HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019

Vol 25.1 Februari 2021: 117-127

Analisis Perbandingan Motif Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub dalam Babad Tanah Jawi

Bayu Hindrawan, I Ketut Ngurah Sulibra

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Correspondence e-mail: [email protected] , [email protected]

Info Artikel


Masuk: 7 Desember 2020

Revisi: 13 Januari 2021

Diterima: 20 Januari 2021

Keywords: babad, comparative literature, geguritan


Kata kunci: babad, geguritan, sastra bandingan

Corresponding Author:

Bayu Hindrawan emial:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.2

021.v25.i01.p015


Abstract

This study examines the Geguritan Rajapala, from Bali with the story of Jaka Tarub, from Central Java. The purpose of this study is to find out the structure and motives of anything that builds between the two literature work, and how is the relations between Geguritan Rajapala with the story of Jaka Tarub within Babad Tanah Jawi. In this study uses structural theory and a Finnish comporative literary approach. This research method and technique uses the listening method, assisted with written and translation technique. While the data analysis stage uses qualitative methods, namely research that is descriptive and tends to use analysis and assisted with historical comparative technique, that is a technique carried out with aim of reconstruction and tentative mapping of literary kinship patterns with evidence based on types and motives. next one, the stage of presenting the results of data anlysis using informal methods assisted with deductive inductive technique. As for the results that can be obtained from this research are, knowing the structure that builds between the Geguritan Rajapala with the story of Jaka Tarub and knowing the motives contained therein. Based on these motives, the literary patterns of kinship can be mapped.

Abstrak

Penelitian ini mengkaji Geguritan Rajapala, yang berasal dari Bali dengan Cerita Jaka Tarub, yang berasal dari Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui struktur dan motif apa saja kah yang membangun diantara kedua karya sastra tersebut, serta bagaimana hubungan pertalian antara Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub dalam Babad Tanah Jawi. Dalam penelitian ini menggunakan teori struktural dan pendekatan sastra bandingan mazhab Finlandia. Metode dan teknik penelitian ini menggunakan metode simak, dengan dibantu teknik catat dan teknik terjemahan. Sedangkan tahap analisis data menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis serta dibantu dengan teknik historis komparatif, yaitu teknik yang dilakukan dengan tujuan melakukan rekontruksi dan pemetaan tentatif pola kekerabatan sastra dengan bukti-bukti berbasis tipe dan motif sastra. Selanjutnya, tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal yang dibantu dengan teknik induktif dan deduktif. Adapun hasil yang dapat diperoleh dalam

penelitian ini adalah, mengetahui struktur yang membangun antara Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub serta mengetahui motif yang terdapat didalamnya. Berdasarkan motifmotif tersebut dapat dipetakan pola kekerabatan sastranya.

PENDAHULUAN

Dalam masyarakat, banyak terdapat teks-teks kesastraan klasik yang dianggap sebagai akar kebudayaan. Budaya tidak hanya berarti teks-teks kesastraan yang telah ada sebelumnya, namun juga seluruh kebiasaan atau tradisi yang mengelilinginya (Fatmawati, 2013:34). Sebagai sebuah cermin masyarakat, karya sastra merupakan realitas sosial yang ada dalam masyarakat (Miyasari, 2019:28).

Dalam teks-teks kesastraan tersebut berbagai cerita, dongeng, legenda, mitos, satua, geguritan, dan babad yang diciptakan sampai saat ini masih ada dalam ingatan masyarakat. Dari begitu banyak teks-teks kesastraan yang ada di nusantara, beberapa di antaranya terdapat persamaan dan perbedaan satu sama lain. Dengan adanya persamaan dan perbedaan tersebut, perlu adanya perbandingan agar dapat mengetahui bagaimana kekerabatan antara kedua karya sastra. Sastra bandingan iyalah teori sastra yang melampaui batasan-batasan suatu negara tertentu serta merupakan studi hubungan antara sastra itu sendiri dengan bidang ilmu lainnya, seperti filsafat, seni, ilmu sosial, sejarah, dan juga agama (Ni'mah, 2017:95).

Sehubungan dengan kajian sastra bandingan tersebut, tulisan ini mengkaji dua karya sastra untuk diperbandingkan, yaitu Geguritan dengan Babad. Geguritan berasal dari kata Gurit: tatanan atau coretan, yaitu sebuah puisi klasik yang berkembang dikalangan penutur bahasa Bali dan Jawa. Keberadaan geguritan masih memiliki fungsi yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat di Bali, sehingga geguritan masih sangat diminati. Selain sebagai sumber hiburan, juga sebagai sumber tutur atau petuah yang sarat akan nilai-

nilai moral dan etika yang berguna bagi kehidupan sosial masyarakat Bali dan Jawa yang dapat disampaikan melalui nyanyian dengan pupuh-pupuh (Wibawa, 2016:55). Sedangkan Babad yang berarti memangkas atau membuka lahan baru dalam bahasa Jawa. Babad adalah teks yang berhubungan dengan sejarah sebuah kerajaan atau silsilah klan tertentu, hubungan memangkas dengan sejarah ialah bahwa sejarah suatu wilayah biasanya dimulai dengan membuka daerah tersebut. Geguritan dan babad yang mempunyai kemiripan, salah satunya yang akan dikaji adalah Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Keduanya memiliki jalan cerita yang hampir sama yang menarik untuk diteliti. Walaupun berasal dari daerah yang berbeda, bukan tidak mungkin bahwa Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub tersebut saling mempengaruhi dan memiliki kekerabatan yang erat.

