p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Humanis: Journal of Arts and Humanities

Vol 24.2 Mei 2020: 209-216

DOI: https://doi.org/10.24843/JH.2020.v24.i02.p13

Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019

Biografi Rakyat Kecil, Sutikno: 1980-2018 Pendekatan

Sejarah Post-Strukturalisme

Akhmad Khoirul Munir*, I Nyoman Wijaya, I Nyoman Sukiada Progam Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [khoirulmunir97@gmail.com]

Denpasar Bali Indonesia *Corresponding Author

Abstract

According to Kuntowijoyo writing biography can also be implemented against a person who comes from the unknown or participants. On that basis, study this takes up figure named Sutikno, a seacoast origin Bayuwangi East Java which currently domicile in Denpasar Bali by work as a mechanic motorcycle. A profession Sutikno will be the entrance in analysis, with an emphasis how he was that of a migrant (seacoast) generally in Bali can work as a mechanic workshop motorcycles with income that relatively success. By wearing a method/methodology Genealogi and theories post-strukturlism, especially the undirected Structural Generative Pierre Bourdieu and the Discourse-(Knowledge-Power )-Discipline Michel Foucault as a thought, the three had obtained. drawing conclusions. 1) With hard work and discipline, patient and keep trying not to despair Sutikno managed to achieve success even though through various obstacles and problems. 2) Factors behind the success of Sutikno mainly came from habitus and discipline and social private ownership of capital as a replacement for other capital. 3) Implication after sutikno pillars of success, that is a change from a social lower middle middle-class process for social climbed the stairs, characterized by differentiation consumption of goods that more luxurious and diverse than ever before.

Keyword: Biography, Post-strukturalism, Structural Generative, Discourse, Power-Knowledge, Discipline.

Abstrak

Menurut Kuntowijoyo penulisan biografi juga bisa dilakukan terhadap orang yang berasal dari the unknown atau partisipan. Atas dasar itu, studi ini mengambil tokoh bernama Sutikno, seorang perantau asal Bayuwangi Jawa Timur yang saat ini telah domisili di Denpasar Bali dengan berprofesi sebagai montir bengkel sepeda motor. Profesi Sutikno akan menjadi pintu masuk dalam menganalisa, dengan penekanan bagaimana ia yang dari seorang perantau (migran) umumnya di Bali bisa berprofesi menjadi montir bengkel sepeda motor dengan pendapatan kotor yang relatif sukses. Dengan memakai metode/metodologi Genealogi dan teori-teori post-strukturlisme,

209

Info Article

Received       :   28th March 2020

Accepted      :   11th May 2020

Publised        :   31st May 2020

terutama teori Struktural Generatif Pierre Bourdieu dan teori Wacana-(Pengetahuan-Kekuasaan)-Disiplin Michel Foucault sebagai landasan berpikir, telah diperoleh tiga buah simpulan. 1) Dengan kerja keras dan disiplin, sabar dan terus berusaha untuk tidak berputus asa Sutikno berhasil meraih kesuksesan meskipun melewati berbagai rintangan dan permasalahan. 2) Faktor dibalik kesuksesan yang diraih Sutikno terutama berasal dari habitus dan disiplin serta kepemilikan modal sosial yang menjadi pengganti modal lainnya. 3) Implikasi pasca Sutikno meraih kesuksesan, yaitu mengubah kedudukan sosialnya dari menengah-bawah menjadi kelas menengah yang berproses menaiki tangga sosial lebih atas, yang ditandai dengan diferensiasi konsumsi barang-barang yang lebih mewah dan beragam daripada sebelumnya.

Kata Kunci: Biografi, Post-Strukturalisme, Struktural Generatif, Wacana Pengetahuan-Kekuasaan, Disiplin.

PENDAHULUAN

Menurut Kuntowijoyo biografi juga dapat dikerjakan walaupun subjeknya berasal dari seorang yang tidak diketahui (the unknown) oleh masyarakat luas atau yang bukan seorang tokoh besar (hero) (Kuntowijoyo, 2003: 203-204). Atas dasar itu, subjek dalam studi ini adalah Sutikno, seorang migran asal Bayuwangi Jawa Timur yang sekarang telah domisili di Denpasar Bali sebagai wiraswasta dengan berprofesi menjadi montir bengkel sepeda motor.

