HUMANIS


Journal of Arts and Humanities


p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.1. Februari 2023: 98-109

Dinamika Perkumpulan Ikawangi di Denpasar Tahun 2009-2018

The Dynamics of the Ikawangi Association in Denpasar 2009-2018

Dita Juan Yosepa, Ida Ayu Putu Wahyuni, Anak Agung Inten Asmariati Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Email korespondensi: [email protected] , [email protected] , [email protected]

Info Artikel

Masuk:13 Juni 2021

Revisi: 2 Januari 2023

Diterima: 4 Pebruari 2023

Terbit:28 Pebruari 2023

Key Words: Ikawangi;

Development; Regional

Association; Bali


Kata kunci: Ikawangi;

Perkembangan; Perkumpulan

Kedaerahan; Bali

Corresponding Author: Dita

Juan Yosepa

email:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i01.p10


Abstract

This study discusses the dynamics of the Ikawangi association as a regional association in the period 2009 to 2018. Some of the issues that will be discussed in this study are (1) How the history of Ikawangi Dewata Balo (2) How the development of Ikawangi Dewata in the period 2009 to 2018, and (3) What are the implications of Ikawangi Dewata for Banyuwangi people in Bali and non-Banyuwangi societies. This research is a historical research. The approach used in the study is social history. The historical theory used is five elements of historical theory initiated by Ida Bagus Sidemen: historical understanding, historical explanation, historical objectivity, historical causation and historical determinism. The results of the study revealed the origin and chronology of the establishment of Ikawangi as a regional based association in Denpasar, Bali. Ikawangi has four branches in various regions in Bali and has a very influential presence on Ikawangi members, the Denpasar commmunity and other migrants.

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang dinamika perkumpulan Ikawangi sebagai perkumpulan kedaerahan yang berdiri di Denpasar, Bali dalam periode waktu 2009 hingga 2018. Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana sejarah berdirinya perkumpulan Ikawangi Dewata Bali, (2) Bagaimana perkembangan Ikawangi Dewata Bali, dan (3) Apa implikasi perkumpulan Ikawangi Dewata Bali bagi masyarakat Banyuwangi dan masyarakat non-Banyuwangi di Bali. Penelitian ini adalah penelitian historis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian sejarah perkumpulan daerah ini adalah sejarah sosial. Teori sejarah yang digunakan adalah teori milik Ida Bagus Sidemen tentang lima unsur teori sejarah, yakni historical understanding, historical explanation, historical objectivity, historical causation dan historical determinism. Hasil penelitian mengungkapkan asal usul dan kronologi berdirinya Ikawangi sebagai perkumpulan berbasis kedaerahan di Denpasar Bali. Ikawangi berkembang mempunyai cabang sebanyak empat diberbagai daerah di Bali, serta sangat berpengaruh keberadaan Ikawangi terhadap anggota Ikawangi, masyarakat Denpasar dan masyarakat pendatang lainnya.

PENDAHULUAN

Cerita mengenai Bali sebagai tujuan kaum pendatang untuk singgah, telah berlangsung berabad-abad. Hal itu dibuktikan dengan fakta bahwa sejak era Majapahit, baik di era kejayaannya sekitar tahun 1343 M, hingga masa kelam kerajaan tersebut pada 1518 M, kelompok yang masih bisa disebut sebagai masyarakat asli Bali tinggallah mereka yang ada di desa-desa kuno, seperti Tenganan (Karangasem), Sukawana dan Trunyan (Kintamani), atau Desa Julah, Sembiran dan Pedawun (Buleleng) (Dhuroruin, 2014: 115).

Paska 2005, selisih antara migran yang masuk ke Bali lebih besar dibandingkan yang keluar. Berbanding terbalik dengan periode tahun 1980 hingga 2005, dimana lebih banyak penduduk Bali melakukan migrasi ke wilayah lain daripada penduduk luar Bali yang masuk (Sarmita & Simamora, 2018). Penduduk Jawa Timur menjadi migran paling dominan yang masuk ke Bali. Jumlahnya mencapai angka 60 persen. Faktor kedekatan geografis menjadi alasan mendasar mengapa Jawa Timur menjadi penyumbang terbesar penduduk migran di Provinsi Bali, meskipun faktor-faktor lain seperti ekonomi, pendidikan, dan program pemerintah juga memiliki andil dalam memengaruhi keputusan para migran (Sarmita & Simamora, 2018).

Julukan Bali sebagai daerah favorit kaum pendatang semakin kuat pada satu dekade terakhir, jumlah migran di Bali ‘meledak’. Berdasarkan sensus penduduk terakhir yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, pada tahun 2010, jumlah migran di Bali mencapai 839.373 jiwa atau sebesar 21,57 persen dari total jumlah penduduk Provinsi Bali (Trendyari & Yasa, 2014). Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Provinsi Bali menyumbang penduduk migran terbesar di Bali. Pada tahun 2010 jumlah penduduk migran di Kota

Denpasar mencapai 415.417 jiwa atau sekitar 52,68 persen dari total jumlah penduduk Kota Denpasar (Badan Pusat Statistik, 2010).

Besarnya angka migran masuk ke Bali memiliki dampak negatif, maupun positif. Konsekuensi negatif yang disebabkan oleh pertumbuhan migran adalah munculnya berbagai masalah, antara lain ketimpangan sosial (Sukwika, 2018), berkembangnya kawasan permukiman kumuh, degradasi lingkungan, kerawanan sosial dan tindak kriminal, dan permasalahan pengangguran serta kemiskinan (Romdiati & Noveria, 2006: 14).

