Memahami Makna Interaksi Sosial dalam Keanekaragaman Etnis dan Budaya di Kelurahan Subagan Karangasem pada Abad Ke-19 Perspektif Masa Kini
on
HUMANIS
Journal of Arts and Humanities
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019
Vol 26.1 Februari 2022: 140-146
Memahami Makna Interaksi Sosial dalam Keanekaragaman Etnis dan Budaya di Kelurahan Subagan Karangasem pada Abad Ke-19 Perspektif Masa Kini
Ida Ayu Putu Mahyuni, Anak Agung Inten Asmariati
Universitas Udayana, Denpasar Bali Indonesia Email Korespondensi: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 16 September 2021
Revisi: 21 Oktober 2021
Diterima: 13 Januari 2021
Keywords: Social Interaction, ethnic, cultural diversity
Kata kunci: Interaksi Sosial dan Keanekaragaman Suku dan Budaya
Corresponding Author:
Ida Ayu Putu Mahyuni
Email: [email protected]
DOI:
https://doi.org/10.24843/JH.20
22.v26.i01.p14
Abstract
Since the 19th century in Karangasem there has been interaction between various ethnic groups (Balinese, Sasak, Bugis, and Javanese). These social interactions lead to acculturation in several elements of culture, such as in elements of language, and cultural arts. The Sasak, Javanese, Bugis people migrated to Karangasem with various backgrounds and reasons, bringing with them their respective cultures. Gradually the cultural elements brought were accepted and processed into the Balinese Hindu culture, which is a native of Karangasem. Social interactions and acculturation that occur especially with Sasak Muslims cannot be separated from the existence of political power relations. Political power relations are also based on patron-client relationships, namely the relationship or link between the King of Karangasem as a leader and the people he leads. In the past, patron-client relationships were based on a sense of Utun (attention, loyalty), Tresna (loyalty and devotion (mutual respect and respect), mutual benefit, giving and receiving). Such leadership patterns are usually based on the teachings of Hindu philosophy, such as in the teachings of Asta Brata. This study is supported by the theory of structural functionalism, and the theory of hegemony from Gramsci. According to the theory of hegemony, mastering is not just dominating, but also with moral and intellectual leadership. The method used in this writing is through a literature review and the results of observations (observations).
Abstrak
Sejak abad ke-19 di Karangasem terjadi interaksi sosial antar berbagai etnis (Bali, Sasak, Bugis, dan Jawa). Interaksi sosial tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi dalam beberapa unsur unsur-unsur kebudayaan, seperti dalam unsur bahasa, dan seni budaya. Orang-orang Sasak, Jawa, Bugis bermigrasi ke Karangasem dengan berbagai latar belakang dan alasan dengan membawa serta budayanya masing-masing. Lambat laun unsusr-unsur budaya yang dibawa itu diterima dan diolah ke dalam budaya penduduk Bali Hindu yang merupakan penduduk asli di Karangasem. Interaksi sosial dan akulturasi yang terjadi terutama dengan orang-orang Islam Sasak tidak terlepas dari adanya hubungan politik kekuasaan.Permasalahan yang perlu dijawan, yaitu faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial
dalam keanekaragaman etnis dan budaya di lingkungan Karangsokong dan Telagamas? serta apa makna terjadinya interaksi sosial dalam keanekaragaman etnis dan budaya perspektif masa kini? Kajian ini didukung teori fungsionalisme struktural, dan teori hegemoni dari Gramsci. Menurut teori hegemoni menguasai bukan sekedar mendominasi, namun juga dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui kajian pustaka dan hasil observasi (pengamatan).
PENDAHULUAN
Menurut Soerjono, Soekamto (2004), Interakasi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis antar orang perorang, antar kelompok dengan kelompok, atau antar perorangan dengan kelompok. Semua kegiatan aktivitas pertemuan tersebut disebut dengan interaksi sosial. Interaksi sosial antar warga pendatang (Sasak, Bugis dan Jawa) dengan warga Bali di Karangasen sudah terjadi sejak abad ke-19. Interaksi sosial yang cukup lama itu mengakibatkan terjadinya akulturasi bahasa dan seni budaya di Karangasem.
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul dimana suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Misalnya di lingkungan Karangsokong dan Telagamas yang terletak di Kelurahan Subagan Karangasem sejak dulu sampai kini kebudayaan orangorang Bali Hindu yang merupakan penduduk asli dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, seperti kebudayaan Sasak, Bugis, Jawa, dan sebagainya, tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan Bali Hindu yang sudah berkembang sebelumnya.
