JiΦJW⅛‰NlS HUMANIS



Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 26.3 Agustus 2022: 279-289


Perundungan dalam Geguritan Cupak Gerantang


I Gusti Agung Bagus Cakra Baskara, Ida Bagus Rai Putra, Luh Putu Puspawati Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Email korespondensi: [email protected] , [email protected] ,

[email protected]


Info Artikel


Masuk: 24 Juni 2022

Revisi: 21Juli 2022

Diterima: 13 Agustus 2022

Keywords: bullying; geguritan;

Cupak Gerantang


Kata kunci: Perundungan;

geguritan; Cupak Gerantang


Corresponding Author:

I Gusti Agung Bagus Cakra Baskara

email: [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

22.v26.i03.p08


Abstract

This research is entitled "Bullying in Geguritan Cupak Gerantang". The results of this study describe the bullying found in traditional Balinese literary works, namely Geguritan Cupak Gerantang. The use of literary sociology theory in this analysis is able to reveal aspects of bullying which is one of the social phenomena in society contained in geguritan. The methods and techniques used consist of three steps, namely: (1) Providing data using the listening method accompanied by note-taking techniques and translation techniques, (2) The data analysis using qualitative methods and supported by analytical descriptive techniques, (3) presentation of the results of data analysis using informal methods accompanied by inductive and deductive techniques. The bullying aspect found in Geguritan Cupak Gerantang is shown by the interactions between the characters, which include the types of bullying, the factors behind the bullying, and the impact of the bullying.

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Perundungan dalam Geguritan Cupak Gerantang”. Hasil dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perundungan yang ditemukan dalam kesusastraan Bali tradisional, yaitu Geguritan Cupak Gerantang. Penggunaan teori sosiologi sastra dalam analisis ini mampu mengungkapkan aspek perundungan yang merupakan salah satu fenomena sosial di masyarakat yang terkandung dalam geguritan. Metode dan teknik yang digunakan terdiri atas tiga tahap, yaitu: (1) Tahap penyediaan data dengan metode simak disertai dengan teknik catat dan teknik terjemahan, (2) Tahap analisis data menggunakan metode kualitatif dan didukung dengan teknik deskriptif analitik, (3) Tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal ditunjang dengan teknik induktif dan deduktif. Aspek perundungan yang terdapat dalam Geguritan Cupak Gerantang ditunjukan melalui interaksi antar tokoh yang meliputi jenis-jenis perundungan, faktor yang melatarbelakangi perundungan, dan dampak dari perundungan.


PENDAHULUAN

Perundungan adalah kegiatan mengintimidasi dan memaksa seseorang atau kelompok yang dianggap lemah

untuk melakukan sesuatu di luar kehendak mereka dengan maksud membahayakan fisik maupun mental (Setia Budhi, 2016: 1-2). Sebagian besar pelaku perundungan menganggap diri

mereka selayaknya penguasa yang dapat bersikap semena-mena terhadap orangorang di sekitar terutama yang dianggap lebih lemah atau dianggap rival.

Kasus perundungan (bullying) ditemukan dalam rentang usia yang bervariasi dan pada berbagai lingkungan sosial. Priyatna (2010) mengemukakan beberapa variasi bentuk tindakan bullying yang biasa dilakukan dalam menjahati korbannya yaitu bullying fisik, verbal, sosial dan cyber. Bullying fisik meliputi kegitan menonjok, mendorong, memukul, menendang, dan bentuk kekerasan fisik lainnya yang secara langsung bersinggungan dengan korban. Bullying verbal antara lain kegiatan melecehkan penampilan, menyindir, mengolok-olok korban. Bullying sosial yaitu bentuk kegiatan mengabaikan, menyebarkan rumor/gosip, dan menuduh seseorang. Sedangkan cyber bullying adalah kegiatan bullying yang dilakukan via internet atau sosial media.

Sebagai cerminan dari kehidupan masyarakat pendukungnya, karya sastra merefleksikan segala bentuk gejala sosial di masyarakat. Aspek-aspek sosial seperti contohnya perundungan pada akhirnya dapat terangkum dalam karya sastra mengikuti dinamika sosial sang pengarang. Geguritan sebagai khazanah kesusastraan Bali tradisional tidak luput dari pengaruh sosial pengarang dalam proses penciptaannya, tidak terkecuali Geguritan Cupak Gerantang.

