Wisada Sawah: Sumber Pengetahuan Pengelolaan Sawah dalam Tradisi Masyarakat Bali
on
HUMANIS


Journal of Arts and Humanities
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019
Vol 26.2 Mei 2022: 157-171
Wisada Sawah: Sumber Pengetahuan Pengelolaan Sawah dalam Tradisi Masyarakat Bali
Made Paramasuta Wijaya, I Wayan Cika, I Wayan Suardiana
Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia Email Korespodensi: dekpram.suta@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 18 Maret 2022
Revisi: 6 April 2022
Diterima: 11 Mei 2022
Keywords: usada, wisada sawah, rice field management, harmony
Kata kunci: usada, wisada sawah, pengelolaan sawah, keharmonisan
Corresponding Author:
Made Paramasuta Wijaya, email:
DOI:
Abstract
This study aims to provide knowledge in the field of agriculture that comes from traditional texts to the community. This study discusses the problems of (1) the form of rice field management in the Wisada Sawah text; (2) function; and (3) the meaning of the Wisada Sawah text. Data were collected using the library method, then analyzed using descriptive-analytical methods, and presented using informal methods. The theory used in this study are the theory of discourse, function, and semiotics. This study succeeded in revealing the form of rice field management on a sěkala and niskala. The analysis of the function and meaning of the Wisada Sawah text is related to the dimensions of cognition and social context, that is the context of a society with agrarian culture. The functions of the Wisada Sawah text are religious functions, ecological functions, and social functions. The meaning of the Wisada Sawah text is the harmonious relationship between humans and God, the harmonious relationship between humans and nature, and the harmonious relationship between human beings.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan memberikan pengetahuan dalam bidang pertanian yang bersumber dari teks tradisional kepada masyarakat. Penelitian ini membahas permasalahan (1) bentuk pengelolaan sawah dalam teks Wisada Sawah; (2) fungsi; dan (3) makna teks Wisada Sawah. Data dikumpulkan dengan metode pustaka, kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analitik, dan disajikan dengan metode informal. Teori yang digunakan adalah teori wacana, fungsi, dan semiotika. Penelitian ini berhasil mengungkap bentuk pengelolaan sawah secara sěkala dan niskala. Analisis fungsi dan makna teks Wisada Sawah dikaitkan dengan dimensi kognisi dan konteks sosial yaitu konteks masyarakat dengan budaya agraris. Fungsi teks Wisada Sawah yaitu fungsi religius, fungsi ekologi, dan fungsi sosial. Makna teks Wisada Sawah yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam, dan keharmonisan hubungan antara sesama manusia.
PENDAHULUAN
Modernisasi dalam bidang pertanian dapat menimbulkan dampak buruk, yaitu terjadinya kerusakan lingkungan, munculnya masalah kesehatan, dan mulai ditinggalkannya penggunaan teks-teks tradisional sebagai acuan dalam melakukan usaha pertanian. Padahal teks-teks tradisional memuat nilai-nilai luhur yang patut dilestarikan. Menyikapi hal tersebut, perlu dilakukan sebuah penelitian terhadap teks tradisional contohnya teks Wisada Sawah, sebagai bentuk penguatan dan pemajuan kebudayaan, sehingga pengetahuan yang terdapat dalam teks tradisional tersebut dapat terus dilestarikan di tengah-tengah kemajuan pengetahuan dan teknologi yang modern. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pasal 4 menyebutkan tujuan dari Pemajuan Kebudayaan tersebut salah satunya adalah untuk melestarikan warisan budaya bangsa. Pasal 5 menjelaskan objek dari Pemajuan Kebudayaan salah satunya adalah manuskrip (Presiden Republik Indonesia, 2017: 1, 4, 5).
Penelitian ini mengangkat teks Wisada Sawah sebagai objek penelitian dengan melihat tiga masalah, yaitu (1) bentuk pengelolaan sawah dalam teks Wisada Sawah; (2) fungsi teks Wisada Sawah dalam masyarakat umum dan khususnya masyarakat di Bali; (3) makna teks Wisada Sawah dikaitkan dengan konteks masyarakat dengan budaya agraris secara umum dan khususnya di Bali. Melalui pembahasan tiga pokok permasalahan tersebut, diharapkan pengetahuan yang terkandung dalam teks dapat dipaparkan dengan jelas, sehingga diharapkan Teks Wisada Sawah dapat dijadikan sebagai acuan pengembangan pengetahuan dalam bidang pertanian, utamanya untuk mencegah munculnya masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan sebagai dampak buruk modernisasi dalam dunia pertanian.
Wisada Sawah termasuk naskah jenis usada, yaitu naskah yang berisi pengetahuan pengobatan. Persepsi secara umum terkait metode pengobatan yang tercantum dalam teks usada adalah pengobatan yang ditujukan kepada manusia atau untuk binatang (Suparta, 1998: 1). Teks Wisada Sawah justru
menyuguhkan hal berbeda, yaitu memuat pengetahuan tentang pengelolaan sawah. Hal tersebut menarik untuk diteliti. Penelitian ini akan mengkaji pengetahuan pengelolaan sawah yang terkandung di dalam teks Wisada Sawah melalui pembahasan bentuk, fungsi, dan makna.
METODE DAN TEORI
Sumber data dari penelitian ini merupakan jenis data kualitatif. Data kualitatif merupakan data dalam bentuk nonangka (kategorisasi), seperti kepuasan kerja, tingkat pendidikan, ciri-ciri fisik dan psikis seorang tokoh, dan sebagainya (Ratna, 2010: 143). Penelitian ini
menggunakan sumber data primer yaitu teks Wisada Sawah. Naskah Wisada Sawah berbentuk lontar berukuran 30 x 3,5 cm, dengan jumlah halaman 31 lembar lontar (halaman 1b sampai 31a), menggunakan aksara Bali. Naskah Wisada Sawah merupakan koleksi Perpustakaan Lontar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dengan kode naskah U/V/16/DISBUD.
Penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu (1) bentuk digitalisasi naskah Wisada Sawah yang diperoleh melalui website dengan alamat https://archive.org/details/usadha-sawah/ mode/1up?view=theater; (2) naskah Usada Sawah (alih aksara), yaitu naskah yang memiliki kemiripan dengan naskah Wisada Sawah namun tidak secara keseluruhan, naskah Wisada Sawah lebih kaya dari segi isinya; dan (3) artikel, tesis, disertasi atau penelitian lainnya serta buku-buku tentang usada atau yang terkait dengan wacana pengelolaan sawah.
