Hubungan Strong Madden-Jullian Oscillation (MJO) Terhadap Kecepatan Angin dan Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indonesia
on
JMRT, Volume 5 No 1 Tahun 2022, Halaman: 40-47
JffUT
JOURNAL OF MARINE RESEARCH AND TECHNOLOGY journal homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT ISSN: 2621-0096 (electronic); 2621-0088 (print)
Hubungan Strong Madden-Jullian Oscillation (MJO) Terhadap Kecepatan Angin dan Suhu Permukaan Laut (SPL)
di Perairan Indonesia
Pande Ketut Cahya Krisnanta Ariokaa, I Wayan Gede Astawa Karanga*, Gede Surya Indrawana
aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Unuversitas Udayana, Bali, Indonesia
*Corresponding author, email: [email protected]
A R TI C LE I N FO
Article history:
Received: September 7th 2021
Received in revised form: October 12th 2021
Accepted: January 15th 2022
Available online: February 28th 2022
Keywords:
Indonesian Seas;
Madden-Julian Oscillation;
OLR;
SST;
Wind Speed
ABSTRACT
Madden–Julian Oscillation (MJO) is a large-scale ocean-atmosphere phenomenon that occurs due to strong atmospheric circulation patterns and convection from Indonesian Seas then moves eastward (Pacific Ocean) with an average speed of 5 m/s. MJO is categorized into strong MJO and weak MJO whose occurrences can be identified by Outgoing Longwave Radiation (OLR). Strong MJO also has a relationship with wind and Sea Surface Temperature (SST), so that MJO events affect wind and SST. Studies on strong MJO have been conducted but in a short period, narrow research area, and only one related variable, namely the relation between MJO and precipitation The purpose of this study is understanding the relation between MJO with wind speed and SST in Indonesian Seas for the period 2003 - 2020. The data used are carried out using remote sensing technology. The research data was conducted using filtered, then analyzed by the Hovmöller diagram, and finally analyzed by correlation analysisThe research area, namely the Indonesian Seas, consists of regions A (Western Sea of Sumatera), region B (North Java Sea), region C (Southern Sea of Java), region D (Sulawesi Sea), region E (Banda Sea), region F (Aru Sea), and region G (North Papua Sea). The results of the study show that there is a relationship between OLR, wind speed, and SST where the relation between OLR and wind speed gets mostly fluctuating values, where there are negative values as well as positive values, and the relation between OLR and SST is inversely proportional.
2022 JMRT. All rights reserved.
Madden–Julian Oscillation (MJO) diartikan sebagai sebuah fenomena laut dan atmosfer berskala besar dengan kemunculan awan yang bergerak dari arah timur (Samudera Pasifik) menuju arah barat (Samudera Hindia) (Abdullah, 2018). MJO dapat dikatagorikan menjadi strong MJO dan weak MJO yang kemunculannya dapat diindentifikasi dengan Outgoing Longwave Radiation (OLR) (Purwaningsih et al., 2020).
OLR merupakan sebuah ukuran atau nilai radiasi yang ada di bumi dengan memiliki panjang gelombang yang mampu terdeteksi dari luar angkasa (Abdulhussein, 2017). Nilai yang digunakan untuk pengukuran menggambarkan seberapa besarnya perawanan yang mampu menghambat untuk keluarnya sebuah radiasi dari bumi tersebut. Apabila nilai OLR semakin kecil pada skala negatif maka memberikan petunjuk bahwa adanya hambatan yang semakin besar sehingga mampu menjadi visualisasi dari semakin tingginya hambatan awan tersebut yang biasanya disebut awan konvektif. Berdasarkan hal itu, maka OLR memiliki keterkaitan dengan MJO (Matthews A.J., 2000). Variabel OLR juga memiliki keterkaitan dengan Suhu Permukaan Laut (SPL) dan kecepatan angin (Balbeid et al., 2015).
Iswari (2017) menjelaskan SPL sebagai sebuah parameter oseanografi yang biasanya diukur pada kedalaman sekitar 10 µm (infrared bands) sampai 1 mm (microwave bands) di bawah
permukaan laut oleh sensor satelit. SPL juga merupakan salah satu parameter oseanografi untuk pemahaman, pengukuran, dan prediksi terkait interaksi antara laut dan atmosfer. Proses interaksi menentukan bagaimana panas matahari yang didistribusikan di lautan berdampak pada perubahan SPL dan perubahan iklim secara global (O’Carroll et al., 2019). Menurut Abdullah (2018) SPL berpotensi mengalami perubahan akibat adanya MJO (terutama di daerah equator). Hal tersebut dikarenakan pada saat fase aktif MJO terjadi kenaikan penguapan dan pembentukan awan sehingga menyebabkan nilai SPL mengalami kenaikan. Penelitian dari Baeda et al. (2019) juga menghasilkan bahwa MJO berdampak terhadap perubahan nilai SPL dengan korelasi (hubungan) yang kuat (80.2%) saat fase aktif MJO.
MJO juga memengaruhi kecepatan angin, dimana ketika MJO memasuki suatu wilayah, maka terjadi kenaikan dari kecepatan angin yang semakin signifikan yang berada di ketinggian 1.5 km (Jones et al., 1998). Hal ini tentu memberikan pengaruh terhadap pola angin permukaan atau angin dengan ketinggian mencapai 10 meter di atas permukaan laut. Selain itu juga mampu melakukan modulasi dari beberapa parameter yang terdapat dibawah laut (Jin et al., 2013).
