Arsitektur Kolonial di Heerenstraat dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya Kota Probolinggo, Jawa Timur
on
DOI: https://doi.org/10.24843/JH.2020.v24.i02.p12
Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X Humanis: Journal of Arts and Humanities
Vol 24.2 Mei 2020: 200-208
Arsitektur Kolonial di Heerenstraat Dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya Kota Probolinggo, Jawa Timur
Susi Melisa Anggraeni*, I Wayan Srijaya, Kristiawan Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [melisaanggraeni96@gmail.com] Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia.
*Corresponding Author
Abstract
Probolinggo is the one of cities in East Java that has many cultural heritages, especially in colonial architectural. There are many colonial architectural heritages in Probolinggo, especially in the center of city Heerenstraat area (Jalan Suroyo). This study aimed to determine the style, past and present functions, and the efforts in preserving colonial architectural in Heerenstraat Probolinggo. There are five places were used as objects of study, they are basecamp of Kodim 0820, Museum of Probolinggo, GPIB "Immanuel Church", Alun-alun or city center, and Probolinggo Train Station. Nowadays, each of these objects is still functioning and has a unique arsitectural style that representing the developed architectural in Probolinggo. This study used architectural, functional, and conservation theories. Furthermore, the stylistic, contextual, and architectural analysis method were applied in this study. The results of this study are knowing about the architectural style, the functions from the past and present of each research object, and the efforts in preserving colonial architectural that have been done and need to be done.
Keywords: Colonial Architecture, Probolinggo City, Heerenstraat, Architectural Style, Conservation.
Abstrak
Kota Probolinggo merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang memiliki banyak peninggalan warisan budaya terutama peninggalan arsitektur masa kolonial. Peninggalan arsitektur kolonial di Kota Probolinggo masih banyak yang dapat dijumpai hingga saat ini, khususnya di wilayah Heerenstraat (Jalan Suroyo) sebagai pusat kotanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk gaya, fungsi masa lalu dan sekarang, dan upaya perlestarian arsitektur kolonial di Heerenstraat Kota Probolinggo. Terdapat lima bangunan yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini yaitu Markas Kodim 0820, Museum Probolinggo, GPIB “Jemaat Immanuel”, Alun-alun, dan Stasiun Kereta Api Probolinggo. Masing-masing objek tersebut masih difungsikan hingga saat ini dan memiliki gaya arsitektur khas mewakili gaya arsitektur yang berkembang di Kota Probolinggo. Penelitian ini menggunakan teori arsitektur, fungsional, dan pelestarian. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis stilistik, kontekstual, dan arsitektural. Hasil penelitian ini adalah gaya arsitektur, fungsi masa lalu dan masa kini masing-masing objek penelitian, serta upaya pelestarian arsitektur kolonial yang telah dilakukan dan perlu dilakukan.
Kata kunci : Arsitektur Kolonial, Kota Probolinggo, Heerenstraat, Gaya Arsitektur, Pelestarian.
200
Info Article
Received : 28th March 2020
Accepted : 10th May 2020
Publised : 31st May 2020
PENDAHULUAN
Kota Probolinggo merupakan salah satu kota yang memiliki peranan penting pada masa kolonial di Indonesia. Letak Probolinggo yang strategis menjadi daya tarik bangsa Belanda untuk mendudukinya. Terletak diantara pesisir dan dataran tinggi yang subur, Probolinggo memiliki sumberdaya alam yang melimpah seperti tebu, kopi, tembakau, dan sebagainya. Selama masa pendudukan Kolonial di Kota Probolinggo telah dibangun fasilitas-fasilitas untuk mendukung pemerintahannya. Sementara itu, Probolinggo jatuh ke tangan Kompeni sebagai akibat dari perjanjian yang ditandatangani pada 11 November 1743 antara Gubernur Jenderal Van Imhoff dengan Pakubuwono II. Perjanjian tersebut terlaksana sebagai akibat keterlibatan Mataram dalam peristiwa pemberontakan Cina (1740-1743). Berdasarkan perjanjian, seluruh ujung timur Jawa Timur menjadi daerah kekuasaan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
Probolinggo telah menjadi ibukota Karesidenan Probolinggo pada tahun 1855 dan kemudian menjadi ibukota afdeling yang termasuk Karesidenan Pasuruan karena letaknya yang strategis dan penting. Sampai tahun 1855 daerah sudut Jawa Timur merupakan satu wilayah dengan Besuki sebagai ibukotanya. Setelah tahun 1855, Pasuruan, Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi kemudian dijadikan ibukota Karesidenan dengan nama Karesidenannya mengikuti nama-nama ibukotanya. Setelah undang-undang desentralisasi tahun 1903 dan disusul dengan pelaksanaanya pada tahun 1905, Probolinggo memiliki status sebagai gemeente. Tahun 1918 kota tersebut baru memiliki gemeente raad dan baru tahun 1928 Probolinggo dipimpin oleh Asisten Residen bernama Ferdinand Edmond
Meijer yang kemudian menjadi walikotanya (Hadinoto. 2010:272-273).