Geguritan Cupak Gerantang dikaji pada penelitian ini karena terindikasi menghadirkan fenomena purundungan (bullying) dalam interaksi tokoh-tokohnya. Tentunya hal tersebut sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut dan melihat purundungan yang terdapat di dalam karya sastra Bali purwa dapat dikaitkan dengan realita di masyarakat masa kini yang kerap dijumpai melakukan aksi perundungan terhadap orang lain.

Penggambaran penulis terhadap tokoh I Cupak dan I Gerantang berbanding terbalik, adapun I Cupak digambarkan sebagai sosok yang berwajah jelek dengan alis mata tebal seperti burung hantu, perutnya buncit, kakinya besar dan lebar, serta pandangan matanya juling. I Cupak juga memiliki perilaku kurang baik seperti memiliki sifat rakus, penakut, pengecut dan pembohong. Sedangkan I Gerantang digambarkan berparas tampan, kulit bersih, dan gagah perkasa serta berperilaku baik yang ditunjukan dari penggambaran tokohnya yang memiliki tangkah laku berbudi luhur, lemah lembut, bijaksana dan bertutur kata sopan. Selain penggambaran fisik dan karakternya, kondisi mental masing-masing tokohnya juga sangat bertolak belakang. I Cupak memiliki watak tempramental yang aktif dan implusif. Saat sedang dikuasai oleh sifat tempramennya, perilakunya menjadi tidak terkontrol dan dapat bertingkah selayaknya orang gila. Sedangkan I Gerantang merupakan sosok lemah lembut, penyabar dan selalu berpikir jernih dan berperasaan. Akhirnya melalui berbagai peristiwa dan dengan kesenjangan karakter antara kedua tokoh tersebut, timbul rasa cemburu pada tokoh I Cupak terhadap I Gerantang dan menjadi salah satu faktor penyebab perundungan yang dilakukan oleh tokoh I Cupak terhadap I Gerantang, di antaranya I Cupak yang membuat suatu kebohongan di masyarakat untuk dapat memenuhi keinginannya.

Sangat penting untuk melakukan penelitian terhadap karya-karya sastra yang ada untuk dapat mengambil amanat yang terkandung di dalamnya dan menjadikannya pedoman berperilaku di masyarakat. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan serta menambah pengetahuan dalam memahami karya sastra geguritan serta mendeskripsikan

aspek-aspek perundungan dalam Geguritan Cupak Gerantang. Peningkatan pemahaman masyarakat tehadap nilai-nilai kehidupan dalam Geguritan Cupak Gerantang akan mendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap isu perundungan di lingkungan sekitar dan menanamkan nilai-nilai susila dalam berperilaku sehingga jumlah kasus perundungan dapat ditekan.

METODE DAN TEORI

Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, antara lain (1) tahap penyediaan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data.

Tahap penyediaan data menggunakan metode simak dengan membacanya secara berulang-ulang untuk dapat memahami naskah lebih mendalam (Sudaryanto, 1993: 2). Kemudian ditunjang dengan teknik pencatatan untuk mencatat beberapa hal yang rang relevan (mahsun, 2005: 93). Selain itu, penelitian ini juga dibantu dengan teknik terjemahan secara harafiah dan idiomatis.

Pada tahap analisis data menggunakan metode kualitatif, yang kemudian didukung dengan teknik deskriptif analitik yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang disusul dengan suatu analisis atau menguraikan data (Ratna, 2004: 47).

Penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal dengan cara penyajuan melalui kata-kata biasa (Ratna, 2004: 50). Selain itu, dalam tahap penyajian hasil analisis data akan dibantu dengan teknik induktif dan deduktif. Teknik induktif merupakan suatu proses penalaran yang bergerak dari beberapa ke semua, dan sebagian ke seluruh, dari kasus-kasus khusus menuju suatu generalisasi (dari khusus ke umum). Sedangkan deduktif beranjak dan penerapan suatu prinsip umum menuju

suatu kesimpulan khusus (dari umum ke khusus) (Tarigan, 1984: 111-112).