Dalam Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub mengisahkan seorang pemuda yang kelelahan dan beristirahat di sebuah tepi kolam. Ia pun mendengar suara gadis-gadis yang sedang mandi di kolam, karena penasaran pemuda itu melihatnya. Ternyata pemuda itu melihat gadis-gadis cantik yang mandi di kolam yang tidak lain adalah para bidadari kahyangan. Terbesit dipikirannya untuk mengambil salah satu selendang dari bidadari tersebut agar dapat menikahinya. Singkat cerita sang pemuda pun berhasil mendapatkan bidadari dan menikahinya, Tak selang beberapa lama mereka di karuniai seorang anak. Pada akhirnya sang bidadari meninggalkan suami dan anaknya di bumi, sedangkan bidadari kembali ke Kahyangan. Cerita berlanjut

bahwa, anak keturunan mereka menjadi orang yang dimuliakan.

Adapun permasalahan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu mengkaji kedua cerita tersebut dengan menggunakan teori struktural dari pandangan Nurgiyantoro dan pendekatan Sastra Bandingan Nusantara (Comparative Literature) mazhab Finlandia. Disertai dengan prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh Taum, yakni mengkaji bagaimana tipe dan motif, untuk mengetahui pemetaan pola kekerabatan sastranya. Penelitian ini sangat menarik, karena terdapat banyak kemiripan dalam isi cerita yang menarik untuk di kaji. Penelitian Sastra Bandingan Nusantara ini bertujuan untuk mengetahui pertalian anatara kedua kerya sastra serta memahami apa artinya berbedaan dan persamaan, serta dapat mempererat tali persaudaraan antar bangsa Indonesia.

METODE DAN TEORI

Pada tahap pertama atau tahap awal mengumpulkan data dengan melakukan metode simak, yakni metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa. Menurut Goldman (1981: 39-40), metode yang baik adalah metode yang selalu bersifat teknik. Dalam hal ini teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat, dan teknik menerjemahkan.

Tahap kedua adalah tahap analisis data, dengan menggunakan metode kualitatis yaitu penelitian riset yang bersifat deskriptif serta cenderung menggunakan analisis.

Pada tahap penyanjian hasil analisis data, metode yang digunakan adalah metode formal dan informal. Metode formal adalah cara-cara penyajian dengan memanfaatkan tanda dan lambing. Sedangkan metode informal merupakan cara penyajian data dengan menggunakan

kalimat atau kata sebagai sarananya. Dibantu dengan teknik deduktif-induktif.

Penelitian mengenai Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub, menggunakan teori Struktural dan Kajian Sastra Bandingan Nusantara mazhab Finlandia.

Teori struktural untuk membongkar struktur dunia pengarang dan karya sastra. Struktur tersebut yang dijadikan data pengkajian (Matsuri, 2015:146). Serta, memaparkan dengan cermat keterkaitan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Arsani, 2016:167). Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015:57) berpendapat bahwa, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai konfigurasi, gambaran, dan penegasan semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Struktur itu sendiri sebenarnya tidak berwujud, tidak terlihat, namun sangat penting kehadirannya. Ia menjadi benang merah yang menghubungkan semua elemen (Nurgiyantoro, 2015:58).

Saat membaca cerita fiksi, akan bertemu beberapa tokoh, berbagai peristiwa yang dikenakan dan dilakaukan para tokoh, tempat, waktu, dan latar belakang sosial budaya dimana cerita itu terjadi, dan lain-lain. Kesemuanya nampak berjalan beriringan dan saling mendukung. Contohnya, bagaimana tokoh saling berkomunikasi, berbagai peristiwa saling berkaitan walaupun jaraknya berjauhan, bagaimana latar sosial budaya memfasilitasi dan membentuk watak tokoh, dan sebagainya. Kesemuanya dapat berjalan dengan indah, serta dipahami dengan baik, karena ada benang merah yang menghubungkan dan mengatur semua elemen tersebut, yakni struktur (Nurgiyantoro, 2015:58-59 ).

Teori struktural bertujuan untuk membedah, mengkaji, menjabarkan

secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan gambaran keseluruhan (Maspuroh, 2015:246).

Sedangkan Sastra Bandingan Ada dua aliran yang berkembangselanjutnya yang diikuti oleh sastra-sastra nasional anggota sastradunia, yakni aliran Prancis dan aliran Amerika (Tasnimah, 2010:5).