Sutikno merupakan pria kelahiran Banyuwangi, 10 Oktober 1980. Sutikno berasal dari keluarga yang tingkat perekonomiannya dapat dikategorikan sebagai kelas menengah-bawah. Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama pada 1997 di Banyuwangi, karena persoalan ekonomi Sutikno dan keluarga, di antaranya Ayah, Ibu dan Kakak merantau ke Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan sampai tahun 2007.

Sebelumnya, pada 2005 Sutikno telah menikah dengan Ita Karolina, seorang wanita kelahiran Jember, 5 Mei 1985. Sampai saat ini, Sutikno sudah dikaruniai dua orang anak: yaitu bernama Nila Tsanaya Al-Hunaya kelahiran Denpasar 29 Maret 2007, dan Ananda Aryadita lahir Denpasar 09 Mei 2012.

Sutikno melakukan mobilitas ke Denpasar pada 2007, sebab pendapatan sebagai pegawai pabrik CPO saat tinggal di Kalimantan Selatan tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Sutikno di Denpasar mempunyai beberapa kerabat, seperti Paman dan Bibi, sehingga itu membantunya dalam mencari tempat tinggal dan membuka usaha. Sampai saat ini, Sutikno bersama dengan istri dan kedua anaknya tinggal di sebuah rumah kontrakan yang berada di Jalan Sidakarya No. 53 Sesetan, Denpasar Bali (Sutikno, wawancara, 21 November 2017).

Akan tetapi pada 2007 Sutikno belum menjalankan usaha bengkel, melainkan membuka usaha warung makan dan tambal ban. Pada awalnya, Sutikno membuka usaha warung makan dan tambal ban tepat di depan rumah kontrakannya hampir selama 24 jam. Pendapatan kotor yang diperoleh Sutikno dari menjalankan kedua usahanya tersebut rerata sebesar 400.000-500.000 sehari. Namun meskipun membuka usaha selama hampir 24 jam, tetapi pada 2011 usaha warung makan yang dijalankannya sepi – tidak ada pembeli (konsumen) karena sudah banyak pula warung-warung makan baru yang bermunculan disekelilingnya. Hal itu membuat Sutikno menelan kerugian yang berimplikasi pada

penutupan usaha warungnya (Sutikno, wawancara, 21 November 2017).

Sejak menutup usaha warung makan pada 2011, Sutikno hanya bekerja sebagai tukang tambal ban saja dan tetap membuka jasanya 24 jam. Bagaimanapun pendapatan kotor yang diperolehnya pun menurun menjadi 200.000 sehari. Namun inilah titik awal perubahan hidup yang dialami Sutikno dengan keputusannya melakukan pemekaran pada usaha yang dijalaninya. Selama satu tahun Sutikno memutar pendapatannya dari mentambal dengan membeli berbagai perkakas-perkakas bengkel satu per satu (Sutikno, wawancara, 23 Januari 2019).

Akhirnya sampai tahun 2012, Sutikno pun berhasil mengubah tempat tambal ban miliknya menjadi bengkel sepeda motor yang ditandai dengan mempunyai satu pegawai bengkel. Pasca berprofesi menjadi montir, secara ekonomi dan finansial Sutikno relatif sukses yang didasarkan pada pendapatan kotor yang diperolehnya dari hasil membengkel, yakni mencapai jutaan per hari, walaupun itu termasuk pendapatan kotor (Sutikno, wawancara, 23 Januari 2019). Diferensiasi dari pendapatan kotor per hari inilah yang menjadi titik acuan munculnya istilah ‘kesuksesan’ dalam hidup Sutikno.

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik sebuah asumsi bahwa ada sebab-sebab atau proposisi-proposisi dari kesuksesan yang diraih Sutikno ketika menjadi montir bengkel sepeda motor dengan sebelum ia menjadi montir. Untuk mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian dengan cara mengajukan pertanyaan penelitian. 1) Bagaimana proses Sutikno meraih sukses ketika menjadi montir? 2) Mengapa Sutikno dapat meraih sukses ketika menjadi montir? 3) Apa implikasi pasca Sutikno meraih sukses ketika menjadi montir bengkel sepeda motor?

Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui proses Sutikno dalam meraih kesuksesan ketika menjadi montir bengkel. 2) Mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendorong Sutikno meraih kesuksesan sebagai montir. 3) Mengetahui implikasi terhadap situasi dan kondisi, terutama aktivitas sosial-ekonomi dan konsumsi yang dilakukan Sutikno pasca meraih kesuksesan.

METODE

Studi ini memakai metode Genealogi karena sekaligus mengandung metodologi dan epistemologi, dua hal yang penting di dalam perbincangan tentang produksi pengetahuan (Kumbara, 2018: 35). Genealogi memperlihatkan orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui wacana dan pengetahuan-kekuasaan (Wibowo, 2017: 316).

Sejarah Lisan digunakan dalam pengumpulan sumber-sumber penelitian, sebagai usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan berbagai macam pertanyaan terhadap para informan untuk mengetahui bagaimana proses dan implikasi pasca Sutikno meraih sukses. Fungsi wawancara adalah sebagai sumber primer karena semua pengumpulan data diperoleh dengan wawancara itu sendiri (Darban, 2013: 4).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Sutikno Meraih Kesuksesan

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pada 2007 Sutikno melakukan mobilitas dari Kalimantan Selatan ke Denpasar demi memperoleh pendapatan yang lebih baik. Mobilitas Sutikno ke Denpasar bisa dinilai sebagai sebuah upayanya mengubah kedudukan sosial dalam masyarakat dengan menciptakan distingsi sosial. Perjuangan untuk menciptakan distingsi (dalam Ngatawi, 2016: E-jurnal) merupakan dimensi fundamental dari seluruh konfigurasi kehidupan sosial.

Di Denpasar, Sutikno memiliki beberapa kerabat, yakni Bibi yang bernama Maryam dan Paman yang bernama Tarmudzi. Itu menjadi modal sosial Sutikno yang memberi manfaat langsung, dan membantu menggantikan modal yang lain dalam suatu ranah, seperti ranah usaha yang sedang digeluti Sutikno (Kusumastuti, 2015: 84). Karena modal adalah jaringan hubungan-hubungan yang menjadi sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial (Mahal, et al., 2009: 16). Sementara Ranah adalah arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal) agar memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan (Karnanta, 2013: 5).

Pasca Sutikno membuka usaha bengkel pad 2012, pendapatannya pun mengalami peningkatan. Bengkel yang dijalankan Sutikno berkembang pesat hingga pada 2013-2016 Sutikno berhasil membuka cabang bengkel. Pada 2015, pendapatan kotor yang diperoleh Sutikno rerata mencapai angka 2 juta sehari. Bahkan pernah mencapai angka 5 juta ketika tanggal merah, hari libur atau hari raya (Sutikno, wawancara, 26 Mei 2019).

Kendati cabang bengkel Sutikno harus berakhir di kemudian hari karena kekurangan tenaga kerja. Namun pendapatan kotor yang diperoleh Sutikno dari membengkel telah mengalami eskalasi signifikan hingga mencapai jutaan per hari. Dengan demikian, maka Sutikno sudah bisa disebut relatif sukses sebagai seorang migran pada umumnya yang domisili di Denpasar.

Hal penting dari proses Sutikno dapat meraih kesuksesan dengan menjadi montir bengkel sepeda motor, bahwa semua itu dijalaninya dengan kesabaran dan disiplin, bekerja keras dan kejujuran, tidak berputus asa dan tidak demor serta terus berusaha demi meraih kesuksesan. Namun hal itu tentu tidak terlepas dari

elaborasi habitus dan modal yang Sutikno operasikan dalam ranah (usaha).

Habitus itu direproduksi menjadi modal-modal, baik ekonomi, budaya, sosial dan simbolik (Siregar, 2016: 34). Oleh karena itu habitus berhubungan erat dengan modal sebab sebagian habitus berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal (Adib, 2012: 105). Habitus Sutikno kemudian menjadi praktik, seperti cara bicara, sikap dan perilaku yang memikat, membujuk para konsumen untuk datang ke bengkel (Setiawan dan Sudrajat, 2018: E-jurnal).