Pada tahap pengumpulan data digunakan metode pustaka yang
didukung dengan teknik membaca heuristik dan hermeneutik, serta teknik transliterasi dan terjemahan. Analisis data menerapkan metode deskriptif analitik dengan menggunakan teori wacana, fungsi dan semiotika. Hasil analisis data disajikan dengan metode informal.
Penelitian terhadap teks Wisada Sawah ini sepengetahuan penulis sampai pada proses akhir penelitian merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan, karena teks Wisada Sawah belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan adalah penelitian terhadap teks yang serupa dengan teks Wisada Sawah. Pertama adalah penelitian I Made Suparta (1998) yang berjudul Lontar Usada Sawah: Sebuah Sumber Pengetahuan Budaya tentang Cara Penanggulangan Hama Padi dalam Tradisi Pertanian dan Tata Lingkungan Hidup Masyarakat Bali. Kedua, penelitian Pande Wayan Renawati (2011) berjudul Naskah Yama Purwana Tattwa dan Naskah Usada Sawah Sumber Upacara Ngaben Tikus di Tabanan, Bali.
Sumber data penelitian Suparta (1998) dan Renawati (2011) menggunakan naskah yang berjudul Usada Sawah. Naskah ini memiliki beberapa kesamaan dengan naskah Wisada Sawah seperti yang telah dijelaskan pada bagian sumber data di atas. Penelitian Suparta (1998) dan Renawati (2011) relevan dengan penelitian ini. Hal itu dikarenakan gambaran teks Usada Sawah yang telah diketahui pada kedua penelitian tersebut dapat berkontribusi terhadap pemahaman isi teks Wisada Sawah secara umum.
Penelitian terdahulu yang mengkaji naskah jenis usada dan yang mengangkat wacana tentang pengelolaan sawah berikutnya dapat dijadikan acuan dalam mengungkap isi teks Wisada Sawah. Wisada Sawah merupakan salah satu naskah jenis usada yang mengandung pengetahuan tentang pengelolaan sawah. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya (1) penelitian berjudul "Usada Budha
Kacapi: Teks Sastra Pengobatan Tradisional Masyarakat Bali" merupakan sebuah disertasi yang ditulis oleh I Ketut Jirnaya (2011); (2) penelitian yang berjudul "Dharman Pamacul: Pengetahuan Pertanian Bali Tradisional" merupakan sebuah penelitian yang dilakukan oleh I Nyoman Suarka dan Anak Gung Gede Bawa (2020); (3) penelitian berjudul "Wacana Nangluk Mrana dalam Babad Dewa dan Implementasinya di Masyarakat Gianyar" merupakan sebuah disertasi yang ditulis oleh Ida Bagus Made Mahardika (2012).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wisada Sawah berasal dari dua kata, yaitu wisada dan sawah. Kata wisada dalam Bahasa Sansekerta berarti obat (Purwadi dan Purnomo, 2008: 163). Kata sawah dalam Bahasa Bali, Jawa Kuna, dan Sansekerta berarti sawah (Warna, 1993: 617; Zoetmulder, 2006: 1058; Purwadi dan Purnomo, 2008: 131).
Wisada Sawah berarti obat yang dipergunakan di sawah. Lebih lanjut dapat disebut sebagai pengetahuan tentang pengobatan terkait dunia persawahan. Konteks pengobatan di sini mengacu kepada suatu pengelolaan. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat isi dari teks Wisada Sawah yang memuat pengetahuan tentang pengelolaan sawah. Kata pengelolaan berarti (1) proses, cara, perbuatan mengelola; (2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; (3) proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; (4) proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan (Kridalaksana, 1999: 470). Jadi konteks pengobatan dalam dunia persawahan di sini mengacu pada pengelolaan sawah yaitu suatu cara, proses, atau perlakuan khusus untuk
mencapai tujuan tertentu yang ada hubungannya dengan sawah.
Wisada Sawah dapat dikatakan sebagai sebuah wacana. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai informasi (Ratna, 2012: 245). Wisada Sawah dalam penelitian ini dikaji sebagai sebuah wacana yang memuat informasi. Informasi tersebut termuat di dalam unsur-unsur yang membangun teks Wisada Sawah. Teun A. Van Dijk menggambarkan tiga dimensi wacana, yaitu dimensi teks, kognisi sosial dan konteks sosial (Eriyanto, 2011: 224). Analisis wacana melalui dimensi teks dilakukan melalui pengkajian bentuk pengelolaan sawah yang terdapat dalam teks Wisada Sawah.
Bentuk pengelolaan sawah yang terdapat dalam teks Wisada Sawah adalah pengelolaan sawah yang sesuai dengan tradisi masyarakat di Bali, yaitu terdiri dari pengelolaan sawah secara sěkala atau fisik dan pengelolaan sawah secara niskala atau spiritual. Bentuk pengelolaan sawah tersebut dapat diketahui lebih jelas melalui analisis struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro dari. teks Wisada Sawah.
-
1.1 Struktur Makro Teks Wisada
Sawah
Struktur makro merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik/tema yang diangkat oleh suatu teks (Eriyanto, 2011: 227). Pembahasan terhadap struktur makro teks Wisada Sawah dilakukan dengan melakukan analisis unsur tema dari teks Wisada Sawah. Tema dari teks Wisada Sawah adalah pengelolaan sawah.
Teks Wisada Sawah memuat pengetahuan tentang pengelolaan sawah yang didominasi oleh pengetahuan terkait pengendalian hama atau yang lebih dikenal dengan istilah nangluk mrana. Ada beberapa jenis hama yang dapat menyerang tanaman padi, yaitu tikus, burung perit, burung gagak, hama paputihan, hama bablukan, jamur kilatan, hama mati busung, hama cicindal, hama lanas dan gulma. Ada
pula hama candang 'ulat' yang terdiri dari candang 'ulat' ulěr, candang 'ulat' api dan candang 'ulat' sasab. Kemudian ada hama balang 'belalang' seperti balang 'belalang' sangit, balang 'belalang' awus, balang 'belalang' api dan balang 'belalang' sasab. Teks Wisada Sawah juga memuat pengetahuan lainnya terkait pengelolaan sawah, yaitu penjelasan terkait pembangunan bendungan, serta pengetahuan tentang cara merawat sawah agar subur dan segera menghasilkan.
Superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun menjadi satu kesatuan yang utuh. Kerangka suatu teks dapat berupa pendahuluan, isi, penutup dan kesimpulan (Eriyanto, 2011: 226-227).