Untuk menghindari akibat negatif dari banyaknya jumlah migran Banyuwangi di Bali, dibutuhkan sebuah jalan keluar. Di luar Bali, masalah tersebut diselesaikan dengan cara mendirikan perkumpulan berbasis kedaerahan. Di Jakarta misalnya, warga asal Banyuwangi sudah sejak tahun 1972 mendirikan Ikawangi dan menjadi perkumpulan warga asal Banyuwangi pertama yang ada (Chintiya Betari Avinda, 2016). Tercatat, bahwa saat ini Ikawangi memiliki 22 cabang yang tersebar di Indonesia, serta 7 negeri lainnya, seperti Taiwan, Malaysia dan Hongkong (Astro, 2018).

Berkaca dari itu, di Denpasar, Bali, sekelompok migran asal Banyuwangi juga berinisiatif untuk mengambil jalan serupa. Hal ini dapat diketahui dengan keberadaan Ikawangi Dewata, perkumpulan masyarakat Banyuwangi di Bali yang sekretariatnya berada di Denpasar. Ikawangi Dewata adalah sebuah perkumpulan berbasis kedaerahan yang berdiri sejak tahun 2009. Tercatat hingga tahun 2018, Ikawangi Dewata telah memiliki beberapa cabang yang berada di Tabanan, Badung dan Denpasar. (Ikawangi Dewata Bali, 2019).

Eksistensi Ikawangi Dewata yang hampir satu dekade telah berdiri ini tentunya akan menjadi topik yang

menarik untuk dibahas. Mengingat bahwa saat ini, persilangan budaya di Indonesia semakin kuat (Zulfahri et al., 2015).

Tulisan ini nantinya akan membahas seputar pendirian Ikawangi, mulai dari asal-usul pendiriannya, perkembangan, hingga berbagai implikasinya terhadap masyarakat Banyuwangi di Bali dan masyarakat asli Bali itu sendiri. Dengan begitu, tulisan ini diharapkan mampu menjadi hal baru yang bisa menjadi rujukan bagi kelompok masyarakat lain, terutama migran di sebuah daerah, untuk mengambil langkah tepat dalam menangani masalah atas persinggungan budaya di daerah tempat tinggal mereka.

METODE DAN TEORI

Penelitian ini adalah penelitian historis. Menurut Gottschalk penelitian ini merupakan suatu kajian yang tujuannya untuk mengumpulkan, menguji dan menganalisis data yang diperoleh dari masa lampau kemudian melakukan rekonstruksi berdasarkan data yang diperoleh sehingga menghasilkan historiografi (Gottschalk, 1975: 32).

Metodologi Sejarah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah sosial. Dalam sejarah sosial mempunyai garapan yang luas dan beraneka ragam. Selama masih berhubungan dengan masyarakat maka penulisan tersebut tergolong dengan sejarah sosial (Kuntowijoyo, 2003 : 41).

Data-data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil wawancara, penelusuran dokumen, arsip dan gambar, serta sumber pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini.

Kajian pustaka untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa referensi yang dapat dijadikan sebagai acuan pokok sebagai berikut : 1) Akta Notaris Ikawangi. 2) Buku yang berjudul “Pustaka Bentara Masyarakat Multikultural Bali: Tnjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi” yang ditulis oleh

I Ketut Ardhana. 3) Skripsi yang ditulis oleh Eza Khusnul Laili yang berjudul “Perkumpulan Suryanaga Dalam Aktivitas Olahraga di Surabaya Tahun 1966-1980”. 4) Buku karya Soerjono Soekanto yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar”. 5) Skripsi yang ditulis oleh Ambar Kusumastuti yang berjudul “Peran Komunitas Dalam Interaksi Sosial Remaja Di Komunitas Angklung Yogyakarta”.

Kerangka Teori dalam pendekatan ilmu sejarah dipergunakan untuk menjelaskan suatu penelitian yang terjadi dan menjawab sebuah pertanyaan – pertanyaan penelitian yang bersifat introgatif yaitu : apa yang terjadi , kapan terjadi, siapa yang terlibat, dan bagaimana kejadiannya. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan yang bersifat analisis, yaitu mengapa suatu peristiwa bisa terjadi maka diperlukan adanya bantuan konsep ilmu sosial untuk menerangkan, menganalis unsur – unsur dan faktor penyebab. (Sartono Kartodirdjo, 2017).

Ida Bagus Sidemen menyebutkan lima unsur teori sejarah, yakni pemahaman dalam sejarah (historical understanding), penjelasan masa lalu (historical explanation), objekvitas dalam sejarah (historical objectivity) dan kasualitas dalam sejarah (historical causation). (Ida Bagus Sidemen : 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Asal Usul dan Faktor Pendukung Pendirian Ikawangi Dewata

Migrasi besar-besaran yang dilakukan masyarakat Banyuwangi pada periode tahun 1990 s/d 2000 ke Bali memberikan tantangan bagi mereka untuk mencari solusi agar tetap mampu bertahan hidup. Beberapa di antaranya memutuskan untuk bekerja di sektor informal, seperti pedagang, membuka warung makan, buruh di perusahaan swasta, hingga penjahit (I Ketut Ardhana,

2011: 115). Hal positif dari keadaan tersebut ialah kenyataan bahwa masyarakat Banyuwangi, sebagai imigran yang berasal dari daerah terdekat dari Bali, mampu melihat kekosongan pada sektor informal di Bali (Dhuroruin, 2014).