Faktor-Faktor Dibalik Kesuksesan

Habitus menjadi salah satu faktor penting yang mendorong Sutikno bisa meraih kesuksesan ketika menjadi montir. Melalui habitus Sutikno dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial (Setyobudi, 2017: 104). Melalui pola-pola tersebut Sutikno memproduksi tindakan dan juga menilainya, kemudian diintegrasikan dan terwujud sebagai prinsip pada praktik bekerja seorang montir dalam menjalankan usaha bengkel sepeda motor (Yusuf Lubis, 2014: 113).

Semua itu diarahkan oleh habitus, yang juga seirama dengan episteme. Namun itu berkaitan dengan pelaksanaan strategi dan cara Sutikno dalam memposisikan diri dan mendistribusikan modal-modal yang dimiliki. Artinya, habitus tetap membutuhkan pelatihan sebagai basis produksi, sehingga menjadi disposisi tubuh yang termanifestasi melalui praktik atau tindakan sosial. (Haryatmoko, 2016: 42). Pada gilirannya, hal itu terinternalisasi (membatin) ke dalam diri Sutikno secara tidak sadar yang diadopsi melalui pendidikan serta pengasuhan dan faktor kondisional dari lingkungan keluarganya.

Selain itu, modal sosial yang dimiliki Sutikno juga ikut andil dalam

membantunya. Modal sosial yang berupa hubungan sosial, seperti adanya kerabat atau orang yang dikenal (kawan) telah menjadi pengganti modal lainnya bagi Sutikno (Cahyono, 2012: 19). Lebih dari itu, modal sosial membantu Sutikno untuk memperoleh pengetahuan dalam menambal ban, juga dalam proses membuka usaha bengkel sepeda motor dan dalam mengembangkan keterampilan perihal mekanik motor.

Namun bagaimanapaun praktik disipliner yang dilakukan Sutikno juga ikut menjadi faktor dalam meraih kesuksesan. Adanya relasi pengetahuan-kekuasaan memungkinkan bagi Sutikno untuk mengembangkan wacana dan disiplin, baik disiplin terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain (Hardiyanta, 2016: 171). Hal itu akhirnya menjadi praktik sosial Sutikno.

Implikasi dari Sebuah Kesuksesan

Implikasi yang terjadi pasca Sutikno meraih kesuksesan ketika menjadi montir bengkel sepeda motor adalah mengubah pola perilaku, menciptakan distingsi kelas dengan mengonsumsi barang-barang atau produk, jasa yang lebih mewah, lebih kaya, lebih beragam dan semakin masif dalam mengonsumsi. Misalnya, dalam konsumsi makanan dan tempat makan. Daging ayam menjadi makanan yang setiap hari dikonsumsi Sutikno, anak dan istrinya, padahal Sutikno mengaku bahwa sebelum menjadi montir jarang sekali makan daging ayam.

Demikian juga dengan konsumsi penampilan, seperti sering beli pakaian dan tempat membelinya yang berbeda, dari pasar tradisional ke Bali Mall Ramayana pasca Sutikno meraih sukses. Selain itu, seperti mampu membeli berbagai perkakas rumah tangga, sepeda motor baru dan mobil, berwisata setiap minggu dan membiayai pendidikan anak sebagai konsumsi budaya.

Salah satu cara membedakan diri dengan kelompok kelas lain dapat dipahami melalui tiga struktur konsumsi, yakni makanan, budaya dan penampilan. Ketiga struktur konsumsi itu memiliki makna dalam hubungan kekuasaan. (Baudrillard, 2016: 263).

Upaya membedekan diri dengan kelas-kelas sosial lain merupakan bagian dari strategi kekuasaan dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, kecenderungan kelas yang didominasi adalah mengikuti budaya kelas dominan dan pola-pola pilihan mereka (dengan cara kerja mimesis). Oleh karena dengan itu mereka merasa bisa menaiki tangga sosial yang lebih tinggi (Piliang, 1999: 102).

Dalam makna konsumsi dan pola perilaku, maka implikasi yang paling mencolok pasca Sutikno meraih sukses adalah termasuk menjadi bagian dari masyarakat konsumeris – yakni masyarakat yang menciptakan nilai-nilai yang berlimpah ruah melalui barang-barang konsumsi dan menjadikan kegiatan konsumsi sebagai pusat aktivitas hidup (Pawanti, 2013: 3). Masyarakat konsumeris lebih mengutamakan nilai simbolis dan tanda dari barang dan jasa yang dikonsumsi. Dengan demikian, kegiatan konsumsi tidak lagi berdasarkan pada nilai guna, tetapi elemen penting dalam masyarakat konsumeris terdapat pada nilai tanda (Pratiwi, 2015: 11).