Penelitian ini dilandasi oleh teori sosiologi sastra yang mengidentifikasikan sastra sebagai suatu gejala sosial. Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1993: 109). Wellek     dan     Warren     juga

mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi beberapa tipe, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan sosiologi pembaca.     Sosiologi     pengarang

menjabarkan mengenai latar belakang sosial, status sosial pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Sosiologi karya menjabarkan mengenai isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Sosiologi pembaca karya sastra menjabarkan     sejauhmana     sastra

ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan landasan teori sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren terutama pada bagian sosiologi karya untuk melakukan kajian terkait dengan perundungan yang terdapat dalam Geguritan Cupak Gerantang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Perundungan yang Ditemukan dalam Geguritan Cupak Gerantang

Perundungan masih menjadi sebuah fenomena yang cukup sering dijumpai di masyarakat.    Kebanyakan    pelaku

perundungan merupakan anak-anak atau remaja yang masih dalam masa pubertas yang sedang berasa dalam masa yang labil dan memiliki ego tinggi. Namun tidak jarang perundungan juga ditemukan pada orang dewasa dengan berbagai latar belakang dan status sosial. Untuk itu

diperlukan pendidikan moral sejak dini dari lingkungan keluarga dan diperlukan sikap saling peduli terhadap orang lain untuk menghindari terjadinya kegiatan perundungan di masyarakat khususnya dilingkungan sekolah yang biasanya menjadi tempat terjadinya kasus perundungan.

Pada Geguritan Cupak Gerantang ditemukan beberapa jenis perundungan yang terjadi diantara tokoh-tokohnya, meliputi perundungan verbal, perundungan psikologis, dan perundungan fisik. Masing-masing bentuk perundungan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

Perundungan Verbal

Perundungan verbal merupakan salah satu jenis perundungan yang paling sering dijumpai di lingkungan masyarakat. Perundungan verbal adalah jenis perundungan yang dapat tertangkap oleh indera pendengaran manusia (Sejiwa, 2008: 3) dan sering dijumpai contohnya di masyarakat. Kegiatan mencela, menghina, memfitnah, berbohong, bergosip dan lain sebagainya merupakan beberapa contoh perundungan yang dilakukan secara verbal. Terkadang kita tidak menyadari telah melakukan perundungan verbal kepada seseorang, oleh karena itu diperlukan sikap toleransi antar sesama agar tidak terjadi kegiatan perundungan yang dapat menyakiti perasaan seseorang.

Di dalam Geguritan Cupak Gerantang ditemukan suatu insiden yang dapat dikategorikan sebagai bentuk perundungan verbal. Saat tokoh I Cupak dan I Gerantang tiba di Kerajaan Daha untuk menghadap sang Raja, kemudian mereka bersujud dihadapan sang Raja. Para pelayan kerajaan yang turut hadir disana berbisik membicarakan tentang I Gerantang yang memiliki paras tampan dan tutur yang halus, namun disisi lain para pelayan tersebut juga membicarakan

tentang penampilan I Cupak dan mengatakan bahwa I Cupak memiliki penampilan yang buruk. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Parekané pabisik pada kenyung/ misikang I Cupak/ buka tumbalé odalin/ alis kuping celepuk/ basang bedog batis tubug/ paliaté béro sonar/ abet gogong mua kuwuk/ pantes nyambal sera matah/ pan tes pejang di kangéan//1(Pupuh Adri pada ke-23)

Dari kutipan tersebut dapat terlihat bahwa para pelayan melakukan kegiatan mencela, mengejek, sekaligus bergosip mengenai penampilan fisik I Cupak. Hal tersebut tergolong dalam perundungan secara verbal yang dapat menyebabkan perasaan sakit hati dan tidak nyaman terhadap seseorang.

Selain itu, perundungan verbal juga ditunjukan pada insiden saat tokoh I Cupak dan Raden Galuh tiba di Kerajaan Daha. Mereka berdua disambut oleh para pelayan dan menghadap sang Raja. Saat sang Raja bertanya kenapa I Gerantang tidak datang bersama mereka, I Cupak menjawab bahwa adiknya telah meninggal saat berhadapan dengan I Menaru. I Cupak berkata bahwa dirinyalah yang telah berhasil mengalahkan raksasa dan menyelamatkan Raden Galuh. Karena kurangnya bukti dan Raden Galuh yang diancam oleh I Cupak, maka sang Raja dan para pelayan istana mempercayai apa yang dikatakan oleh I Cupak dan pada akhirnya ia diangkat sebagai raja Kerajaan Daha dengan nama gelar Mantri Anom. Kutipannya sebagai berikut.