Meski begitu, tidak semua masyarakat Banyuwangi di Bali mendapatkan ‘solusi’ atas keputusannya melakukan migrasi. Besarnya jumlah migrasi masuk di sebuah daerah membawa beberapa masalah, antara lain kepadatan penduduk dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Meskipun pendidikan dan kesehatan juga kerap menjadi masalah bagi para migran pada umumnya (Zhao, 1999), masalah kepadatan penduduk justru memberikan konsekuensi baru berupa tingginya angka pengangguran di daerah bersangkutan (Martini, 2013:76-78). Hal ini menjadi masalah, bagi masyarakat Banyuwangi di Bali yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapat atau membuka lapangan pekerjaan di wilayah yang baru mereka tinggali, memutuskan untuk terjun bidang prostitusi.

Fenomena masyarakat Bali yang memutuskan terjun ke dunia prostitusi tidak hanya berasal dari kalangan perempuan saja, melainkan juga berasal dari kalangan pria (Prasojo, 2019). Kondisi tersebut membentuk stigma baru yang melekat pada masyarakat Banyuwangi di Bali. Bagi orang Bali, termasuk migran non-Banyuwangi, anggapan bahwa kebanyakan pekerja di bidang prostitusi berasal dari Banyuwangi, sudah menjadi stereotip yang melekat pada masyarakat Banyuwangi di Bali (Prasojo, 2019). Keadaan ini cukup mengganggu masyarakat Banyuwangi lain yang tidak terlibat dalam kegiatan di bidang prosititusi tersebut.

Dalam menindaklanjutinya, beberapa warga perantauan Banyuwangi di Bali berinisiatif mendirikan sebuah

perkumpulan daerah dengan maksud meminimalisir stereotip negatif mengenai warga asal Banyiwangi. Mulanya, perkumpulan antar warga Banyuwangi di Bali terbentuk dalam skala kecil yang mana anggotanya terdiri dari masyarakat Banyuwangi dari daerah-daerah tertentu saja, seperti Laros dan Perkumpulan Tegaldlimo (Prasojo, 2019). Namun, kebanyakan dari perkumpulan tersebut tidak bertahan lama. Kendala utama mereka adalah proses regenerasi kepemimpinan, dimana hal ini membuat para anggota kehilangan arah dan justru menghilang dari perkumpulan tersebut.

Kejadian ini memicu keinginan para warga Banyuwangi di Bali yang lain untuk membentuk perkumpulan dengan konsep dan perencanaan yang matang. Pada November 2009, sepuluh orang berkumpul untuk mencari solusi dari permasalahan sebelumnya. Dari hasil pertemuan tersebut, mereka menilai bahwa untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang dapat bertahan lama, maka dibutuhkan pondasi yang kuat. Dua hal utama yang dinilai mampu menunjang eksistensi perkumpulan mereka adalah pondasi struktural dan kultural.

Upaya struktural, diatasi dengan perencanaan pengajuan akta pendirian Ikawangi Dewata. Langkah pertama yang mereka tempuh untuk memenuhi kebutuhan ini adalah membentuk tim kecil yang terdiri dari empat orang untuk menyusun angaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Ikawangi Dewata. Setelah susunan AD/ART selesai, pada 22 November 2009, mereka kembali berkumpul. Saat itulah perkumpulan Ikawangi Dewata dideklarasikan berdiri, yang juga menetapkan enam orang sebagai formatur untuk bertanggung jawab dalam pengajuan akta pendirian perkumpulan Ikawangi Dewata ke notaris. Adapun keenam orang tersebut, terdiri dari (1) H. Taufiqurrahman, (2) Bambang Sutiyono,

S.E, (3) Lulut Joni Prasojo, (4) Masyhudi Jamal, (5) Agus Subagio, S.H, dan (6) Drs. Nur Yasin, M.Pd.I.

Proses pengajuan berlangsung singkat. Pada 19 Februari 2010, akta notaris pendirian Ikawangi selesai dikerjakan. Dan dengan begitu, maka langkah selanjutnya yang dilakukan oleh para formatur adalah merencanakan langkah kultural yang mereka harus tempuh untuk memperkuat organisasi tersebut.

Sebagai upaya pertama dalam mewujudkannya, mereka mengadakan perayaan atas selesainya proses pendirian Ikawangi Dewata. Perayaan dilakukan dengan membuat acara endhog-endhogan (Ikawangi Dewata, 2017), sebuah tradisi yang biasa dilakukan warga Banyuwangi untuk menyambut peringatan maulid Nabi Muhammad SAW (Anonim, 2015). Tradisi ini merupakan suatu perwujudan dari budaya gotong-royong masyarakat Banyuwangi (Subagyo, 2012) Selain itu, dengan penyelenggaraan acara tersebut, Ikawangi Dewata bermaksud untuk menunjukkan kepada masyarakat di Bali, bahwa masyarakat Banyuwangi itu cinta kebersihan (Wijaya, 2019). Dengan selesainya acara endog-endogan tersebut, maka proses pendirian Ikawangi Dewata selesai dan kemudian masuk pada periode dimana para pengurus menjalankan perkumpulan tersebut untuk mencapai tujuan mereka, dengan berpegang pada kesepakatan di awal, bahwa langkah stuktural dan kultural harus tetap berjalan seimbang.