Namun bagaimanapun implikasi yang terjadi dari distingsi konsumsi dan proses diferensiasi sosial yang diciptakan pasca Sutikno meraih kesuksesan telah mengubah kedudukan status dan posisi kelas sosialnya ke yang lebih tinggi. Sebagaimana telah disebutkan bahwa sebelumnya Sutikno berasal dari golongan kelas menengah-bawah dan kini telah menjadi kelas menengah yang berproses menaiki tangga sosial lebih atas, yang lebih dominan.

SIMPULAN

Berdasarkan masing-masing dari pertanyaan penelitian, maka telah diperoleh tiga simpulan, sebagai berikut:

Pertama, perjalanan Sutikno dalam meraih kesuksesan diperoleh dengan melewati berbagai rintangan dan permasalahan: bermula dari berhenti bekerja di pabrik CPO karena pendapatan yang tidak mencukupi. Berikutnya melakukan mobilitas ke Denpasar, tetapi gagal menjalankan usaha warung makan, sehingga hanya bekerja sebagai tukang tambal ban. Namun Sutikno berinisiatif mengembangkan usaha tambal ban miliknya menjadi sebuah bengkel sepeda motor. Akhirnya, gagasan tersebut terealisasikan pada Agustus 2012 dengan ditandai memiliki seorang pegawai bengkel.

Meskipun hal itu tidak terlepas dari arahan habitus dan kepemilikan modal-modal (simbolik, sosial, ekonomi, budaya) yang sangat berperan membantu Sutikno meraih kesuksesan. Namun hal mendasar dari proses Sutikno meraih kesuksesan adalah dengan kesabaran, kerja keras, tidak demor, tidak berputus asa dan terus berusaha demi meraih cita-cita, yang lebih penting lagi adalah kejujuran Sutikno dalam bekerja. Oleh karena kejujuran bagi Sutikno adalah sesuatu yang penting dan menjadi landasan, prinsip yang dipegang Sutikno dalam bekerja.

Kedua, faktor penting bagi Sutikno dalam meraih kesuksesan, yakni habitus dan episteme Sutikno itu sendiri. Habitus Sutikno yang pekerja keras, disiplin, sabar, tidak pemarah, tidak berputus asa dan jujur tampak menjadi faktor yang fundamental. Kesuksesan Sutikno juga didorong oleh kepemilikan modal sosial berupa relasi kerabat atau saudara, yang sekaligus menjadi pengganti modal lainnya. Misalnya, peran Maryam dan Tarmudzi sebagai paman dan bibi yang membantu Sutikno dalam mencari tempat tinggal dan membuka usaha.

Selain itu, praktik disipliner yang diterapkan Sutikno terutama atas tubuhnya sendiri, seperti bekerja dengan membuka usaha nyaris 24 jam juga menjadi sebab dan faktor lain yang menentukan kesuksesan Sutikno tampil sebagai pemenang dalam ranah.

Ketiga, implikasi pasca Sutikno meraih kesuksesan ketika menjadi montir bengkel sepeda motor adalah mengubah pola perilaku dengan mengonsumsi barang-barang atau produk, jasa yang lebih mewah dan semakin masif dalam mengonsumsi. Pasca Sutikno sukses telah menciptakan distingsi konsumsi dan diferensiasi sosial, sehingga mengubah kedudukan status dan posisi kelas sosialnya dari menengah-bawah menjadi kelas menengah yang berproses menaiki tangga sosial lebih atas, yang lebih dominan.