Pembahasan superstruktur teks Wisada Sawah dilakukan dengan melakukan analisis terhadap bagian pendahuluan, isi, dan bagian penutup dari teks Wisada Sawah, yaitu sebagai berikut.
Bagian pendahuluan teks Wisada Sawah memuat penjelasan terkait identitas teks yaitu berjudul Wisada Sawah. Pendahuluan teks Wisada Sawah juga memuat doa pemujaan kepada Tuhan, yaitu sebagai berikut.
-
(1) "Oŋ Awighnamāstu nama śidhěṁ.
..."
(Wisada Sawah, hlm. 1b) Terjemahan:
"Ya Tuhan, semoga tidak ada halangan. ..."
Tujuan dilafalkannya doa seperti pada kutipan teks nomor (1) tersebut adalah untuk memohon kepada Tuhan agar dalam proses penulisan teks, penulis tidak akan mengalami suatu halangan. Begitu pula agar nanti saat teks telah selesai ditulis, pembaca akan selalu mendapatkan keselamatan dan tidak mengalami kesulitan apa pun baik saat
membaca teks ataupun saat akan mengaplikasikannya.
Bagian isi dari teks Wisada Sawah memuat nama pengobatan, sarana dan petunjuk pengobatan, mantra, rěrajahan, dan beberapa episode.
Nama pengobatan pertama yang terdapat dalam teks Wisada Sawah adalah nama pengobatan untuk menanggulangi serangan hama, diantaranya hama tikus, belalang, burung, ulat, hama lanas, hama mati busung dan gulma. Nama pengobatan berikutnya adalah pengobatan dalam konteks sebagai perlakuan khusus atau usaha yang dilakukan dalam rangka mengelola sawah. Pengobatan dalam konteks pengelolaan sawah tersebut diantaranya adalah penjelasan terkait pembangunan bendungan serta cara merawat sawah agar selalu subur dan segera menghasilkan.
Sarana pengobatan yang terdapat dalam teks Wisada Sawah adalah berupa bahan-bahan alami yang ramah lingkungan untuk melakukan pengobatan atau pengelolaan sawah secara fisik atau sěkala, dan sarana berupa sesaji untuk melakukan pengobatan atau pengelolaan sawah secara spiritual atau niskala. Bentuk petunjuk pengobatan bisa berupa cara penerapan dari masing-masing sarana, dan bisa juga berupa pengetahuan tambahan terkait dengan pengobatan yang dimaksud. Pemaparan sarana pengobatan ini tidak semuanya dilengkapi dengan petunjuk pengobatannya.
Bahan-bahan ramah lingkungan dipergunakan dalam pengelolaan sawah secara sěkala atau fisik seperti untuk mengatasi beberapa jenis hama. Hama belalang khususnya belalang sangit, ulat dan hama mati busung dapat diatasi
dengan sarana berupa garam. Penerapannya adalah dengan menabur garam di areal sawah. Hama belalang sangit juga dapat diatasi dengan menggunakan sarana berupa tri kětuka, buah pinang, tanaman gagirang dan tanaman simbukan. Tri kětuka merupakan sarana obat yang terdiri dari bawang merah, bawang putih dan jangu (Jirnaya, 2011: 277).
Hama tikus secara fisik atau sěkala dapat diatasi dengan beberapa sarana, yang pertama bisa menggunakan umbi gadung dan talas yang kemudian diparut. Kedua, bisa menggunakan umbi gadung dan kemiri. Ketiga, bisa mempergunakan bahan berupa biji kapas yang disembur dengan tri kětuka. Sedangkan hama burung secara fisik atau sěkala dapat diatasi dengan membuat dua buah orang-orangan sawah atau patakut. Patakut berfungsi untuk menakut-nakuti burung agar tidak hinggap dan memakan padi di sawah.
Berikutnya untuk pengobatan yang dilakukan secara spiritual atau niskala dilakukan dengan menggunakan sarana berupa sesaji. Sesaji dipersembahkan langsung kepada hama dipergunakan untuk menanggulangi serangan hama. Hama tersebut diantaranya hama lanas, hama mati busung, tikus, belalang sangit, burung, dan segala jenis hama secara sekaligus.
Kemudian ada pula sesaji yang dipersembahkan kepada Tuhan atau kepada dewa-dewa sebagai bentuk manifestasi-Nya dan kepada tokoh-tokoh mitos yang dipercaya menjaga tanaman padi di sawah. Sesaji tersebut diantaranya dipersembahkan (1) kepada tokoh I Rare Angon, dalam rangka menanggulangi serangan hama tikus; (2) kepada Sang Hyang Sapuh dan Sang Hyang Pamunah Śakti (tokoh gaib yang bersemayam dalam sarana patakut) saat melakukan upacara mantěnin; (3) kepada Sang Hyang Śiwwāghni/ Dewa Siwa dalam rangka menanggulangi serangan hama tikus; (4) kepada Dewa Brahma, Wisnu,
dan Siwa agar sawah terhindar dari serangan hama dan selalu subur; (5) kepada tokoh Naga Basuki Antaboga ketika tanaman padi terserang hama; (6) kepada Dewi Sri agar tanaman padi segera bunting; (7) kepada tokoh bidadari agar segera muncul dan mengisi tanaman padi sehingga padi segera menjadi bunting; (8) kepada tokoh-tokoh gaib (I Bande Samas, I Bandesa, I Gaduh, I Dangka, I Banděm, I Salahin, I Kabayan), Dewa Mahadewa, Dewa Lingga dan Dewa Kuli, Dewa Surya, Dewi Ratih, dan tokoh Meme Kĕtok Bolong dalam rangka membangun bendungan.
Mantra dalam teks Wisada Sawah dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mantra dalam rangka pengobatan tanaman padi dari serangan hama. Mantra di kelompok pertama ini terdiri dari mantra dalam rangka pengobatan tanaman padi dari serangan (1) hama tikus; (2) hama belalang; (3) hama burung; (4) hama lanas; (5) hama mati busung; (6) gulma; (7) hama ulat; dan (8) segala jenis hama secara umum. Salah satu contoh mantra dalam rangka menanggulangi serangan hama tersebut dapat dilihat pada kutipan teks nomor (2) berikut.