Proses pendirian Ikawangi Dewata sendiri pada dasarnya tidak terlepas dari faktor-faktor pendukung yang menyertainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor pendukung berdirinya Ikawangi Dewata. Adapun faktor-faktor pendukung tersebut terdiri dari dua garis besar, yakni faktor sosial dan faktor ekonomi.

Faktor sosial meliputi beberapa akibat yang muncul akibat migrasi besar-besaran masyarakat Banyuwangi di Bali. Migrasi tersebut memberikan dampak buruk dan berujung pada pembentukan stereotip negatif terhadap warga Banyuwangi di Bali. Padahal, permasalahan utama dalam sebuah proses migrasi adalah interaksi antara pendatang dengan warga setempat, yang bila tidak dapat beradaptasi dengan baik, maka akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari (Tarigan, 2002: 9). Stereotip negatif ini memunculkan kekhawatiran pada mereka, yang mana dampak buruknya nanti bisa berujung pada tindak diskriminasi, baik oleh individu, maupun pemerintah, sebagaimana pernah terjadi pada sekelompok etnis Tionghoa di Indonesia (Alfarabi, 2010: 57).

Sementara faktor kedua, adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini meliputi kemampuan para migran asal Banyuwangi untuk tetap bertahan hidup. Kesamaan etnis dan budaya, menimbulkan ingroup feeling bagi masyarakat Banyuwangi di Bali. Perasaan seperti ini mampu memicu sebuah kelompok untuk bergerak dan saling mengatasi persoalan tersebut secara bersama-sama (Dayaksini & Hudaniah, 2003: 78). Sementara saat itu, tuntutan ekonomi bagi masyarakat Banyuwangi di Bali juga cukup tinggi, terutama untuk yang tidak memiliki kesempatan mendapatkan peluang kerja. Hal ini cukup menggerakan beberapa orang lain dalam kelompoknya untuk membentuk sebuah perkumpulan.

Kedua faktor tersebutlah yang menjadi pendukung berdirinya Ikawangi Dewata Bali.

Perkembangan Ikawangi Dewata

Perkembangan Ikawangi Dewata dapat dinilai melalui dua sudut pandang. Pertama, perkembangan yang merujuk pada gerak-gerak Ikawangi sebagai

sebuah perkumpulan dalam mewujudkan visi dan misi mereka. Kedua, perkembangan Ikawangi yang mencakup keorganisasian itu sendiri. Pada sudut pandang kedua ini, peneliti melakukan pengkajian tentang bagaimana Ikawangi yang mulanya hanya berada di Denpasar, Bali, kemudian melebarkan sayap dengan mendirikan beberapa cabang di daerah.

Pertama, perkembangan ikawangi yang merujuk upaya-upaya dalam menjalankan perkumpulan mereka. Sejak berdirinya Ikawangi Dewata tahun 2009, hingga tahun 2018, Ikawangi berkembang dengan pesat dan hingga 2018 telah dilakukan proses pergantian kepemimpinan selama tiga kali. Masing-masing periode kepemimpinan pun memiliki karakteristik sendiri dalam menjalankan kepengurusan mereka (Prasojo, 2019).

Pada kepengurusan pertama, di bawah kepemimpinan Mashudi Jamal sebagai ketua dan Bambang Setyono sebagai Sekretarisnya, Ikawangi Dewata berfokus awal untuk memperkenalkan, branding dan menata Ikawangi dalam segi supratruktur. Hal ini masuk akal, mengingat pada saat ini, Ikawangi Dewata baru seumur jagung, sehingga dibutuhkan upaya-upaya untuk menjaring anggota lebih banyak demi menunjang keberlangsungan perkunpulan tersebut. Beberapa langkah ditempuh untuk mulai melakukan branding mengenai Ikawangi Dewata, salah satunya adalah mengundang tokoh nasional, yakni Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam acara yang diselenggarakan di Bali. (Ikawangi Dewata, 2017)

Pada masa ini juga mereka melakukan penyusunan ulang AD/ART, membuat NPWP atas nama organisasi, mengurus pendaftaran organisasi ke Kesbangpol dan juga melakukan pendaftaran kepada Pemerintah Provinsi Bali. Intinya adalah masa-masa awalkepengrusan ini, mereka berusaha membuat perkumpulan ini menjadi lebih

sistematis, dimana mereka memiliki struktur dan suprastruktur yang modern (Ikawangi Dewata, 2017).

Kepengurusan kedua, dimana saat itu Ikawangi Dewata diketuai oleh Bambang Setyono, Ikawangi mulai berkembang secara keorganisasian. Kepengurusan Ikawangi saat itu memiliki enam departemen, dimana keenam departemen tersebut akan melakukan program kerja yang fokus pada tujuh isu utama menyangkut warga Banyuwangi di Bali, yakni (1) Sosial, Pendidikan dan Kebudayaan, (2) Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan, (3) Penguatan dan Penataan Kelembagaan, (4) Advokasi Hukum dan HAM, (5) Informasi dan Komunikasi, (6) Pemberdayaan Perempuan serta (7) Pemuda dan Olahraga (Ikawangi Dewata, 2017).