Penulisan biografi rakyat kecil, seperti Sutikno dengan penulisan sejarah model baru yang disebut sebagai pendekatan sejarah post-strukturalisme perlu ditonjolkan untuk melihat sebuah realitas kehidupan sosial, yang dewasa ini acapkali dibuat temaram, samar dan dikaburkan oleh pelbagai produksi wacana tentang kehidupan artis, selebritis, tokoh politik, tokoh agama dan lain-lain yang menjadi bahan konsumsi di berbagai media massa. Meskipun penulisannya yang tampak berbeda dari pola umum historiografi hanyalah hasil dari usaha mempraktikkan perihal cara kerja pendekatan sejarah post-strukturalisme dengan seperangkat metodologi/teori yang ada di dalamnya, sesuatu yang belum lumrah dilakukan dalam penulisan biografi. Akan tetapi bagi mahasiswa sejarah yang belum akrab dengan pendekatan sejarah model ini, ada baiknya mau bersama-sama mencoba untuk mempelajarinya, karena banyak manfaat yang bisa diambil darinya untuk memajukan bidang keilmuan sejarah, terutama untuk memberikan sumbangsih dalam penataan

revolusi industri 4.0 dan kehidupan reforma agraria.

REFERENSI

Adib, Muhammad. Desember 2012. “Agen dan Struktur dalam Pandangan Pierre Bourdieu,” Jurnal BioKultur, Vol.1, No.2, pp. 91-110.

Baudrillard, Jean. 2016. Masyarakat Konsumsi, (Penerj.) Wahyunto. Bantul: Kreasi Wacana.

Cahyono, Budi. 2012. “Peran Modal Sosial dalam Peningkatan Kesejahteraan     Masyarakat,”

Jurnal UNISSULA, Vol.1. No.1, pp. 14-29.

Darban, A. Adaby. 2013. “Sejarah Lisan Memburu Sumber Sejarah dari Pelaku dan Penyaksi Sejarah,” Jurnal Humaniora, Vol.1, No.1, pp. 1-14.

Hardiyanta, P. Sunu. 2016. Michel Foucault Disiplin Tubuh Bengkel Individu   Modern.

Yogyakarta: LKiS.

Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian:  Pemikiran Kritis

Pos-Strukturalis. Yogyakarta: Kanisius.

Karnanta, Kukuh Yudha. Juli 2013. “Paradigama Teori Arena Produksi Kultural Sastra: Kajian Terhadap Pemikiran Pierre Bourdieu,” Jurnal Poetika, Vol.1, No.1, pp. 3-15.

Kumbara, A.A. Ngr Anom Kumbara. Januari 2018. “Genealogi Teori dan Metodologi di Cultural Studies,” Jurnal Studi Cutural, Vol.3, No.1, pp. 35-46.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kusumastuti, Ayu. Januari 2015. “Modal Sosial dan Adaptasi Masyarakat Pedesaan,” Masyarakat: Jurnal Sosiologi, Vol.20, No.1, pp. 8197.

Lubis,    Akhyar Yusuf.    2014.

Postmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.

Mahar, Cheleen., et al. 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, dalam Pipit Maizier (Penerj.) Yogyakarta: Jalasutra.

Ngatawai. 2016. E-Jurnal akses di http://lib.ui.ac.id/file?file=digital /2016-5/20424966-D641-Ngatawi.pdf.

Pawanti, Mutia Hastiti. 2013. “Masyarakat       Konsumeris

Menurut Konsep Pemikiran Jean Baudrillard.” E-Jurnal akses di http://lib.ui.ac.id/file?file=digital /20351974-MK-Mutia-Hastiti-Pawanti.pdf

Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-Realitas          Kebudayaan.

Yogyakarta: LKiS.

Pratiwi, Galih Ika. 2015. “Perilaku Konsumtif Dan Bentuk Gaya Hidup.” E-Jurnal akses di http://jmsos.studentjournal.ub.ac .id/index/php/jmsos/article/down load/71/94

Setiawan, Johan dan Ajat Sudrajat. 2018. “Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan.” E-Jurnal akses di

https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/ article/view/33296.

Setyobudi, Imam. 2017. “Produksi-diri Masyarakat   dan Habitus,”

Habitus:   Jurnal Pendidikan

Sosiologi   dan   Antropologi,

Vol.1, No.1, pp. 102-115.

Siregar, M. Juli 2016. “Teori Gado-gado Pierre Bourdieu,” Jurnal Studi Kultural, Vol.1, No.12, pp. 2943.

Wibowo, A. Setyo. 2017. Gaya Filsafat Nietzsche.          Yogyakarta:

Kanisius.

Informan

Wawancara dengan Sutikno pada 21 November 2017,  23 Januari

2019, 26 Mei 2019. Usia 38 tahun. Montir bengkel sepeda motor. Alamat Jl. Sidakarya No. 53 Sesetan Denpasar.