Dinamika MJO umumnya bergerak di sepanjang lintasan lintang tropis dan Benua Maritim Indonesia (BMI), khususnya wilayah perairan Laut Indonesia yang merupakan salah satu daerah yang dilalui oleh fenomena MJO (Balbeid et al., 2019). Perairan Indonesia menjadi salah satu pintu untama untuk masuknya Arus 40
Lintas Indonesia (Arlindo) yang berasal dari Samudera Pasifik menuju ke Samudra Hindia dan Arlindo membawa sekitar 8 Sv (1 Sv dibaca: 1 Sverdrup = 1 juta m3/detik) massa air laut. Arlindo memengaruhi SPL yang kemudian memodulasi keadaan angin serta gaya tarik bumi dan bulan (Gordon et al., 2010).
Penelitian terkait hubungan MJO dengan kecepatan angin dan SPL, telah dilakukan sebelumnya seperti penelitian oleh Balbeid et al. (2015), namun periode tahun penelitian yang pendek dan di daerah penelitian berfokus pada pergerakan MJO dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik. Selanjutnya, penelitian dari Purwaningsih et al. (2020), membahas mengenai hubungan MJO dengan curah hujan dan variabel yang dikaitkan hanya MJO dan curah hujan. Mengingat luasnya perairan Indonesia dengan kompleksitasnya masing-masing maka dapat diduga bahwa terdapat variabilitas respon terhadap MJO itu sendiri khususnya perairan semi tertutup. Penelitian terkait respon perairan Indonesia terhadap MJO dengan menggunakan periode data yang panjang dan cakupan area yang luas belum banyak dilakukan. Maka dari itu penting untuk diadakan sebuah kajian terkait dengan hubungan antara MJO dan parameter oseanografi sebagai bentuk dari interaksi laut-atmosfer di perairan Indonesia. Pada kajian ini dipaparkan hubungan strong MJO dengan kecepatan angin serta SPL dalam rangka identifikasi terkait proses interaksi antara laut dan atmosfer terutama di perairan Indonesia. Tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui propagasi dari MJO serta hubungan MJO dengan kecepatan angin dan SPL.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2020 – Desember 2020 dengan periode data penelitian dari tahun 2003 – 2020. Lokasi penelitian adalah perairan Indonesia dengan analisis lokal di perairan sekitar Arlindo dari wilayah A (Laut Sumatera Barat), wilayah B (Laut Jawa), wilayah C (Laut Selatan Jawa), wilayah D (Laut Sulawesi), wilayah E (Laut Banda), wilayah F (Laut Aru), hingga wilayah G (Laut Utara Papua) (Gambar 1) dengan merujuk ke penelitian Putra et al. (2019), Balbeid et al. (2015), dan Purwaningsih et al. (2017). Pergerakan MJO di tiap fasenya bertempat di daerah Samudera Hindia, Indonesia, hingga Samudera Pasifik berdasarkan penelitian dari Balbeid et al. (2015) (-20°LS – 20°LU dan 80°BB – 180°BT).
Gambar 1. Peta Penelitian Analisis Lokal Wilayah A – G
-
2.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah laptop dan berbagai aplikasi software seperti Seadas, SAGA, QGIS, ODV, Panoply, WRPLOT, WinRAR, serta Microsoft Excel. Kemudian, bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari RMM (hari), data OLR (resolusi spasial 1°x1°), data kecepatan angin (resolusi spasial 0.25°x0.25°, ketinggian 10 m) dan data SPL (resolusi spasial 9 km) (Tabel 1). Resolusi spasial masing-masing data berbeda dan pada penelitian ini tidak digunakan teknik untuk menyamakan resolusi dikarenakan daerah penelitian sudah mencakup resolusi spasial masing-masing data.
Tabel 1. Data Penelitian
Data |
Sumber Data |
Cakupan |
RMM |
BOM Australia |
Data harian |
OLR |
NOAA |
Resolusi spasial 1° x 1° (harian) |
Kecepatan Angin |
ECMWF ERA 5 |
Resolusi spasial 0.25° x 0.25°, ketinggian 10 m (harian) |
SPL |
Oceancolor |
Level 3 (harian), resolusi spasial 9 km |
-
2.3 Analisis Data
-
2.3.1 Prosedur Analisis Data
-
Langkah pertama dilakukan dengan pengumpulan data serta penapisan (filter) data RMM. Berikutnya dilakukan identifikaasi strong MJO yang melintasi perairan Indonesia. Data OLR, kecepatan angin, serta SPL juga ditapis (filter) mengikuti periode RMM. Kemudian, masing-masing data dipotong (cropping) dan dilakukan analisis visual data dalam bentuk peta dan grafik statistik (Bukhari et al., 2017). Selanjutnya, dilakukan analisis propagasi MJO perfase melalui data OLR yang telah ditapis dan analisis diagram Hovmöller merujuk penelitian Balbeid et al. (2015), dan analisis korelasi sederhana menurut persamaan Sugiyono (2017).
-
2.3.2 Analisis Data RMM (Real-time Multivariate Madden-Julian
Oscillation)
Data RMM diperoleh dari website BOM Australia dengan periode 18 tahun (2003 - 2020). Bagian RMM diekstrak dalam bentuk file .txt dari website tersebut dan kemudian bagian weak MJO dihilangkan. Weak MJO dapat dideteksi dengan melihat nilai amplitudo RMM, kemudian untuk weak MJO mampu diindikasikan pada nilai dari amplitudo RMM yang bernilai kurang dari satu, dan untuk strong MJO yang ditandai dengan adanya nilai amplitudo dengan besaran lebih dari satu atau sama dengan satu (Purwaningsih et al., 2020). Hal tersebut dibantu dengan proses filtering data dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel.
-
2.3.3 Analisis Data OLR (Outgoing Longwave Radiation) dan Data SPL (Suhu Permukaan Laut)
Data OLR dan data SPL yang telah diunduh dari situs website resmi (NOAA dan Oceancolor), kemudian diproses secara spasial pada aplikasi Seadas dan QGIS. Proses cropping citra dilakukan sebelum proses download data.