Meskipun tampaknya ketetapan gemeente bagi Probolinggo terkesan bernuansa politis yang berpihak pada kepentingan orang kulit putih pada masa itu, namun sebenarnya dari sisi persyaratan berdirinya sebuah gemeente, Probolinggo dipandang sudah memenuhi syarat. Ada tiga macam faktor yang biasanya menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk menentukan berdirinya suatu gemeente, yaitu faktor keuangan, faktor penduduk, dan faktor keadaan setempat. Faktor keuangan umumnya sangat berkaitan dengan anggaran daerah yang dihasilkan dari kegiatan ekspor impor Pelabuhan Probolinggo. Probolinggo memiliki daerah hinterland yang subur dengan dikelilingi pabrik-pabrik gula, sehingga banyak orang-orang Eropa yang bertempat tinggal di daerah ini. Untuk melengkapi aktifitas orang-orang Eropa, maka di Probolinggo dibangun beberapa sekolah sebagai sarana belajar bagi anak-anak orang Eropa serta penduduk pribumi. Apabila dicermati memang Probolinggo sudah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah gemeente dan telah mampu mengurusi daerahnya sendiri (Astutik, 2013:521).
Berdasarkan pada sejarah kolonialisme yang terjadi di Kota Probolinggo, terdapat peninggalan purbakala yaitu arsitektur masa kolonial. Peninggalan arsitektur yang berkembang masa kolonial tersebut tersebar di beberapa kecamatan yang ada di Kota Probolinggo yaitu Kecamatan Wonoasih, Kecamatan Kanigaran, dan Kecamatan Mayangan. Beberapa peninggalan arsitektur masa kolonial di Kota Probolinggo yang masih terekam hingga saat ini antara lain Markas Kodim 0820 Probolinggo (rumah asisten residen), Stasiun Kota Probolinggo, Gereja Protestan Indonesia Barat (Gereja
Merah), Alun-Alun Kota Probolinggo, Benteng, Museum Probolinggo (societeit de harmonie), gedung sekolah, Batalyon Zeni Tempur 10 Probolinggo (OSVIA), Klenteng, rumah potong hewan, Koramil Wonoasih dan sebagainya.
Eksistensi dari beberapa peninggalan tersebut perlu dikaji lebih dalam mengingat potensi kepurbakalaan masa kolonial Kota Probolinggo sangat beragam dan sebagian dalam keadaan utuh. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan manusia, terdapat beberapa perubahan terutama di kawasan pusat Kota Probolinggo (Jalan Suroyo) yang disebabkan karena adanya kepentingan ekonomi. Perubahan kawasan tersebut dapat dilihat pada perubahan massa bangunan dan guna lahan sebagai area perkantoran. Selain itu Kota Probolinggo saat ini tengah mengajukan diri sebagai bagian dari Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Jaringan Kota Pusaka Indonesia merupakan sebuah jaringan antarkota atau kabupaten di Indonesia yang mempunyai aset pusaka yang istimewa berupa rajutan pusaka alam dan pusaka budaya yang lestari, mencakup unsur ragawi (artefak, bangunan, dan kawasan dengan ruang terbukanya) dan unsur kehidupan fisik, ekonomi, dan sosial budaya (BPPI, 2015:40).
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, artikel ini menganalisis peninggalan arsitektur masa kolonial di Heerenstraat Kota Probolinggo
METODE
Dalam menjawab rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya, penulis menggunakan teori dan analisis data guna memperoleh hasil yang relevan dari penelitian yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan teori arsitektur, teori ini mengidentifikasi variable-variabel penting seperti ruang dan struktur.