Ketujuh isu utama tersebut, mereka realisasikan ke dalam program kerja untuk kepengurusan mereka, dimana pada saat itu program kerja yang dibentuk, memiliki gambaran besar di bidang pengembangan pengembangan sumber daya manusia, program kerja untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan penyediaan infrastruktur tambahan guna menunjang program kerja.

Kemudian pada kepengurusan selanjutnya, yakni yang ketiga, Agustinus Wijaya yang mengemban amanat sebagai ketua dari perkumpulan tersebut. Pada kepengurusan Agustinus, dapat dikatakan bahwa pondasi struktural dan kultural sudah terbentuk (Wijaya, 2019). Sehingga, pada kepengurusan ini, program kerja yang sebelumnya dilaksanakan, terus dilanjutkan. Selain itu, program-program baru juga dicanangkan demi memenuhi hasil evaluasi dari kepengurusan sebelumnya.

Kendati begitu, beberapa perkembangan juga secara keorganisasian juga masih terus diperbaiki pada kepengurusan ini. Hal ini mengingat bahwa pada kepengurusan

selanjutnya, Ikawangi Dewata belum melakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (UU Ormas) yang terbit pada tahun 2013. Adapun beberapa penyesuaian yang dilakukan adalah penerbitan NPWP atas nama Ikawangi Dewata, serta penambahan struktur pengawas dan pembina.

Di bawah kepemimpinan Agustinus Wijaya juga, perluasan keanggotaan juga dilakukan yakni dengan cara melakukan penjaringan seluas-luasnya melalui pendekatan struktural dan kultural. Penetapan regulasi mengenai keanggotaan juga disempurnakan, sehingga pada kepengurusan ketiga ini, kenanggotaan dibagi menjadi dua, yakni anggota biasa dan anggota kehormatan.

Tidak ketinggalan, pada kepengurusan ketiga ini, Ikawangi juga memperkuat kerjasama dengan beberapa lembaga, terutama lembaga pemerintahan. Hal ini dilakukan mengingat bahwa salah satu tujuan utama pendirian Ikawangi adalah menjalin hubungan baik dengan warga asli Bali.

Upaya-upaya yang dilakukan dari masing-masing kepengurusan tersebut pun menelurkan hasil yang cukup memuaskan. Dimana Ikawangi pada akhirnya dapat melakukan perluasan pengaruh, dimana hal ini dapat dinilai sebagai perkembangan kedua dari Ikawangi Dewata.

Cabang pertama yang berdiri adalah cabang Denpasar, berdekatan dengan tanggal berdirinya Ikawangi Dewata itu sendiri. Cabang Denpasar bisa dikatakan sengaja dibentuk pada kepengurusan pertama, tahun 2010, untuk memberi tahu warga Banyuwangi lainnya, bahwa Ikawangi Dewata merupakan perkumpulan yang dapat berkembang lebih luas dan membuka kesempatan bagi yang lain, untuk mebuka cabang juga. Dasar hukum pendirian Cabang Denpasar ini tertuang pada Surat Keputusan Pengurus Ikawangi Dewata Pusat nomor

02/SK/IKAWANGIDEWATA /IV/2010 tentang Pembentukan Ikawangi Dewata Cabang Denpasar dan Pengesahan Susunan Pengurus Ikawangi Dewata Cabang Denpasar Masa Bhakti 2010 – 2013.

Inisiatif ini berbuah manis, dimana pada tahun selanjutnya, Ikawangi Dewata Cabang Badung berdiri dan diresmikan pada 14 Februari 2011, dan menjadi cabang kedua dari Ikawangi Dewata berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Ikawangi Dewata Pusat nomor 03/SK/IKAWANGIDEWATA /II/2010 tentang Pembentukan Ikawangi Dewata Cabang Badung dan Pengesahan Susunan Pengurus Ikawangi Dewata Cabang Badung Masa Bhakti 2011 - 2014.

Di kepengurusan kedua, perluasan Ikawangi Dewata ditandai dengan berdirinya cabang ketiga, yakni Ikawangi Dewata Cabang Tabanan. Cabang ini didirikan berdasarkan hasil pertemuan para pengurus dan anggota yang diselenggarakan di Tabanan pada 29 Januari 2015. Cabang Tabanan resmi berdiri pada 5 April 2015 berdasarkan Surat Keputusan Ikawangi Dewata 04/SK/IKAWANGIDEWATA/IV/2015 tentang pembentukan Ikawangi Dewata Cabang Tabanan dan Pengesahan Susunan Pengurus Ikawangi Dewata Cabang Tabanan Masa Bakti 2015-2018.

Perluasan juga dilakukan pada kepengurusan ketiga, di bawah kepemimpinan Agustinus Wijaya. Pada kepengurusan ini, berdirilah Ikawangi Dewata Cabang Gianyar yang merupakan tindak lanjut dari musyawarah besar ketiga. Cabang Gianyar resmi berdiri pada 16 April 2018 berdasarkan Surat Keputusan Ikawangi Dewata Pusat 03/SK/IKAWANGIDEWATA/IV/2018 tentang pembentukan Ikawangi Dewata Cabang Gianyar dan Pengesahan Susunan Pengurus Ikawangi Dewata Cabang Gianyar Masa Bakti 2018 –

2022.

