      Selatan.      Jurnal

Universitas Sumatera Utara. 1(1), 125-134.

Hogg, M. A. & Tindale, S. (2008). Blackwell Handbook of Social Psychology. New York:  John

Wiley & Sons Inc.

Koentjaraningrat. (1983). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Murahman, A. (2016). Nilai-nilai Sosial Dalam Tradisi Karawi Kaboju pada Masyarakat Suku Mbojo di Desa Sari Kecamatan Sape Kabupaten     Bima.      Tesis.

Universitas Mataram.

Putri, D. (2018). Pengaruh Relokasi terhadap Sosial dan Ekonomi Pedagang di Pasar Atas Bukittinggi. Jom Fisip, 5(2), 1–15.

Ratih, N. W. S. (2021). Perkawinan Beda Wangsa (Kasta) Pada Suku Bali di Lombok:  Studi Di Kecamatan

Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Tesis. Mataram: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram.

Ruth, B. (1966). Pola-Pola Kebudayaan. Versi terjemahan. Diterjemahkan oleh Sumantri Mertodipuro. Jakarta:PT Dian Rakyat.

Setianto, I. P. (2009). Meningkatkan Pemahaman Siswa tentang Hambatan          Komunikasi

Antarpribadi Melalui Layanan Informasi    dengan    Format

Kelompok pada Siswa Kelas 5 dan 6 SDN 1 Krandegan Banjarnegara, Tahun    Ajaran    2008/2009.

(Disertasi) Universitas Negeri Semarang.

Setiadi, E. M. & Kolip, U. (2013). Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:   Teori Aplikasi dan

Pemecahannya (edisi ketiga). Jakarta: Kencana.

Soekanto, S. (2012). Sosiologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Syafruddin. (2013). Perubahan Sosial Budaya.     Mataram:     FKIP-

Universitas Mataram Press.

Tim Penyusun Phoenix. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Media Pustaka Phoenix.

Tianingsih, W. et. al. (2021) Perubahan

Sosial Budaya Nelayan Pesisir Kedungrejo Humanis Journal of Arts and Humanities. Vol 25.2 Mei 2021: 242-249.

Walgito, B. (2000). Bimbingan dan Konseling           Perkawinan.

Yogyakarta: Psikologi UGM.