Dalam arti yang sempit kebudayaan adalah pikiran, karya dan hasil karya manusia untuk memenuhi hasratnya akan keindahan. Atau dalam arti sempit kebudayaan adalah kesenian. Namun di
pihak lain memandang kebudayaan dalam arti luas, yaitu meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannuya. Kebudayaan meliputi 7 (tujuh) unsur secara universal, meliputi: sistem relegi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1982:12).
Interaksi sosial yang cukup lama atas dasar saling perhatian, setia dan loyal antara pemimpin (Raja) dengan rakyat yang dipimpinnya itu telah mampu melahirkan rasa toleransi, solidaritas yang besar dan integritas antar etnis, budaya dan agama yang berbeda sampai kini. Sikap-sikap seperti itu memang sangat diperlukan terutama dalam masyarakat yang majemuk atau plural yang rentan terjadi konflik yang biasanya bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan. Dari latar belakang tersebut terdapat dua (2) hal yang perlu dijawab yakni: faktor-faktor apa penyebab interaksi sosial dan akulturasi?, serta apa makna terjadinya interaksi dan akulturasi tersebut perspektif masa kini?.
METODE DAN TEORI
Kajian ini merupakan analisis kualitatif terutama menjadikan kajian pustaka sebagai data. Dari perspektif masa kini kajian ini juga dilengkapi dengan hasil observasi (pengamatan) di lapangan. Sumber data dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam dengan informan pangkal, informan kunci dan informan pendukung seperti
dengan tokoh-tokoh masyarakat di Kelurahan Subagan Karangasem, warga dan tokoh masyarakat di lingkungan Karangsokong dan Telagamas Kelurahan Subagan Karangasem. Untuk dapat memahami faktor-faktor penyebab interaksi sosial dan akulturasi digunakan tulisan dari Anak Agung Gede Putra Agung, dalam “Masuknya Islam Di Karangasem “ (1979). Tulisan lainnya dari Slamet Trisila, dalam “Melihat Puri Dari Serambi Masjid: Relasi Kuasa Kerajaan Karangasem dan Masyarakat Islam” (2013). Teori fungsionalisme struktural untuk melihat sistem secara keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung (Poloma, 1987: 28). Misalnya antar warga etnis Bali dengan etnis pendatang sehingga membentuk interaksi sosial. Sedangkan teori hegemoni dari Gramsci untuk memperkuat pola kepemimpinan yang tidak hanya mendominasi, namun hegemoni Gramsci lebih menekankan pada kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensus (Barker, 2000:62-63, Strinati,1995:188-190) .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor Penyebab Interaksi Sosial dan Akulturasi
Interaksi sosial terjadi akibat adanya migrasi orang-orang Islam Sasak ke wilayah kekuasaan kerajaan Karangasem. Migrasi orang-orang Sasak erat hubungannya dengan kekuasaan politik antara kerajaan Karangasem atas kerajaan Pejanggik di Lombok. Akibatnya sejak abad ke-19 di wilayah kerajaan Karangasem terjadi interaksi sosial antar orang-orang Bali Hindu di Karangasem dengan orang-orang Islam Sasak. Interaksi sosial yang terjadi dan berkembang di wilayah Karangasem pada saat itu tergolong berlangsung secara tenteram dan damai. Hal ini tidak terlepas dari pola kepemimpinan dari raja Karangasem sebagai pemimpin dan
penguasa tertinggi terhadap rakyat yang dikuasainya, sehingga pada abad ke-19 di Karangasem telah terbentuk hubungan patron-client yang didasari atas rasa utun, tresna dan bakti. Hubungan patronclient di Karangasem terjadi secara harmonis, atas asas saling menguntungkan, saling memberi dan menerima (Trisila, 2013:238).