Teori fungsional menyatakan bahwa kebudayaan dan fungsi saling
ketergantungan. Unsur-unsur kebudayaan saling berhuhubungan, sehingga dapat pula disimpulakan bahwa nilai kegunaan suatu objek maupun subjek tidak dapat terlepas dari tindakan pemanfaatannya.
Teori pelestarian menyatakan bahwa pelestarian merupakan proses memahami, melindungi, merawat, dan mengintervensi suatu tempat (bangunan/lingkungan) bersejarah yang masih ada agar makna kulturnya terjaga.
Ketiga teori tersebut kemudian dikombinasikan dengan analisis stilistik, analisis kontekstual, dan analisis arsitektural untuk memperoleh hasil. Analisis stilistik dilakukan dengan mengamati aspek dekoratif seperti warna, hiasan dan ragam hias pada suatu bangunan. Analisis konstektual dilakukan untuk mengetahui hubungan bangunan dengan bangunan dan lingkungan yang ada disekitarnya guan diketahui fungsi bangunan. Analisis arsitektural dilakukan untuk mengetahui bentuk arsitektur secara keseluruhan dengan pengamatan pada ciri-ciri arsitektur kolonial pada umumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kota Probolinggo
Awalnya Probolinggo berada di bawah pemerintahan pusat di Batavia, tetapi setelah ditetapkannya menjadi gemeente barulah Probolinggo mempunyai pemerintahan daerah sendiri. Pada hakikatnya pemerintahan gemeente dipegang seorang asisten residen, namun juga tetap menggunakan pejabat pribumi yaitu bupati untuk berhubungan langsung dengan rakyat. Oleh karena itu status gemeente membawa Probolinggo untuk memasuki babak baru sebagai kota modern (Astutik, 2013:524).
Sistem pengkombinasian pemerintahan Belanda-pribumi tersebut tertuang dalam tata kotanya. Bahkan, Gill (1995) menggolongkan Kota Probolinggo
sebagai Nieuwe Indische Stad (Kota Hindia Belanda Baru). Penyebutan ini berhubungan dengan penataan kota yang tetap melestarikan unsur-unsur pribumi seperti alun-alun, masjid, kantor bupati. Sementara unsur barunya kantor residen dan asisten residen) sebagai bagian kesatuan pusat kotanya (Handinoto, 2010:288). Selain pusat kota yang di lengkapi fasilitas umum, ternyata Probolinggo pernah menganut wijkenstelsel. Sistem ini bertujuan membagi golongan masyarakat berdasarkan etnis. Pembagian ini sebagai imbas peristiwa pemberontakan Cina di Batavia tahun 1740 (Handinoto, 2010:2). Pembagian pemukiman berdasarkan etnis tersebut telah ada sebelum Probolinggo menjadi sebuah gemeente. Tujuan utama pembagian ini untuk memudahkan Belanda mengawasi ruang gerak masyarakatnya. Sebagai gambaran, Jalan utama yaitu Heerenstraat (Jalan Suroyo) di dominasi permukiman orang Belanda, persebarannya hingga Weduwestraat (Jalan dr. Mohamad Saleh). Permukiman lain di Arabische Wijk (Jalan Wahidin) merupakan permukiman Komunitas Arab, Permukiman Melayu (Jalan Kartini), sepanjang Jalan Raya Pos (GrootepostWeg) sekarang menjadi Jalan Panglima Sudirman dan Chineesevoorstraat (Jalan Dr.Sutomo) merupakan permukiman Cina. Penduduk pribumi diberi tempat di ujung timur pecinan kota. Sementara, untuk komunitas Madura bertempat tinggal di daerah utara dekat pelabuhan yang bernama Mayangan (orang-orang perahu).
Beberapa gambaran mengenai fisik Kota Probolinggo pada pertengahan abad ke 19 disebutkan dalam catatan Poerwalelana sebagai berikut.
“Kota Probolinggo termasuk bagus, hampir mirip dengan Kota Pasuruan. Rumah karesidenan kecil, namun bagus. Rumah itu adalah bekas rumah Asisten
Residen waktu Probolinggo berada dibawah karesidenan Besuki. Rumah bupati berada di sebelah utara kota. Kira-kira pada jarak satu pal dari rumah Residen. Alun-alun kabupaten amat luas dan sebelah utaranya terdapat benteng kecil”.