-
2.3.4 Analisis Data Arah dan Kecepatan Angin serta Windrose
Data angin dari ECMWF berupa file NetCDF (.nc) dirubah menjadi bentuk .txt dengan menggunakan software ODV 4. Data dengan bentuk .txt ditampilkan di Microsoft Excel dan dikelompokan sesuai data RMM dari tahun 2003 - 2020
(Denestiyanto et al., 2015). Adapun rumus untuk mencari
kecepatan angin (m/s) saat data ECMWF sudah berhasil diolah di excel (Tjasyono, 2007), yaitu:
Kecepatan Angin = √(u)2 + (v)2
Keterangan:
u = Komponen angin permukaan 10 m dalam komponen arah zonal
v = Komponen angin permukaan 10 m dalam komponen arah meriditonal
Data arah angin dapat diperoleh dengan menggunakan rumus menurut Hirman (2002), yaitu:
v
-
θ = arctan — u
Keterangan:
θ = Arah angin (utara, selatan, timur, dan barat)
u = Kecepatan angin dalam arah vektor x (m/s)
v = Kecepatan angin dalam arah vektor y (m/s)
-
2.3.5 Analisis Temporal dan Spasial
Analisis temporal dan spasial bertujuan untuk melihat bagaimana fluktuasi OLR, kecepatan angin, dan SPL baik secara temporal maupun spasial. Analisis temporal bertujuan untuk melihat OLR, kecepatan angin, dan SPL dari data harian yang dijadikan data rata-rata tahunan berdasarkan data RMM. Analisis spasial memiliki tujuan untuk mampu mengetahui sebaran dari OLR dan SPL pada sebuah area penelitian (Laut Indonesia). Data SPL disajikan perfase, sesuai wilayah, dan tahunan dalam kurun waktu 2003 -2020.
-
2.3.6 Filtering Data
Fenomena MJO pada dasarnya memiliki sebuah periode yang dominan dengan kisaran diantara 40 hari bahkan dapat mencapai 90 hari, periode ini memasuki periode intra musiman. Sehingga dibutuhkan adanya filtering (penapisan) yang berkirasar pada frekuensi intra-musiman. Penapisan dari data diharapkan mampu membatasi adanya dampak dari sebuah fenomena osilasi mulai dari musiman, tahunan ataupun antar tahunan. Periode yang telah ditetapkan untuk penapisan data, yaitu 90 hari (Wu and Hsu, 2009).
Proses filtering diterapkan pada data OLR, angin, dan SPL. Data OLR, angin, dan SPL (harian) kemudian di-filter sesuai dengan periode RMM pada kondisi strong MJO. Data harian yang telah ditapis disesuaikan dengan fase MJO (delapan fase MJO). Terakhir, disesuaikan kembali dengan wilayah penelitian (wilayah A (Laut Sumatera Barat), wilayah B (Laut Jawa), wilayah C (Laut Selatan Jawa), wilayah D (Laut Sulawesi), wilayah E (Laut Banda), wilayah F (Laut Aru), dan wilayah G (Laut Utara Papua)). Adapun filtering yang dilakukan pada data RMM, yaitu high pass filtering, dimana meredam frekuensi rendah dan meloloskan frekuensi tinggi dari suatu data (Hadi, 2012). High pass filtering meloloskan data RMM dengan amplitudo diatas satu (strong MJO) dan dibawah satu kemudian diredam (weak MJO) (Purwaningsih et al., 2020).
-
2.3.7 Analisis Diagram Hovmöller
Pendekatan analisis diagram Hovmöller merupakan salah satu pendekatan yang berguna untuk mampu mengetahui propagasi dari MJO ke arah timur dari Indonesia. Penjelasan mengenai analisis diagram Hovmöller dapat ditemukan dengan mengakses website BOM Australia. Penelitian ini menggunakan Diagram Hovmöller yang bertujuan untuk mampu melakukan identifikasi penguatan ataupun adanya pelemahan dari variabel di sebuah titik, serta untuk mengetahui waktu tertentu selama adanya penjalaran MJO yang tengah berlangsung (Balbeid et al., 2015).
Diagram Hovmöller dianalisis dari aplikasi Panoply (NASA, 2017), dengan batasan:
-
1. Data harian OLR
-
2. Batasan latitude 6° sampai -11° (koordinat wilayah Laut Indonesia)
-
3. Batasan longitude 95° sampai 141° (koordinat wilayah Laut Indonesia)
Pada aplikasi Panoply, dilakukan input data .nc dari variabel OLR PSL NOAA dan dilakukan create plot. Kemudian, baru selanjutnya dibuat diagram Hovmöller (NASA, 2017).
-
2.3.8 Analisis Korelasi
Untuk mengetahui hubungan antara MJO terhadap kecepatan angin dan SPL maka dilakukan uji validasi dengan korelasi. Korelasi sederhana digunakan bertujuan untuk mampu mengetahui dan melihat adanya hubungan diantara dua variabel, dan apabila terdapat hubungan bagaimana arah dari hubungan tersebut. Keeratan dari sebuah hubungan antara variabel satu dengan variabel lainnya dapat dikatakan sebagai koefisien korelasi yang biasanya disimbolkan dengan (r). Berikut ini merupakan persamaan dari koefisien korelasi (Sugiyono, 2017):
1n(∑χy) - (∑χ) (∑y)
√ {n. ∑χ- - (∑x)2}{n. ∑y2 - (∑y)2}
Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi (x,y)
Σx = Jumlah pengamatan variabel OLR
Σy = Jumlah pengamatan variabel kecepatan angin dan SPL
N = Jumlah sampel
Untuk melakukan interprestasi dari besarnya koefisien korelasi, dilakukan klasifikasi koefisien korelasi seperti yang terdapat dalam tabel berikut (Sugiyono, 2017).