-
(2) "… ma, Ih padaŋ manadi walaŋ, mulih kita riŋ padaŋ, haywa kita maŋan pariniŋsun, mulih kita mariŋ padaŋ, mbĕt mati, 3, …"
(Wisada Sawah, hlm. 7a) Terjemahan:
"… mantra:
“Hai rumput yang menjadi belalang, kembali kamu ke rumput, jangan kamu memakan padiku, kembali kamu ke rumput, mati, (ucapkan) 3 (kali).” …"
Kutipan teks nomor (2) di atas memuat salah satu mantra dalam rangka mengusir hama belalang. Berikutnya kelompok mantra kedua adalah mantra dalam rangka pembangunan bendungan. Mantra ini terdiri dari (1) mantra yang
ditujukan kepada Dewa Lingga dan Dewa Kuli untuk memohon pengukuhan bendungan, tirta penyucian dan pembersihan; (2) mantra memohon anugerah kepada Dewa Surya dan Dewi Ratih agar senantiasa menyaksikan dan memberkati pemujaan serta agar bersemayam di dalam bumi saat siang dan malam. Salah satu mantra yang ada kaitannya dengan pembangunan
bendungan dapat dilihat pada kutipan teks nomor (3) berikut.
-
(3) "… Pukulun padhuka Bhaṭara Liŋga, kalih Ratu Hyaŋ Kali, manuṣan padhukā bhaṭara, I Tatak Damuh nunas lugrahā, apaŋ sāmpun titiaŋ cantula, titiaŋ ŋaturin i ratu sariniŋ palabaan, riŋ I Ratu Liŋga, Ratu Mās Liŋga riŋ mpĕlan titiaŋe, titiaŋ ŋaturin i ratu sarīniŋ palabaan, …"
(Wisada Sawah, hlm. 21b-23a) Terjemahan:
"… “Tuanku paduka Bhaṭara Liŋga/Dewa Lingga dan Ratu Hyaŋ Kuli/Dewa Kuli, manusia (pengikut) dewa, (yaitu) I Tatak Damuh mohon ijin agar hamba tidak kena kutuk. Saya mempersembahkan sari sesajen kepada I Ratu Liŋga/Dewa Lingga dan Ratu Mas Liŋga di bendungan saya. Saya mempersembahkan sari sesaji kepada paduka dewa, …"
Kelompok mantra ketiga adalah kelompok mantra lainnya dalam rangka merawat sawah. Mantra-mantra tersebut diantaranya (1) mantra menanam padi dan mantra untuk memohon agar tanaman padi segera bunting atau menghasilkan yang ditujukan kepada Dewi Sri; (2) mantra untuk memohon agar sawah selalu subur dan mendapat keselamatan yang ditujukan kepada tokoh mitos Naga Basuki Antaboga dan Sang Hyang Kuuk, kemudian ditujukan pula kepada Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa dan Dewa Iswara. Salah satu mantra yang berkaitan dengan usaha merawat sawah dapat dilihat pada kutipan teks nomor (4) berikut.
-
(4) "… Ma, nandur pari, ma, Oŋ Śri Sala Guru niŋ Śri ya nama śwahā. …"
(Wisada Sawah, hlm. 6b) Terjemahan:
"… Mantra menanam padi, mantra:
“Ya Tuhan, hidup Sri Tunggal guru dari Sri.” …"
Kutipan teks nomor (4) di atas merupakan mantra untuk menanam padi yang ditujukan kepada Dewi Sri.
-
1.2.2.4 Rěrajahan
Rěrajahan berarti suratan atau gambar yang mengandung kekuatan gaib atau unsur magis. Pengobatan dengan memakai rěrajahan tidak mutlak dalam teks usada dan tidak akan mengurangi keampuhan usada tersebut (Jirnaya, 2011: 287). Teks Wisada Sawah memuat rěrajahan yang tersurat hanya dalam bentuk kata-kata tanpa disertai dengan adanya wujud berupa gambar. Rěrajahan tersebut adalah rěrajahan kala ngadang 'gambar dewa maut menghadang' yang dipergunakan untuk menanggulangi serangan hama tikus. Adapula rěrajahan kuuk roro 'gambar dua musang' yang dipergunakan untuk menanggulangi hama burung.
Teks Wisada Sawah memuat kisah terkait pengelolaan sawah yang dikaitkan dengan sejumlah dewa. Mitos-mitos tersebut mengandung unsur naratif seperti tokoh, latar, konflik dan penyelesaian konflik yang terjalin menjadi suatu alur cerita dalam satu episode. Aristoteles mengkategorikan unit-unit naratif dengan pembuka, tengah dan penutup (dalam Soeratno, 1991: 9293).
Mitos yang terdapat dalam teks Wisada Sawah dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mitos yang strukturnya lengkap terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pembuka, tengah dan penutup. Pada bagian pembuka berisi pengenalan tokoh-
tokoh, bagian tengah berisi konflik yang terjadi pada suatu tempat atau waktu tertentu dan bagian penutup berisi solusi dari konflik yang terjadi.
Kelompok episode mitos yang kedua adalah mitos yang strukturnya tidak lengkap, yaitu hanya memuat beberapa pengenalan layaknya isi pada bagian pembukaan. Kelompok mitos kedua ini hanya memuat pengenalan tokoh-tokoh dalam situasi tertentu, tidak ada konflik yang terjadi, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan beberapa sesaji yang harus dipersembahkan untuk memohon anugerah dari tokoh-tokoh tersebut.
Kelompok episode mitos yang pertama adalah sebagai berikut.
-
a) Episode mitos hama burung, terkait serangan tokoh I Paksi Raja (Wisada Sawah, hlm. 8a-9b).
-
b) Episode mitos hama tikus putih, merupakan peliharaan Dewa Iswara (Wisada Sawah, hlm. 10b-11a).
-
c) Episode mitos hama tikus kuning, merupakan peliharaan Dewa
Mahadewa (Wisada Sawah, hlm. 11a-11b).
-
d) Episode mitos hama tikus merah, merupakan peliharaan Dewa Brahma (Wisada Sawah, hlm. 11b-12a).
-
e) Episode mitos hama tikus hitam, merupakan peliharaan Dewa Wisnu (Wisada Sawah, hlm. 12a-12b).
-
f) Episode mitos hama belalang.
Belalang sangit merupakan peliharaan Dewa Sambu, belalang awus merupakan peliharaan Dewa
Mahesora, belalang api merupakan peliharaan Dewa Rudra, belalang sasab merupakan peliharaan Dewi Giri Putri (Wisada Sawah, hlm. 13a-15a).
-
g) Episode mitos penyebab dan pembersihan sawah yang tercemar (Wisada Sawah, hlm. 24b-26a).
Kelompok episode mitos yang kedua adalah sebagai berikut.
-
a) Episode mitos asal usul hama yang berasal dari tokoh I Sidi Coleng (Wisada Sawah, hlm. 1b).