Sang Prabu kari ring jaba malungguh/ maring patandakan/ I Cupak sareng masanding/ atakén Sang Prabu/ arin ira déréng rauh/ I Cupak saur aturé/ singgih pakulun Sang Prabu/ nyaman titian sampun pejah/ sareng titiang ka payudan//2 (Pupuh Adri pada ke-78)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tokoh I Cupak melakukan perundungan verbal yaitu menyebarkan kebohongan kepada masyarakat untuk mendapatkan keuntungan pribadi berupa tahta Kerajaan Daha. Akibat perbuatan perundungan yang dilakukan I Cupak, maka I Gerantang sebagai korban amat sangat dirugikan karena dirinya dianggap telah meninggal dan tidak mendapatkan imbalan dari hasil usahanya dalam menyelamatkan Raden Galuh.

Perundungan Mental/Psikologis

Perundungan mental/psikologis sesuai dengan sebutannya menyerang mental si korban. Ini tergolong dalam jenis perundungan yang berbahaya karena praktiknya terjadi di luar radar pemantauan kita (Sejiwa, 2008: 4). Perundungan jenis ini biasanya menyerang dan melemahkan harga diri korbannya, dengan bentuk sikap yang meliputi tindakan pengancaman, memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan, mempermalukan, meneror dan lain sebaginya. Korban yang mengalami perundungan mental/psikologis biasanya akan merasakan ketakutan terhadap pelaku sehingga ia akan menuruti keinginan dari pelaku perundungan.

Pada Geguritan Cupak, perundungan jenis ini ditemukan dalam sebuah insiden saat tokoh I Gerantang telah berhasil

menyelamatkan Raden Galuh dari raksasa yang menculiknya. Sesaat setelah Raden Galuh berhasil keluar dari gua tempat raksasa itu menyembunyikannya, I Cupak dengan tiba-tiba memotong tali rotan yang digunakan I Gerantang untuk keluar dari gua tersebut. Melihat kejadian itu, Raden Galuh merasa terkejut. Kemudian I Cupak mengeluarkan sebilah keris dan menodongkannya kepada Raden Galuh lalu mengancamnya agar tidak kabur. Akhirnya karena merasa ketakutan, Raden Galuh pergi kembali ke Kerajaan Daha bersama dengan I Cupak dan meninggalkan I Gerantang dalam gua tersebut. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

Rahadén Galuh mangké anurut/ takut ring I Cupak/ nganggar kadutan mandelik/ matané pantes buduh/ Rahadén Galuh lumaku/ I Cupak tandan gengégah/ manjing alas turun gunung/ perapta mangké ring Daha/ liu anaké pada mapag//3 (Pupuh Adri pada ke-74)

Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa tokoh I Cupak melakukan tindakan perundungan mental/psikologis kepada Raden Galuh yaitu dengan menodongkan sebilah keris dan melakukan tindakan pengancaman yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman atau ketakutan pada Raden Galuh. Kemudian Raden Galuh yang dalam posisi terpojok pada akhirnya menuruti kemauan dari I Cupak.

Perundungan Fisik

Selain kedua jenis perundungan di atas, terdapat pula jenis perundungan yang sangat umum ditemukan di

masyarakat, yaitu perundungan fisik. Perundungan fisik meliputi segala bentuk kekerasan fisik dan pelecehan. Contoh dari perundungan jenis ini ialah kegiatan memukul, menendang, mendorong, menampar, dan perilaku kekerasan fisik lainnya (Sejiwa, 2008:3). Perundungan fisik sangat berbahaya karena dapat melukai fisik sekaligus memberi tekanan pada mental perasaan korbannya.

Pada Geguritan Cupak Gerantang perundungan fisik ditemukan pada beberapa insiden. Insiden pertama yang memuat fenomena perundungan fisik adalah saat tokoh I Gerantang hendak keluar dari gua setelah berhasil menyelamatkan Raden Galuh. Sesaat setelah Raden Galuh berhasil keluar dari mulut gua, tiba-tiba I Cupak memotong tali rotan yang digunakan oleh I Gerantang. Gerantang jatuh terperosok ke dalam gua dan mengalami luka-luka. Hal tersebut terdapat pada kutipan bait berikut.