Tabel 2. Analisis Korelasi
Interval Nilai r |
Tingkat Hubungan |
0.001 – 0.200 |
Korelasi sangat lemah |
0.201 – 0.400 |
Korelasi lemah |
0.401 – 0.600 |
Korelasi cukup kuat |
0.601 – 0.800 |
Korelasi kuat |
0.801 – 1.000 |
Korelasi sangat kuat |
Berdasarkan hasil olah data RMM dari tahun 2003 – 2020, dapat diketahui bahwa total RMM tertinggi dan terendah untuk identifikasi terjadinya MJOyaitu terdapat pada tahun 2003 dan 2017 untuk RMM terendah (dengan jumlah RMM sebanyak 193 hari) dan tahun 2020 untuk RMM tertinggi (dengan jumlah RMM sebanyak 193 hari) (Gambar 2). Data RMM dapat digunakan untuk identifikasi strong MJO dan weak MJO dan, telah dilakukan proses high pass
Total RMM Dalam Setahun
Gambar 2. Total RMM dalam Setahun
filtering untuk memisahkan strong MJO dan weak MJO.
3.3 Grafik OLR (Outgoing Longwave Radiation)
-
3.2 Proses Perambatan MJO Perfase Tahun 2003 – 2020
Pergerakan dari MJO yang secara garis besar bergerak dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik. Gambar 3 menunjukkan nilai OLR dan sebarannya di perairan Indonesia yang dijadikan sebagai indikator kemunculan MJO. Fenomena MJO ditandai dengan warna biru pekat hinggu biru muda. Semakin pekat warna biru, menandakan bahwa semakin kuatnya pergerakan MJO di daerah yang dilaluinya. Fase pada MJO dibagi menjadi 8 fase dan terlihat bahwa MJO bergerak dari arah barat menuju arah timur.
MJO mulai muncul pada fase 2 di Samudera Hindia dan mulai memasuki wilayah Indonesia di fase 3. Pada fase 4 dan fase 5, MJO sudah berada di wilayah Indonesia. Selanjutnya, pada fase 5 dan fase 6, MJO mulai meninggalkan Indonesia. Terakhir, pada fase 8 dan fase 1, MJO sudah berada di Samudera Pasifik. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Balbeid et al. (2015), dimana propagasi MJO bergerak dari arah barat (Samudera Hindia) menuju arah timur (Samudera Pasifik). Dapat dilihat pergerakan MJO memasuki wilayah Indonesia dan memasuki daerah laut Indonesia (wilayah A (Laut Sumatera Barat), wilayah B (Laut Utara Jawa), wilayah C (Laut Selatan Jawa), wilayah D (Laut Sulawesi), wilayah E (Laut Banda), wilayah F (Laut Aru), dan wilayah G (Laut Utara Papua)).
Rata-Rata OLR Tahun 2003 - 2020
Fase 2 Fase 3
Fase 4 Fase 5
Fase 6 Fase 7
Fase 8 Fase 1
ISOWnr 240w∕πr 300 w/m3
^^^B ^^H
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa grafik nilai OLR sebagian besar menghasilkan nilai tinggi di awal fase dan mulai menurun nilai pertengahan fase serta akhirnya mulai naik lagi di fase akhir. Hal ini membuktikan bahwa pada fase sebelum memasuki wilayah perairan Indonesia, awan yang terbentuk masih sedikit dan ketika memasuki wilayah perairan Indonesia, awan yang terbentuk semakin banyak dan mulai menghilang saat keluar dari perairan Indonesia. Adapun nilai OLR tertinggi, yaitu pada wilayah C (Laut Selatan Jawa) fase 1 dengan nilai 260.422 dan pada wilayah A (Laut Sumatera Barat) fase 3 di dapat nilai 197.897 (Gambar 4).
Pada wilayah A (Laut Sumatera Barat) dan wilayah D (Laut Sulawesi) pada fase 1, 2, dan 3 nilai OLR tidak langsung tinggi, , terjadi penurunan di tengah-tengah dan menukik ke atas saat masuk fase 5, 6, 7, dan 8. Sedangkan, pada wilayah B (Laut Jawa), wilayah C (Laut Selatan Jawa), wilayah F (Laut Aru), dan wilayah G (Laut Utara Papua) menghasilkan nilai yang naik di awal fase dan mulai menurun nilai pertengahan fase serta akhirnya mulai naik lagi di fase akhir. Hal tersebut dapat dipicu oleh adanya pengaruh angin dari arah timur dan barat yang sering disebut angin muson. Angin pasat dan angin anti pasat juga berpengaruh dengan periode yang berbeda dengan angin muson, yaitu pertahunnya berhembus (Dida et al., 2016; Barry and Chorley, 2003).
Fase MJO yang melewati perairan Indonesia adalah fase 4 dan fase 5. Fase 4 dan 5 merupakan fase dimana MJO masuk dan berada di wilayah laut Indonesia (Wheeler and Hendon, 2004). Pada wilayah A (Laut Sumatera Barat), diketahui bahwa pada fase 4 OLR bernilai hampir sama dengan fase 5. Hal tersebut mengindikasikan bahwa MJO sedang berada di wilayah tersebut dengan konsentrasi yang sama. Peristiwa yang sama terjadi pada wilayah C (Laut Selatan Jawa), wilayah D (Laut Sulawesi), dan juga wilayah G (Laut Papua Utara).