-
b) Episode mitos pembangunan
bendungan (Wisada Sawah, hlm. 18b-21a).
-
c) Episode mitos raja naga yang menjaga tanaman padi (Wisada Sawah, hlm. 27a-27b).
-
d) Episode mitos padi bunting yang diisi oleh tujuh bidadari yaitu Bidadari Totok, Bidadari Sulanggi, Bidadari Tunjung Biru, Bidadari Supraba, Bidadari Luh Tama, Bidadari Kuranta, dan Bidadari Gagar Mayang (Wisada Sawah, hlm. 28b-30b).
Bagian penutup teks Wisada Sawah memuat identitas berupa judul teks, tanggal teks selesai ditulis, nama dan asal penulis. Penutup teks juga memuat pernyataan penulis yang dapat dilihat pada kutipan teks nomor (5) berikut.
-
(5) "… Kṣamaŋ waŋ alpa śastra, … "
(Wisada Sawah, hlm. 31a)
Terjemahan:
"… Maafkan orang yang kurang ilmu pengetahuan. … "
Kutipan teks nomor (5) di atas memuat pernyataan yaitu berupa permohonan maaf dari penulis. Permohonan maaf tersebut merupakan wujud sikap rendah hati penulis yang masih memiliki kekurangan pengetahuan dalam rangka penulisan teks. Kemudian teks Wisada Sawah ditutup dengan salam prama santi.
-
1.3 Struktur Mikro Teks Wisada
Sawah
Struktur mikro teks Wisada Sawah dianalisis melalui tiga aspek yaitu aspek bahasa yang digunakan, aspek kohesi, dan aspek gaya bahasa.
Teks Wisada Sawah menggunakan Bahasa Bali, Bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Sansekerta. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kosa kata dalam teks yang dimulai dari bagian pendahuluan, isi, sampai pada bagian
penutup. Bahasa Bali dan Bahasa Jawa Kuna lebih dominan digunakan dalam teks Wisada Sawah jika dibandingkan dengan Bahasa Sansekerta.
Kohesi merupakan keserasian hubungan antara unsur linguistik dalam sebuah wacana. Kohesi dapat ditinjau dari hubungan antara kata, frasa atau kalimat dalam wacana tersebut (Darma, 2014: 7).
Aspek kohesi gramatikal teks Wisada Sawah meliputi referensi, elipsis dan konjungsi.
-
a) Referensi
Referensi adalah berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain, yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam dkk, 2003: 23). Salah satu referensi yang ada dalam teks Wisada Sawah adalah referensi persona. Referensi persona direalisasikan melalui pronomina persona atau kata ganti orang (Sumarlam dkk, 2003: 24). Contoh
referensi persona dalam teks Wisada Sawah dapat dilihat pada kutipan teks nomor (6) berikut.
-
(6) "… I Ula Brahmā, Ula Grahā, haywamayanparin iysun, ..."
(Wisada Sawah, hlm. 4b)
Terjemahan:
"… “I Ula Brahmā (dan) Ula Grahā, jangan memakan padiku!” …"
Kutipan teks nomor (6) memuat kata ganti orang pertama tunggal yaitu iŋsun yang berarti aku (Mardiwarsito, 1981: 240). Kata ganti ingsun mengacu pada hal di luar teks yaitu orang yang akan menerapkan pengobatan, sehingga termasuk perujukan secara eksoforik.
-
b) Elipsis
Elipsis atau pelepasan adalah penghilangan atau pelepasan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur yang dilepaskan itu biasanya ditandai dengan konstituen nol atau zero (lambang 0) pada tempat
terjadinya pelepasan unsur tersebut (Sumarlam dkk, 2003: 30-31). Contoh elipsis dalam teks Wisada Sawah yaitu pelepasan frase Ida Saŋ Nāga Prabhu yang berfungsi sebagai subjek, dapat dilihat pada kutipan teks nomor (7).
-
(7) "… turun Ida Saŋ Nāga Prabhu, sakiy luhur, 0 yaran Naga Bhasukih Antabhoga, 0 turun sakiy sapta patāla, …"
(Wisada Sawah, hlm. 27a) Terjemahan:
"… turun Ida Saŋ Nāga Prabhu/Dewa Raja Naga dari langit, 0 bernama Naga Basuki Antaboga, 0 turun dari dunia lapis ke tujuh, …"
-
c) Konjungsi
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana (Sumarlam dkk, 2003: 32). Contoh
konjungsi yang terdapat dalam teks Wisada Sawah yaitu konjungsi mwaŋ yang berarti dan (Zoetmulder, 2006: 685), dapat dilihat pada kutipan teks nomor (8).
-
(8) "… bĕras mañañah gulā, kĕlapa, mwaŋ katipat sirikan akelan, …"
(Wisada Sawah, hlm. 16a) Terjemahan:
"… beras disangrai berisi gula, kelapa, dan ketupat sirikan satu kelan, …"
Kohesi leksikal adalah hubungan antar unsur dalam wacana secara semantis yang dapat dilihat melalui hubungan makna atau relasi semantik antara satuan lingual yang satu dengan yang lain (Sumarlam dkk, 2003: 35).
-
a) Repetisi
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam dkk, 2003: 35). Contoh repetisi yang terdapat
dalam teks Wisada Sawah yaitu repetisi epizeuksis atau pengulangan satuan lingual yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut (Sumarlam dkk, 2003: 35), dapat dilihat pada kutipan teks nomor (9) berikut.
-
(9) "… ma, Ih Bikul Barak mulih kĕlod, Ih Bikul Putih mulih kaŋin, Ih Bikul Kuniŋ mulih mulih kauh, Ih Bikul Sĕlĕm mulih kaja, …"
(Wisada Sawah, hlm. 12b)
Terjemahan:
"… mantra:
“Hai Tikus Merah pulang ke selatan, hai Tikus Putih pulang ke timur, hai Tikus Kuning pulang ke barat, hai Tikus Hitam pulang ke utara, …"
-
b) Kolokasi
Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam satu jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan (Sumarlam dkk, 2003: 44). Contoh pemakaian kata-kata yang berkolokasi dalam teks Wisada Sawah yaitu dalam jaringan masalah penanganan hama burung, dapat dilihat pada kutipan teks nomor (10) berikut.