Menurut Nada (2015:4) berpendapat bahwa, sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra dan apa pula yang telah disumbangkan.

Setiap karya sastra mempunyai karekteristik yang berhubungan dengan karya sastra lain atau bahkan dimensi lain, hubungan tersebut bersingungan antara persamaan dan perbedaan (Mayasari, 2011:209). Adanya persamaan dan perbedaan itu lahirlah studi untuk membandingkan dan mencari sebab timbulnya persamaan dan perbedaan (Maelasari, 2018:13).

Krohn dan Aarne (2011:1) berpendapat bahwa, pelopor studi historis komporatif Mazhab Finlandia yang memperkenalkan model kajian dengan membandingkan struktur, isi, dan motifmotif dalam rakyat Eropa Selatan dan Eropa Timur. Studi bandingan tersebuh bertujuan untuk a). memperlihatkan hubungan antara berbagai sampel sastra rakyat, b). mengungkapkan pola migrasi atau penyebaran sastra rakyat itu, c). menjelaskan dan melacak tempat asal sebuah cerita rakyat dan d). sedapat mungkin mengetahui originalitas sebuah cerita rakyat yang telah mengalami berbagai transformasi.

Peneliti akan mengkaji kedua cerita tersebut dengan menggunakan teori struktural dari pandangan Nurgiyantoro dan pendekatan sastra bandingan

nusantara (Comparative Literature) mazhab Finlandia menurut pandangan Taum.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Geguritan Rajapala

Struktur yang membangun Geguritan Rajapala dimulai dengan alur. Secara tradisional plot, lebih sering dipergunakan istilah alur atau jalan cerita (Nurgiyantoro, 2015:165). Plot atau alur dalam Geguritan Rajapala terdiri dari tiga tahap, yakni tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.

Tahapan awal yakni pada saat I Rajapala yang sedang berburu melihat bidadari yang sedang mandi disebuah kolam. I Rajapala kemudian mengambil salah satu pakaian sang bidadari tersebut. Pada saat bidadari terbang ke angkasa, salah satu bidadari bernama Ken Sulasih tidak dapat terbang karena pakaiannya telah hilang. I Rajapala menghampiri dan memerikan pakaiannya, namun I Rajapala meminta syarat seorang putra dari bidadari Ken Sulasih. Saat mereka telah dikaruniai seorang putra bernama I Durma, Ken Sulasih akhirnya dapat kembali ke Kahyangan dan meninggalkan I Rajapala dan I Durma.

Pada tahap tengah, I Durma yang beranjak dewasa akhirnya mengabdi ke istana Wanakling, setelah I Durma ditinggal oleh ayahnya (I Rajapala) untuk bertapa. Suatu ketika saat I Durma mencari ayahnya, I Durma disandra oleh raksasa Durgadeni. Dengan bantuan Sri Maha Raja dan rakyat Wanakling serta siasatnya, I Durma dapat membunuh Durgadeni dan saudaranya (Kala Dremba dan Kala Murka).

Tahap akhir pada saat I Durma berhasil mengalahkan para raksasa tersebut, Sri Maha Raja Wanakling mengangkatnya sebagai anak dan memberikannya istana di Carangsari. I Durma yang menjadi seorang Raja, akhirnya bertemu ayahnya (I Rajapala)

berkat bantuan mangku dharma dan abdinya. Pada akhirnya I Durma menikah dengan Raden Dewi, anak ikan agung Matsya dari pulau Keci.

Struktur yang berikutnya yaitu latar. Latar dalam Geguritan Rajapala terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial budaya. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015:302) latar, setting atau pengertian lain sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Latar tempat yang terdapat pada Geguritan Rajapala yakni, Hutan, Singha Panjara, Asrama, Pohon pudak, Pohon tigaron, Kolam, Rumah I Rajapala, Istana Wanakling, Sarang raksasa, Kota, Istana Carangsari, Gedong, Pohon beringin, Taman, Pohon kelapa, Pulau Keci, Uragil.

Selanjutnya latar waktu yakni, sudah genap bulannya, umur tiga bulan, telah lama, pagi, siang, sore, serta malam hari atau tengah malam.

Latar berikutnya adalah latar sosial budaya, seperti kepercayaan tentang mahluk supranatural, kepercayaan tentang kolam bidadari, agama Hindu, kedekatan kasih sayang kepada orang tua, pengabdian seorang abdi kepada istana dan Raja, kedermawanan dan kebaikan Sri Maha Raja Wanakling, dan berburu di hutan.

Tokoh dan penokohan dalam Geguritan Rajapala terdiri dari tiga, yakni yang pertama tokoh primer: I Durma. Yang kedua tokoh sekunder: I Rajapala dan Ken Sulasih. Yang ketiga tokoh komplementer: pertapa, tujuh bidadari, raksasa (Kala Dremba, Kala Murka, Durgadeni), Sri Maha Raja, selir, punggawa, adipati, patih, pendeta, para abdi, dan rakyat Wanakling. Selanjutnya yakni, Ki Tumenggung Gagak Boni, Demung Ampuan, Ken Patih, tokoh binatang (kuda, monyet, dan anjing),

Raden Arya, Angga Trijata, Misasingkari, Semakung Puntur, Lembu Kira, Ken Rangga, Mangku Dharma, Sang Dharma Sepuh (Wiku), ikan agung Matsya, Raden Dewi dan orang-orang pelayaran.