Pada wilayah B (Laut Jawa), wilayah E (Laut Banda), dan wilayah F (Laut Aru) diketahui bahwa pada fase 4 nilai OLR rendah dan saat fase 5, nilai OLR tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa awan menetap lebih banyak pada fase 4 dan mulai menghilang di fase 5. Dapat diketahui bahwa pergerakan MJO terus berlanjut dari fase 5 hingga fase 1, yaitu menuju Samudera Pasifik dan menghilang.
Berikut ini hasil dari grafik OLR dari wilayah A – wilayah G.
Gambar 3. Pergerakan MJO Berdasarkan Rata-Rata OLR Tahun 2003 – 2020
Gambar 4. Grafik OLR Wilayah A – Wilayah G
-
3.4 Diagram Hovmöller Variabel OLR (Outgoing Longwave Radiation)
Diagram Hovmöller pengukurannya dilakukan dengan mengukur pada garis lintang 6°LU sampai -11°LS dan garis bujur 95°BB – 141°BT. Wilayah analisis lokal masuk ke dalam zona garis lintang dan bujur tersebut. Mekanisme MJO dapat diidentifikasikan dengan diagram Hovmöller, dimana diagram Hovmöller mampu melakukan identifikasi terhadap adanya penguatan serta pelemahan dari variabel yang terdapat pada titik serta waktu tertentu jika terdapat sebuah penalaran dari MJO yang sedang berlangsung (Hovmöller, 1949). Pada hasil ini dapat dapat dilihat dari warna biru pekat yang bergerak seiring waktu ke arah timur di tiap hari terjadinya fenomena MJO. Diagram Hovmöller pergerakan MJO diidentifikasi dari variabel OLR, dimana sebagian besar berpropagasi dari arah barat (80°BB) menuju arah timur (180°BT).
Diagram Hovmöller pada tahun 2003 hingga 2020 sebagian besar menunjukkan pergerakan MJO dari arah barat Laut Indonesia hingga timur Laut Indonesia. Pergerakan tersebut dapat dilihat dengan variabel OLR (Gambar 4). Selanjutnya, Diagram Hovmöller difokuskan pada tahun 2003 dan juga 2020 dikarenakan di tahun 2003 terjadi MJO sebanyak 193 kejadian (hari) dan juga di tahun 2020 terjadi MJO sebanyak 273 kejadian (hari) (data RMM) (Gambar 2). Selanjutnya, pada pembahasan ini, dibahas sesuai dengan musiman (musim hujan dan musim kemarau) sesuai dengan periode MJO (40 – 90 harian).
Pada tahun 2003 di musim hujan, pergerakan MJO mulai muncul pada bulan Februari 2003 – Maret 2003 dan Oktober 2003 – Desember 2003 serta mulai muncul anomali negatif OLR (weak MJO) pada bulan April 2020 (musim kemarau). Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa pada bulan Januari 2003 – Maret 2003 dan Oktober 2003 – Desember 2003 terjadi penguatan MJO dan mulai pada bulan Mei 2003 hingga Oktober 2003 terjadi pelemahan MJO. Hal tersebut dikarenakan meningkatnya nilai OLR yang dapat mengindikasikan melemahnya pergerakan konveksi awan di daerah tersebut (Gambar 5).
Pada tahun 2020 di musim hujan, pergerakan MJO mulai muncul pada bulan Oktober 2020 dan mulai muncul anomali negatif OLR (weak MJO) pada bulan Mei 2020 (musim kemarau). Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa pada bulan Oktober – Desember terjadi penguatan MJO dan mulai pada bulan Mei 2020 hingga Oktober 2020 terjadi pelemahan MJO (Gambar 6).
Pada tahun 2020 juga lebih banyak mengalami strong MJO daripada pada tahun 2003 (ditandai dengan warna biru pekat). Pada tahun 2003 diketahui lebih banyak warna merah pekat yang
menandakan adanya weak MJO dikarenakan sedikitnya konveksi awan pada periode tersebut.
Berikut ini hasil olah data diagram Hovmöller OLR di tahun 2003 dan di tahun 2020.
Gambar 5. Diagram Hovmöller Variabel OLR Tahun 2003
Gambar 6. Diagram Hovmöller Variabel OLR Tahun 2020
-
3.5 Hubungan MJO (Madden Julian Oscillation) terhadap
Kecepatan Angin
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh korelasi antara MJO dengan kecepatan angin sebagian besar menghasilkan nilai yang fluktuatif, dimana terdapat nilai yang negatif dan juga nilai yang positif. Hal ini membuktikan bahwa kedua variabel tersebut cukup kuat berhubungan dengan MJO. Adapun nilai korelasi tertinggi untuk nilai positif dan negatif, yaitu pada wilayah F (Laut Aru) fase 4 di dapat nilai 0.542 dan pada wilayah G (Laut Utara Papua) fase 5 di dapat nilai -0.5931 (Gambar 7).
Pada wilayah A (Laut Sumatera Barat), wilayah D (Laut Sulawesi), wilayah E (Laut Banda), dan wilayah G (Laut Utara Papua) mengarah ke nilai korelasi negatif. Sedangkan, pada wilayah B (Laut Jawa), wilayah C (Laut Selatan Jawa), dan wilayah F (Laut Aru) mengarah ke nilai korelasi positif. Hal tersebut dapat dipicu oleh adanya sebuah angin pasat serta angin anti pasat. Pada dasarnya angin pasat dan anngin anti pasat bergerak sepanjang tahun dan sesuai dengan periode tahunan dari analisis korelasi ini. Angin pasat merupakan jenis angin yang arah tiupnya dari timur laut dan tenggara laut, sedangkan angun anti pasat merupakan angin dengan arah tiupnya dari timur barat laut dan arah barat daya laut (Barry and Chorley, 2003). Sementara itu, angin muson juga berpengaruh terhadap nilai korelasi ini, dimana angin muson terjadi sepanjang 6 bulan (dua kali dalam setahun) dan terbagi menjadi dua jenis angin, yaitu angin muson barat dan angin muson timur (Dida et al., 2016).