-
(10) "… Yan kamraṅan ban pakṣi goak, śa, ñañah gariŋsiŋan, ma, Ih Bradu Itĕm, Bradu Rawa, ĕda bahaŋa saŋ goak maŋamah tatanduran Ida Bhaṭāra Guru, ĕmpu Bradhu Itĕm, Bradhu Rawa tatanduran sira ne, poma. …"
(Wisada Sawah, hlm. 8a)
Terjemahan:
"… Kalau diserang hama burung gagak. Sarana: ñahñah gariŋsiŋan.
Mantra:
“Hai Bradu Itěm, Bradu Rawa, jangan berikan Si Gagak
memakan tanaman Ida Bhaṭara Guru/Dewa Siwa. Asuh Bradu
Itěm dan Bradu Rawa tanaman beliau, semoga (berhasil).” …"
-
c) Hiponimi
Hiponimi merupakan satuan bahasa (kata, frase, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain (Sumarlam dkk, 2003: 45). Contoh hiponimi dalam teks Wisada Sawah dapat dilihat pada kutipan teks nomor (11) berikut.
-
(11) "… yadyan tikus, walaŋ saŋit,
salwiriŋ maraṅa, riŋ gaga sawah, pūrṅna denya. …"
(Wisada Sawah, hlm. 18a)
Terjemahan:
"… meskipun tikus, belalang saŋit, semua jenis hama di sawah (akan) hilang olehnya. …"
Pada kutipan teks nomor (11), yang merupakan hipernim atau
superordinatnya adalah mrana 'hama'. Sedangkan binatang yang tergolong hama sebagai hiponimnya adalah tikus dan belalang sangit.
-
d) Antonimi
Antonimi merupakan satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain atau disebut juga oposisi makna (Sumarlam dkk, 2003: 40). Contoh
antonimi dalam teks Wisada Sawah yaitu kata luh 'betina' dan muani 'jantan', dapat dilihat pada kutipan teks nomor (12).
-
(12) "… dak tugĕl baoŋ caine, I Bikul
Barak luh muani. …"
(Wisada Sawah, hlm. 12a) Terjemahan:
"… “saya akan memotong lehermu, I Bikul Barak/Tikus Merah betina (dan) jantan”. …"
Gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu. Salah satu yang dapat menimbulkan efek estetik dalam karya saatra adalah adanya penggunaan bahasa kiasan. Bahasa
kiasan ini mengiaskan atau
mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup (Pradopo, 2007: 62, 264). Gaya bahasa yang terdapat
dalam teks Wisada Sawah yaitu berupa metafora. Metafora merupakan bahasa kiasan seperti perbandingan, yaitu menyamakan satu hal dengan hal lain, akan tetapi tidak mempergunakan katakata pembanding (bagai, laksana, seperti dan sebagainya) (Pradopo, 2007: 66).
Metafora leksikal merupakan jenis metafora berupa kiasan yang menyatakan sesuatu itu sebanding, apabila ditinjau dari sudut maknanya (Mahardika, 2012: 178). Contoh metafora leksikal dalam teks Wisada Sawah yaitu kata manetra mirah 'bermata (bagaikan) permata' yang melukiskan keunggulan perawakan tokoh I Pakṣi Raja, dapat dilihat pada kutipan teks nomor (13) berikut.
-
(13) "… ŋa, I Pakṣi Raja iwĕn-iwĕn kĕdis, manetra mirah, …"
(Wisada Sawah, hlm. 8a) Terjemahan:
"… Namanya I Pakṣi Raja, (merupakan) peliharaan dewa berwujud burung, bermata
permata, …"
-
1.3.3.2 Metafora Gramatikal
Metafora gramatikal merupakan suatu bentuk metafora yang mengubah kategori kata atau ungkapan dari suatu yang diperbandingkan. Pengubahan bentuk kata yang dimaksud misalnya dari bentuk kata benda menjadi kata kerja (Mahardika, 2012: 182). Contoh
metafora gramatikal dalam teks Wisada Sawah dapat dilihat pada kutipan teks nomor (14) berikut.
-
(14) "… Saŋ Hyaŋ Sapuh labanin idane, ajĕŋan putih ajumpiŋ, makātaluh madhadhar, sasawūr, kacaŋ komak, dakṣiṅa, 1, baywan atandiŋ sapuputnya, Saŋ Hyaŋ Pamunah Śakti, hana labaan ida, nasi kuniŋ, …"
(Wisada Sawah, hlm. 9b)
Terjemahan:
"... Berikan sajen (kepada) Ida Say Hyaŋ Sapuh Bhuwana (berupa) nasi putih se-jumpiŋ memakai lauk telur dadar, memakai saur, kacang komak, dakṣiṅa 1 (buah) (dan) dilengkapi bayuhan satu pasang. Ada sesajen (untuk) Saŋ Hyaŋ Pamunah Śakti (berupa) nasi kuning, ."
Pada kutipan teks nomor (14) terjadi perubahan bentuk kata, yaitu antara kata labanin 'berikan sajen' yang merupakan bentuk kata kerja, dan kata labaan 'sajen' yang merupakan bentuk kata benda. Pemunculan metafora gramatikal dalam teks memberikan gambaran tentang terjadinya perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh adanya variasi kata yang dibutuhkan untuk membangun estetika cerita (Mahardika, 2012: 183).
-
2. Fungsi Teks Wisada Sawah dalam Masyarakat Umum dan Khususnya di Bali
Fungsi teks Wisada Sawah dikaji dengan melakukan analisis yang dikaitkan dengan dimensi kognisi dan konteks sosial, yaitu konteks masyarakat dengan budaya agraris secara umum dan khususnya di Bali.
Religius berarti bersifat atau bersangkut-paut dengan keagamaan (Kridalaksana, 1999: 830). Secara
religius, umat Hindu khususnya masyarakat Bali percaya alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, dalam melakukan setiap kegiatan tak terkecuali dalam mengelola sawah pun masyarakat selalu memohon anugerah kehadapan Hyang Widhi dengan melaksanakan berbagai upacara pada waktu dan tempat tertentu. Upacara tersebut merupakan wujud bakti masyarakat kepada Tuhan yang dilakukan secara niskala. Niskala berarti sesuatu yang tidak nyata atau dalam konteks ini berarti secara spiritual atau secara rohani.
Demikian pula yang tertuang dalam teks Wisada Sawah yaitu memuat pengetahuan pengelolaan sawah secara niskala yang kental dengan unsur religius. Fungsi religius teks Wisada Sawah yaitu dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan pengelolaan sawah secara niskala atau spiritual. Pengelolaan sawah yang dimaksud terdiri dari penanggulangan hama, pembangunan bendungan dan cara merawat sawah agar subur dan menghasilkan yang dilakukan secara niskala. Pengelolaan sawah secara niskala berkaitan dengan hal-hal yang bersifat religius atau berkaitan dengan keagamaan. Hal tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan umat Hindu di Bali, sehingga cocok diterapkan oleh masyarakat khususnya petani di Bali yang sebagian besar menganut ajaran Agama Hindu.