Tema iyalah makna atau gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur dan bersifat abstrak yang secara terulang dimunculkan lewat motif-motif serta biasanya dilakukan secara emplisit (Nurgiyantoto, 2015:115). Tema yaitu persoalan utama dalam karangan, baik sastra maupun bidang ilmu lain. Dengan demikian, tema adalah inti permasalahan yang hendak disampaikan pengarang dalam karyanya (Ngusman (dkk), 2012:582).

Tema dari Geguritan Rajapala adalah seorang anak yang menjadi yatim piatu karena ayahanda nya moksa dan ibundanya harus kembali ke Kahyangan, namun Ia tak putus asa dan bersedih sampai akhirnya Ia menjadi orang yang dimuliakan dan dihormati sebagai Raja.

Amanat yaitu buah pikiran yang melandasi karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang untuk pembaca atau pendengar (Sudiasih, 2016:175). Amanat yang dapat disampaikan bahwa sebagai seorang manusia kita seharusnya mempunyai pendirian kuat, mandiri, berbudi luhur, bijaksana, pintar, taat beragama, serta setia, semua hal tersebut adalah bekal untuk mencapai kehidupan yang bahagia.

Struktur Cerita Jaka Tarub

Alur dalam Cerita Jaka Tarub juga terdiri dari tiga tahap, yakni tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.

Tahap awal dimulai saat Ki Jaka Kudus yang tidak ingin dinikahkan oleh ayahnya, memutuskan untuk pergi ke gunung Kendeng. Saat diperjalanan Ki Jaka beristirahat disebuah taman dan melihat seorang gadis cantik, mereka pun

melakukan hubungan intim. Akhirnya gadis itu hamil dan tidak mau mengaku siapa yang menghamilinya, gadis itu pergi dari rumah, sampai pada akhirnya gadis itu melahiran ditengah hutan. Namun, gadis itu mati konduran. Bayi dari gadis itu ditemukan oleh Kyai Ageng Selandaka, Namun ditinggal kembali untuk berburu. Tidak lama kemudian bayi itu ditemukan kembali oleh Nyai Randa Tarub.

Tahap tengah dimulai saat Jaka Tarub (bayi yang ditemukan Nyai Randa Tarub) yang kini telah beranjak dewasa, gemar berburu di hutan. Saat berburu Jaka Tarub mendengar suara gadis-gadis yang sedang mandi di sebuah kolam, yang tidak lain adalah bidadari Kahyangan. Terbesit dipikirannya untuk menyembunyikan pakaian salah satu bidadari tersebut. Saat bidadari mendengar suara seseorang, mereka pun terbang ke angkasa. Namun, ada yang tidak dapat terbang karena pakaiannya telah hilang, yang bernama Nawang Wulan. Jaka Tarub akhirnya menolong Nawang Wulan serta membawanya ke desa Tarub. Selang beberapa lama mereka dikaruniai seorang putri bernama Rara Nawang Asih. Saat kebahagiaan itu datang, kesedihan pun juga datang, yakni Nyai Randa yang akhirnya meninggal dunia.

Suatu ketika saat Nawang Wulan akan membersihkan pakaian Nawang Asih, Ia memberi amanah kepada kepada Jaka Tarub untuk menjaga anaknya dan melarangnya membuka tutup dandang. Karena penasaran Jaka Tarub membuka tutup dandang itu dan terkejut bahwa, Nawang Wulan hanya menanak sebutir padi. Saat kembali Nawang Wulan tahu bahwa Jaka Tarub telah melanggar amanahnya, yang membuat kekuatan bidadarinya hilang. Sejak terbukanya rahasia itu, Nawang Wulan harus hidup layaknya manusia biasa, seperti menumbuk padi dan lainya. Hal tersebut

membuat padi dalam lumbung semakin menipis.

Suatu ketika saat Nawang Wulan akan mengambil padi di lumbung, Ia melihat pakaiannya yang bernama Ananta Kusuma terlihat ditumpukan padi yang telah berkurang. Nawang Wulan pun merasa ditipu oleh Jaka Tarub. Kekuatan Nawang Wulan kembali pulih setelah memakai Ananta Kusuma dan akan kembali ke Kahyangan. Nawang Wulan berpesan kepada Jaka Tarub untuk membuatkan panggung yang dibawahnya dibakari jerami ketan hitam saat anaknya (Rara Nawang Asih) menangis. Nawang Wulan akan turun melalui asap pembakaran dan melarang Jaka Tarub untuk mendekatinya. Walaupun Jaka Tarub bersedih dan merasa bersalah namun semuanya telah terjadi, merekapun harus ikhlas untuk perbisah.