I Gerantang ring uri mara manuut/ I Cupak brahmantian/ laut manyepeg panyalin/ I Gerantang nuli labuh/ onya babak onya belur/ laut ia bangun ngadaap/ iwasin awaké belur/ laut ia manyelsel awak/ kudiang jani pacang menékan//4 (Pupuh Adri pada ke-72)

Kutipan tersebut menyebutkan bahwa I Cupak memotong tali yang mengakibatkan I Gerantang jatuh terperosok lalu terluka dan tidak dapat naik ke permukaan. Terlihat jelas fenomena perundungan fisik yang dilakukan oleh tokoh I Cupak kepada I Gerantang yang mengakibatkan I Gerantang mengalami luka fisik.

Setelah insiden tersebut, perundungan fisik juga kembali dilakukan oleh tokoh I Cupak kepada I Gerantang. Singkat cerita I Gerantang telah berhasil keluar dari gua tersebut setelah 5 bulan lamanya, kemudian dengan keadaan kurus kering dan tubuh yang kotor ia menuju ke Kerajaan Daha untuk menemui I Cupak. Mengetahui I Gerantang berhasil selamat dan berniat untuk mencarinya, I Cupak yang telah diangkat menjadi raja di Kerajaan Daha dengan gelar nama Mantri Anom kemudian menyuruh para pelayan untuk menyeret I Gerantang dan membuangnya ke kali. Berikut kutipan bait ke-106 dan 107 yang dimaksud:

Mantri Anom mangandika/ eda iba nundén sedih/ nyaman kai suba ilang/ eda iba jani ngerungu/ to mamedin I Rangsasa/ kema paid/ aba ka tukadé kutang//5 (Pupuh Ginada pada ke-106)

Parekané raris mangarang/ manyeet ban talin sampi/ mamaid masuriak reko/ akéh anak pada nulu/ sami pada mamengongang/ agung alit/ parekan raris ngentungang//6 (Pupuh Ginada pada ke-107)

Kedua kutipan di atas menunjukan tindakan perundungan fisik yang dilakukan tokoh I Cupak kepada I Gerantang dengan cara menyuruh para pelayannya untuk mengikat dan kemudian menyeret tubuh I Gerantang dan membuangnya ke sungai. Tindakan perundungan fisik ini tentunya sangat berdampak negatif pada korbannya, tidak

hanya mengalami luka fisik tetapi juga tentunya mengakibatkan perasaan sakit hati pada si korban.

Faktor Penyebab Perundungan dalam Geguritan Cupak Gerantang

Sejiwa (2008) memaparkan berberapa pendapat mengenai penyebab perundungan yang mempengaruhi seseorang sehingga dapat menjadi pelaku ataupun korban perundungan yaitu seperti penampilan fisik, kontrol emosi yang tidak stabil, perasaan iri hati, kurangnya empati, hasrat untuk berada di atas orang lain, balas dendam dan masih banyak lagi hal yang dapat memicu terjadinya aksi perundungan. Di sisi lain, lingkungan sekitar pelaku dan korban perundungan juga turut memiliki kontribusi pada terjadinya perundungan seperti lingkungan pertemanan yang kurang sehat, faktor keluarga dan budaya, pengaruh tayangan televisi atau sosial media di masa sekarang, dan berbagai hal lainnya dapat menjadi alasan kerapnya aksi perundungan ini terjadi.

Pada Geguritan Cupak Gerantang perundungan yang dialami oleh tokoh I Cupak dilatarbelakangi oleh perbedaan penampilan fisik antara I Cupak dengan I Gerantang. Perbedaan fisik digambarkan sangat mencolok, I Cupak digambarkan memiliki paras buruk dengan badan besar, perut buncit, dan sifat rakus sedangkan I Gerantang berparas tampan, gagah, dan besifat bijaksana. Oleh karena perbedaan tersebut, para pelayan akhirnya bergosip mengejek penampilan I Cupak. Hal tersebut dibuktikan pada kalimat berikut.

Parekané pabisik pada kenyung/ misikang I Cupak/ buka tumbalé odalin/ alis kuping celepuk/ basang bedog batis tubug/ paliaté béro sonar/ abet gogong mua kuwuk/ pantes

nyambal sera matah/ pan tes pejang di 7

kangéan// (Pupuh Adri pada ke-23)

Kutipan diatas membuktikan bahwa perundungan verbal terjadi karena penampilan fisik I Cupak. Para pelayan menganggap penampilan I Cupak sangat buruk dengan bentuk alis dan telinga yang tajam bagaikan burung hantu dan pantas ditempatkan di Kangean (nama suatu tempat).