Fungsi ekologi yang dimaksud disini adalah fungsi teks yang berkaitan dengan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya. Teks Wisada Sawah memuat pengetahuan tentang pengelolaan sawah yang dilakukan secara sěkala dengan menggunakan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan. Salah satu contohnya adalah dalam menanggulangi hama tikus dapat menggunakan bahan alami yaitu umbi gadung dan kemiri. Umbi gadung dan kemiri merupakan bahan-bahan alami yang sudah terbukti efektivitasnya secara ilmiah untuk mengusir hama tikus. Ramuan yang terdiri dari 2 kg umbi gadung + 1 kg dedak + 1 ons tepung ikan + 4 biji kemiri + air secukupnya, adalah ramuan yang efektif membunuh hama tikus dengan tingkat mortalitas 100% pada waktu ± 7 hari (Putranto, 2012: v-vi).
Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi ekologi teks Wisada Sawah adalah sebagai pedoman pengelolaan sawah secara sěkala atau secara fisik yang ramah lingkungan. Penggunaaan bahan-
bahan alami yang ramah lingkungan dalam mengelola sawah secara fisik atau sěkala akan mengurangi terjadinya kerusakan alam. Hal tersebut dapat diterapkan dengan aman oleh masyarakat luas bukan hanya di Bali.
Fungsi sosial teks Wisada Sawah yang pertama adalah sebagai pendidikan kesehatan bagi masyarakat secara umum. Pendidikan kesehatan yang dimaksud adalah membangun budaya hidup sehat, terutama dalam mengelola sawah agar lebih mengutamakan penggunaan bahan-bahan alami. Sawah merupakan tempat asal dari makanan pokok yang dimakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, terwujudnya sawah yang sehat dalam artian tidak tercemar oleh bahan-bahan kimia maka akan berdampak pada kesehatan masyarakat yang memakan makanan yang berasal dari sawah tersebut.
Fungsi sosial teks Wisada Sawah yang kedua adalah membentuk hubungan kekerabatan antara petani. Wisada Sawah memuat pengetahuan dalam dunia pertanian yang lebih lanjut dapat disebarluaskan di kalangan petani sebagai kelompok profesi yang paling membutuhkan pengetahuan tersebut. Melalui teks Wisada Sawah para petani bisa saling berinteraksi untuk saling membantu terutama dalam hal mengelola sawah, sehingga terjalin hubungan kekerabatan antara petani.
-
3. Makna Teks Wisada Sawah Dikaitkan dengan Konteks
Masyarakat dengan Budaya Agraris secara Umum dan Khususnya di Bali
Makna teks Wisada Sawah dikaji dengan melakukan analisis yang dikaitkan dengan dimensi kognisi dan konteks sosial, yaitu konteks masyarakat dengan budaya agraris secara umum dan khususnya di Bali. Interpretasi simbol sebagai tanda juga berperan dalam mengungkap makna dari teks Wisada Sawah.
Makna keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan ini berkaitan dengan fungsi religius teks Wisada Sawah, yaitu sebagai pedoman pengelolaan sawah secara niskala atau spiritual. Unsur religius atau unsur yang bersifat keagamaan ditandai dengan termuatnya simbol-simbol Tuhan dalam teks. Contohnya seperti hama tikus dikembalikan ke gědong di keempat penjuru mata angin, sedangkan kekotoran yang mencemari sawah disucikan dan dikembalikan ke meru tumpang sebelas. Gědong dan meru merupakan simbol tempat bersetananya dewa sebagai manifestasi dari Tuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan pengelolaan sawah secara niskala atau spiritual, segala macam kekotoran dan hama penyakit tersebut harus dikembalikan lagi kepada Tuhan. Hal itu dikarenakan bahwa alam semesta beserta segala isinya ini merupakan ciptaan Tuhan. Melalui interpretasi simbol sebagai tanda tersebut, maka makna teks Wisada Sawah dapat diketahui, yaitu adanya keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Makna keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam ini berkaitan dengan fungsi ekologi teks Wisada Sawah, yaitu sebagai pedoman
pengelolaan sawah secara sěkala atau secara fisik yang ramah lingkungan. Pengelolaan sawah secara sěkala atau secara fisik tersebut dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan alami. Bahan-bahan alami yang dipergunakan dalam tersebut akan dengan mudah terurai, sehingga tidak meninggalkan sisa atau residu yang mencemari lingkungan. Penggunaaan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan dalam mengelola sawah secara fisik atau sěkala akan mengurangi terjadinya kerusakan alam. Dengan demikian terjadi keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam.
Makna keharmonisan hubungan antara sesama manusia ini berkaitan dengan fungsi sosial teks Wisada Sawah, yaitu pendidikan kesehatan bagi masyarakat umum dan membangun hubungan kekerabatan diantara petani. Pengetahuan yang terdapat dalam teks Wisada Sawah dapat membentuk budaya hidup sehat di kalangan masyarakat secara umum. Dimulai dari para petani yang menjaga kesehatan sawahnya, dalam artian sawah tidak tercemar oleh bahan kimia, maka berdampak pada kesehatan masyarakat luas yang memakan makanan pokok hasil panen dari sawah tersebut. Hal itu merupakan wujud keharmonisan hubungan antara sesama manusia. Pengetahuan yang terkandung dalam teks Wisada Sawah dapat diterapkan dan disebarluaskan di kalangan para petani sebagai kelompok masyarakat yang paling membutuhkan pengetahuan tersebut. Melalui teks Wisada Sawah ini, petani dapat berinteraksi untuk saling membantu dalam melakukan pengelola sawah. Dengan demikian terciptalah keharmonisan hubungan antara sesama manusia.
SIMPULAN
Pengetahuan pengelolaan sawah yang terkandung dalam teks Wisada Sawah sesuai dengan tradisi masyarakat di Bali, namun dapat pula diterapkan oleh masyarakat secara umum. Bentuk pengelolaan sawah dalam teks Wisada Sawah yang pertama adalah berupa pengelolaan sawah secara sěkala atau secara fisik dengan menggunakan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan. Pengetahuan pengelolaan sawah secara sěkala tersebut yaitu berupa pengetahuan tentang pengendalian hama yang dapat diatasi dengan menggunakan bahan-bahan alami. Pengelolaan sawah secara sěkala inilah yang dapat diterapkan oleh masyarakat luas bukan hanya di Bali.