Tahap akhir adalah tahap penyelesaian, yang dapat dilihat pada saat Rara Nawang Asih yang telah tumbuh dewasa. Suatu ketika di kerajaan Majapahit, Prabu Brawijawa memerintahkan Kyai Buyut Mahasar dan Raden Bondan Kejawen untuk menyerahkan tiga pusaka kepada Jaka Tarub (Kyai Ageng Tarub) serta melamar Rara Nawang Asih untuk Raden Bondan. Raden Bondan dan Rara Nawang Asih akhirnya menikah.

Struktur yang membangun Cerita Jaka Tarub selanjutnya adalah latar. Apabila karya sastra dimisakan sebagai suatu partunjukan atau pementasan, latar adalah panggungnya (Jefrianto, 2017:129). Latar dalam Cerita Jaka Tarub terdiri dari tiga latar, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.

Latar tempat dalam Cerita Jaka Tarub yakni, daerah Kudus, gunung Kendeng, Taman Kyai Ageng Kembang Lampir, hutan, kolam, sungai, Desa Tarub, rumah Nyai Randa Tarub, lumbung, ruang tamu, dapur, panggung, kerajaan Majapahit, serta sitinggil.

Sedangkan latar waktu, seperti malam, siang (bedug), empat belas tahun, dan selasa kliwon.

Yang terakhir yaitu latar sosial budaya, yaitu penggunakan kata ageng dalam beberapa nama atau gelar tokoh, selain itu terdapat juga kata sitinggil, nulup, konduran dan Kawidadaren. Latar sosial budaya berikutnya adalah ritual pembakaran jerami ketan hitam untuk menurunkan bidadari. Adapula kolam bidadari dan kliwon.

Selanjutnya adalah tokoh dan penokohan. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan penokohan adalah karakter yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiantoro 2015:247). Tokoh dan penokohan dalam Cerita Jaka Tarub terdiri dari tiga, yaitu tokoh primer, tokoh sekunder, dan tokoh komplementer.

Tokoh primer: Jaka Tarub, sedangkan tokoh sekunder adalah Nawang Wulan. Tokoh komplementer yaitu Kyai Ageng Kudus, Ki Jaka Kudus, Kyai Ageng Kembang Lampir, Putri Kyai Ageng Kembang Lampir, Kyai Ageng Selandaka, tokoh hewan: kijang, Nyai Randa Tarub, teman-teman masa kecil Jaka Tarub, bidadari Kahyangan, Rara Nawang Asih, Prabu Brawijaya, Kyai Buyut Mahasar serta Raden Bondan Kejawen (Lembu Peteng).

Tema ibarat sebuah lembaga yang perlu digerakkan oleh agen, yakni motif (Kristiasih, 2013:130). Tema dalam Cerita Jaka Tarub adalah, kebahagiaan yang didapat dengan cara yang tidak baik, yaitu dengan menyembunyikan selendang bidadari yang mengakibatkan kebahagiaan yang berujung dengan kehancuran dalam rumah tangga, karena adanya kebohongan atau ketidak jujuran dalam berumah tangga.

Amanat iyalah ajaran moral atau pesan didaktis yang akan disampaikan

pengarang untuk pembaca melalui karyanya itu (Saenal, 2016).Amanat yang dapat disampaikan dalam Cerita Jaka Tarub adalah bahwa, dalam berumah tangga untuk mencapai keharmonisan dan kebahagiaan harus dilandasi dengan kejujuran, sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam menjalani hidup berumah tangga.

Analisis Perbandingan: Perbedaan Motif Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub

Perbedaan Motif Alasan Kepulangan Bidadari ke Kahyangan:Pada motif alasan kepulangan bidadari ke Kahyangan ini menunjukan bahwa, terdapat dua alasanan sang bidadari memutuskan untuk kembali ke Kahyangan. Pertama adalah motif pelanggaran janji atau kesepakatan awal. Kedua adalah motif sang bidadari menemukan pakaiannya secara tidak sengaja.

Motif pelanggaran janji atau kesepakatan awal dapat dilihat dalam Geguritan Rajapala. Saat Rajapala mengembalikan pakaian Ken Sulasih, Rajapala memberi syarat bahwa, Ia akan memberikan pakaiannya dengan syarat sang bidadari harus memberikannya seorang putra. Ken Sulasih pun menyanggupi persyaratan yang diberikan oleh Rajapala. Namun, Ken Sulasih juga membuat kesepakatan dengan Rajapala. Bahwa, saat mereka dikaruniai seorang putra Ia akan kembali ke Kahyangan. Sekalipun bersedih hati, mereka menjalankannya dengan ikhlas sesuai dharmanya masing-masing.