Beberapa perundungan yang dilakukan oleh tokoh I Cupak dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan mengendalikan emosi dalam diri I Cupak kepada I Gerantang saat insiden setelah I Gerantang mengalahkan raksasa yang menculik Raden Galuh. I Cupak terlihat memiliki watak tempramental yang aktif dan implusif. Saat sedang dikuasai oleh sifat tempramennya, I Cupak menjadi tidak terkontrol dan bertingkah selayaknya orang gila. Ia dengan tiba-tiba memotong tali rotan yang digunakan I Gerantang untuk keluar dari gua dan sesaat setelahnya terjadi kegiatan perundungan mental/psikologis yang dilakukan I Cupak kepada Raden Galuh dengan mengeluarkan sebilah keris. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.

I Gerantang ring uri mara manuut/ I Cupak brahmantian/ laut manyepeg panyalin/ I Gerantang nuli labuh/ onya babak onya belur/ laut ia bangun ngadaap/ iwasin awaké belur/ laut ia manyelsel awak/ kudiang jani pacang manékan//8(Pupuh Adri pada ke-72)

Awaké né suba ya tuduh/ awak mabudi pejah/ masih ya nu idup jani/ yan penékin tegeh ngalawung/ sawatara pitung ngiyu/ I Cupak malih kocapan/ ngembus kadutan ganja dungkul/ margi mantuk Gustin titiang/ nyen teka I rangsasa//9 (Pupuh Adri pada ke-73)

Rahadén Galuh mangké anurut/ takut ring I Cupak/ nganggar kadutan mandelik/ matané pantes buduh/ Rahaden Galuh lumaku/ I Cupak tandangé ngegah/ manjing alas turun gunung/ perapta mangké ring Daha/ liu anaké pada magpag//10 (Pupuh Adri pada ke-74)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tokoh I Cupak memiliki watak temperamental atau sulit mengontrol emosinya dan saat emosinya tidak dapat dikendalikan maka ia akan bersikap kasar dan cenderung bertingkah seperti orang gila. Hal tersebut melatarbelakangi terjadinya perundungan kepada I Gerantang yang mengakibatkan I Gerantang terjebak di dalam gua dengan tubuh yang terluka sedangkan Raden Galuh merasakan ketakutan dan rasa tidak nyaman karena gerak gerik I Cupak yang agresif mengangkat sebilah keris dalam perjalanan pulang ke kerajaan Daha, selain itu Raden Galuh tidak memiliki pilihan lain selain menuruti apa yang dikatakan oleh I Cupak.

Penyebab perundungan lainnya juga ditemukan pada Geguritan Cupak Gerantang, tahta dan wanita melatarbelakangi aksi perundungan yang dilakukan I Cupak kepada I Gerantang. Ketika I Cupak dan I Gerantang ditugaskan untuk menyelamatkan Raden Galuh, sang raja menjanjikan sebuah imbalan berupa tahta Kerajaan Daha dan siapapun yang berhasil menyelamatkan Raden Galuh maka ia akan dinikahkan dengan Raden Galuh. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Yén mati ban cai I Manaru/ bakat anak inguang/ cai bakal pabuncungin/ jumeneng dadi ratu/ I Cupak mangké sinawur/ mangerak manelikang mata/ singgih déwa sang sinuwun/ mangkin titiang manyandang/ yan titiang mamunggal//11 (Pupuh Adri pada ke-25)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa terdapat faktor sosial berupa sebuah imbalan menjadi seorang raja yang memicu terjadinya tindakan perundungan. Tokoh I Cupak melakukan perundungan terhadap I Gerantang karena timbulnya rasa kecemburuan dalam diri I Cupak agar imbalan yang dijanjikan oleh sang raja jatuh kepadanya. Benar saja, sesampainya di kerajaan, I Cupak kemudian diangkat sebagai Raja Kerajaan Daha karena dianggap telah berhasil menyelamatkan Raden Galuh.