Gaya dan Fungsi Peninggalan Arsitektur Kolonial di Heerenstraat Kota Probolinggo
Bangunan dan fasilitas umum banyak didirikan guna mendukung kepemerintahan kolonial di Probolinggo. Bangunan-bangunan tersebut masih banyak dijumpai hingga saat ini terutama di wilayah Heerenstraat (Jalan Suroyo) yang merupakan pusat Kota Probolinggo. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman dan kebutuhan manusia, terdapat perubahan kawasan yang terlihat pada perubahan massa bangunan dan guna lahan sebagai area perkantoran. Bangunan yang masih tersisa saat ini telah mengalami perubahan fungsi dari fungsi awal pendiriannya. Pada penelitian ini terdapat 5 bangunan peninggalan arsitektur kolonial yang dijadikan sebagai objek penelitian. Gaya arsitektur kelima objek tersebut mewakili gaya arsitektur kolonial yang berkembang di Kota Probolinggo. Berikut penjelasan dari masing-masing objek :
-
1) Markas Kodim 0820 a. Gaya Arsitektur
Markas Kodim 0820 terletak di Jalan Panglima Sudirman, Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Kanigaran. Bangunan ini memiliki gaya arsitektur Indische Empire Style. Gaya tersebut terlihat, terutama pada fasad bangunan induk yang berbentuk simetris dengan barisan kolom atau pilar penyangga atap serambi. Selain itu, denah bangunan induk berbentuk simetris. Bangunan ini secara tampak denah dan fasad bangunan tidak mengalami banyak perubahan.
Perubahan hanya terjadi pada penambahan bangunan-bangunan baru yang menempel didinding-dinding bangunan lamanya (induk) dan pemberian sekat pada bagian dalam bangunan sebagai pembagi ruang sekaligus pembatas antar ruangan yang ada.
-
b. Fungsi Masa Lalu dan Masa Kini
Awal pendiriannya yakni masa kolonial Belanda, bangunan ini memiliki fungsi sebagai kediaman asisten residen dan residen yang memerintah pada saat itu. Berakhirnya pemerintahan Belanda yaitu masa pemerintahan Jepang, bangunan ini beralih fungsi sebagai pangkalan militer. Setelah masa pemerintahan Jepang tepatnya tahun 1953, barulah bangunan ini difungsikan sebagai Markas Kodim 0820.
-
2) Museum Probolinggo a. Gaya Arsitektur
Museum Probolinggo terletak di Jalan Suroyo No.11, Kelurahan Mayangan, Kecamatan Mayangan. Bangunan ini merupakan bangunan kedua yang memiliki gaya arsitektur Indische Empire Style. Ciri utama yang menandakan gaya arsitektur tersebut dalah fasad bangunan yang terlihat megah dengan adanya gevel dan terlihat simetris. Bangunan ini pada awal pendiriannya memiliki tiang penyangga atap berupa besi, namun seiring dengan perubahan zaman, tiang tersebut diganti menjadi pilar-pilar yang merupakan ciri khas dari gaya arsitektur Indische Empire Style. Perubahan juga terjadi pada atap dan plafon ruang dalam, serta penggunaan lantai keramik pada bangunan. Terdapat penambahan bangunan yaitu toilet didalam bangunan dan penambahan teras kecil di bangunan sayap bagian selatan.
-
b. Fungsi Masa Lalu dan Masa Kini
Pertama kali didirikan pada masa kolonial Belanda, bangunan ini bernama
Societeit de Harmonie yang memiliki fungsi sebagai tempat aktifitas orangorang Belanda dan orang-orang Eropa lainnnya untuk mengadakan pesta dan pergelaran seni. Setelah masa pemerintahan kolonial, bangunan ini berubah nama menjadi Panti Budaya. Pada 1 Maret 1989 gedung Panti Budaya dipugar menjadi Graha Bina Harja. Graha Bina Harja secara resmi beralih fungsi menjadi Museum Probolinggo pada 15 Mei 2011.