Selain dilandasi atas rasa utun, tresna dan bakti. Raja Karangasem dikenal sangat perhatian dan loyalitas terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sejak awal kedatangan orang-orang Sasak ke Karangasem, atas seijin raja Karangasem telah dibuka sebidang ladang di sejumlah tempat yang hingga kini berkembang sebagai tempat pemukiman orang-orang Muslim di lingkungan kekuasaan kerajaan Karangasem. Sejak abad ke-19 dan awal abad ke-20, terdapat lebih dari 20 kampung Islam Sasak di wilayah kekuasaan kerajaan Karangasem, diantaranya: Bukit Tabuan, kampung Anyar, Karang Sasak, Tibulaka Sasak, Tihing-Jangkrik, Karang Cermen, Nyuling, Ujung Pesisi, Kecicang dan di tempat lainnya ,termasuk di Karangsokong, Telagamas dan sebagainya (Agung, 1979:11).
Interaksi sosial atas dasar rasa utun, tresna dan bakti, atas dasar hubungan harmonis yang saling menguntungkan, saling memberi dan menerima tersebut telah mendorong terjadinya akulturasi dan kolaborasi dalam beberapa unsur-unsur kebudayaan, seperti dalam unsur bahasa dan seni budaya. Orang-orang Sasak, Bugis dan Jawa yang bermigrasi ke Karangasem dengan latar belakang atau alasan yang berbeda-beda. Mereka datang ke Karangasem dengan membawa serta kebudayaan mereka masing-masing.
Interaksi Sosial dan Akulturasi
Apabila ditinjau dari masuknya Islam di Karangasem sesudah eratnya hubungan dengan Lombok, pengaruh kebudayaan Sasak yang terbawa ke
Karangasem dari daerah asalnya cukup kuat. Berbagai corak kebudayaan seperti bahasa Sasak sebagai bahasa percakapan, beberapa bidang kesenian seperti cak kepung, rebana, wayang Sasak, tembang-tembang Sasak yang diambil dari Cerita Menak.Kesusastraan seperti Hikayat Nabi masih berkembang di kalangan masyarakat. Disamping itu pengaruh kesenian yang bercorak Arab seperti Rudat dulu pernah hidup di Karang Tohpati dan Kecicang. Sedangkan pencak silat di Subagan dikembangkan oleh Daeng Plele asal Bugis (Agung,1979:14)
Pada awal abad ke-20 di Karangasem terdapat 20 masjid, dan ini tergolong terbanyak dibandingkan jumlah masjid di daerah-daerah lainnya di Bali. Ornament bangunan masjid kuno yang ada di kampung Islam Karangasem, diantaranya ada yang menggunakan ornamen seperti ornamen sebuah bangunan meru di Bali. Masjid yang dimaksud adalah Masjid Ampel yang berada di Karang Ampel Karangasem. Demikian halnya masjid yang ada di Kecicang, yaitu Masjid Baiturahman memiliki ciri-ciri masjid kuno di Nusantara, antara lain memiliki atap yang meruncing ke atas (Trisila,2013).
Sejak dulu hingga kini di setiap kampung Islam yang ada di Karangasem saling terhubung satu dengan lainnya, saling menjaga dan saling bersilahturahmi, demikian juga antar orang-orang Hindu Bali dengan orangorang Islam dari berbagai etnis dan budaya (Sasak, Bugis, Jawa, dan yang lainnya), seperti yang berkembang di lingkungan Karangsokong dan Telagamas di Kelurahan Subagan Karangasem.
Sejak abad ke-19 orang-orang Islam Sasak sering menunjukkan rasa setia dan baktinya dengan menjadi pengayah (pembantu) dalam setiap acara adat/agama di Puri. Sebagai balas jasanya, maka raja pun tidak segan-segan
menghadiahkan sebidang tanah, misalnya sebagai lahan persawahan agar dikelolanya ( Sulandjari, 2011: 189). Internalisasi masyarakat Muslim yang berjalan mulus mengingatkan kembali pada gagasan layaknya orang Muslim menjadi bagian dari kasta kelima. Posisi ini dianggap penting pada masa itu untuk mendeskripsikan batas bagi masyarakat Muslim (Vickers,2009:42-43). Namun relasi masyarakat Islam dan Puri Karangasem menunjukkan harmonisasi.
Rasa toleransi juga ditunjukkan pada saat hari raya Nyepi, umat Muslim yang ada di lingkungan Kelurahan Karangasem di perkenankan ke Masjid untuk bersembahyang tanpa menggunakan pengeras suara, namun dari warga muslim lebih memilih untuk tinggal tetap beribadah di rumahnya mereka masing-masing, seperti warga muslim di Karangsokong dan Telagamas Subagan (wawancara dengan Ida Ketut Putra, 2020, di Karangasem).