Dampak yang Ditimbulkan Perundungan dalam Geguritan Cupak Gerantang

Perundungan merupakan kegiatan yang bersifat negatif dan tentunya memunculkan berbagai dampak buruk

pada fisik maupun mental korbannya. Tidak hanya pada korban, dampak negatif dari perundungan juga dapat berimbas kepada pelaku, bahkan orangorang sekitarnya yang menyaksikan tindakan perundungan tersebut. Dampak negatif tersebut ditandai dengan munculnya berbagai masalah mental, seperti kegelisahan, lalu berimbas pada kesehatan fisik, rasa tidak aman atau bahkan ketakutan berlebih saat berada di lingkungan tertentu dapat menjadi salah satu hal yang harus dialami oleh korban perundungan. Jika perundungan terjadi saat korban berada di masa kanak-kanak maka efeknya terkadang akan membekas bahkan hingga menginjak usia dewasa.

Di dalam Geguritan Cupak Gerantang, ditemukan dampak terhadap korban peundungan tetapi tidak ditemukan dampak tehadap pelaku perundungan. Pembahasan mengenai dampak perundungan yang terjadi dalam Geguritan Cupak Gerantang akan dipaparkan sebagai berikut.

Rasa Kesepian dan Gangguan Kesehatan Fisik

Kesepian dan terjadinya ganguaan pada kesehatan fisik merupakan dampak yang biasanya terjadi pada korban yang mengalami perundungan secara fisik. Pada Geguritan Cupak Gerantang, tokoh I Gerantang diceritakan masih hidup setelah lima bulan berada di dalam gua. Kondisinya sangat memprihatinkan, ia kesepian dan fisiknya sangat lemah karena tidak mendapatkan asupan makanan. Hal tersebut dibuktikan dalam bait berikut.

Tan kocap ida sang perabu/ Mantri Anom kocap/ limang sasih sira mukti/ I Gerantang mangké kawuwus/ maring gua nu idup/ tuara neda limang bulan/ baané ia dudus bengu/ ban bangkéné i rangsasa/ kasakitan

ngadek bengua//12 (Pupuh Adri pada ke-88)

Berag tegereg kari balungmung/ kulit ngaput tulang/ tendasé gedé iwasin/ tulangé paonjol mung/ paliaté nu idup/ masi dadi matindakan/ buka ada Widi turun/ patuduhin jani marga/ sangkannya ngelah pangerasa//13 (Pupuh Adri pada ke-89)

Dua kutipan tersebut memperlihatkan kondisi dari I Gerantang yang telah 5 bulan berada di dalam gua. Tubuhnya kurus, kotor, dan bau. I Gerantang juga diliputi rasa kesepian, itu membuktikan bahwa perundungan akan memberikan yang dampak negatif kepada korbannya, tidak hanya fisik tetapi juga mental si korban.

Ketakutan dan Kecemasan

Korban yang mengalami perundungan akan merasakan ketakutan dan kecemasan akibat perundungan. Pada Geguritan Cupak Gerantang, dampak ketakutan akibat perundungan diperlihatkan oleh insiden saat tokoh I Cupak menodongkan sebilah keris ke hadapan Raden Galuh. Raden Galuh yang berada dalam posisi terpojok merasa takut dengan tingkah laku I Cupak dan akhirnya dengan terpaksa ia menuruti apa yang diinginkan oleh I Cupak. Hal tersebut dapat dilihat pada bait ke-74, berikut kutipannya:

Rahadén Galuh mangké anurut/ takut ring I Cupak/ nganggar kadutan mandelik/ matané pantes buduh/ Rahadén Galuh lumaku/ I Cupak tandan gengégah/ manjing alas turun gunung/ perapta mangké ring Daha/ liu anaké pada mapag//3 (Pupuh Adri pada ke-74)

Kutipan tersebut menunjukan bahwa Raden Galuh sebagai korban perundungan merasakan ketakutan dan kecemasan. Rasa takut dan kecemasanyang dirasakannya mengakibatkan Raden Galuh tidak berani untuk melawan I Cupak dan akhirnya ia memilih mengikuti perkataan I Cupak untuk pulang ke Kerajaan Daha.