-
3) Gereja Protestan Indonesia Barat Jemaat “Immanuel”
-
a. Gaya Arsitektur
Gereja Protestan Indonesia Barat Jemaat “Immanuel” atau lebih dikenal dengan sebutan Gereja Merah terletak di Jalan Suroyo No.32, Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran. Bangunan ini dibangun tahun 1862 dan pada saat itu merupakan perkembangan dari gaya arsitektur Neo Gothic. Neo Gothic merupakan merupakan gaya Gothic yang berkembang kearah lebih modern dan sederhana. Ciri utama gereja ini yang menandakan gaya arsitektur Neo Gothic yaitu bahan utama bangunan berupa konstruksi baja yang yang memungkinkan bangunan menjadi lebih ramping. Ornamen yang digunakan lebih sederhana dibandingkan dengan gaya Gothic, dan sebagian besar ornamen berupa bunga lily. Unsur arsitektur gaya Gothic juga terlihat jelas pada bangunan ini diantaranya pintu masuk berbentuk pelengkung, terdapat bouvenlicht berbentuk bunga 8 kelopak atau lebih dikenal dengan sebutan rose window, material kaca yang digunakan berjenis kaca patri.
-
b. Fungsi Masa Lalu dan Masa Kini
Awal pendiriannya pada masa kolonial Belanda, bangunan ini merupakan tempat ibadah bagi orangorang Eropa dan Melayu yang menganut agama Kristen. Masa pemerintahan
Jepang, bangunan gereja ini sempat dijadikan sebagai gudang amunisi. Namun, setelah berakhirnya
pemerintahan Jepang, bangunan ini kembali difungsikan sebagai tempat ibadah hingga saat ini.
-
4) Alun-alun Probolinggo a. Gaya Arsitektur
Alun-alun Probolinggo terletak di Kelurahan Mayangan, Kecamatan Mayangan. Alun-alun ini termasuk dalam 2 kategori, dilihat dari keberadaan alun-alun secara fisik yang dipisahkan dengan bangunan lain atau justru menyatu dengan bangunan lainnya dan kondisi morfologi kota-kota Jawa masa kolonial atau disebut juga kota Hindia Belanda. Kategori pertama yaitu Alun-alun yang bukan bagian bangunan dapat terlihat dengan adanya pembatas berupa jalan dengan bangunan-bangunan lainnya. Alun-alun ini tidak menyatu dengan bangunan-bangunan yang ada
disekitarnya. Bentuk jalan Kota Probolinggo memiliki pola teratur dan memberi kesan membagi-bagi kota tersebut menjadi beberapa bagian. Jalan tersebut tertata seperti kotak-kotak yang makin besar berpangkal pada alun-alun. Kategori kedua yaitu Alun-alun sebagai pusat kota pada arsitektur Kota Hindia Belanda Baru (Nieuwe Indische Stad), pada kategori ini bangunan pemerintahan kolonial dan pemerintahan pribumi berada di pusat kotanya. Bangunan pemerintahan pribumi biasanya berada di sebelah selatan alun-alun, sedangkan pemerintahan kolonial di sebelah utara. b. Fungsi Masa Lalu dan Masa Kini
Fungsi alun-alun masa prakolonial yaitu sebagai lambang berdirinya sistem kekuasaan raja terhadap rakyatnya. Tempat upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan antara keraton, masjid dan alun-alun). Terakhir adalah sebagai tempat pertunjukan militeris yang bersifat profan. Masa kolonial,
keberadaan alun-alun ini tetap dipertahankan sebagai pusat kota (simbol pusat pemerintahan pribumi) dengan dikelilingi bangunan pemerintahan seperti kantor bupati dan kantor asisten residen yang tidak jauh di selatan alun-alun. Alun-alun saat ini memiliki fungsi sebagai pendukung pemerintahan dan ruang publik dengan adanya bangunan dan fasilitas tambahan yang dibangun oleh pemerintah Kota Probolinggo di dalamnya.
-
5) Stasiun Kereta Api Probolinggo a. Gaya Arsitektur
Stasiun Kereta Api Probolinggo terletak di Jalan K.H. Mas Mansyur No.48, Kelurahan Mayangan, Kecamatan Mayangan. Bangunan stasiun ini memiliki gaya neo-klasik yang di dalamnya terdapat percampuran gaya Yunani diterapkan pada gevel dan penggunaan tiang sebagai dekorasi. Gaya baroque terlihat pada penggunaan warna gelap pada bangunan stasiun dan penggunaan ragam hias lengkung, garis berbentuk kurva dan seperti floral. Gaya rococo terlihat pada fasad bangunan yang tidak simetris.
b. Fungsi Masa Lalu dan Masa Kini
Fungsi bangunan stasiun dari awal pendirian yakni pada masa kolonial hingga saat ini tidak mengalami perubahan. Perubahan hanya terjadi pada beberapa bentuk fisik sejak awal didirikan yaitu terdapat beberapa sekat berupa dinding tembok membentuk rauang yang berfungsi sebagai ruang penjualan tiket. Selain itu juga terdapat kontruksi bangunan yang ditutup dengan dinding tembok sebagai sekat untuk membagi ruang yang satu dengan ruang yang lain.