Sedangkan dalam Cerita Jaka Tarub ditemukan motif sang bidadari menemukan pakaiannya secara tidak sengaja. Nawang Wulan yang akan mencuci pakaian Rara Nawangasih, berpesan kepada Jaka Tarub untuk tidak membuka tutup dandang tersebut. Jaka Tarub yang penasaran akhirnya

membuka tutup dandang tersebut, yang mengakibatkan kekuatan Nawang Wulan hilang. Sejak hilangnya kekuatan Nawang Wulan, Ia harus menumbuk padi layaknya manusia biasa. Suatu ketika saat Nawang Wulan akan mengambil padi di lumbung, Nawang Wulan menemukan pakaiannya dahulu pernah dicuri oleh Jaka Tarub. Karenakecewa dan marah, Nawang Wulan pun kembali ke Kahyangan.

Perbedaan Motif Penyelesaian Konflik: Motif penyelesaian konflik pada Geguritan Rajapala dan Cerita Jaka Tarub yaitu, penyelesaian konflik yang membawa kebahagiaan (happy ending). Namun, dapat dilihat dalam Geguritan Rajapala, bahwa I Durma yang diberi gelar Raden Mantri Anom menjadi seorang Raja di Carangsari. I Durma yang akhirnya dapat bertemu ayahnya (Rajapala) dan melihat ayahnya moksa di Carangsari dengan sangat mulia.Diakhir cerita, I Durma yang menjadi Raja di Carangsari akhirnya memiliki istri yang sangat cantik bernama Raden Dewi, anak ikan agung Matsya dari Pulau Keci. Namun, untuk mendapatkan Raden Dewi, I Durma harus berperang melawan orang-orang pelayaran. I Durma pun berhasil memenangkan peperangan tersebut dan membawa Raden Dewi ke Carangsari.

Dalam Cerita Jaka Tarub, Prabu Brawijaya memerintahkan Kyai Buyut Mahasar dan Randen Bondan Kejawen (Lembu Peteng) untuk membawa pusaka dan menyerahkan Raden Bondan Kejawen kepada Jaka Tarub (Kyai Ageng). Kyai Buyut Mahasar dan Kyai Ageng akhirnya dipersatukan dalam keluarga, melalui pernikahan Rara Nawangasih dan Raden Bondan Kejawen.

Sebo (dalam Taum, 2011:7) menjelaskan bahwa, Motif memecahkan masalah merupakan motif yang sangat luas penyebarannya di berbagai

kebudayaan di dunia. Pemecahan masalah meliputi teka-teki atau mengurai berbagai misteri. Karena itu, dikenal, misalnya neck riddle, yakni teka-teka yang jika tidak bisa dijawab akan menerima sangsi yang sangat berat: dibunuh. Sebaliknya jiwa teka-teki itu bisa dijawab, orang akan terhindar dari ancaman kematian. Kemampuan menjawab atau mengurai teka-teki dan misteri yang rumit sering dikaitkan dengan kebijaksanaan dan pengetahuan.

Motif ujian dalam Geguritan Rajapala, pada saat I Durma melakukan perjalanan ke hutan untuk mencari ayahnya, I Durma dihadapkan dengan tiga raksasa penghuni hutan bernama Kala Dremba, Kala Murka, dan Durgadeni. I Durma pun menghadapi ketiga raksasa tersebut dengan bantuan dari rakyat Wanakling. Rakyat Wanakling banyak yang tidak selamat selama peperangan berlangsung, namun pada akhirnya I Durma berhasil mengalahkan ketiga raksasa tersebut dengan siasat yang dia buat. Dengan mengalahkan ketiga raksasa dan menyelamatkan rakyat Wanakling, Sri Maha Raja mengangkat I Durma sebagai anak angkatnya, yang diberi gelar Raden Mantri Anom dan dibuatkan istana di Carangsari.

Motif ujian dalam Cerita Jaka Tarub dapat dilihat pada saat Nawang Wulan yang akan mencuci pakaian Rara Nawang Asih, berpesan kepada Jaka Tarub untuk tidak membuka tutupan dandang. Jaka Tarub yang penasaran akhirnya membuka tutup dandang tersebut, yang mengakibatkan kekuatan Nawang Wulan hilang. Dengan hilangnya kekuatan Nawang Wulan, Ia harus menumbuk padi seperti manusia biasa. Suatu ketika padi dalam lumbung semakin berkurang, yang mengakibatkan pakaian Nawang Wulan yang bernama Ananta Kusuma terlihat ditumpukan padi. Dengan ditemukannya Ananta

Kusuma, Kekuatan Dewi Nawang Wulan kembali pulih.

Perbedaan Motif Genre Cerita: Kajian dari sudut genre cerita, memperlihatkan bahwa cerita tentang bidadari pada umumnya tidak dipandang sebagai mitos atau cerita suci (sacred narratives) yang dipahami sebagai 'dogma' yang diyakini kebenarannya. Cerita tersebut umumnya dipandang sebagai Legenda (Taum, 2011:9). Dalam Geguritan Rajapala lebih dipandang sebagai Dongeng dalam bentuk Geguritan, yaitu ciptaan sastra yang "berbentuk" syair yang dibaca dengan metembang/berirama (pupuh). Ciri utama Geguritan yaitu adanya pupuh-pupuh yang membangun Geguritan tersebut. Pupuh-pupuh tersebut terikat oleh aturan padalingsa, pada dan carik.