Terasing

Terasingkan merupakan salah satu dampak dari perundungan yang terdapat dalam Geguritan Cupak Gerantang. Hal tersebut diceritakan pada saat tokoh I Gerantang telah berhasih keluar dari gua dengan keadaan yang mengkhawatirkan, banyak masyarakat yang merasa ketakutan saat melihat I Gerantang yang berjalan mencari makanan sembari menuju ke Kerajaan Daha. Berikut kutipannya:

Rencang baliané sami bungkah/ mangutang tulur bé guling/ malaib saling paliwat/ balian onya babak belur/ malaib saling paliwat/ pada mawedi/ raregek sampun perapta//14 (Pupuh Ginada pada ke-101)

Kutipan tersebut merupakan salah satu bukti yang menunjukan dampak perundungan yang dialami oleh tokoh I Gerantang. Akibat terlalu lama berada di dalam goa mengakibatkan kondisi

fisiknya yang kotor dan sakit, sehingga penduduk mengira bahwa ia adalah setan yang berkeliaran. Pada akhirnya keterasingan itu akan membuat korban merasakan kesepian dan kesendirian.

SIMPULAN

Perundungan (bullying) ternyata tidak hanya ditemukan pada realita kehidupan di zaman ini, namun ternyata fenomena semacam ini juga telah ditunjukan dari zaman dahulu yang dibuktikan dengan bait-bait Geguritan Cupak Gerantang di atas. Jenis-jenis perundungan yang ditemukan yaitu perundungan verbal, perundngan mental/psikologis, dan perundungan fisik yang dialami oleh tokoh I Cupak, I Gerantang dan Rahaden Galuh. Kemudian perundungan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti penampilan fisik, ketidakmampuan mengendalikan emosi, bahkan tahta dan wanita      juga      melatarbelakangi

perundungan yang terjadi antar tokoh dalam Geguritan Cupak Gerantang. Dampak yang ditimbulkan perundungan dalam Geguritan Cupak Gerantang antara lain rasa kesepian dan gangguan kesehatan fisik, kecemasan dan ketakutan, dan terangsing. Karya sastra menjadi bukti cerminan suatu masyarakat pendukungnya dan teori sosiologi sastra membantu kita melihat refleksi itu secara lebih jelas seperti perundungan yang terjadi dalam Geguritan Cupak Gerantang.

DARTAR PUSTAKA

Budhi, Setia. (2016). Kill Bullying: Hentikan Kekerasan di Sekolah. Banjarmasin: CV Artikata

Endaswara, Swardi. (2008). Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Med Press.

Faruk. (2003). Pengantar  Sosiologi

Sastra. Yogyakarta:    Pustaka

Pelajar.

Granoka, Ida Wayan Oka. (1981). Dasar-dasar Analisis Aspek Bentuk Sastra Paletan Tembang. Denpasar: Universitas Udayana.

Haryana, Diena dkk. (2018). Stop Perundungan. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Jendra, I Wayan. (1991). Dasar-dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.

Mahsun. (2005). Penerjemahan Berdasar Makna:     Pedoman     untuk

Pemadanan Antarbahasa. Jakarta: ARCAN.

Maryani, Pande Putu Yayuk. (2013). Nilai dalam Geguritan Cupak. Humanis, 3 (1).

Medera, Nengah dan Nazir Thoir. (1978). Geguritan  Cupak.  Jakarta: PN

Balai Pustaka.

Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian  Kualitatif.  Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Partami, Ni Luh, dkk. (2016). Kamus Bali-Indonesia Edisi Ke-3. Denpasar: Balai Bahasa Bali

Priyatna, Andri. (2010). Let’s End Bullying. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.

Ratna, I Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Yogyakarta:     Pustaka

Pelajar.

SEJIWA.    (2008).    BULLYING:

Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: PT Grasindo.

Soraya, Andi Inayah dkk. (2019). Efektifitas Cerita Pendek Sebagai Media Kampanye “Stop Bullying” Terhadap Siswa SMP di Kota Makassar: Fungsi Edukatif Karya Sastra. Jurnal Ilmu Budaya 7 (2), 266-272.

Sudarmawan, Ida Bagus Adi dkk. (2017). Geguritan Masan Rodi: Analisis Struktur dan Nilai. Humanis, 19 (1), 426-432.

Sudaryanto. (1993). Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Suryadi, Irfan dkk. (2018). “Fenomena Perundungan dalam novel Ayah Mengapa Aku Berbeda karya Agnes Davonar”. Jurnal Bahasa dan Sastra, 6 (2), 1-14.

Tarigan, Henry Guntur. (1984). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Taum, Yoseph Yapi. (1997). Pengantar Teori Sastra. Bogor: Nusa Indah.

Wellek, Rene dan Warren Austin. (1993). Teori Kesusastraan (terjemahan melalui Budiyanto). Jakarta: Gramedia.