Upaya Pelestarian Peninggalan Arsitektur Kolonial di Kota Probolinggo
Pelestarian menurut UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatknnya. Pelestarian yang akan dilakukan harus berdasarkan pada studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif. Kegiatan tersebut harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh tenaga ahli pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian, mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pengembalian kondisi awal sebelum kegiatan pelestarian, dan melakukan pendokumentasian sebelum melakukan kegiatan yang dapat menyebabkan perubahan keasliannya.
Kota Probolinggo memiliki destinasi wisata sejarah dan budaya. Wisata tersebut didalamnya mencakup beberapa bangunan peninggalan arsitektur kolonial yaitu : klenteng tri dharma, gereja merah, museum dr. Saleh, museum Probolinggo, pelabuhan tanjung tembaga, dan taman manula. Berdasarkan pada hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa upaya pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah Probolinggo terhadap peninggalan arsitektur kolonial belum maksimal. Pelestarian yang selama ini dilakukan lebih berfokus pada kesenian daerah. Sementara untuk pemanfaatan dan pengembangan bangunan kolonial, yang menjadi fokus utama adalah bangunan yang sudah dimanfaatkan menjadi museum. Bangunan tersebut yaitu Museum dr. Saleh dan Museum Probolinggo, kedua bangunan ini mendapatkan perhatian lebih dibandingkan bangunan lainnya.
Terdapat acara rutin yang dilakukan oleh pemerintah Probolinggo. Acara tersebut adalah pertunjukan kesenian yang dilaksanakan di halaman depan museum Probolinggo.
Peninggalan arsitektur kolonial di Kota Probolinggo cukup banyak, yaitu sekitar 20 bangunan yang sudah tercatat. Sebagian dari bangunan tersebut bersifat living monument. Selain itu, tidak semua bangunan tersebut berada dibawah kepemilikan dan pengelolaan pemerintah Kota Probolinggo, sebagian berada dibawah instansi-instansi terkait. Meski demikian, instansi-instansi tersebut selalu melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah Kota Probolinggo, sebelum melakukan pembangunan atau perubahan pada bangunan. Dari sekitar 20 bangunan yang tercatat sebagai peninggalan arsitektur kolonial, belum ada bangunan yang terdaftar sebagai cagar budaya. Kegiatan pendataan ulang baru dilakukan terhadap 8 bangunan pada akhir tahun 2018 guna didaftarkan sebagai cagar budaya.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, diperoleh simpulan bahwa terdapat beberapa gaya peninggalan arsitektur kolonial yang berkembang di Kota Probolinggo. Gaya arsitektur tersebut sebagian besar telihat pada bangunan-bangunan yang ada di Heerenstraat Kota Probolinggo. Gaya arsitektur kolonial di Kota Probolinggo diantaranya gaya Indische Empire Style, Neo Gothic, Alun-alun bukan bagian dari Bangunan dan alun-alun sebagai bagian asitektur Kota Hindia Belanda Baru (Nieuwe Indische Stad), serta gaya arsitektur Neo-Klasik.
Upaya pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah Probolinggo terhadap peninggalan arsitektur kolonial belum maksimal. Pelestarian yang selama ini dilakukan lebih berfokus pada kesenian
daerah. Sementara untuk pemanfaatan dan pengembangan bangunan kolonial, yang menjadi fokus utama adalah bangunan yang sudah dimanfaatkan menjadi museum.