Sedangkan Cerita Jaka Tarub, lebih dipandang sebagai Legenda dan Babad. Dapat dikatakan sebagai Legenda bahwa, Raden Bondan Kejawen yang menikah dengan Nawangasih, yang merupakan anak keturunan manusia dan bidadari ingin menunjukan bahwa leluhur mereka adalah manusia istimewa. Anak keturunan Nawang Asih dan Raden Bondan ini lah yang akan menghiasi lembaran sejarah kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa.

Sedangkan dapat dikatakan Babad karena Cerita Jaka Tarub berada dalam naskah Babad Tanah Jawi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya Babad adalah karya tulis tentang pendirian sebuah negara/kerajaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut. Oleh karena seringkali memuat pula sejarah serta asal-usul tokoh, raja serta para leluhurnya, terkadang juga terkesan menceritakan secara berlebihan, maka Babad sering dianggap sebagai alat legilitasi bagi raja yang berkuasa (Babad Tanah Jawi, 2007:3). Hubungan antara Babad dan Legenda adalah, Legenda adalah bukti

suatu sejarah, sedangan Babad adalah jalan cerita suatu sejarah tersebut.

Analisis Perbandingan: Persamaan Motif Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub

Persamaan Motif Kepulangan Bidadari ke Kahyangan:Dalam GeguritanRajapala dengan Cerita Jaka Tarub terdapat pada pakaian bidadari Kahyangan. Kedua karya sastra tersebut menceritakan bahwa, sang pemuda tidak hanya mencuri selendang, tetapi dengan pakainnya untuk mendapatkan apa yang Ia inginkan. Selain itu, persamaan dalam Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub dapat dilihat bahwa, kedua tokoh bidadari sangat sedih saat meninggalkan suami dan anaknya di bumi.

Persamaan Motif Penyelesaian Konflik: Dapat dilihat bahwa, adanya persamaan penyelesaian konflik yang signifikan antara Geguritan Rajapala dan Cerita Jaka Tarub yang membawa kebahagiaan (happy ending) pada anak keturunannya. I Durma yang pada akhirnya menjadi Raja di Carangsari dan Nawang Asih yang menjadi istri dari Raden Bondan, dari Nawang Asih dan Raden Bondan inilah yang kemudian menurunkan tokoh-tokoh pendiri kerajaan di Tanah Jawa, seperti Ki Ageng Sela dan Panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram Islam.

Persamaan Motif Ujian dan Ritus Inisiasi: Persamaan motif ujian dan ritus inisasi pada Geguritan Rajapala dan Cerita Jaka Tarub menunjukan, bahwa kedua tokoh tersebut berhasil menjalankan dan menyelesaikan ujian hidupnya masing-masing yang membawa mereka pada kebahagiaan. Motif ujian dan ritus inisiasi ini berkaitan erat dengan motif penyelesaian konflik, yang menunjukan akhir cerita yang bahagia (happy ending).

Persamaan Motif Genre Cerita: Seperti yang telah dibahas sebelumnya

bahwa, Geguritan Rajapala dan Cerita Jaka Tarub memiliki genre yang berbeda. Geguritan Rajapala bergenre Geguritan sedangkan Cerita Jaka Tarub bergenre Legenda atau Babad. Namun, jika dilihat menurut periode dan atau waktu terdapat persamaan yang spesifik antara Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub. Dilihat dari periodenya, bahwa Geguritan Rajapala (Geguritan) dan Cerita Jaka Tarub (Legenda atau Babad) termasuk kedalam kesusastraan klasik atau tradisional yang dianut dan hidup pada masyarakat lampau sebagai nilai-nilai yang adiluhung.

SIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa Geguritan Rajapala dan Cerita Jaka Tarub hidup pada situasi kebudayaan yang berbeda, yaitu Bali dan Jawa. Terdapat perbedaan dan persamaan antara Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub, yang dapat dilihat dari segi motifnya.

Geguritan Rajapala dan Cerita Jaka Tarub merupakan karya sastra klasik atau tradisional, hal tersebut yang menjadi faktor mendasar kekerabatan antara Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub. Selain itu dapat diketahui bahwa, karya sastra klasik atau tradisional telah hidup dan dianut oleh masyarakat sejak masa lampau, mengandung nilai-nilai yang adiluhung. Seperti yang telah dibahas pada motif ujian dan motif penyelesaian konflik, untuk mencapai kebahagiaan kita harus menerima ujian dan berusaha untuk menyelesaikan ujian tersebut dengan ikhlas.

DAFTAR PUSTAKA

Wibawa, I Bayu Mutra. (2016). Teks Geguritan Padem Warak Analisis Bentuk,   Fungsi, dan  Makna.