Bentuk pengelolaan sawah dalam teks Wisada Sawah yang kedua adalah berupa pengelolaan sawah secara niskala atau secara spiritual. Pengetahuan pengelolaan sawah secara niskala tersebut terdiri dari pengetahuan tentang pengendalian hama, pembangunan bendungan, dan cara merawat sawah agar subur dan segera menghasilkan. Pengelolaan sawah secara niskala atau secara spiritual dilakukan dengan mempergunakan sarana berupa sesaji yang disertai lafalan mantra. Sesaji dan mantra tersebut ditujukan untuk memohon anugerah Tuhan dan para dewa sebagai wujud manifestasi-Nya, serta kepada tokoh-tokoh mitos yang menjaga tanaman padi di sawah. Pengelolaan sawah secara niskala ini cocok diterapkan di Bali karena sesuai dengan adat istiadat masyarakat Bali.
Fungsi dan makna teks Wisada Sawah saling berkaitan. Analisis fungsi teks Wisada Sawah dikaitkan dengan dimensi kognisi dan konteks sosial yaitu konteks masyarakat dengan budaya agraris secara umum dan khususnya di Bali. Fungsi teks Wisada Sawah meliputi (1) fungsi religius yaitu sebagai pedoman pengelolaan sawah secara niskala atau secara spiritual yang sesuai dengan tradisi masyarakat di Bali; (2) fungsi ekologi yaitu sebagai pedoman pengelolaan sawah secara sěkala atau secara fisik yang ramah lingkungan, sehingga dapat diterapkan oleh masyarakat secara umum; (3) fungsi sosial yaitu pendidikan kesehatan bagi masyarakat secara umum dan membangun hubungan kekerabatan diantara petani.
Analisis makna teks Wisada Sawah dikaitkan dengan konteks masyarakat dengan budaya agraris secara umum dan khususnya di Bali. Interpretasi simbol sebagai tanda juga berperan dalam mengungkap makna teks Wisada Sawah. Makna teks Wisada Sawah yang pertama adalah makna keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Makna ini
berkiatan dengan fungsi religius teks Wisada Sawah. Makna yang kedua adalah makna keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Makna ini berkitan dengan fungsi ekologi teks Wisada Sawah. Makna yang ketiga adalah makna keharmonisan hubungan antara sesama manusia. Makna ini berkitan dengan fungsi sosial teks Wisada Sawah.
Masyarakat Bali memiliki kekayaan berupa beragam teks tradisional yang berkaitan dengan bidang pertanian, salah satunya adalah Wisada Sawah. Dalam penelitian ini, ditemukan dua naskah lainnya yang memiliki kemiripan dengan Wisada Sawah dari segi isi dan judulnya seperti yang telah dijelaskan pada bagian sumber data di atas. Namun penelitian ini tidak menjelaskan pertalian naskah Wisada Sawah dengan dua versi naskah lainnya tersebut. Oleh karena itu, ke depannya perlu dilakukan penelitian khusus secara filologi. Hal itu bertujuan untuk meneliti pertalian naskah-naskah tersebut atau dengan versi naskah lainnya yang belum sempat ditemukan dalam penelitian ini, sehingga dapat diketahui naskah yang manakah merupakan naskah babon 'induk' atau sumber pertama dari penyalinan naskah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Darma, Y.A. (2014). Analisis Wacana
Kritis dalam Multiperspektif.
Bandung: Refika Aditama.
Eriyanto. ( 2011). Analisis Wacana
Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
Jirnaya, I.K. (2011). "Usada Budha
Kacapi: Teks Sastra Pengobatan Tradisional Masyarakat Bali"
(disertasi). Denpasar: Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Kridalaksana, H. (1999). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mahardika, I.G.M. (2012). "Wacana Nangluk Mrana dalam Babad
Dewa dan Implementasinya di Masyarakat Gianyar" (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Mardiwarsito, L. (1981). Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Flores: Nusa
Indah.
Nurgiyantoro, B. (2018). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pardika, I.M. (1988). Alih Aksara
Lontar Usada Sawah. Denpasar: Unit Pelaksana Daerah (UPD),
Pusat Dokumentasi Kebudayaan
Bali Propinsi Bali.
Pradopo, R.D. (2007). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Presiden Republik Indonesia. (2017). Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Purwadi dan Purnomo, E.P. (2008). Kamus Sansekerta Indonesia. Yogyakarta: BudayaJawa.Com.
Putranto, A.F. (2012). "Efektivitas Pemanfaatan Umbi Gadung (Dioscorea hispida) terhadap Hama Tikus" (skripsi). Jember: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jember.
Rai, I.B.K. (1913) saka. "Wiṣadha Sawah" (lontar). Griya Jungutan, Desa Bungaya, Kecamatan
Babandem, Amlapura.
Rai, I.B.K. ( 1913) saka. "Wiṣadha Sawah" (digitalisasi lontar). Griya Jungutan, Desa Bungaya, Kecamatan Babandem,
Amlapura. (Diakses pada 9 April
2021 dari alamat
Zoetmulder, P. J dan Robson, S.O. (2006). Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
https://archive.org/details/usadha sawah/mode/1up?view=theater).
Ratna, N.K. (2010). Metodologi
Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, N.K. (2012). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Renawati, P.W. (2011). Naskah Yama Purwana Tattwa dan Naskah Usadha Sawah Sumber Upacara Ngaben Tikus di Tabanan, Bali. Jurnal Manassa Manuskripta, 1
(2), hlm. 99-121.
Soeratno, S.C. (1991). Hikayat Iskandar Zulkarnain. Jakarta: Balai Pustaka.
Suarka, I.N dan Bawa, A.A.G. (2020). Dharma Pamaculan Pengetahuan Pertanian Bali Tradisional.
Denpasar: CV. Dwi Cipta
Mediatama.
Sumarlam dkk. (2003). Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Suparta, I.M. (1998). Lontar Usada Sawah Sebuah Sumber
Pengetahuan Budaya tentang Cara Penanggulangan Hama Padi dalam Tradisi Pertanian dan Tata
Lingkungan Hidup Masyarakat
Bali. Simposium Internasional
Pernaskahan Nusantara II, Depok, Indonesia.
Warna, I.W. dkk. ( 1993). Kamus
Bali-Indonesia. Denpasar:
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Wicaksono, A. (2014). Catatan Ringkas Stilistika. Yoyakarta:
Garudhawaca.
Discussion and feedback