Terdapat beberapa saran yang diajukan peneliti kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan pelestarian warisan budaya Kota Probolinggo. saran tersebut yaitu : melakukan pendataan mendetail pada masing-masing bangunan peninggalan arsitektur kolonial,
penetapan bangunan-bangunan
peninggalan arsitektur kolonial yang ada di Kota Probolinggo sebagai cagar budaya agar dapat terlindungi oleh undang-undang, meningkatkan peran dinas perpustakaan dan arsip dalam menyimpan data arsip, jurnal, hasil kajian atau penelitian, dan dokumen-dokumen penting lainnya terutama yang berkaitan dengan latar belakang sejarah Kota Probolinggo beserta peninggalannya. Selanjutnya melakukan identifikasi kerusakan pada beberapa bagian dari bangunan-bangunan yang ada. Dari kerusakan yang sudah mengalami perbaikan maupun yang belum mendapatkan perawatan, dapat
ditentukan seperti apa penanggulangan sesuai dengan kondisi dan ketentuan undang-undang cagar budaya. Berikutnya melakukan pembatasan pada setiap perubahan perlu dilakukan agar tidak merubah citra bangunan sebagai peninggalan arsitektur kolonial. Terakhir, melakukan sosialisasi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman seluruh kalangan masyarakat Kota Probolinggo mengenai warisan budaya yang ada disekitar mereka.
REFERENSI
Astutik, Ruli Muji dan Septiana Alrianingrum. 2013. Gemeente Probolinggo 1918-1926, E-Jurnal
Pendidikan Sejarah. Volume 1, Nomor 3, hlm. 520-531.
Azmi, F. F. Elwinda, dkk. 2013. Pelestarian Bangunan Stasiun Kereta Api Kota Probolinggo. E-jurnal Arsitektur. Volume 6,
Nomor 2, hlm. 97-114.
Badan Pelestarian Pusaka Indonesia. 2015. Mengawal Kelestarian Pusaka Indonesia. Jakarta.
Damayanti, Rully dan Hadinoto. 2005. Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa. Dimensi Teknik Arsitektur, Vol.33, No.1, Juli
2005, hlm. 34-42.
Dewi, Nindya Rosita dan Rimadewi Supriharjo. 2013. Kriteria Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Kawasan Cagar Budaya (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya Peneleh,
Surabaya). Jurnal Teknik Pomits, Vol. 2, No. 2, hlm C-96-C99.
Gill, Ronald Gilbert. 1995. De Indische Stad op Java en Madura, een Morphologische Studie van Haar Ontwikkeling. Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Hadinoto. 1997. Bentuk dan Struktur Kota Probolinggo Tipologi Sebuah Kota Administratif Belanda. Dimensi 23/ Arsitek Juli, hlm. 1-22
_______. 2015. Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII Sampai Pertengahan Abad XX Dipandang Dari Sudut Bentuk dan Struktur Kotanya. Yogyakarta: Ombak.
_______. 1999. Perletakan Stasiun Kereta Api Dalam Tata Ruang
Kota-kota di Jawa (Khususnya Jawa Timur) Pada Masa Kolonial. Dimensi Teknik Arsitektur. Vol. 27, No. 2, hlm 48-56.
_______. 2010. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa Pada Masa Kolonial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hartono, Samuel dan Hadinoto. 2006. ‘Arsitektur Transisi’ di Nusantara Dari Akhir Abad 19 ke Awal Abad 20 (Studi Kasus Komplek Bangunan Militer di Jawa Pada Peralihan Abad 19 ke 20). Dimensi Teknik Arsitektur. Vol. 34, No. 2, Desember 2006, hlm 81-92.
Keling, Gendro. 2016. Tipologi Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja. Forum Arkeologi. Volume 29, Nomor 2, hlm. 65-80. Denpasar: Balai Arkeologi Bali.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. 2017. Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Jakarta.
Purbasari, Riris. 2018. Strategi Pengelolaan Warisan Budaya Berbasis Peran Masyarakat di Kecamatan Lasem Kabupaten
Rembang. Jurnal Planologi,
Vol.15 No.2. Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Sapto, Ari. 2012. Kota Probolinggo pada Masa Menjelang dan Awal
Revolusi. Literasi, Volume 2,
Nomor 1, hlm. 36-48.
W. K. Margareta, dkk. 2018. Studi Gaya Desain Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel Probolinggo. Jurnal Intra, Vol.6 No.2, hlm.580-585.
Wiyatno, Lukman H.D.A. 2014. Pelestarian Kawasan Bersejarah Pusat Kota Probolinggo. Jurnal Planning for Urban Region and Environment. Volume 3, Nomor 3, hlm.73-80.
Discussion and feedback