Humanis,     Retrieved     from

https://ojs.unud.ac.id/index.php/sast ra/article/view/21335

Damono, Sapardi Djoko. 2015. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Endraswara,      Suwardi.      2008.

MetodologiPenelitian       Sastra

Epistemologi, Model, Teori, Dan Aplikasi. Jakarta: Buku Kita.

Fatmawati, Ira. 2013. "Frankenstein dan Kereta Hantu Jabodetabek". Bangkalan: Universitas Trunojoyo. DOI: https://doi.org/10.21107/widyagogi k.v1i1.4

Jabrohim (ed). 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta. Hanindita Graha Widia.

Jefrianto. 2017. "Sastra Bandingan Cerkak "Dasamuka" Karya Djajus Pete dan Cerkak "Dasamuka" Karya Suwardi Endaswara: Suatu Telaah Intertekstual". Purwokerto: SMK Kesatrian. ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 2.

Kristiasih, Lusia. 2015. "Tematologi: Pembacaan Teoritis   Terhadap

Salah Satu Metode Penelitian Sastra     Bandingan     Claudio

Guillien". Madiun: IKIP PGRI. Jurnal Poetika Vol. I No. 2.

Maelasari, N. (2018). Sastra Kitab Tajus Salatin Karya Bukhori Al-Jauhari Dan Sastra Kitab Bustanus Salatin Karya Nuruddin Ar-Raniri Suatu Kajian     Sastra     Bandingan.

Metamorfosis |  Jurnal Bahasa,

Sastra      Indonesia      Dan

Pengajarannya,   11(2),   12-18.

Retrieved                   from

http://ejournal.unibba.ac.id/index.p hp/metamorfosis/article/view/67

Maspuroh, Uah. 2015. "Kajian Bandingan Struktur dan Nilai Budaya Novel Amba dan Perjalanan      Sunyi      Bisma

Dewabrata". Bandung:   SMK

Negeri 1 Majalaya. Riksa Bahasa, Volume 1, Nomor 2.

Matsuri. 2015. "Perbandingan Antologi Cerpen Batu-Batu Setan Karya M. Fudoli Zaini dan Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri". Sidoarjo: Balai Bahasa Jawa Timur.

Mayasari, Gilang Hanita. 2011. "Meneropong    Teori    Sastra

Bandingan Pada Buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan". Bandung:  Univeritas Padjajaran.

ATAVISME, Vol. 18, No. 2 DOI:http://dx.doi.org/10.26610/met asastra.2011.v4i2.208-2011

Miyasari, Tita Nurajeng. 2019. "Ketidak Adilan Gender Dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer dan Tanah Tabu Karya Anindita S. Thayf: Kajian Sastra Bandingan". Semarang: Universitas Diponegoro.                DOI:

https://doi.org/10.36567/aly.v15i1. 268

Ngusman (dkk). 2012. "Perbandingan Penokohan Larung Karya Ayu Utami Dengan Perahu Kertas Karya Dewi Lestari". Padang: Universitas Negeri Padang. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 1 No. 1.

Ni'mah, Evayatun. 2017. "Pandangan Nasionalisme    Dalam    Puisi

Mahmud Darwisy dan Rendra Dalam Analisis Sastra Bandingan". Yogyakarta:   Universitas Gajah

Mada.                    DOI:

https://doi.org/10.36840/an-nas.v1i2.54

Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas Gajahmada.

Olthof, W,L. 2017. Babad Tanah Jawi, Mulai Dari Nabi Adam Sampai Runtuhnya            Majapahit.

Yogyakarta: Narasi.

Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode,  Dan Teknik Penelitian

Sastra.    Yogyakarta:    Pustaka

Pelajar.

Saenal,      Muhammad.      2016.

"Perbandingan Karakter Tokoh Dalam Novel Jangan Bercerai Bunda Karya Asma Nadia Dengan Putri Kecilku dan Astrocytoma Karya Dr. Elia Barasila, M.A.R.S dan Dr. Sanny Santana, Sp.OG". Jurnal Humanika No 16, Vol 1.

Sudiasih, N. (2016). Mitos di Nusa Penida Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna. Humanis, .Retrieved from

https://ojs.unud.ac.id/index.php/sast ra/article/view/21366

Surasmi, I Gusti Ayu. 1980. Geguritan Rajapala. Jakarta:   Departemen

Pendidikan Dan Kebudayaan.

Tasnimah, Tatik Maryatut. 2010. "Menelisik     Kosmopolitanisme

Sastra Arab (Kajian Sastra Bandingan)".         Yogyakarya:

Universitas Sunan Kalijaga. Adabiyyāt, Vol. 9, No. 1.

Taum, Yoseph Yapi. 2009. "Makalah Seminar Nasional Bahasa Ibu: Dongeng    ‘Tujuh Bidadari”:

Pemetaan   Pola   Kekerabatan

Sastra". Yogyakarta:   Fakultas

Sastra Universitas Sanata Dharma.

Teeuw, A. 2015. Sastra Dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.