Implikasi Ikawangi Dewata Bagi Warga Banyuwangi dan Non Banyuwangi di Bali

Dengan berdiri dan berkembangnya Ikawangi di Bali, maka logis apabila selama sembilan tahun telah memberikan dampak positif bagi masyarakat di Bali, baik masyarakat asal Banyuwangi, masyarakat asli Bali, maupun migran lain yang tidak berasal dari Banyuwangi.

Implikasi di bidang sosial dari Ikawangi Dewata terwujud dalam bentuk bantuan kepada orang-orang yang tidak mampu dan anak yatim piatu, menjalin silaturahmi dengan perkumpulan-perkumpulan daerah lain yang ada di Bali, donor darah, bagi-bagi makanan gratis setiap hari Jumat, bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, bantuan hajatan, bersih-bersih pantai dan mudik gratis. Dari semua kegiatan tersebut yang cukup rutin dijalankan adalah bagi-bagi makanan gratis setiap hari Jumat, donor darah yang dijalankan setiap tiga bulan sekali, santunan anak yatim piatu yang juga setiap tiga bulan sekali serta buka bersama pada bulan puasa.keberadaan Ikawangi Dewata telah berperan dalam kesejahteraan masyarakat di sana.

Salah satu yang memberikan implikasi besar bagi masyarakat di Bali adalah adalah program donor darah. Program ini mendapatkan reaksi positif dari masyarakat setempat, sehingga puncaknya, pada tahun 2015 Ikawangi Dewata mendapatkan penghargaan dari Palang Merah Indonesia (PMI) setempat atas bakti yang mereka lakukan (Ikawangi Dewata, 2017).

Selain program-program di bidang sosial yang menyasar kepada masyarakat Bali secara umum, Ikawangi Dewata juga memiliki program khusus bagi anggota Ikawangi sendiri. Adapun dampak positifnya, terwujud dalam programprogram dari Ikawangi seperti bantuan pendidikan berupa buku-buku dan penyelenggaraan seminar, workshop dan pelatihan, bantuan kesehatan yang

berbentuk penyediaan ambulans gratis khusus untuk anggota Ikawangi dan santunan kesehatan, serta bantuan sosial lain, seperti penyelenggaraan program mudik gratis pada hari raya besar.

Bidang ekonomi, peran Ikawangi Dewata terhadap masyarakat Bali dirasa cukup signifikan. Dari keberadaannya saja, Ikawangi sebenarnya sudah menciptakan rantai ekonomi yang kuat, terutama bagi masyarakat Banyuwangi itu sendiri. Rantai ekonomi ini tercipta dari silaturahmi antar anggota perkumpulan ini. Dalam interaksi tersebut, Ikawangi memiliki peran dalam penyambung antara satu dengan yang lainnya. Inilah dampak langsung yang muncul dari keberadaan Ikawangi Dewata.

Peran Ikawangi Dewata dalam bidang ekonomi pada dasarnya meliputi empat hal utama, yang masing-masing bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan anggota. Adapun keempatnya yakni, pertama yaitu mengembangkan konsep dan sistem ekonomi kerakyatan. Kedua, mendorong tumbuh dan berkembangnya koperasi. Ketiga Melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap warga Banyuwangi untuk meningkatkan kualitas usaha mereka. Dan keempat mengembangkan kelompok-kelompok usaha warga Banyuwangi.

Keempat program tersebut, direalisasikan secara melalui berbagai bentuk, seperti membantu para pemuda Ikawangi untuk mendapatkan pekerjaan, membantu mengembangkan usaha-usaha para anggota denghan mencari tempat berjualan dan membentuk kelompok-kelompok usaha yang dibina langsung oleh Ikawangi, serta memberdayakan para anggota sebagai panitia ketika Ikawangi mengadakan kegiatan-kegiatan besar. Mereka juga menggunakan media promosi majalah sebagai penyebar informasi mengenai orang-orang Banyuwangi di Bali yang mampu

membangun bisnis dan membuka lapangan pekerjaan. Akan tetapi, dari program-program tersebut, hal yang terpenting adalah bahwa proses-proses itu diimbangi dengan kesadaran kelompok, yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian anggota Ikawangi Dewata.

Bidang kebudayaan adalah bidang yang juga tak kalah penting bagi Ikawangi. Sehingga, mengambil peran di bidang tersebut, merupakan hal penting bagi mereka. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran, bahwa sebagai pendatang, tentu mereka perlu melakukan adaptasi dengan budaya tempat mereka tinggali. Sebab, kegagalan dalam interaksi antar budaya, dapat menimbulkan masalah serius (Heryadi & Silvana, 2013).

Maka dengan begitu, Ikawangi Dewata mengambil peran untuk mencoba membentuk pribadi para anggotanya agar cepat menerima unsur-unsur kebudayaan yang baru. Ketika sudah tahu karakter masyarakat di suatu daerah, maka seseorang akan mudah berbaur dengan masyarakat tersebut. Interaksi antar warga perantauan Banyuwangi dengan warga asli Bali bisa terjadi karena salah satu dasar dari ide interaksionisme simbolis, yaitu interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia itu (Heryadi & Silvana, 2013).

Secara umum, peran Ikawangi Dewata dalam memberikan implikasi di bidang kebudayaan sendiri, terbagi ke dalam tiga garis besar, yaitu pertama mengadakan, mendorong dan memfasilitasi serta mengikuti forumforum diskusi budaya. Kedua inisiasi pembukaan sanggar tari dan atau pelatihan tari, seni suara dan musik tradisional. Ketiga mengadakan acara-acara khusus untuk melestarikan dan mengembangkan budaya.