Interaksi lainnya ditunjukkan dalam aspek keamanan dan ketertiban lingkungan. Kini sudah dilaksanakan pengukuhan pecalang dan terbentuknya jagabaya yang didukung tidak hanya dari warga Hindu,tetapi dari berbagai etnis dan agama dari berbagai kampung yang ada di lingkungan Kelurahan Karangasem, seperti Nyuling, Dangin sema, Karang Tebu dan Karang Tohpati (Herlambang, 2015:70). Hal serupa juga dikembangkan di lingkungan Karangsokong dan Telagamas. Rasa toleransi yang kini masih dapat dirasakan dalam interaksi sosial tersebut, ketika pihak Puri mengundang orang-orang Islam untuk menghadiri suatu acara adat di Puri, mereka diwajibkan mengenakan busana Islam, agar memudahkan pihak Puri dalam menyiapkan hidangan. Demikian sebaliknya, misalnya ketika hari raya Idul Fitri, buka puasa bersama, sunatan warga Hindu diundang ke tempat umat Islam yang mengadakan hajatan (Herlambang, 2015: 66-70).
Memahami Makna Interaksi Sosial dan Akulturasi Perspektif Masa Kini
Dari latar belakang interaksi social dan akulturasi yang terjadi di Karangasem khususnya di Karangsokong dan Telagamas sejak abad ke-19, maka dapat dipahami dari perspektif masa kini terkandung beberapa makna yang perlu di contoh dan ditauladani menyangkut model pendekatan yang digunakan dalam hubungan patron-clien, yaitu tautan antara pemimpin (Raja) dengan Rakyat yang dipimpin berdasarkan atas perasaan utun, tresna, dan bakti. Pola kepemimpinan ini dapat menjaga integritas, solidaritas, toleransi, jiwa gotong royong, sehingga masyarakat dalam keberagaman itu dapat hidup secara damai dan aman. ( Ardana, 2011:4).
Pola tersebut harus terus dikembangkan sebagai modal dalam mewujudkan multikulturalisme mencegah terjadinya konflik bernuansa suku,agama, ras dan antar golongan yang umumnya sering terjadi dalam masyarakat dengan keanekaragaman etnis, budaya dan agama. Multikulturalisme menjadi salah satu alternatif yang strategis untuk mencegah terjadinya konflik sesungguhnya sejak dulu sudah dibina dan dikembangkan di lingkungan Karangsokong dan Telagamas.
Untuk memahami makna interaksi social dan akulturasi perspektif multikulturalisme masa kini dapat dipahami dari esensi multikulturalisme itu sendiri adalah menumbuhkan semangat untuk menjauhi prasangka, diskriminasi, dan marjinalisasi diantara anggota masyarakat yang berbeda etnis, budaya dan agama. Kata kuncinya adalah kompromi dan toleransi dalam keberagaman (Sulandjari, 2011:169).
Kebudayaan yang multikulturalisme yang sudah terbina dan dikembangkan sejak dulu hingga sekarang di lingkungan Karangsokong dan Telagamas,
Kelurahan Subagan Karangasem jelas memperlihatkan fungsi dan perannya dalam mengelola potensi konflik dengan semangat multikulturalisme, sehingga suasana kehidupan yang harmonis bisa dirasakan oleh masyarakatnya.
SIMPULAN
Permasalahan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Faktor politik kekuasaan Raja Karangasem merupakan salah satu faktor terjadinya interaksi sosial dan akulturasi bahasa dan seni budaya seperti di lingkungan Telaga Mas dan Karangsokong. Faktor lainnya selain jarak Lombok-Karangasem cukup terjangkau juga karena faktor kebijakan raja pada waktu itu. Beberapa kebijakan raja telah mampu mewujudkan sikap integritas, solidaritas, toleransi yang tinggi serta akulturasi budaya antar etnis, budaya dan agama yang berbeda. Multikulturalisme sebagai alternatif untuk mencegah konflik itu tidak dapat dilepaskan dari peran serta penguasa sebagai pemimpin tertinggi di wilayah Kerajaan Karangasem yaitu Raja Karangasem. Pola kepemimpinannya yang selalu berlandaskan atas hubungan patron-client atas dasar rasa utun (perhatian, loyalitas), tresna (kesetiaan), bakti (rasa saling mengormati, saling menghargai) menciptakan harmonisasi baik antara pemimpin dengan rakyat yang dipimpinya, antar individu dengan individu antar indibidu dengan kelompok, dan antar kelompok dengan kelompok lainnya.