Fase MJO yang melewati Laut Indonesia adalah fase 4 dan fase 5. Fase 4 dan 5 merupakan fase dimana MJO masuk dan berada di wilayah laut Indonesia (Wheeler and Hendon, 2004). Pada wilayah A (Laut Sumatera Barat), diketahui bahwa pada fase 4 bernilai cukup kuat dan berbanding terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika kecepatan angin bernilai rendah, maka nilai OLR tinggi (terjadi weak MJO) dan ketika angin bernilai tinggi, maka nilai OLR rendah (terjadi strong MJO). Adapun nilai yang menghasilkan korelasi cukup kuat dan berbanding lurus (fase 5), dimana ketika nilai korelasi berbanding lurus, saat kecepatan angin tinggi, maka nilai OLR juga tinggi (weak MJO).
Pada wilayah B (Laut Jawa), diketahui bahwa korelasi kedua variabel bernilai cukup kuat dan berbanding terbalik. Pada wilayah C (Laut Selatan Jawa), diketahui nilai korelasi ada yang bernilai cukup kuat dan berbanding terbalik (fase 4) dan juga cukup kuat dan berbanding lurus (fase 5). Pada wilayah D (Laut Sulawesi), diketahui bahwa korelasi kedua variabel bernilai cukup kuat dan berbanding terbalik. Pada wilayah E (Laut Banda), bahwa korelasi kedua variabel bernilai cukup kuat dan berbanding terbalik. Pada wilayah F (Laut Aru), diketahui bahwa korelasi kedua variabel bernilai cukup kuat dan berbanding lurus. Pada wilayah G (Laut Utara Papua), diketahui bahwa korelasi kedua variabel bernilai cukup kuat dan berbanding terbalik (fase 4) dan juga cukup kuat dan berbanding lurus (fase 5).
Perbedaan yang signifikan antara kedua nilai di tiap daerah yang berbeda tersebut selain dipengaruhi oleh faktor angin pasat dan angin muson (Barry and Chorley, 2003; Dida et al., 2016), juga diduga ada kaitannya dengan keadaan arah dari angin tersebut. Hasil dan pembahasan mengenai arah angin dapat dilihat pada subbab 3.6.
Berikut ini hasil dari hubungan MJO terhadap kecepatan
angin dari tahun 2003 – 2020 (wilayah A – wilayah G).
Wilayah B (Laut Utara Jawa)
Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase
1 2 3 4 5 6 7 8
Wilayah A (Laut Sumatera Barat)
Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase
1 2 3 4 5 6 7 8
Wilayah C (Laut Selatan Jawa)
z -°-5
Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase
1 2 3 4 5 6 7 8
Wilayah E (Laut Banda)
Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase
1 2 3 4 5 6 7 8
Wilayah D (Laut Sulawesi)
Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase
1 2 3 4 5 6 7 8
Wilayah F (Laut Aru)
Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase
1 2 3 4 5 6 7 8
Gambar 7. Grafik Hubungan OLR dengan Kecepatan Angin Wilayah A – Wilayah G Tahun 2003 – 2020
-
3.6 Windrose
Windrose yang ditampilkan hanya windrose wilayah F (Laut Aru) dan wilayah G (Laut Utara Papua). Hal ini dikarenakan hasil korelasi OLR dan kecepatan angin pada wilayah tersebut menghasilkan nilai yang cukup kuat dan pada wilayah F (Laut Aru) fase 4 di dapat nilai 0.542 dan pada wilayah G (Laut Utara Papua) fase 5 di dapat nilai -0.5931.
Berdasarkan Gambar 8 (atas), dapat dilihat bahwa arah angin pada wilayah F (Laut Aru) ada yang bertiup kearah barat laut, arah utara laut, arah timur laut, serta arah tenggara laut. Adapun angin yang bertiup kencang menujua kearah barat laut dengan rata-rata kecepatan sebesar antara 5 – 6 m/s. Pada Gambar 8 (bawah), dapat dilihat juga bahwa arah angin terkuat pada wilayah G (Laut Utara Papua) bertiup ke arah timur laut dengan rata-rata kecepatan sebesar 4 – 5 m/s.
Hal diatas dapat dipicu karena terdapat angin muson. Pada dasarnya angin muson mengalami pergantian gerak dalam melintasi wilayah di Indonesia, dengan periode sepanjang tahun yang dibedakan menjadi dua periode, dimana periode perta ada diantara bulan April hingga September, kemudian periode kedua bulan Oktober hingga Maret. Pada periode pertama ini angin yang berhembus adalah angin musin timur sedangkan pada periode kedua yang berhembus disebut angin muson barat (Dida et al. 2016).
Gambar 8. Windrose Wilayah F (atas) dan Wilayah G (bawah)
-
3.7 Hubungan MJO (Madden Julian Oscillation) terhadap Suhu
Permukaan Laut (SPL)
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa hubungan strong MJO (OLR) dengan SPL secara garis besar berbanding terbalik. Ketika nilai OLR rendah, maka warna spasial dari SPL memerah (semakin tinggi). Begitu juga sebaliknya, ketika nilai OLR tinggi, maka warna spasial SPL berwarna oranye-kuning yang berarti semakin rendah. Hasil dari olah data ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Balbeid et al. (2015), yaitu terdapat penurunan pada nilai SPL ketika fase aktif MJO.