Penerima manfaat dari ketiga program tersebut adalah anggota Perkumpulan Ikawangi dan masyarakat

Bali secara umum. Ketiga program tersebut berjalan dengan baik, karena ketiga-tiganya berhasil dilaksanakan. Seperti misalnya program mengadakan, mendorong dan memfasilitasi serta mengikuti forum-forum diskusi budaya. Bentuk program ini yaitu mengikuti berbagai diskusi tentang budaya, menghadiri seminar-seminar kebudayaan dan mengikuti lomba kreatifitas, kolaborasi kesenian Banyuwangi-Bali, dan menjalin hubungan baik dengan tokoh lokal di Bali.

Selain bidang kebudayaan, bidang keagamaan juga mendapat perhatian dari serius dari Ikawangi. Sehingga, berjalannya program-program Ikawangi Dewata, tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan yang dinilai dapat memberikan dampak signifikan bagi bidang keagamaan.

Pada bidang agama, Ikawangi Dewata memiliki satu tujuan utama yaitu mencipatakan keharmonisan di antara umat beragama yang ada di Ikawangi Dewata maupun di Bali. Para pengurus awal Perkumpulan Daerah ini sadar bahwa Bali terdiri dari masyarakat yang plural, walaupun mayoritas masyarakat yang ada di sana beragama Hindu, namun hal itu tidak menyurtkan nilai-nilai pluralitas (Suryana, 2011). Artinya masyarakat di Bali memiliki semangat pluralitas dan toleransi yang tinggi. Hal itu bisa dilihat dari konsep Tat Twam Asi (dia dalah kamu) bahwa orang lain juga sama dengan dirinya (Dhuroruin, 2014).

Secara umum, upaya Ikawangi mengambil peran di bidang keagamaan dibagi menjadi tiga yaitu pertama melalui Forum Komunikasi Perkumpulan Etnis Nusantara (FKPEN). FKPEN merupakan forum yang sudah ada di Bali dan menjembatani masyarakat lintas agama dan etnis dalam sebuah forum yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan bermasyarakat. Dalam rangka mengambil peran dalam menjaga keharmonisan antara umat beragama,

Ikawangi memutuskan untuk terlibat di dalam program tersebut.

Kedua menjadikan para pemuka agama setempat sebagai anggota kehormatan Ikawangi. Langkah ini dilakukan demi menunjukkan inklusifitas dari Ikawangi Dewata. Tidak hanya menjadikannya sebagai anggota kehormatan, bahkan Ikawangi Dewata juga menjadikan beberapa di antaranya, sebagai dewan penasihat perkumpulan.

Ketiga, ikut serta dalam perayaan Hari Raya masyarakat di Bali. Kegiatan ini juga bermaksud memperkuat nilai inklusifitas Ikawangi. Secara rutin Ikawangi mengikuti acara-acara seperti seperti perayaan Hari Raya Tumpak Landep, yang merupakan perayaan umat Hindu Bali (Ngurah & Antariyani, 2019: 172), ikut serta dalam pertunjukan seni tradisional yang mana kuat dengan unsur religi, serta menghargai perayaan hari besar, seperti Nyepi (Daeng et al., 2000: 201).

SIMPULAN

Ikawangi Dewata berdiri sejak tahun 2009 dan diinisiasi oleh sepuluh warga Banyuwangi di Bali. Pendirian Ikawangi Dewata di Bali dilatari oleh keadaan sosial dan ekonomi warga Banyuwangi di sana. Sebagai salah satu kelompok yang melakukan migrasi besar-besaran ke Bali, warga Banyuwangi cukup mendapatkan tantangan serius yang akhirnya berujung pada beberapa masalah yang cukup mengganggu warga Banyuwangi di sana. Antara lain, stereotip negatif warga Bali terhadap mereka, serta kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi.

Sejak berdiri hingga tahun 2018, Ikawangi Dewata telah menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, dimana perkembangan itu dapat diketahui melalui progress dari programprogram yang mereka laksanakan, mulai dari pembenahan suprastruktur, penguatan struktur organisasi, perbaikan administrasi keanggotaan, hingga

penanganan isu-isu kesejahteraan melalui program kerja mereka. Perkembangan Ikawangi Dewata juga dapat dinilai dari perluasan cabang yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada periode 2009 s/d 2018, Ikawangi telah memiliki empat cabang, yakni Cabang Denpasar, Cabang Badung, Cabang Tabanan dan Cabang Gianyar.

Sejauh berdirinya Ikawangi Dewata, sudah banyak peran yang mereka jalankan. Adapun peran Ikawangi di bidang sosial, terwujud dari kegiatan sosial yang berupa santunan, donor darah, buka bersama, penyelenggaraan program mudik gratis, bantuan pendidikan berupa pengadaan buku-buku dan pelatihan, serta bantuan kesehatan berupa penyediaan ambulan gratis khusus anggota.

Ikawangi Dewata juga memliki peran di bidang Ekonomi, yang meliputi empat hal utama yakni, mengembangkan konsep dan sistem ekonomi kerakyatan, mendorong tumbuh dan berkembangnya koperasi, melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap warga Banyuwangi untuk meningkatkan kualitas usaha mereka, dan mengembangkan kelompok-kelompok usaha warga.