Akulturasi bahasa dan seni budaya yang terjadi dan berkembang di Karangasem khususnya di lingkungan Karangsokong dan Telagamas mencerminkan sikap kepedulian yang tinggi, sikap menghargai unsur-unsur budaya, seperti bahasa sebagai bahasa percakapan dan penulisan dalam kidung-kidung Sasak. Pelestarian bahasa Bali sebagai bahasa ibu. Kesenian Sasak, dapat pula berkembang di Karangasem
sampai kini, bahkan kini orang-orang Bali di Karangasem ikut melestarikan kesenian Cak Kepung dan ada upaya akan menghidupkan kembali seni pencak silat yang pernah dikembangkan di Subagan oleh Daeng Plele asal Bugis..
REFERENSI
Abdullah,Taufik.1982.Pola
Kepemimpinan Islam di
Indonesia:Tinjauan Umum dalam Prisma, XI,No.6. Jakarta:LP3ES
Agung, Anak Agung Gede Putra.,1979. Masuknya Islam di Karangasem. Denpasar: Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Ardana, I Ketut, 2011. Kerangka Teori dan Konsep Multikultural, dalam I Ketut Ardana (Dkk). Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi. Denpasar: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Atmadja, Nengah Bawa, 1984. Pemimpin, Pengikut Dan
Perlawanan Terhadap Belanda Di Bali Pada Abad Ke-19. Singaraja: Program
Studi.Sejarah/Anthropologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Udayana.
Barker, Chris, 2000. Cultural Studies Teori & Praktik.Yogyakarta: Kreasi Wacana
Hasibuan, Sofia Rangkuti, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia Teori Dan
Konsep.Jakarta: Dian Rakyat.
Herlambang,Wicaksana Ida Bagus, 2015. Masyarakat Multikultural: Studi TentangInteraksi Sosial Antara Masyarakat Etnis Bali Dan Etnis
sasak di Kota Amlapura (Skripsi). Denpasar: Program Studi Sosiologi Dan Ilmu Politik Universitas Udayana
Kartodirjo,Sartono.1984.Kata Pengantar, dalam Sartono Kartodidjo
(Ed).Kepemimpinan dalam
Dimensi Sosial. Jakarta:LP3ES
Koentjaraningrat, 1982. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas Dan
Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.
Parimartha, I Gde (Dkk).2015. Sejarah Bali Pertengahan Abad XIV-XVIII, dalam I Wayan Ardika (Dkk). Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press
Poloma, Margaret M, 1987. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV.Rajawali Rajab,Budi.1996.Pluralisme
Masyarakat Indonesia
SuatuTinjauan Umum, dalam Prisma, No.6. Jakarta: PT
PustakaLP3ES
Sidemen,Ida Bagus.1991. Lima Masalah Pokok dalamTeori Sejarah, dalam Widya Pustaka Tahun VIII No.2.Denpasar: Fakultas Sastra
Universitas Udayana
Soekanto, Soerjono, 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soenaryo, F.X. 2011. Proses Sejarah, Migrasi Dalam Terbentuknya Masyarakat Multikultur, dalam I Ketu Ardana (Dkk). Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan integrasi. Denpasar: Jurusan Sejarah Fakultas Satra Universitas Udayana
Sulandjari, 2011. Harmoni, Prevensi Konflik, dan Peran
Multikulturalisme, dalam I Ketut Ardana (Dkk).Masyarakat
Multikultural Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi. Denpasar: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Suwitha,I Putu Gede.1984.Peranan Orang-Orang Bugis di Bali, dalam Widya Pustaka Tahun IV,Nomor 2.
Denpasar:Fakultas Sastra
Universitas Udayana
Strinati, Dominic, 2003. Popular Culture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Trisila ,Slamet, 2013. Melihat Puri dari Serambi Masjid : Relasi Kuasa Kerajaan Karangasem dan
Masyarakat Islam, dalam I Ketut Ardana (Editor). Anak Agung Gede Putra Agung Sejarawan dan Budayawan Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Team Peneliti. 1979-1980. Sejarah Masuknya Islam di Bali. Denpasar: Majelis Ulama Indonesia Propinsi Bali
Vickers,Andrean.1989.Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Pustaka Larasan/Udayana University Press
Discussion and feedback