Kemudian pada hasil grafik nilai korelasi antara MJO dan SPL dapat dilihat bahwa sebagian besar nilai korelasi menghasilkan nilai negatif dengan korelasi yang kuat (Gambar 9). Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketika MJO meningkat, maka nilai SPL menurun. Begitu juga sebaliknya, ketika MJO menurun, maka nilai SPL meningkat.
Nilai korelasi tertinggi untuk korelasi kuat dan saling berbanding terbalik ada di nilai korelasi pada wilayah C (Laut Selatan Jawa) fase 1 dengan nilai korelasi sebesar -0.89874. Adapun pada wilayah A (Laut Sumatera Barat), wilayah B (Laut Jawa), wilayah C (Laut Selatan Jawa), wilayah D (Laut Sulawesi), wilayah E (Laut Banda), dan wilayah F (Laut Aru) sebagian besar mengarah ke nilai korelasi negatif. Hanya pada wilayah G (Laut Utara Papua) mengarah ke nilai korelasi positif. Hal tersebut mengindikasikan bahwa adanya nilai yang berbanding lurus, yaitu ketika MJO meningkat, maka SPL juga mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan bahwa pada wilayah tersebut masuk dalam daerah warm pool Samudera Pasifik bagian barat (Linsley et al., 2010). Warm pool menyebabkan nilai SPL mengalami kenaikan pada daerah tersebut. Selanjutnya, hal tersebut juga erat kaitannya dengan fenomena La Nina, dimana ketika terjadi La Nina, awan konveksi yang terbentuk juga tinggi sehingga nilai dari OLR mengalami kenaikan juga (Khasanah dan Sastra, 2017). Berdasarkan hal tersebut, hubungan (korelasi) antara kedua variabel tersebut menyebabkan korelasi yang berbanding lurus dan cukup kuat.
Fase MJO yang melewati Laut Indonesia adalah fase 4 dan fase 5. Fase 4 dan 5 merupakan fase dimana MJO masuk dan berada di wilayah laut Indonesia (Wheeler and Hendon, 2004). Pada wilayah A (Laut Sumatera Barat), wilayah B (Laut Jawa), dan wilayah C (Laut Selatan Jawa) diketahui bahwa korelasi kedua variabel bernilai cukup kuat dan berbanding terbalik. Hanya pada wilayah D (Laut Sulawesi), wilayah E (Laut Banda), wilayah F (Laut Aru), dan wilayah G (Laut Utara Papua) diketahui korelasi kedua variabel ada yang bernilai cukup kuat dan berbanding terbalik serta cukup kuat dan berbanding lurus.
Perbedaan yang signifikan antara kedua nilai di tiap wilayah (wilayah A (Laut Sumatera Barat) hingga wilayah D (Laut Sulawesi) dan wilayah E (Laut Banda) hingga wilayah G (Laut Papua Utara)) yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik wilayah. Pada wilayah E (Laut Banda) hingga wilayah G (Laut Utara Papua) dipengaruhi oleh peristiwa La Nina dan pada wilayah G (Laut Utara Papua) terdapat warm pool yang berpotensi mempengaruhi nilai korelasi kedua variabel (Linsley et al., 2010; Khasanah dan Sastra, 2017).
Wilayah E (Laut Banda)
Wilayah F (Laut Aru)
3
M
Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fasa Fase
I
Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase Fase
Wilayah G (Laut Utara Papua)
S
Gambar 9. Grafik Hubungan OLR dengan SPL Wilayah A – Wilayah G Tahun 2003 – 2020
Propagasi MJO bergerak dari arah barat menuju arah timur (Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik) hal itu juga didasari dari hasil peta spasial dan diagram Hovmöller. Selanjutnya, Laut Indonesia khususnya jalur Arlindo dari wilayah A (Laut Sumatera Barat), wilayah B (Laut Jawa), wilayah C (Laut Selatan Jawa), wilayah D (Laut Sulawesi), wilayah E (Laut Banda), wilayah F (Laut Aru), hingga wilayah G (Laut Utara Papua) memiliki respon yang berbeda antara strong MJO dengan kecepatan angin, dimana menghasilkan nilai yang fluktuatif (bernilai negatif dan positif). Nilai korelasi tertinggi untuk nilai positif dan negatif, yaitu pada wilayah F (Laut Aru) fase 4 di dapat nilai 0.542 dan pada wilayah G (Laut Utara Papua) fase 5 di dapat nilai -0.5931. Terakhir, Laut Indonesia khususnya jalur Arlindo dari wilayah A (Laut Sumatera Barat), wilayah B (Laut Jawa), wilayah C (Laut Selatan Jawa), wilayah D (Laut Sulawesi), wilayah E (Laut Banda), wilayah F (Laut Aru), hingga wilayah G (Laut Utara Papua) memiliki respon yang berbeda antara strong MJO dengan Suhu Permukaan Laut (SPL), dimana menghasilkan nilai negatif dengan korelasi yang kuat. Nilai korelasi tertinggi untuk korelasi kuat dan saling berbanding terbalik ada di nilai korelasi pada wilayah C (Laut Selatan Jawa) fase 1 dengan nilai korelasi sebesar -0.89874.
Daftar Pustaka
Angin Resolusi Tinggi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Halaman 21.
Wheeler, M., C., and Hendon, H., H. 2004. An All-Season Real-Time
Multivariate MJO Index: Development of an Index for Monitoring and Prediction, Mon. Wea. Rev., 132, 1917–1932.
Wu, C.H. and H.H. Hsu. 2009. Topographic Influence On the MJO in the Maritime Continent. J. Climate, 22:5433-5448.
Abdulhussein Abdulrazzaq Safaa. 2017. Study of Outgoing Longwave Radiation Over Iraq Using AIRS Data [thesis]. Republic of Iraq Ministry of Higher Education and Scientific Research Mustansiriyah University College of Science. 99 Halaman.