Dalam bidang kebudayaan, secara umum, peran Ikawangi Dewata terbagi ke dalam tiga garis besar, yaitu pertama mengadakan, mendorong dan memfasilitasi serta mengikuti forumforum diskusi budaya. Kedua inisiasi pembukaan sanggar tari dan atau pelatihan tari, seni suara dan musik tradisional. Ketiga mengadakan acara-acara khusus untuk melestarikan dan mengembangkan budaya.

Secara keagamaan, Ikawangi menjalankan perannya dalam tiga bentuk komunikasi yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama, yaitu turut berpartisipasi dalam Forum Komunikasi Perkumpulan Etnis Nusantara (FKPEN),

menjadikan para pemuka agama setempat sebagai anggota kehormatan Ikawangi dan dewan penasihat, serta . ikut serta dalam perayaan Hari Raya masyarakat di Bali.

REFERENSI

A, Tara Trendyari A. Dan I Nyoman Mahaendra Yasa (2014). Analisis Faktor    –     Faktor     yang

Mempengaruhi Migrasi Masuk ke Kota Denpasar. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan, 3(10), 53-58.

Alfarabi. (2010). Wacana dan Stigma Etnis Tionghoa di Indonesia. An-Nida: Jurnal Komunikasi Islam, 3(1), 53–60.

Anonim. (2015). Endog-endogan: Tradisi Muludan yang Cuma Ada di Banyuwangi.

banyuwangibagus.com.

Avinda, Chintiya Betari. (2016). Strategi Promosi Banyuwangi Sebagai Destinasi Wisata (Studi Kasus Pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata). Jurnal IPTA, 4(1), 57-58.

Daeng, H. J., Abdullah, I., & Kamdani. (2000). Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan:            Tinjauan

Antropologis. Pustaka Pelajar.

Dayaksini, T.,  & Hudaniah. (2003).

Psikologi Sosial. UMM Press.

Dhuroruin, M. (2014). Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang. Pustaka Al-Kautsar.

Gottschalk, L. (1975). Mengerti Sejarah. UI Press.

Heryadi, H.,  & Silvana, H. (2013).

Komunikasi Antarbudaya Dalam Masyarakat Multikultur. Jurnal Kajian Komunikasi, 1(1), 95–108.

Ikawangi Dewata. (2017). Lembar Pertanggung Jawaban Pengurus Ikawangi Dewata Periode 2013 -2017.

Kartodirdjo, Sartono. (2017). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Martini, Ni Putu Rahayu (2013). Keputusan Melakukan Mobilitas Penduduk dan Dampaknya Terhadap Pendapat Migran di Kota Denpasar. E-Jurnal Jurusan Ekonomi Pembangunan 2(2), 7678.

Ngurah, I. G. A., & Antariyani, N. W. (2019). Vidya Wertta Volume 2 Nomor 2 Tahun 2019. Vidya Werta:    Media    Komunikasi

Universitas Hindu Indonesia, 2(2), 167–177.

Noveria & Romdiati. (2006). Mobilitas Penduduk Antar Daerah Dalam Rangka Tertib Pengendalian Migrasi Masuk ke DKI Jakarta. E-Jurnal Kependudukan, 1(1), 14.

Prasojo, L. J (2019). Wawancara Personal pada 29 September 2019, (Pewawancara: Dita Juan Yosepa)

Sarmita, I Made dan Alexander Hamonangan Simamora (2018). Karakteristik Sosial Ekonomi dan Tipologi Migrasi Migran Asal Jawa di Kuta Selatan Bali. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial 4(2), 67-70).

Sidemen, Ida Bagus (1991). Lima Masalah Pokok Dalam Teori Sejarah. Widya Pustaka 8(2), 3034.

Subagyo. (2012). Pengembangan nilai dan tradisi gotong royong dalam bingkai konservasi nilai budaya. Indonesian      Journal      of

Conservation, 1(1), 61–68.

Sukwika, T. (2018). Peran Pembangunan Infrastruktur terhadap Ketimpangan Ekonomi    Antarwilayah    di

Indonesia.  Jurnal  Wilayah dan

Lingkungan 6(2), 45.

Suryana, T.  (2001).  Konsep  dan

Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Universitas Pendidikan Indonesia 9(2), 78.

Tarigan, H. (2002). Proses Adaptasi Migran Sirkuler: Kasus Migran Asal Komunitas Perkebunan Teh Rakyat Cianjur, Jawa Barat. Soca : Jurnal Sosial Ekonomi 4(2), 1–14.

Trendyari, A. A. T., & Yasa, I. N. M. (2014). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Migrasi Masuk Ke Kota Denpasar. E-Jurnal EP Unud 2(2), 56-60.

Winjaya, A (2019). Wawancara Personal pada 29 Oktober 2019, (Pewawancara: Dita Juan Yosepa)

Zhao, Y. (1999). Labor Migration and Earnings Differences: The Case of Rural      China.      Economic

Development and Cultural Change 47(4), 140-148.

Zulfahri, M. H., Jannah, H., Bagagarsyah, S. K. A., Hari, W. P., & Retnaningtiyas, W. (2015). Kilas Balik      Sejarah      Budaya

Semenanjung       Blambangan,

Banyuwangi,    Jawa    Timur.

Kalpataru, 24(2), 159.