Abdullah Dharmawan. 2018. Hubungan Fluktuasi Suhu Permukaan Laut terhadap Kejadian Madden-Julian Oscillation di Kepulauan Nusantara [skripsi]. Universitas Hasanudin. 93 Halaman.
Baeda Y. A., C Pao’tonan, and D. Abdullah. 2019. The Correlation Between Sea Surface Temperature and MJO Incidence in Indonesian Waters. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 235.
Balbeid Nabil, Agus Saleh Atmadipoera, dan Alan Frendy Koropitan. 2015. Respon Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Klorofil-A terhadap Madden Julian Oscillation (MJO) di Laut Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 2, Halaman 553-572.
Barry R.G. and R.J. Chorley. 2003. Atmosphere, Weather and Climate. Routledge, London, p.137.
Bukhari, Wahyu Adi, Kurniawan. 2017. Pendugaan Daerah Penangkapan Ikan Tenggiri Berdasarkan Konsentrasi Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a di Perairan Bangka. Jurnal Sumberdaya Perairan. ISSN 1978-1652.
Dida, Hero P., Sudjito Suparman, Denny Widhiyanuriyawan. 2016. Pemetaan Potensi Energi Angin di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Satelit QuikScat dan WindSa. Jurnal Rekayasa Mesin Vol.7, No.2: 95-101.
Denestiyanto Riyan, Denny Nugroho S., Heryoso Setiyono. 2015. Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Jurnal Oseanografi. Volume 4, Nomor 2. Halaman 400 – 407.
Gordon AL, Sprintall J, Aken HMV, Susanto RD, Wijffels S, Molcard R, Ffield A, Pranowo W, Wirasantosa S. 2010. The Indonesian throughflow during 2004–2006 as observed by the INSTANT program. Dyn Atmos Oc. 50(2):1-14.doi: 10.1016/j.dynatmoce.2009.12.002.
Hadi Irawan. 2012. Rancang Bangun Filter Portable. Jurnal Teliska, Volume 4, Nomer 3, Hal. 61 – 67.
Hamuna B., Paulangan P. Yunus, Dimara Lisiard. 2015. Kajian suhu permukaan laut menggunakan data satelit Aqua-MODIS di perairan Jayapura, Papua. Depik, 4(3): 160-167.
Iswari Yulia Marindah. 2017. Mengenal Suhu Permukaan Laut dari Penginderaan Jauh. Oseana, Volume XLII, Nomor 4, Hal. 40 – 54.
Jin, D., D.E. Waliser, C. Jones, and R. Murtugudde. 2013. Modulation of tropical ocean surface chlorophyll by the Madden-Julian Oscillation. Clim. Dyn., 40(1):39-58.
Khasanah Uswatun Isna dan Sastra Ridho Ahmad. 2017. Pengaruh Fenomena El-Nino dan La-Nina terhadap Perairan Sumatera Barat. Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4. 12 Halaman.
Linsley, B. K., Rosenthal, Y., & Oppo, D. W. 2010. Holocene evolution of the Indonesian throughflow and the western Pacific warm pool. Nature Geoscience, 3(8), 578-583.
NASA. 2017. How to Create Hovmöller Plots with Giovanni and Panoply and Quantified ASCII Text Hovmöller Output with Giovanni, Panoply, and Excel. https://disc.gsfc.nasa.gov/information/howto?title=How%20to%2 0Create%20Hovm%C3%B6ller%20Plots%20with%20Giovanni%20and %20Panoply%20and%20Quantified%20ASCII%20Text%20Hovm%C3 %B6ller%20Output%20with%20Giovanni,%20Panoply,%20and%20Ex cel [25 September 2021].
O’Carroll Anne G., Edward M. Armstrong, Helen M. Beggs, Marouan Bouali, Kenneth S. Casey, Gary K. Corlett, Prasanjit Dash, Craig J. Donlon, Chelle L. Gentemann, Jacob L. Høyer, Alexander Ignatov, Kamila Kabobah, Misako Kachi, Yukio Kurihara, Ioanna Karagali, Eileen Maturi, Christopher J. Merchant, Salvatore Marullo, Peter J. Minnett, Matthew Pennybacker, Balaji Ramakrishnan, RAAJ Ramsankaran, Rosalia Santoleri, Swathy Sunder, Stéphane Saux Picart, Jorge Vázquez-Cuervo and Werenfrid Wimmer. 2019. Observational Needs of Sea Surface Temperature. Journal Frontiers in Marine Science Vol. 6.
Purwaningsih Anis, Teguh Hardjana, dan Dita Fatria Andarini. 2020. Kondisi Curah Hujan dan Curah Hujan Ekstrem Saat MJO Kuat dan Lemah: Distribusi Spasial dan Musiman di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 21, No. 2, Hal. 85-94.
Putra I Nyoman Januarta, I Wayan Gede Astawa Karang, I Dewa Nyoman Nurweda Putra. 2019. Analisis Temporal Suhu Permukaan Laut di Perairan Indonesia Selama 32 Tahun (Era AVHRR). Journal of Marine and Aquatic Sciences 5(2), 234-246.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta: Bandung.
Syafik Akhmad, Kunarso, Hariadi. 2013. Pengaruh Sebaran dan Gesekan Angin terhadap Sebaran Suhu Permukaan Laut di Samudera Hindia (Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia 573). Jurnal Oseanografi, Volume 2, Nomer 3, Halaman 318-328.
Tjasyono Bayong. 2007. Sistem Angin; Bandung, 21 – 22 Agustus 2007. Workshop Turbin Angin Kecepatan Angin Rendah dan Peta Potensi
47
Discussion and feedback